Share

Kompor

Jovian baru saja membeli tiga botol air mineral dingin untuk Stevia, Nacita, dan dirinya sendiri. Cuaca sore ini memang cukup panas. Kini ia sudah tiba di tempat mereka berkumpul. Kedua gadis itu sedang merebahkan diri di atas tikar piknik yang dibawa oleh Stevia dari rumahnya. Di bawah sebatang pohon yang rimbun. Jovian mengambil handphonenya dari saku celananya dan segera memotret mereka. Hasilnya cukup bagus karena kedua gadis itu sepertinya tidak sadar sedang difoto.

"Enak banget ya rebahan di bawah pohon? Sedangkan aku harus beli minuman." kata Jovian pada mereka yang kini sudah mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk.

"Nggak ikhlas banget sih!" seru Nacita.

Stevia menerima sebotol minuman sambil mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum menyaksikan perdebatan kedua sahabat itu.

"Oh ya aku tadi ambil foto kalian yang lagi rebahan. Bagus lho!"

Nacita dan Stevia langsung melirik ke layar handphone Jovian.

"Betul banget. Ini sih keren!" ucap Stevia senang. "Kamu berbakat ya di bagian foto."

"Kalau dibilang berbakat sih enggak juga. Hanya sering digunakan aja sih. Lama-lama terbiasa."

Stevia mengangkat Jempolnya kepada Jovian.

"Mau kasih tahu rahasia apa sih sampai harus kumpul di sini? Padahal di sekolah kan bisa." ucap Nacita merusak suasana.

"Enggak sabaran amat sih, neng! Emang Stevia nggak tahu juga tentang ini? Mama kamu nggak kasih info?" Jovian balik bertanya.

"Info apa sih?" tanya Stevia penasaran.

"Jadi kemarin aku kan ke rumah kamu selagi kamu les matematika."

Jovian lalu menceritakan semua hal yang terjadi kemarin. Nacita dan Stevia sampai terheran-heran karena tidak menyangka Jovian akan senekat itu. 

"Mamaku belum ada cerita sih. Mungkin karena semalam beliau sibuk."

Itu respons Stevia sedangkan Nacita memberikan reaksi yang berbeda. 

"Tumben seorang Jovian berani menemui orang yang belum dia kenal. Sendiri pula? Jangan-jangan kamu ngarang cerita."

Jovian mendadak lemas. Kata-kata Nacita tidak sesuai dengan harapan. Anak itu selalu melihat sesuatu dari segi yang lain.

"Enggak percaya banget sama aku. Ngapain aku bohong?"

"Kamu gerak cepat juga ya, Jo. Aku masih enggan untuk berpikir. Tiba-tiba masalahnya udah selesai gitu aja. Kamu hebat!"

Jovian tersenyum kepada Stevia. Lalu ia melihat Nacita dengan ekspresi harusnya-kamu-tiru-reaksi-Stevia-bukan-malah-nggak-percayaan. Nacita langsung buat muka.

"Karena masalah kecil harus segera diselesaikan sebelum membesar dan menjadi semakin sulit untuk diatasi."

Stevia mengangguk. Lain halnya dengan Nacita yang kelihatan sedang berpikir serius. Tiba-tiba ia bertanya, 

"Omong-omong, beneran kamu nggak bisa masak?" tanya Nacita pada Stevia. Sebuah pertanyaan yang sejak tadi ingin ia ajukan tapi malah tertunda akibat tercengang dengan cara Jovian yang ia akui cukup berani.

"Hahaha ... begitulah. Aneh ya?"

"Enggak sih. Aku jadi sadar setiap orang punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Seperti kemampuan memasak yang aku punya. Stevia punya kemampuan make up dan jadi foto model. Sedangkan Ojon punya kemampuan ngelawak tapi nggak lucu alias jayus."

Jovian melotot tapi seketika ia teringat sesuatu. 

"Tante Audita alias mamanya Stevia juga jayus sih kayak aku."

Kini giliran Stevia yang melotot kepada Jovian yang tiba-tiba meringis karena dicubit oleh Nacita.

***

Nacita berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh ke ruang tamu. Ada ayahnya di sana sedang duduk sembari menikmati segelas kopi. Ia sebenarnya mendengar pria itu memanggil namanya tapi ia pura-pura tidak peduli. Namun akhirnya ia berhenti dan berbalik arah.

"Duduk dulu, nak. Ayah mau bicara sebentar sama kamu."

Nacita tidak menjawab ucapan ayahnya. Ia hanya duduk di kursi plastik dengan pikiran yang entah ke mana.

"Wajahmu tidak pernah gembira saat bersama ayah. Tadi ayah perhatikan sebelum kamu masuk rumah, kamu bahagia."

Lagi-lagi Nacita tetap bungkam. Ingin sekali ia segera lari dari percakapan yang tiada gunanya ini.

"Oh ya, ayah ada sedikit uang buat kamu. Buat beli peralatan sekolah."

Ayahnya menarik beberapa lembar uang lima puluh ribuan dari saku celananya. Lalu menyodorkannya pada Nacita.

"Ayah simpan saja uang itu untuk ayah sendiri. Nacita nggak mau pakai uang hasil judi."

"Ini hasil kerja ayah bukan dari judi."

Nacita tahu ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan. Sering pulang malam dengan aroma napas bau alkohol. Hasil kerja kerasnya sering kali habis untuk berjudi.

"Nacita tetap nggak mau terima uang dari ayah. Ibu pergi karena kelakuan ayah. Dan tidak juga kembali juga pasti karena tidak ingin melihat ayah lagi."

