Pemuda itu meliriknya lagi tapi ketika ia melihat kepadanya, pemuda itu pura-pura melihat ke arah lain. Ia putuskan untuk fokus memandang ke depan berupaya memperhatikan Miss Bianca, guru pelajaran bahasa Inggris mereka yang sedang menjelaskan pelajaran.
Stevia tidak pernah mengerti mengapa Leonard, pemuda yang selalu meliriknya itu bersikap aneh. Di media sosial ia selalu ramah pada Stevia. Bahkan hampir setiap hari, Leon mengechatnya, membicarakan apa saja. Tapi jika mereka bertemu langsung, pemuda itu tidak pernah bercakap-cakap padanya. Ia malah terlihat acuh tak acuh seolah tidak mengenal Stevia.
Bel istirahat pertama akhirnya berbunyi, Stevia langsung ke luar kelas. Ia berbelok ke arah kantin, bukan karena ia lapar, tapi ingin membeli teh dingin dalam kemasan. Ia jarang beli minuman kemasan khususnya soda. Mamanya selalu bilang bahwa minuman itu mengandung banyak gula yang membuat berat badannya bisa cepat naik. Salah satu hal yang tidak dia sukai. Kali ini berhubung cuaca sedang panas, tak ada salahnya membeli satu botol saja.
Ia melempar pandang ke arah halaman luas tempat upacara bendera diadakan setiap senin. Hal yang paling Stevia dan siswa-siswi SMA Nusa Bangsa ini adalah di sekeliling lapangan itu sengaja ditanami pohon-pohon berdaun rimbun dan di sana ada deretan kursi tempat penghuni SMA ini bisa bersantai.
Stevia memastikan penglihatannya, bukankah itu gadis yang ditabraknya di gang sempit kemarin? Ia sedang berbincang-bincang dengan seorang siswa dengan postur tubuh yang bagus. Stevia membatalkan niatnya ke kantin.
"Hai! Apa kabar?"
Gadis itu terlihat cukup kaget sedangkan pemuda di sampingnya melihat ke arah Stevia dengan rasa penasaran. Pemuda itu memberi kode ke pada gadis yang disapa Stevia tadi. Mungkin minta penjelasan.
"Eh iya. Jadi Ojon ini dia nih yang belikan aku sandal jepit kemarin."
Pemuda itu kini tersenyum manis. Stevia heran tampang pemuda itu cukup tampan tapi kok namanya Ojon, nggak keren banget.
Stevia lalu menyodorkan tangan kanannya pada pemuda yang bernama Ojon tadi. "Aku Stevia."
"Eh."
Pemuda itu tampak heran karena Stevia mengajaknya berkenalan. Sedangkan gadis yang sampai kini belum ia tahu namanya itu tampak menahan tawa. Tawanya manis juga, Stevia pikir gadis itu tidak bisa tersenyum.
"Namaku Jovian." jawabnya sambil membalas uluran tangan Stevia.
Syukurlah namanya bukan Ojon batin Stevia.
"Ternyata kita satu sekolah ya?" Stevia mencoba berbasa-basi tapi ucapannya agak menggantung karena ia tidak tahu nama gadis itu.
"Nacita. Itu namanya. Dia pasti nggak mau diajak kenalan kemarin."
Stevia tersenyum karena melihat ekspresi Nacita yang melotot ke arah Jovian. Tiba-tiba seorang siswi memanggil Stevia.
"Bisa bicara sebentar? Ada yang mau aku tanya nih."
"Sebentar ya." ucap Stevia pada Jovian dan Nacita.
Mereka kemudian berjalan ke kursi sebelah yang lumayan dekat. Ternyata siswi itu bertanya pada Stevia tentang lomba foto di instagram. Sayangnya Stevia membatalkan diri sebagai jurinya karena sibuk les sepulang sekolah. Tapi ia berjanji akan menjawab pertanyaan siswi itu tentang prosedur kompetisinya.
"Wajah cewek tadi familiar ya, Nat." Jovian buka suara setelah Stevia berbincang dengan siswi tadi.
"Mentang-mentang cantik, sok pernah liat. Kenapa? Naksir? Sampai gugup gitu tadi."
"Apaan sih? Tapi namanya bikin aku jadi ingat sama lagu Sheila On 7."
"Yang mana?" tanya Nacita penasaran.
"Selamat tidur kekasih gelapku ... Stevia..."
Nacita menepuk dahi.
"Sepertinya aku mulai menyesal bersahabat denganmu. Ganteng-ganteng tapi salah lirik. Liriknya Sephia lho bukan Stevia."
Jovian terkekeh, merasa lucu mendengar tanggapan Nacita.
