"Apalah arti sebuah nama, namaku tidak penting buatmu."
Hah? Stevia melongo mendengar kalimat yang baru saja diucapkan gadis dengan gaya rambut ponytail di depannya ini. Jawaban yang tidak sesuai dengan harapan. Mungkin lebih tepatnya jawaban gadis itu sungguh anti mainstream, diluar dugaan.
Stevia maklum, bisa saja gadis ini kesal setelah kejadian yang baru saja mereka alami. Itu seperti adegan klise dalam film. Biasanya yang bertabrakan adalah seorang cewek dan cowok. Lalu mereka saling berargumen tentang siapa yang salah. Atau buku-buku yang diapait oleh sebelah tangan sang wanita berhamburan akibat peristiwa itu.
Kini situasinya berbeda. Yang bertabrakan adalah dua orang cewek di gang sempit. Sebagai akibatnya sandal jepit gadis yang tak mau menyebutkan namanya tadi, putus. Stevia langsung minta maaf, tapi tidak digubris. Stevia akhirnya bertanya siapa nama gadis itu. Namun reaksinya malah bikin kesal.
Syukur saja isi plastik kresek yang dipegang gadis itu tidak berhamburan. Stevia yakin isinya bungkusan itu pasti tepung dan telur. Tanpa pikir panjang Stevia memungut sandal jepit yang sudah kelihatan tua itu.
"Tunggu di sini ya, sebentar saja!"
Gadis itu tidak menjawab, hanya menatap Stevia yang berjalan cepat dan menghilang di kelokan gang.
Tujuh menit kemudian ia kembali dengan membawa bungkusan berisi sandal jepit berwarna pink dengan motif bunga.
"Silakan pakai ini. Aku ganti sandal jepitmu yang tidak sengaja kupijak. Karena nggak mungkin kamu pulang pakai sandal itu."
Ia menatap Stevia dengan ragu. Tapi tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Udah pakai aja!"
Stevia tersenyum puas karena sandal jepit pink itu kini pas di kaki majikan barunya. Tak sengaja ia melirik jam tangannya. Ia terhenyak, hampir terlambat batinnya.
"Aku permisi dulu. Omong-omong namaku Stevia. Da... Da..."
***
"Sandalmu baru ya, Ta?" Neneknya bertanya setibanya ia di depan pintu.
"Ya nek."
"Bukannya uangmu hanya cukup untuk beli tepung terigu dan telur?"
"Ada yang belikan Nacita sandal baru, nek."
"Baik sekali. Dia temanmu ya?"
"Bukan. Kami sengaja bertabrakan di gang sempit yang biasa aku lewati untuk menghemat waktu, nek. Sandalku terpijak olehnya dan putus. Jadi dia belikan untukku."
"Wah syukur ya, Ta. Sandalmu kan memang sudah usang. Lumayan nggak perlu keluar duit."
"Ya nek. Nacita bikin adonan donat dulu ya nek."
Gadis yang bernama Nacita itu pun langsung menuju dapur. Ia masih ingat wajah gadis tadi. Bisa dibilang gadis tadi adalah bukti nyata dari impian para gadis yang ingin dianggap cantik. Kulitnya bersih, cerah, tampak dirawat dengan baik dan teratur. Wajahnya bak pualam dengan bibir merah merona. Satu hal yang paling ia ingat dan sukai, gadis bernama Stevia tadi sangat ramah dan pemurah berbeda sekali dengan dirinya.
Sayangnya ia keburu mengucapkan jawaban aneh dan mengejutkan tadi. Entah mengapa ia tidak marah pada Nacita. Tapi malah membelikannya sandal jepit yang bagus. Walaupun Nacita tidak suka warnanya yang terlalu cewek dan mencolok tapi ia cukup senang bisa pulang ke rumah dengan alas kaki. Tak bisa ia bayangkan rasa sakit yang harus ia tanggung jika berjalan tanpa sandal.
Wajah Stevia sepertinya pernah ia lihat tapi ia tidak begitu ingat. Ia mendesah karena waktunya terbuang akibat memikirkan Stevia. Segera ia melakukan tugas yang selalu ia lakukan hampir tiap, membuat donat.
***
Seandainya mama ada di sini
Tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk lalu sebuah suara menyusul.
"Jo, mama boleh masuk?"
"Ya, tante." Sesungguhnya Jovian tidak suka memanggil wanita itu dengan sebutan mama. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi mamanya.
Wanita itu membawa baki berisi makanan dan air putih.
"Kamu masih sakit?"
