"Eh, 'tar dulu!" sergah seorang senior perempuan yang berhasil membuat Mia enggan hidup seketika. Dia datang dari ujung barisan kaka kelas yang menjadi panitia MOS. "Kasih hukuman dulu, lah! Enak banget. Baru juga mulai udah bikin kesalahan."
Kulit Mia yang putih bersih semakin terlihat pasi, ketika senior perempuan itu berjalan pelan di depan matanya. Dia mendelik memperhatikan Mia dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi. Bahkan Mia sampai kepengin menadahkan kedua tangannya, karena khawatir ke dua bola mata senior itu mencuat keluar secara tiba-tiba. Beruntung Mia masih bisa menahan gejolak batin dari aksi percobaan bunuh diri itu.
"Siapa tadi nama lo?" tanya senior itu sok berkuasa, padahal terlihat bodoh. Jelas-jelas nama lengkap dan panggilan Mia terpampang nyata, di name tag yang ukurannya sebesar TV 14 inch.
Mia menunduk, memastikan bahwa barisan huruf yang merangkai namanya tidak berceceran di rumput hingga tak terbaca oleh senior. Lagipula memangnya apalagi yang bisa si bodoh ini lakukan, selain memendamkan wajahnya dalam-dalam.
"Jawab! Malah diem aja!" seru seorang senior cewek lainnya secara ttiba-tiba. Kedatangan yang ke dua ini, malah hampir mirip dengan jaelangkung. Ditambah lagi Mia hanya bisa melihat betis si senior yang berkonde. Untung Mia cukup cerdas, karena mana mungkin ada hantu sepagi ini.
"Hanamia, ka," jawab Mia pelan, nyaris tak terdengar.
"Siapa? Gak kedengaran!" Senior yang tadi baru datang mencondongkan tubuhnya hingga Mia bisa mendengar deru napasnya.
"Hanamia, ka." Mia meninggikan suaranya.
"Enaknya dikasih hukuman apa, nih?" tanya kakak kelas laki-laki lain, diiringi mendekatnya beberapa senior.
Rangga yang melihat reaksi teman-tamnnya itu langsung mehampiri Mia. "Eh, udah udah!" perintah Rangga.
Merasa mendapat angin surga, Mia yang sedari tadi masih menunduk, akhirnya bisa mengangkat wajahnya sedikit. Sama seperti sebelumnya, Rangga tak tega melihat sorot mata Mia yang bulat dan seolah mengeluarkan bintang-bintang.
"Udah sana duduk lagi!" perintah Rangga yang tak sanggup menatap Mia lama-lama. "Jangan bengong lagi, ya!"
"Iya, makasih, kak!" Mia mengangguk dan segera berlari ke tempat dia duduk.
Jangan tanya bagaimana perasaan Mia saat ini. Dia bahkan berharap wajahnya berubah, seperti hantu muka rata dari Jepang, agar tak ada yang mengenalinya lagi. Malunya itu lho, sampe lulus sekolah! Tetapi itu belum seberapa, karena Mia tidak tahu di samping pintu ruang guru, ada orang yang membuat Mia hilang fokus karena mencarinya. Dia sedang menyandarkan tubuhnya di pintu dengan gaya dan memperhatikan Mia sejak tadi.
Sesi pertama kegiatan MOS telah berlalu. Sekarang waktunya pembagian kelompok untuk penyiksaan--maksudnya acara--selanjutnya. Setiap kelompok merupakan gabungan dari supuluh siswa yang dipilih secara acak.
Mia sempat tersenyum sedikit ketika melihat genk cewek yang tadi meninggalkannya, kini harus pecah kongsi. Sayangnya tak sampai lima detik, kesenangan Mia juga menguap karena tugas pertama yang diberikan para senior adalah saling berkenalan. Mereka memberikan waktu lima belas menit untuk saling mengenal dan masing-masing harus mengingatnya karena sewaktu-waktu bisa ditanya.
Sebagai siswi yang membuka tahun ajaran dengan cara yang tidak epic, Mia jadi senewen. Apa gunanya sih memperkenalkan diri lagi? Toh, se-antero sekolah rasanya gak akan lupa peristiwa tadi sampai tiga tahun ke depan. Begitulah ucap Mia dalam hatinya.