"Kau ini bagaimana sih Rodrigo?"
"Maafkan aku Maria Mercedes! Namanya juga berusaha melucu."
"Tapi jayus tahu nggak? Malu-maluin."
"Nggak jayus kok. Yang tadi itu lucu." kata Stevia sambil tertawa.
Mereka berdua spontan menoleh ke belakang karena tidak sadar sejak tadi percakapan mereka didengar oleh Stevia.
"Maaf-maaf bukannya nguping tapi pas aku ke sini kalian lagi ngomongin itu jadi kedengeran."
"Nggak apa-apa. Maaf nukar nama kamu juga."
"Nggak masalah Jo. Kayaknya asyik ya kalau temenan sama kalian. Boleh gabung?" Stevia sendiri tidak sadar kenapa bisa ia mengucapkan kalimat itu dengan lancar.
"Apa kamu lihat nggak seperti kenyataannya. Kami orangnya nggak asyik kok. Yuk Jo kita ke kelas bel udah mau bunyi tuh."
Mereka berdua meninggalkan Stevia. Hanya Jovian yang tampak menunjukkan ekspresi minta maaf kepadanya. Stevia membalasnya dengan senyum. Lagi dan lagi, gadis itu tampak aneh. Tapi Stevia malah jadi ingin mengenal Nacita lebih dekat.
***
Kalau kamu jawab ya, Jovian juga pernah. Sebenarnya dia orangnya optimis, senang bergaul, disukai banyak orang, aktif, dan ramah. Namun hidup tidaklah pasti, situasi buruk bisa terjadi. Mama kandungnya ketahuan selingkuh, papa sebenarnya mau memaafkan mamanya. Tapi sayang mamanya malah meminta cerai, papanya tidak bisa berbuat apa-apa. Jovian ingin ikut dengan mamanya tapi mamanya tidak mau. Begitu pula papanya tidak mengizinkan Jovian pergi bersama mamanya. Hidup itu kejam dan karena itu ia pun jadi berubah.
Peristiwa itu terjadi sewaktu ia masuk SMP. Selama ini ia bergantung pada mamanya karena itu ia lebih dekat dengan mamanya. Jovian merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi. Ia depresi, tidak bisa menerima kenyataan hidup yang seolah mengolok-oloknya. Masa depan yang ia lihat suram. Ingin rasanya ia tidak bernapas lagi.
Suatu ketika seorang siswi menawarinya donat. Ia menolak. Tapi gadis itu berpikir karena Jovian tidak punya uang.
"Nggak usah bayar. Wajahmu terlihat muram. Katanya cokelat bisa bikin mood baik. Aku nggak punya cokelat batangan. Tapi aku punya donat dengan toping coklat. Setidaknya ada cokelatnya. Hehe..."
Mau tak mau Jovian menerimanya. Setelah berkenalan ia tahu gadis itu bernama Nacita, siswi kelas sebelah. Akhirnya setiap hari ia membeli donat Nacita. Ternyata gadis itu berjualan donat setiap hari, dititipkan ke kantin sekolah. Jovian jadi sadar ada yang kehidupannya jauh lebih sulit daripada dia tapi tidak mengeluh.
Belakangan papanya mulai mengenalkan Jovian dengan wanita yang dekat dengan papanya. Jovian selalu bersikap buruk. Ia kecewa karena papanya begitu cepat melupakan mama. Sampai suatu ketika yang dikenalkan adalah Tante Clara. Penampilan dan parasnya bagus dan ia juga ramah pada Jovian walaupun ia berusaha terlihat nakal.
Setelah semua keluarga setuju kecuali tentu saja Jovian, papa dan Tante Clara pun menikah. Hari pernikahan mereka bagaikan kiamat bagi Jovian. Di saat semuanya berbahagia, Jovian adalah satu-satunya orang yang tidak berbahagia kala itu. Bahkan Nacita yang juga diundang terlihat begitu senang. Entah karena acaranya atau karena ia bisa mengenakan gaun berwarna turqouis yang dihadiahi papa kepadanya.
Jovian melirik ke arah fotonya dengan Nacita saat pesta pernikahan papanya itu. Ia ingat saat difoto itu saja ia terlihat bahagia selebihnya ia merasa hancur. Ingin rasanya merusak pesta pernikahan itu tapi ia tidak tega atau mungkin tidak berani.
Ia marah pada semua orang. Pada papanya yang memilih untuk menikah lagi. Pada Tante Clara yang mau menikah dengan papa dan tidak menggubris tingkah Jovian yang menyebalkan. Ia juga marah pada mamanya yang tega mengkhianati papa dan meninggalkan mereka. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Esok harinya ia tidak bersekolah karena berusaha menjernihkan pikirannya yang semrawut. Nacita ikut-ikutan tidak sekolah. Waktu itu mereka sekelas saat duduk di kelas 2 SMP.