"Masih. Kalau nggak aku sudah pasti nggak di ruangan ini lagi." Jawabannya terdengar ketus.
"Nggak bisa tidur ya?"
Jovian tidak menjawab. Basi-basi wanita ini terlalu basi. Sebuah pertanyaan yang tidak penting karena ia bisa lihat sendiri kalau Jovian tidak sedang tidur.
"Mungkin karena kamu nggak minum obat. Ini ada mama bawakan paracetamol. Biasanya kalau minum obat bisa bikin ngantuk biar sakit kepalamu cepat sembuh."
"Tante nggak usah repot-repot. Aku nggak mau minum obat. Besok pasti sudah sembuh."
"Tapi Jo ini demi kebaikan kamu."
"Tante boleh keluar? Aku mau istirahat."
Wanita itu meletakkan baki yang ia bawa lalu keluar dan menutup pintu kamar Jovian.
Kini ia bisa bernapas lega. Benar-benar tidak mengenakkan berbicara dengan orang yang tidak kita sukai. Jovian merasa hidupnya jenuh sekali. Setelah mencoba berkali-kali untuk memejamkan mata agar tertidur namun gagal, ia putuskan mengambil handphonenya. Mencari sebuah nama di kontak dan mencoba menghubungi seseorang.
Ia khawatir nomor yang dihubunginya ini tidak aktif. Akibat pemiliknya yang lupa mengisi pulsa dan akhirnya masuk masa tenggang lalu nomornya diblokir oleh operator selular. Andaikan sang empunya nomor ini punya gawai ia tidak perlu menelpon cukup mengirim pesan via whatsapp. Terdengar nada sambung di ujung sana. Setelah menghubungi dua kali, akhirnya teleponnya diangkat.
"Ya ampun lama amat sih baru diangkat? Kayak wanita karier aja."
"Nggak liat sekarang jam berapa?"
Jovian melirik ke arah jam dinding. Saat ini menunjukkan pukul 16 lewat sepuluh menit.
"Ya maaf. Habis kamu nggak nanyain sobatmu yang tampan ini kenapa nggak sekolah."
"Paling lagi PMS."
"Hah?" Jovian tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.
"Pusing, malas, dan stress. Ciri khas Jovian Tarendra Adidjaja"
"Heh jangan suku nambah-nambahin nama orang lain ya. Kebiasaan buruk kok dibawa-bawa."
"Tapi benar kan jawabanku?"
"Ya cenayang. Aku curiga kamu pasang CCTV di rumahku ini biar bisa mantau peristiwa apa pun yang terjadi."
"Mending aku beli handphone terbaru. Lagian buat apa mantau tuan Jovian, kalau dikit-dikit langsung nelpon?"
"Emang nggak boleh, Ta? Sejak kapan Nacita jadi sensi begini?"
"Boleh aja sih. Asal besok isi pulsaku ya. Kayaknya udah mau habis masa aktifnya. Hahaha ... Nggak usah dijawab yang penting dilaksanakan. Oke bos? Marah sama ibu tirimu lagi ya? Kamu diapain sama Tante Clara?"
"Kok tahu lagi sih?"
"Kamu sadar nggak sih Ojon kalau isi otakmu itu transparan bahkan bisa dilihat dari jarak 3 kilometer."
"Huh sungguh sebuah penghinaan yang menyakitkan. Terserah deh. Dia nyuruh aku minum obat sakit kepala. Ya jelas-jelas aku tolak."
Nacita tertawa keras. Ia pasti tahu kalau Jovian tidak mau minum obat dalam bentuk kapsul atau tablet. Lebih tepatnya tidak tahu menelan benda itu. Menurut teori Nacita, lubang napas dan kerongkongannya terlalu dekat jadi bisa saja tablet itu menutup jalan masuk udara di lubang pernapasannya. Jovian tidak tahu pasti tapi itulah sebabnya jika ia lebih memilih minum sirup atau pil obat itu dihaluskan. Seperti anak-anak memang tapi ketimbang ia mati, lebih baik melakukan hal konyol itu.
"Ya udah istirahat aja. Mudah-mudahan besok sembuh biar bisa sekolah. Tenang saja tidak ada PR, kawan. Kamu bisa tidur nyenyak malam ini. Sebenarnya aku ada cerita menarik tapi adonan donatku nanti tidak akan selesai jika terus mengobrol dengan tuan muda. Jadi besok saja kita bahas di forum kelas. Hahaha ... Cepat sembuh Ojon!"