Setelah masing-masing kelompok membentuk lingkaran, satu persatu setiap siswa mulai memperkenalkan diri. Kelompok Mia yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 6 orang perempuan juga memulai sesi perkenalan.
"Hallo, kenalin gue Kayobi. Kalian bisa panggil Yobi atau Kay. Gue dari SMP 76." Seorang cowok berbadan tinggi, kurus, hitam manis dengan jambang, memberanikan diri memulai perkenalan. "Udah segitu aja, biar kalian gak susah ngingetnya."
"Tapi kalo nanti ditanya hobi kamu, atau alamat rumah kamu gimana?" tanya siswi lain.
"Udah tenang aja, gak bakalan ditanya. Mereka itu cuma ngerjain doank," jelas Kayobi dengan gayanya yang cool.
Dari perawakan dan sikapnya, Mia sudah dapat menebak, bahwa Kayobi pasti akan menjadi salah atu idaman di sekolah. Namun, bagi Mia, Kayobi masih kalah keren dari pria yang kemarin Mia temui. Mia masih belum bisa mengeluarkan laki-laki itu dari pikirannya.
Selama sesi perkenalan, Mia justru memilih untuk berkenalan secara pribadi dengan dua orang cewek yang ada di sebelah kanan kirinya. Mereka adalah Rossa dan Indira.
"Eh, kamu tadi kenapa sih maju ke depan?" tanya Indira, cewek batak, cantik karena dia blesteran—dikit, tetapi cablak.
Mia diam sekian detik sebelum akhirnya menjawab, "Tadi pas disuruh duduk aku bengong."
"Ooh, jadi kamu masih berdiri gitu pas semua duduk?"
"Iya, tiba-tiba budeg aku." Mia cengengesan, yang diiringi gelak tawa dari Indira dan Rossa.
"Kamu tinggal dimana In?" tanya Mia.
"Aku tinggal di Parung."
"Wah! jauh juga, ya, kaya aku," celetuk cewek cantik, putih, tinggi dan kurus, yang penginnya dipanggil Ocha.
"Emang kamu tinggal dimana Cha?" tanya Mia dan Indi serentak.
"Aku tinggal di Ciputat."
"Oh, kamu di Ciputat, Cha. Kita deket donk berarti," sahut Mia.
"Emang kamu dimana Mia?"
"Aku di Pamulang," jawab Mia antusias.
"Oohh, Pamulang."
"Eh, berarti kita bertiga nih rumahnya jauh-jauh, ya, dari sini," Ucap Indira dan mereka bertiga pun tertawa.
"Ada apa nih seru banget?" tanya Kayobi. "Ikutan, donk."
"Iih, cuma buat cewek tauk!" canda Indira.
"Tapi tadi gw denger kata Ciputat. Siapa yang tinggal di Ciputat?"
"Nih, si Ocha," jawab Mia.
"Oh, sama dong, Cha. Gue juga tinggal di Cipuatat. Bisa dong kita sekolah bareng."
Rossa yang sejak awal sudah naksir Kayobi, langsung berbunga-bunga, merah merona, bagai terbang ke angkasa, ketika Kayobi mengajaknya pergi sekolah bersama. Padahal Kayobi anaknya memang mudah bergaul.
"Wah, kalo gitu kita bisa, nih, pulang bareng-bareng. Kan, kita searah." Indira yang polos, seketika membuyarkan angan-angan Rossa yang bisa pulang berduaan.
"Wah ide bagus, tuh. Kebetulan gue disini juga sendiri, gak ada temen," jawab Kayobi santai.
"Eh, giliran kamu tuh, Mia!" seru Rossa.
Mia yang mulai pasrah dengan kenyataan, akhirnya mengumpulkan segenap jiwa raga untuk memperkenalkan diri.
"Haaii semua, aku Mia. Nama lengkapku Hanamia Kagumi." Mia mulai memperkenalkan diri. Dengan ekspresi dan suara yang masih seperti anak kecil, semakin memberi kesan ceria pada diri Mia.
"Aku tinggal di Pamulang, dan aku berasal dari salah satu SMP di sana."
"Pamulang itu dimana, Mia?" tanya siswi lain.
