Share

Mungkinkah?

"Jadi aku harus nunggu setengah jam ya, pak? Oke. Terima kasih!"

Stevia menutup telepon dengan lemas. Sebuah pemberitahuan yang tidak menyenangkan, ia tidak bisa langsung dijemput karena ada masalah pada mobilnya. Sekolah sudah mulai sepi karena bel terakhir berbunyi sepuluh menit yang lalu.

Stevia kini duduk di kursi yang dekat dengan tempat parkir. Enggan rasanya menuju kantin, toh ia tidak lapar ataupun haus. Hanya saja seperti yang semua orang rasakan, menunggu itu benar-benar tidak mengasyikkan. Solusi terbaik adalah berselancar di internet. Tiba-tiba ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah tidak asing lagi baginya.

"Kenapa belum pulang?"

Ternyata Jovian. Pemuda itu kini duduk di sebelahnya.

"Mobil jemputanku lagi ada masalah jadi mesti ke bengkel dulu. Omong-omong Nacita mana?"

"Kami udah kayak kembar siam ya? Kalau pisah langsung pada ditanyain orang-orang."

"Hahaha ... Saking akrabnya jadi tak terpisahkan."

"Dia nginap di rumah Bu Endah, salah satu ibu kantin di sekolah. Besok ada arisan di rumahnya. Nacita bantuin masak. Udah kayak koki dia."

"Oh gitu. Mumpung besok hari minggu ya. Mantap juga tuh anak tiap hari ada job-nya."

"Ya. Dia wanita karir."

Mereka berdua tertawa. Stevia senang Jovian mau mengajaknya ngobrol. Karena ia perhatikan, pemuda itu sepertinya hanya mau berbicara dengan anak lelaki kecuali Nacita. Sebuah perkembangan yang bagus yang dirasakan Stevia.

"Via, kok kamu belum pulang?"

Sungguh Stevia kaget karena Leonard mau menyapanya siang ini. Ada apa dengan Leonard yang biasanya sok tidak mengenalinya ketika bertemu langsung. Mungkin kejadian itu sudah layak masuk museum rekor Indonesia. Stevia lalu menjelaskan alasannya dan berharap pemuda itu segera pergi. Nyatanya ia malah menawarkan tumpangan.

"Atau pulang bareng aku aja gimana? Daripada kamu kelamaan nunggu."

Leonard lalu melirik Jovian. Yang dilirik malah tidak peduli. Keduanya sama-sama tidak mau saling berkenalan dan Stevia malas mengenalkan mereka berdua. Stevia bingung mencari alasan untuk menolak tawaran Leonard. Namun akhirnya ia tersenyum.

"Kamu kan cuma punya satu helm."

Stevia melihat perubahan mimik wajah Leonard. Ia sepertinya tidak senang.

"Jadi kamu mau pulang sekarang? Aku ada dua helm. Mau pulang bareng?"

Yeay ... Stevia ingin bersorak kegirangan namun ia urungkan. Ia hanya mengangguk pada Jovian dan menerima helm berwarna hijau itu dengan semangat. Setelah duduk di jok belakang dan sepeda motor itu melaju, Stevia melambaikan tangan pada Leonard.

Stevia tidak perlu memberitahukan alamat rumahnya karena beberapa hari yang lalu pemuda itu mengantarkan pulang saat ia lupa membawa handphone ke rumah Nacita. Tapi Stevia bingung, jalan yang mereka lalui tidak menuju ke arah rumahnya. Pertanyaannya terjawab saat sepeda motor itu berhenti di sebuah warung sederhana.

"Kita makan dulu ya. Nggak apa-apa kan?"

"Siap. Ke mana sopir pergi, penumpang wajib ikut."

Stevia langsung masuk dan duduk di kursi dekat kasir. Udara semakin panas karena warung ini sedang ramai. Hampir tidak ada tempat duduk yang kosong kecuali yang ia pakai saat ini dan satu lagi di sebelahnya. Sengaja ia letakkan tas sekolahnya di sana agar tidak direbut orang yang akan datang setelah mereka.

"Panas banget ya. Maaf ya ngajak kamu ke sini bukannya di restoran mewah. Di sini nggak ada AC-nya. Angin cepoi-cepoi juga nggak ada yang lewat."