Gadis itu mematikan telepon. Sudah menjadi kebiasaan mematikan telepon terlebih dulu yang membuat Jovian kesal. Belum lagi tentang hal yang tidak jadi diceritakan oleh Nacita tadi. Ia memang pintar bikin penasaran. Jovian memutuskan untuk membaca buku saja, daripada berselancar di internet yang bisa membuat sakit kepalanya makin kambuh.
***
Pemuda itu meliriknya lagi tapi ketika ia melihat kepadanya, pemuda itu pura-pura melihat ke arah lain. Ia putuskan untuk fokus memandang ke depan berupaya memperhatikan Miss Bianca, guru pelajaran bahasa Inggris mereka yang sedang menjelaskan pelajaran.Stevia tidak pernah mengerti mengapa Leonard, pemuda yang selalu meliriknya itu bersikap aneh. Di media sosial ia selalu ramah pada Stevia. Bahkan hampir setiap hari, Leon mengechatnya, membicarakan apa saja. Tapi jika mereka bertemu langsung, pemuda itu tidak pernah bercakap-cakap padanya. Ia malah terlihat acuh tak acuh seolah tidak mengenal Stevia.Bel istirahat pertama akhirnya berbunyi, Stevia langsung ke luar kelas. Ia berbelok ke arah kantin, bukan karena ia lapar, tapi ingin membeli teh dingin dalam kemasan. Ia jarang beli minuman kemasan khususnya soda. Mamanya selalu bilang bahwa minuman itu mengandung banyak gula yang membuat berat badannya bisa cepat naik. Salah satu hal yang tid
Stevia baru saja merebahkan diri di tempat tidurnya setelah selesai membaca pelajaran untuk besok. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mempersiapkan segala sesuatu dengan baik. Bahkan jika ada PR beberapa hari ke depan, ia sengaja menyelesaikannya secepat mungkin agar pekerjaannya tidak menumpuk.Saat ia hendak mengambil alat-alat perawatan wajah dan kulit yang selalu ia pakai setiap hari, handphonenya berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk.Nama kontak yang tertera adalah Leonard."Halo!""Halo Via!"Berbeda dengan kebanyakan orang yang memanggilnya Stev atau Stevi, pemuda itu punya sebutan khusus. Stevia curiga jangan-jangan namanya di kontak Leonard adalah Via Vallen. Tapi sepertinya tidak mungkin."Kamu lagi ngapain?"Sejak zaman VOC masih ada di Indonesia sepertinya pertanyaan itu yang selalu diajukan seseorang untuk memulai percakapan. Seperti yang baru saja Le
Ia merasa detak jantungnya bisa terdengar dari jarak 5 meter saking kencangnya. Nacita kini semakin mendekat ke arahnya. Namun, setelah sampai di depan Stevia, gadis itu malah segera masuk tanpa berkata apa-apa. Stevia kecewa, baginya lebih baik mendengar celotehan atau bahkan kemarahan Nacita ketimbang dicuekin begini. Gadis itu seperti kehilangan pita suara saat bertemu dengan Stevia."Nacita, sapa temanmu dulu! Kamu seperti tidak punya sopan-santun."Yang ditegur malah duduk santai di kursi seolah tidak mendengar ucapan neneknya."Maaf ya, nak Stevia! Nacita memang sering begjtu.""Nggak apa-apa, nek. Stevia pulang dulu ya. Hari sudah mulai gelap."Jovian ternyata belum pulang, ia masih berdiri di dekat sepeda motornya. Saat Stevia hendak mengayuh sepedanya, pemuda itu mengeluarkan suara."Hati-hati ya!"Stevia mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa
"Jadi aku harus nunggu setengah jam ya, pak? Oke. Terima kasih!"Stevia menutup telepon dengan lemas. Sebuah pemberitahuan yang tidak menyenangkan, ia tidak bisa langsung dijemput karena ada masalah pada mobilnya. Sekolah sudah mulai sepi karena bel terakhir berbunyi sepuluh menit yang lalu.Stevia kini duduk di kursi yang dekat dengan tempat parkir. Enggan rasanya menuju kantin, toh ia tidak lapar ataupun haus. Hanya saja seperti yang semua orang rasakan, menunggu itu benar-benar tidak mengasyikkan. Solusi terbaik adalah berselancar di internet. Tiba-tiba ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah tidak asing lagi baginya."Kenapa belum pulang?"Ternyata Jovian. Pemuda itu kini duduk di sebelahnya."Mobil jemputanku lagi ada masalah jadi mesti ke bengkel dulu. Omong-omong Nacita mana?""Kami udah kayak kembar siam ya? Kalau pisah langsung pada ditanyain orang-orang."