"Kamu masih kesal?" ucap Nacita memulai percakapan.
Mereka sedang duduk-duduk di tepi sungai yang sejuk. Nuansanya masih segar karena pohon-pohon di pinggiran sungai masih banyak.
Jovian tidak menjawab pertanyaan Nacita tapi malah berkata kalau ia ingin mati saja. Malam itu ia ingin membuat surat wasiat.
"Mau wasiatin apa ke Om Faisal? Kumpulan buku komikmu?"
Sebenarnya Jovian ingin tertawa tapi rasanya malu karena ia sedang ingin serius.
"Ya nggak juga. Kan nggak harus nitipin harta. Bisa pesan-pesan terakhir gitu. Terus aku tempelin di dinding kamar."
"Kamu mau mati aja nyusahin yang hidup."
"Hah?"
"Bisa aja kan polisi mengira isi surat itu bikinan Tante Clara karena nggak suka sama kamu. Dianggap melakukan tindakan kriminal agar harta papamu sepenuhnya menjadi milik keturunannya. Terus beliau ditangkap polisi. Papamu sedih deh."
"Mana mungkin. Ceritanya nggak gitu."
"Kan bisa aja gitu. Kamu pikir mati menyelesaikan masalah? Yang kasian tuh yang ditinggal. Mereka akan mempersalahkan diri sendiri karena nggak bisa nolong kamu termasuk aku. Sedangkan orang mati mana tahu apa-apa lagi."
"Aku nggak pernah berpikir sampai ke situ."
"Makanya jangan kebanyakan baca komik. Mending kalau kamu langsung mati. Kalau ternyata setengah mati, lalu kamu jadi cacat? Kan malu, masuk headline koran daerah, seorang anak SMP gagal bunuh diri dan akhirnya cacat. Aku jamin aku nggak mau jadi sahabatmu lagi."
"Jadi konyol ya? Emang nggak ada cara mudah untuk mati tanpa merasa sakit?"
"Mau mati tidak segampang yang kamu pikiran, Ojon."
"Yang penting aku nggak mau bernapas lagi. Hidup itu nggak adil. Orang-orang keluarganya bahagia."
"Kamu pikir aku juga nggak mau keluargaku bahagia? Setidaknya hidupmu lebih enak daripada aku Jo."
Jovian jadi tambah bersalah karena membuat Nacita jadi ikut sedih. Yang dia bilang memang benar, hidup Nacita jauh lebih sulit. Ia tidak mau mengingat-ingat itu.
"Ya udah kalau kamu mau mati. Nggak usah pakai surat wasiat. Coba aja celupin wajahmu ke bak mandi buat percobaan untuk mati."
"Kok kamu nggak larang aku buat mati sih?"
"Kamu mau mati itu cuma buat cari perhatian aja? Ngarang-ngarang gitu biar orang lain takut?"
"Enggak sih."
"Ya udah. Jadi ngapain aku larang. Niat untuk hidup itu harus dari diri sendiri. Kalau orang lain yang paksa, pasti jadinya nggak bahagia. Ingat ya, kalau kamu fokus sama masalahmu, kamu nggak akan bisa lihat berkat yang sudah jadi milikmu."
Jovian menuruti saran Nacita, mencelupkan muka di bak mandi. Tapi ia segera menarik wajahnya ke permukaan, napasnya sesak, ia kesulitan bernapas. Untung tidak sampai mati, itu hal yang dia ingat kala itu. Kalau dipikir-pikir saat ini, itu merupakan tindakan bodoh. Mungkin bunuh diri itu harus dengan bantuan orang lain.
Jovian tersenyum mengingat masa lalunya. Masalahnya tidak seberapa tapi cara berpikirnya saat itu sungguh kekanak-kanakan. Untung saja kejadian itu hanya dia dan Nacita yang tahu selain Tuhan. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana jadinya jika hal itu diketahui orang lain.
Ibu tirinya juga masih baik padanya buktinya malam ini Tante Clara memasak hidangan kesukaan Jovian, ayam goreng lengkuas. Hanya saja Jovian malu mengubah sikapnya. Nanti dikira ia tidak konsisten atau jika ia berubah ibu tirinya juga akan berubah menjadi jahat seperti yang di sinetron-sinetron.