"Nggak apa-apa. Padat banget sih jadi tambah panas. Kayaknya makanan di sini enak ya? Emang ada menu apa aja?"

"Cuma bakso sama miso."

"Hah?"

Jovian tak langsung menjawab karena pesanan mereka sudah datang.

"Aku pesan bakso dua porsi. Kamu suka bakso kan, nggak alergi?"

"Kayaknya nggak ada yang alergi bakso deh. Doyan malah."

Mereka mulai menikmati makanan yang menggugah selera itu sambil bercakap-cakap. 

"Gimana enak kan? Aku udah lama nggak ke sini padahal ini warung bakso kesukaanku."

"Ya enak banget. Nggak ada tandingan kayaknya."

Jovian tersenyum lebar. Stevia belum pernah melihat pemuda itu tersenyum semanis itu. Stevia menggelengkan kepala dengan perkataan dalam hatinya barusan. Mungkin karena bakso ini ia jadi merasa seperti itu.

"Aku mau nanya, boleh ya. Aku dengar dari Nenek Miriam kamu katanya punya ibu tiri ya? Mama kamu emangnya ke mana?"

"Bisa nanyanya lain kali aja, Stev? Aku lagi laper banget nih."

Intonasi suara Jovian memang tidak berubah hanya saja raut wajahnya sedikit berbeda. Stevia memaki diri sendiri dalam hati.

     ***

"Hai ma, Stevia pulang!"

Ia menyapa mamanya dengan semangat. Namun ekspresi wanita yang ia sapa malah kelihatan tidak senang.

"Stevia kamu sudah berapa kali pulang terlambat?"

"Baru tiga kali, ma. Lagian kan Stevia nggak pulang malam dan sampai rumah dengan keadaan baik-baik saja."

"Sejak kamu bergaul sama Nacita kamu jadi pintar menjawab ya? Kamu cukup minta maaf. Ini malah kasih alasan."

"Mama kenapa sih? Ada yang aneh deh. Mama nggak suka sama Nacita ya?"

"Bukan gitu. Mama nggak mau kamu kenapa-napa. Saran mama kamu kurangilah bergaul dengan Nacita dan kawan cowoknya itu si ..."

"Jovian, ma."

"Nah itu. Mungkin mereka bukan teman yang baik buat kamu."

"Stevia mandi dulu ya ma. Sudah hampir malam nih."

Mamanya geleng-geleng kepala karena sebenarnya ia belum selesai bicara.

***

"Aku masih heran kamu bisa ngajak Stevia makan sabtu lalu. Kemarin kutanya di depan Stevia, kamu nggak jawab dengan jelas."

"Emang kenapa sih. Aku lagi lapar sedangkan rumah Stevia masih jauh. Ya udah sekalian aku ajak."

"Mencurigakan!"

"Kenapa? Cemburu karena nggak kuajak?"

"Ih apaan sih?"

"Kapan-kapan kita makan di situ kalau perlu abang-abang pelayannya bisa kamu bawa pulang."

"Emangnya kerupuk?"

Tawa Jovian terhenti saat melihat Leonard berjalan ke arah mereka. Apa ada hubungannya dengan Stevia makanya pemuda itu menghampiri mereka?

"Hai, Nacita. Boleh bicara sebentar? Tapi kita berdua aja?"

Nacita mengangguk lalu Jovian beranjak pergi dari tempat biasa mereka nongkrong saat jam istirahat sekolah.

"Oh ya aku Leonard teman sekelas Stevia."

"Ada perlu apa?"

"Kemarin Stevia cerita lewat telepon. Mamanya bilang lebih baik kalian nggak usah akrab lagi karena Stevia jadi sering pulang terlambat sehabis dari rumahmu."

Nacita mengernyitkan dahi mendengar ucapan Leonard. Ia ragu apa kata-kata pemuda di depannya ini benar atau tidak. Namun kalimat selanjutnya membuat ia terhenyak, 

"Karena dia sayang sama mamanya, menurut dia saran itu bagus. Lagian nggak ada yang dirugikan kan. Kalian baru kenal sebentar. Belum lagi beberapa minggu lagi kita mau ujian semester ganjil. 