Rekaman telepon itu sudah dimatikan namun Nacita masih tetap bungkam. Ia tampak menimbang-nimbang dan menganalisis apakah kata-kata Stevia benar."Direspon kek. Ini malah diam aja."Nacita menoleh ke arah Jovian lalu tersenyum."Dijawab woi bukan disuruh senyum!""Berisik amat sih! Apa benar gitu ya, Ojon?""Kenapa? Ragu? Kayaknya Stevia benar deh ini ulah Leonard.""Tapi kenapa dia gitu ya?""Naksir kali sama Stevia. Kamu nggak dengar tadi di rekaman itu dia bilang mereka sering komunikasi lewat media sosial?""Naksir kok nggak bilang langsung ya? Aneh! Biasanya cewek yang susah dimengerti. Ini malah kebalikannya.""Mungkin dia berjiwa cewek. Hahaha ... "Nacita ikut tertawa mendengar ucapan Jovian. Tiba-tiba dua botol minuman dingin diletakkan di dekat kursi mereka."Minum dulu, jangan ngobrol-ngobrol aja!""Hai Stev! Mantap banget nih, mumpung lagi panas kayaknya sore nanti ujan. Makasih ya!" Jovian lan
Jovian baru saja membeli tiga botol air mineral dingin untuk Stevia, Nacita, dan dirinya sendiri. Cuaca sore ini memang cukup panas. Kini ia sudah tiba di tempat mereka berkumpul. Kedua gadis itu sedang merebahkan diri di atas tikar piknik yang dibawa oleh Stevia dari rumahnya. Di bawah sebatang pohon yang rimbun. Jovian mengambil handphonenya dari saku celananya dan segera memotret mereka. Hasilnya cukup bagus karena kedua gadis itu sepertinya tidak sadar sedang difoto."Enak banget ya rebahan di bawah pohon? Sedangkan aku harus beli minuman." kata Jovian pada mereka yang kini sudah mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk."Nggak ikhlas banget sih!" seru Nacita.Stevia menerima sebotol minuman sambil mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum menyaksikan perdebatan kedua sahabat itu."Oh ya aku tadi ambil foto kalian yang lagi rebahan. Bagus lho!"Nacita dan Stevia langsung melirik ke layar handphone Jovian."Betul banget. Ini sih keren!" ucap S
Tiba di sekolah lebih awal adalah hal yang bagus. Pikiran jauh lebih siap untuk mengikuti pelajaran yang akan dimulai. Bagi Jovian ada alasan lain lagi. Tentu saja agar ia bisa keluar rumah lebih dulu ketimbang papanya. Ia tidak ingin momen awkward terjadi saat bersama ibu tirinya jika papanya lebih dulu pergi.Jovian tiba lima belas menit sebelum bel apel pagi berbunyi. Saat ia baru selesai memarkirkan sepeda motornya, ia melihat seorang siswi berjalan cepat ke arahnya. Jovian menebak gadis berbando kuning itu sama-sama kelas X seperti dirinya. Mungkin salah satu murid kelas sebelah. Gadis itu terengah-engah ketika tiba di depan Jovian."Ada kabar buruk Jo. Tentang Nacita." kata gadis itu dengan napas yang masih tidak teratur.Jovian tentu saja kaget."Kabar buruk apa?" tanya Jovian tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Sebelum aku kasih tahu, follback instagramku dulu dong!"Saat itu Jovian ingin segera lari meninggalkan siswi
Nacita memandangi handphone tua miliknya dengan perasaan bimbang. Sejak insiden donatnya dirampas dan diinjak-injak hingga saat ini, ia belum juga berbicara dengan Stevia. Gadis itu sepertinya benar-benar marah atas ucapannya yang tanpa dipikir waktu itu. Biasanya Stevia-lah yang terlebih dahulu memulai pembicaraan. Namun, kali ini sepertinya pemilik wajah dengan lesung pipi itu sudah bosan.Nacita malu sekaligus ragu. Sudah lama ia tidak punya sahabat selain Jovian. Dan bisa dibilang ia tidak pernah saling mendiamkan walaupun mereka sering sekali berdebat dan mengejek satu sama lain. Akhirnya ia bulatkan tekad sebelum masalahnya menjadi semakin rumit.Ia menekan tombol panggilan setelah nama Stevia muncul di kontaknya. Nacita mengembuskan napas lega karena terdengar suara dering dari handphonenya. Itu berarti gadis itu tidak memblokir nomornya."Halo!""Halo Stevia. Lagi sibuk?""Enggak, kok.""Boleh bicara sebentar?""Boleh. Mau ngomong ap