Ia tidak tahu sampai kapan ia akan begini terus. Jovian memutuskan menghidupkan laptopnya. Mencoba mengedit video dengan aplikasi. Ia dulu suka merekam kegiatannya bersama mamanya. Ia bersyukur setidaknya ia punya kenangan manis saat bersama orang yang ia kasihi. Walaupun sekarang ia tidak tahu di mana wanita itu berada namun ia selalu mendoakan agar mamanya baik-baik saja.
Stevia baru saja merebahkan diri di tempat tidurnya setelah selesai membaca pelajaran untuk besok. Sudah menjadi kebiasaannya untuk mempersiapkan segala sesuatu dengan baik. Bahkan jika ada PR beberapa hari ke depan, ia sengaja menyelesaikannya secepat mungkin agar pekerjaannya tidak menumpuk.Saat ia hendak mengambil alat-alat perawatan wajah dan kulit yang selalu ia pakai setiap hari, handphonenya berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk.Nama kontak yang tertera adalah Leonard."Halo!""Halo Via!"Berbeda dengan kebanyakan orang yang memanggilnya Stev atau Stevi, pemuda itu punya sebutan khusus. Stevia curiga jangan-jangan namanya di kontak Leonard adalah Via Vallen. Tapi sepertinya tidak mungkin."Kamu lagi ngapain?"Sejak zaman VOC masih ada di Indonesia sepertinya pertanyaan itu yang selalu diajukan seseorang untuk memulai percakapan. Seperti yang baru saja Le
Ia merasa detak jantungnya bisa terdengar dari jarak 5 meter saking kencangnya. Nacita kini semakin mendekat ke arahnya. Namun, setelah sampai di depan Stevia, gadis itu malah segera masuk tanpa berkata apa-apa. Stevia kecewa, baginya lebih baik mendengar celotehan atau bahkan kemarahan Nacita ketimbang dicuekin begini. Gadis itu seperti kehilangan pita suara saat bertemu dengan Stevia."Nacita, sapa temanmu dulu! Kamu seperti tidak punya sopan-santun."Yang ditegur malah duduk santai di kursi seolah tidak mendengar ucapan neneknya."Maaf ya, nak Stevia! Nacita memang sering begjtu.""Nggak apa-apa, nek. Stevia pulang dulu ya. Hari sudah mulai gelap."Jovian ternyata belum pulang, ia masih berdiri di dekat sepeda motornya. Saat Stevia hendak mengayuh sepedanya, pemuda itu mengeluarkan suara."Hati-hati ya!"Stevia mengangguk sambil tersenyum. Entah mengapa
"Jadi aku harus nunggu setengah jam ya, pak? Oke. Terima kasih!"Stevia menutup telepon dengan lemas. Sebuah pemberitahuan yang tidak menyenangkan, ia tidak bisa langsung dijemput karena ada masalah pada mobilnya. Sekolah sudah mulai sepi karena bel terakhir berbunyi sepuluh menit yang lalu.Stevia kini duduk di kursi yang dekat dengan tempat parkir. Enggan rasanya menuju kantin, toh ia tidak lapar ataupun haus. Hanya saja seperti yang semua orang rasakan, menunggu itu benar-benar tidak mengasyikkan. Solusi terbaik adalah berselancar di internet. Tiba-tiba ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah tidak asing lagi baginya."Kenapa belum pulang?"Ternyata Jovian. Pemuda itu kini duduk di sebelahnya."Mobil jemputanku lagi ada masalah jadi mesti ke bengkel dulu. Omong-omong Nacita mana?""Kami udah kayak kembar siam ya? Kalau pisah langsung pada ditanyain orang-orang."