"Jauh pokoknya, pake' helm, hehe," canda Kayobi.
"Haha, iya bener, tuh! Aku aja berangkat abis qomat." Mia membenarkan.
"Iya sama aku juga berangkat abis subuh," timpal Rossa yang juga disetujui Indira.
"Hahahahaha ...." Gelak tawa menyelimuti kelompok Mia.
"HEI KALIAN! Siapa yang suruh ketawa-ketawa?!" bentak kaka kelas cewek yang sedang patroli. Seketika Mia dan kelompoknya langsung senyap.
"Udah inget semua emang biodata temen-temennya?" tanya kaka kelas itu lagi sambil terus berlalu.
"Tuh, kan, apa aku bilang. Nanti pasti ditanya!" gerutu salah satu siswa.
"Iih santai aja lagi. Dia tuh cuma gretak," sanggah Kayobi si cowok santai dan flamboyan. "Lagian mana mungkin dihukum yang macem-macem. Orang dari tadi diawasin sama guruh, tuh." Kayobi menunjuk ke arah ruang guru dengan bibirnya. Seketika Mia dan teman-teman yang lain menoleh ke arah yang ditunjuk. "Dari tadi dia ngeliatin ke sini terus," lanjut Kayobi.
Jika tadi Mia ingin menadahkan kedua tangannya untuk kaka kelas yang matanya mendelik, maka kali ini Mia ingin melakukan hal itu lagi untuk dirinya sendiri. Mata Mia nyaris loncat ketika melihat tepat di seberang sana, berdiri seseorang yang menyebabkan Mia harus menanggung malu sampai lulus sekolah. Laki-laki itu menatap lurus ke arah lapangan upacara. Atau lebih tepatnya ke arah kelompok Mia berada.
"Kayobi! Dia itu guru?" tanya Mia yang belum bisa berkedip.
"Gak tahu, sih. Tapi kemungkinan iya. Kenapa emang?"
Mia semakin pening dan bergeming. SEJAK KAPAN DIA ADA DI SITU? TERUS DIA LIAT GAK TADI PAS AKU LAGI DI DEPAN? Dua pertanyaan itu bergema dalam hati Mia.
"Dia dari kapan ngeliatin kesini, Bi? Mia bertanya lagi pada Kayobi.
"Gak tahu pastinya, sih. Tapi pas lo ada di depan kayanya udah ada, deh."
Seketika tubuh Mia seakan membeku kemudian retak ketika mendengar jawaban dari Kayobi. "Woy! Kenapa sih emang? Kok, lo kaya liat hantu?" Kayobi mengibaskan tangannya di depan wajah Mia.
"Kayobi, kalo pindah sekolah sekarang masih bisa, gak, sih?" tanya Mia yang belum bisa memindahkan sorot matanya dari laki-laki itu. Pun demikian dengan si pria.
Iya, mereka saling pandang memang. Namun bedanya, yang satu tersenyum yang satu (Mia) terkejut. Sampai Mia merasa masa depannya di sekolah ini telah runyam.
"Yah, mana gue tau. Gue aja masuk sini karena gak sengaja," jawab Kayobi santai. Namun tidak dengan Mia yang rasanya ingin pindah sekolah saat itu juga.