Biar fokus belajar lebih baik kalian nggak usah ketemu setelah jam sekolah. Dia sih bilang gitu. Stevia ragu buat nemuin kamu atau kasih tahu lewat telepon. Jadi dia minta tolong aku buat kasih tahu ke kamu karena kami akrab di sekolah dan sosial media."

Perasaannya hancur berantakan bagai guci yang pecah. Rasanya baru kemarin ia bertemu gadis itu dan semuanya masih baik-baik saja. Belum sampai 24 jam situasi malah berubah sedramatis ini. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, ia mendengarnya dari orang lain, bukan dari si empunya urusan. Nacita bahkan tidak sadar saat Leonard permisi dan pergi meninggalkannya.

***

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk mohon ..."

Stevia langsung mematikan sambungan telepon sebelum operator seluler selesai mengucapkan kata-kata yang biasa terdengar jika seseorang sengaja mematikan panggilan telepon. Sudah lima kali ia mencoba menelepon Nacita, namun gadis itu tidak juga mengangkat teleponnya.

Sejak mengenal Nacita, ia belum pernah menelepon gadis itu. Tapi malam ini Stevia menghubunginya karena sejak kemarin Nacita tampak menghindarinya. Saat disapa, gadis itu pergi tanpa menoleh ke arahnya. Stevia takut ada kesalahan yang ia buat secara tidak sengaja. Saat ia mencoba mengingat-ingat sepertinya semua baik-baik saja. Bahkan kemarin pagi selesai upacara, Nacita masih tersenyum kepadanya. Stevia curiga jangan-jangan Nacita punya kepribadian ganda yang bisa berubah-ubah tanpa ia sadari.

Semangat Stevia untuk mempersiapkan pelajaran malam ini menguap begitu saja. Di pikirannya masih mencari-cari jawaban atas tingkah Nacita yang kembali aneh. Jawabannya pasti ada tapi ia enggan untuk bertanya pada orang itu. Namun demi memecahkan rasa penasarannya, ia beranikan diri untuk menelepon seseorang.

Sambungan telepon terdengar namun hingga nada tunggu berakhir, pemuda itu tidak juga mengangkat teleponnya. Stevia khawatir mungkin saja Jovian masih marah padanya karena pertanyaannya sabtu lalu saat diajak makan. Hari minggu saat ia ke rumah Nacita, pemuda itu juga tidak banyak berbicara padanya. Apa itu ada hubungannya dengan perubahan sikap Nacita. Kenapa semuanya jadi serumit ini? 

Stevia bisa bernapas lega karena akhirnya Jovian menjawab telepon darinya. 

"Halo Stev. Ada apa?"

"Hai Jo. Syukurlah kamu angkat. Aku pikir kamu sudah tidur. Maaf mengganggu ya."

"Nggak masalah. Ada yang bisa dibantu?"

"Aku cuma mau nanya, Nacita kenapa ya?"

"Kok kamu malah nanya balik. Kamu yang kenapa?"

"Loh kok aku? Aku biasa-biasa aja kok."

"Bukannya kamu yang bilang kalau kita nggak usah temenan?"

"Kamu ngomong apa sih?"

"Setahuku kamu bilang gitu ke Nacita tapi pake perantara. Ngomong langsung aja apa susahnya sih?"

"Ini maksudnya gimana aku nggak paham. Pake perantara?"

"Aku jadi bingung. Bukannya kamu yang suruh Leonard untuk bilang kalau kamu dan Nacita dan juga aku nggak usah ketemu di luar jam sekolah karena mama kamu nggak suka?"

"Hei aku nggak pernah bilang gitu. Aku malah nggak pernah ngobrol sama Leonard kalau di sekolah kecuali sabtu lalu waktu aku bareng kamu di tempat parkir. Dan lewat sosial media aja."

Sebenarnya Stevia malu mengatakan fakta ini. Tapi tidak masalah asalkan hubungannya dengan Nacita dan Jovian bisa terus berlanjut.

"Astaga jadi ini salah paham doang? Tapi Leonard kok bisa ngomong gitu ya?"

Stevia makin bingung dengan keadaan ini. Memang saat mamanya menegur dia karena pulang terlambat hari minggu itu, ia memberitahu Leonard karena malu menelpon Jovian dan tidak mungkin memberitahukan hal itu pada Nacita. Apa sebenarnya maksud Leonard? Kalau dia telepon pasti pemuda itu makin senang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status