Rekaman telepon itu sudah dimatikan namun Nacita masih tetap bungkam. Ia tampak menimbang-nimbang dan menganalisis apakah kata-kata Stevia benar."Direspon kek. Ini malah diam aja."Nacita menoleh ke arah Jovian lalu tersenyum."Dijawab woi bukan disuruh senyum!""Berisik amat sih! Apa benar gitu ya, Ojon?""Kenapa? Ragu? Kayaknya Stevia benar deh ini ulah Leonard.""Tapi kenapa dia gitu ya?""Naksir kali sama Stevia. Kamu nggak dengar tadi di rekaman itu dia bilang mereka sering komunikasi lewat media sosial?""Naksir kok nggak bilang langsung ya? Aneh! Biasanya cewek yang susah dimengerti. Ini malah kebalikannya.""Mungkin dia berjiwa cewek. Hahaha ... "Nacita ikut tertawa mendengar ucapan Jovian. Tiba-tiba dua botol minuman dingin diletakkan di dekat kursi mereka."Minum dulu, jangan ngobrol-ngobrol aja!""Hai Stev! Mantap banget nih, mumpung lagi panas kayaknya sore nanti ujan. Makasih ya!" Jovian lan
Jovian baru saja membeli tiga botol air mineral dingin untuk Stevia, Nacita, dan dirinya sendiri. Cuaca sore ini memang cukup panas. Kini ia sudah tiba di tempat mereka berkumpul. Kedua gadis itu sedang merebahkan diri di atas tikar piknik yang dibawa oleh Stevia dari rumahnya. Di bawah sebatang pohon yang rimbun. Jovian mengambil handphonenya dari saku celananya dan segera memotret mereka. Hasilnya cukup bagus karena kedua gadis itu sepertinya tidak sadar sedang difoto."Enak banget ya rebahan di bawah pohon? Sedangkan aku harus beli minuman." kata Jovian pada mereka yang kini sudah mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk."Nggak ikhlas banget sih!" seru Nacita.Stevia menerima sebotol minuman sambil mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum menyaksikan perdebatan kedua sahabat itu."Oh ya aku tadi ambil foto kalian yang lagi rebahan. Bagus lho!"Nacita dan Stevia langsung melirik ke layar handphone Jovian."Betul banget. Ini sih keren!" ucap S
Tiba di sekolah lebih awal adalah hal yang bagus. Pikiran jauh lebih siap untuk mengikuti pelajaran yang akan dimulai. Bagi Jovian ada alasan lain lagi. Tentu saja agar ia bisa keluar rumah lebih dulu ketimbang papanya. Ia tidak ingin momen awkward terjadi saat bersama ibu tirinya jika papanya lebih dulu pergi.Jovian tiba lima belas menit sebelum bel apel pagi berbunyi. Saat ia baru selesai memarkirkan sepeda motornya, ia melihat seorang siswi berjalan cepat ke arahnya. Jovian menebak gadis berbando kuning itu sama-sama kelas X seperti dirinya. Mungkin salah satu murid kelas sebelah. Gadis itu terengah-engah ketika tiba di depan Jovian."Ada kabar buruk Jo. Tentang Nacita." kata gadis itu dengan napas yang masih tidak teratur.Jovian tentu saja kaget."Kabar buruk apa?" tanya Jovian tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya."Sebelum aku kasih tahu, follback instagramku dulu dong!"Saat itu Jovian ingin segera lari meninggalkan siswi
Nacita memandangi handphone tua miliknya dengan perasaan bimbang. Sejak insiden donatnya dirampas dan diinjak-injak hingga saat ini, ia belum juga berbicara dengan Stevia. Gadis itu sepertinya benar-benar marah atas ucapannya yang tanpa dipikir waktu itu. Biasanya Stevia-lah yang terlebih dahulu memulai pembicaraan. Namun, kali ini sepertinya pemilik wajah dengan lesung pipi itu sudah bosan.Nacita malu sekaligus ragu. Sudah lama ia tidak punya sahabat selain Jovian. Dan bisa dibilang ia tidak pernah saling mendiamkan walaupun mereka sering sekali berdebat dan mengejek satu sama lain. Akhirnya ia bulatkan tekad sebelum masalahnya menjadi semakin rumit.Ia menekan tombol panggilan setelah nama Stevia muncul di kontaknya. Nacita mengembuskan napas lega karena terdengar suara dering dari handphonenya. Itu berarti gadis itu tidak memblokir nomornya."Halo!""Halo Stevia. Lagi sibuk?""Enggak, kok.""Boleh bicara sebentar?""Boleh. Mau ngomong ap
"Hahaha... Hahaha... "Itu suara tawa Nacita dan Jovian, lain hal dengan Stevia yang cemberut melihat reaksi mereka."Kalian ngetawain aku ya?" tanyanya kesal."Bukan. Kami ngetawain kakak-kakak kelas itu." jawab Jovian spontan karena tidak enak melihat ekspresi Stevia yang membuat hati iba.Beberapa menit yang lalu Stevia baru saja menceritakan apa yang ia alami kemarin saat istirahat pertama di sekolah. Siswi-siswi yang mendatanginya dengan wajah penuh amarah itu sebenarnya tidak semuanya punya urusan dengan dia. Hanya satu di antara mereka, Stevia tidak tahu namanya karena ia tidak sempat melihat papan nama di seragam sekolah gadis itu.Ia marah pada Stevia karena tidak suka postingan instagram Stevia disukai dan dikomentari oleh kekasihnya. Ia juga bilang ia muak dengan Stevia yang sok cantik di sekolah padahal masih kelas X. Tentu saja kenyataannya tidak seperti itu. Stevia merasa dirinya biasa-biasa saja, ia tidak pernah merasa lebih cantik daripa