Mia dan laki-laki itu masih berpandangan. Dunia seolah berhenti berputar di sekitar mereka. Terlebih lagi Mia yang masih tak percaya bahwa ternyata, pria yang dia cari sedari tadi justru melihat semuanya. Detik itu juga Mia sadar bahwa hidupnya tak kan lagi sama. Bukan karena perasaan cinta, melainkan perasaan malu yang akan melekat pada Mia hingga lulus sekolah."Eh, Mia! Ayo ke aula!" seru Rossa berjalan lebih dulu. Mia bersusah payah mengejar dari belakang."Jangan bengong mulu! Nanti dihukum lagi, lho." Rossa menasehati Mia yang sudah di sampingnya."Iya, Cha."Sesampainya di aula sekolah yang sangat luas dan cat tembok putih, para siswa dipersilahkan duduk bersila beralaskan karpet tipis biru tua. Di depan aula terdapat panggung setinggi setengah kaki. Beberapa senior terlihat duduk santai di pinggir panggung. Di aula inilah kegiatan MOS yang sesungguhnya akan dimulai.Ada berbagai macam kegiatan yang akan mereka lalui hingga tiga hari ke depan. Na
Mata Mia mengerjap mendapat sentuhan lembut. Hatinya kini penuh sesak oleh bunga-bunga, hingga Mia tak bisa menebak mana perasaan yang sesungguhnya. Antara senang dan takut, Mia tak bisa merabanya dengan pasti. Jelas saja, karena pria itu adalah orang pertama yang menyentuh kepalanya selain ayah dan kakaknya."Perhatian! Kepada seluruh peserta MOS, harap segera kembali ke aula." Terdengar seruan senior laki-laki dari depan aula.Laki-laki dewasa yang kali ini mengenakan kemeja biru muda, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celana bahan berwarna abu tua. Dia tersenyum melihat wajah panik Mia yang lucu lalu berlari tanpa menoleh lagi.Langkah Mia melambat saat teringat siapa laki-laki tersebut. Mia menyesal karena tak sempat berterima kasih karena sudah memasangkan ember rumbai-rumbai ini. Mia tersipu sambil jemarinya menyusuri permukaan ember yang kini tidak terlalu konyol baginya."Mia! Sini!" seru Indira ketika melihat Mia yang celingukan di ruang aula. R
Sesampainya di jalan raya, mereka harus menyeberang jalan agar bisa mengendarai angkot yang akan menuju ke terminal lebak bulus.Di antara teman-temannya, sepertinya hanya Mia yang terkesima melihat suasana Jakarta Selatan dengan lebih dekat untuk pertama kali. Meskipun ada perasaan was-was karena dia sama sekali belum pernah naik angkot sendirian dengan jarak sejauh ini. Namun, antusiasnya dengan pemandangan baru, bisa mengalihkan rasa cemasnya."Dari sini kita naik S11, ya?" Mia memastikan angkutan umum yang akan mereka tumpangi pertama kali."Iya, Mia kita naik S11. Tuh, dia angkotnya." Rossa menunjuk ke arah angkot berwarna merah dari arah kanan.Mereka satu persatu naik angkot yang dimaksud. Tidak lupa Kayobi membuang rokoknya dan membiarkan tetap menyala lalu padam tertiup angin. Dengan peluh yang bercucuran, mereka mendorong jendela angkot lebar-lebar agar bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya."Haduh, gerah banget, aus!" Indira mengibas-ngibas
Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, panas, dan macet, Mia akhirnya tiba di rumah pukul setengah lima sore. Meskipun lebih banyak hal yang kurang menyenangkannya hari ini, akan tetapi bisa tiba di rumah dengan selamat adalah suatu prestasi tersendiri yang mampu menyamarkan sedikit kegundahan dalam hati Mia."Assalamualaikum." Mia masuk rumah dan langsung menyalami ibunya."Waalaikumsalam, loh? Kamu pulang naik apa?" ucap ibu yang terkejut melihat anaknya pulang sendiri.Mia tak menjawab. Dia lebih memilih menuju lemari pendingin untuk segera menghilangkan dahaga dengan susu cokelat dingin. Sementara ibunya membuntuti dia dari belakang."Kok, gak pulang sama ayah?" Ibu Mia terlihat tidak sabar, meskipun anaknya masih menenggak susu dingin."Aahh." Mia mengusap mulutnya. "Kalo nunggu ayah kan lama, Ma.""Ya palingan juga jam lima selesai. Dari pada pulang sendiri. Emang kamu ngerti naik angkot apa?" Ibu Mia terlihat emosi."Kalo ga
"ASTAGHFIRULLAH HAL ADZIM MIA! KIRAIN UDAH BANGUN! HEY! UDAH JAM LIMA LEWAT INI!" teriak ibunda Mia dengan suara yang dapat menembus tujuh rumah sekaligus.Sedangkan si anak, hanya mengulet dan lupa kalau sekolahnya kini berbeda provinsi. Dia masih terlihat santai di pinggir kasur mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya kembali dari alam mimpi. Namun, semuanya berubah ketika dia menyalakan lampu kamar. Mia loncat dari kasur setelah melihat dengan jelas jam di dinding. Kemudian detik itu juga berlari ke luar kamar untuk mengambil handuk."Mamaaaa, kok, gak bangunin aku siih?" gerutu Mia yang suaranya masih serak."DARI TADI MAMA JUGA UDAH JADI TARZAN, MIA!" sungut ibu Mia lebih galak lagi."Oh, oke." Mia langsung menciut. Sadar dengan kesalahannya, dia tak ingin memancing keributan.Mia hanya punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Mulai dari mandi, berpakaian, sholat subuh, sarapan, pakai sepatu kemudian berangkat selambat-lambatnya p
Mia memang lagi apes, ternyata pos pertama dijaga Rangga sang Ketua OSIS berwajah galak. Dari jauh dia menatap tajam kelompok Mia yang sedang menghampiri. Seperti elang yang sedang mengincar mangsanya.Waduh! Tahu gitu tadi biar aja Kayobi yang pertama nerima hukuman."Permisi, Kak. Apa benar ini titik pertama?" tanya Kayobi dengan santai."Kata siapa?" jawab si mata elang dengan tatapan yang bisa membuat siapa saja merinding. "Saya cuma lagi ngobrol sama Pak Satpam. Kalian ngapain ke sini? Apa buktinya kalo di sini adalah pos pertama?""Ini, Kak." Kayobi membuka amplop. "Di sini tertulis garda depan barisan kereta kuda.""Apa hubungannya dengan di sini?""Garda depan itu berarti yang berjaga di barisan paling depan, dan itu adalah satpam. Sedangkan barisan kereta kuda adalah parkiran mobil dan motor." Kayobi kembali mewakili kelompoknya menjawab."Bagus. Kalian benar. Sekarang kalian baris. Ada tugas yang harus kalian lakukan suapa
Sepagi ini perasaan Mia sudah campur aduk. Gelisah, takut, senang dan antusias silih berganti timbul tenggelam dalam hati Mia, karena kegiatan belajar mengajar akan dimulai hari ini. Mia sempat terbangun jam tiga tadi karena takut kesiangan lagi, kemudian kembali tidur karena masih terlalu pagi.Di depan cermin Mia memandang bayangannya yang mengenakan seragam putih abu-abu. Seragam itu masih terasa kaku layaknya baju baru. Tidak lupa dia memakai dasi agar lebih rapi. Mia menjepit rambut tepat di atas kedua telinga agar tidak menganggu penglihatan. Sebelum berangkat Mia kembali mengecek buku pelajaran yang harus dibawa hari ini dan menyesuaikan dengan jadwal yang telah tertempel di meja belajar."Kayanya hari pertama sengaja dibuat gak terlalu berat," gumam Mia setelah melihat jadwal pelajaran hari ini yaitu Bahasa Inggris, Sejarah, Bahasa Indinesia, dan Biologi.Setelah semuanya siap, Mia dan ayahnya berangkat jam lima lewat lima belas. Mereka agak santai karena i
Guru dan murid yang saling jatuh cinta tersebut tersipu malu meski sudah berpisah. Mereka sama-sama belum sanggup memupus senyum yang terukir samar.Meski usianya terpaut jauh, Mr. Sani tak bisa memungkiri kalau Mia adalah tipenya. Terlebih lagi, Mia memiliki mata yang mampu membiusnya hingga selalu terbayang-bayang. Ia baru menyadari setelah tadi saling bertukar pandang.Di sisi lain, dia juga tidak menyangka akan jatuh hati pada anak muridnya sendiri, padahal di sekolah ada tiga orang guru dan karyawan perempuan yang seumuran. Namun, Mr. Sani tidak ingin terlaru larut dengan perasaannya. Ia cukup yakin dapat segera menepikan perasaan itu.Sedangkan Mia, sejak perjumpaan pertama, sudah tidak bisa melupakan senyum manis Mr. Sani. Satu hal yang paling melekat di benak Mia saat mata Mr. Sani seakan menghilang ketika tersenyum. Sama seperti Mr. Sani, Mia juga merasa heran bisa jatuh hati pada gurunya sendiri. Mengapa dia tidak bisa seperti cewek lainnya yang menyukai