Nacita segera berlari ke kamarnya. Dia marah pada ayahnya, ibunya, dan pada dirinya sendiri. Tidak seharusnya dia berkata begitu pada orang tuanya. Luka di hatinya selalu ia tutupi tapi sebenarnya itu yang membuatnya sukar sembuh. Ia tidak terima dengan kenyataan tapi tidak berani untuk sekadar mengungkapkan apa yang dia rasakan pada orang lain. 

Ia terduduk di pintu kamarnya yang baru saja ia tutup dengan kasar. Setelah sekian lama ia berjanji untuk tidak menangis karena keadaan yang dialaminya, hari ini dia mengingkari apa yang telah ia ikrarkan. 

Sedangkan di ruang tamu, Nenek Miriam berupaya menghibur putranya dan menerima uang yang ditolak Nacita untuk dia simpan. Karena jika tidak dalam beberapa saat lembaran-lembaran itu bisa segera sirna tak berbekas.

***

Seperti janji mereka minggu lalu, hari ini adalah episode perdana Nacita akan mengajari Stevia memasak. Setelah berembuk, mereka memutuskan rumah Jovian sebagai lokasi yang cocok untuk proses kursus tanpa sertifikat ini. Stevia turun dari mobil setelah terlebih dulu mengucapkan terima kasih pada supir yang selalu setia mengantarnya ke mana pun diminta.

Stevia memerhatikan rumah Jovian dengan antusias. Kediaman pemuda itu tidak terlalu besar tapi menampilkan kesan asri. Bunga-bunga beraneka jenis dan warna tampak memamerkan keindahannya. Rumput-rumput dipotong rapi, tidak ada sampah yang berserakan, dan semua tertata dengan baik. 

Pintu pagar hanya ditutup tanpa gembok. Stevia berulang-ulang memanggil nama Jovian dan tidak ada respon. Tombol untuk menekan bel juga tidak ada. Stevia memutuskan membuka gerbang dan berjalan masuk. Pintu depan rumah itu pun tampak tertutup. Stevia segera menekan bel yang tersedia di tembok. Tidak lama kemudian seorang wanita dengan postur tubuh yang indah membukakan pintu.

"Halo tante. Saya Stevia temannya Jovian." sapa Stevia dengan bersemangat.

"Oh nak Stevia. Mari silakan masuk! Jovian dan Nacita sudah menunggu di dapur."

Stevia mengangguk dan mengikuti wanita itu ke dalam rumah.

"Tante belum sebut nama ya. Nama tante Clara. Kamu teman barunya Jovian ya? Soalnya tante tidak pernah bertemu dengan kamu sebelumnya."

"Betul sekali, tante. Senang berkenalan dengan tante."

Mereka hampir sampai di dapur karena terdengar suara dua makhluk yang Stevia hafal sekali nada berbicara mereka. Tante Clara permisi dan menyuruh Stevia untuk menemui kedua orang itu sendiri. Saat tiba di dapur, Stevia melihat Jovian mengacak rambut Nacita yang sedang duduk di sampingnya. Mereka terlihat bahagia sekali. Ia tidak ingin mengeluarkan suara karena takut mengganggu. Tapi saat berjalan, kelingking kakinya terantuk ujung tembok. Seketika ia meringis.

"Kenapa Stev?" Jovian segera menghampiri Stevia.

"Enggak apa-apa kok, kelingkingku kepentok."

"Sering terjadi tuh. Aku jadi mau bikin AKKSI" celetuk Nacita. 

"Apa itu?" tanya Jovian dan Stevia berbarengan. Mereka akhirnya tertawa. 

"Kompak banget sih kayak paduan suara. AKKSI itu asosiasi kelingking kepentok seluruh Indonesia."

"Jawabanmu diluar ekspektasi." ujar Jovian kesal. Sedangkan Stevia tertawa kecil.

"Omong-omong, mama kamu ramah ya Jo. Cantik pula."

Nacita mengangguk sambil menambahkan, "Jovian ini yang kayaknya ada masalah dengan penglihatannya. Tante Clara itu baik banget, dia masih aja jaga jarak. Udah kayak nanam jagung aja mesti pakai jarak."

"Jadi kapan mulai masak-masaknya nih?"

"Kebiasaan! Selalu mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin tersudut." ucap Nacita. Kali ini Stevia tersenyum.

"Pelajaran pertama kita kali ini menghidupkan kompor."

"Hah!" Lagi-lagi Jovian dan Stevia mengucapkan kata yang sama dengan waktu bersamaan. Stevia langsung buang muka karena malu.

"Kenapa hah? Emangnya aneh? Kan itu adalah satu hal yang penting. Kalau kompornya nggak nyala, mana bisa masak. Emangnya bisa masak pakai api cemburu?"

Kata-kata Nacita sukses membuat dua orang di depannya tertawa terbahak-bahak. Mau tidak mau Nacita juga ikut tertawa.

"Tapi benar juga sih kata Nacita. Kompor adalah hardware penting dalam memasak." kata Jovian.

"Hardware? Anda pikir ini komputer. Sebenarnya kompor bukan satu-satunya. Kan bisa pakai tungku kayu bakar, api unggun, atau api asmara. Yang terakhir bohong. Hahaha ..."

Stevia dan Jovian pura-pura tidak mendengar.

"Kamu bisa nyalain kompor kan Stevia?"

"Enggak. Lebih ke arah enggak pernah coba sih." Stevia spontan menjawab.

"Tuh kan apa kubilang. Pelajaran level satu ini tidak pernah ada dalam bagian kurikulum kursus memasak." ujar Nacita seolah ia adalah guru les memasak yang andal dan punya jam terbang tinggi.

Jovian sejak tadi merekam kejadian demi kejadian dengan saksama. Kameranya diletakkan di tripod agak ia tidak perlu capek-capek memegang benda itu. 

"Terkadang aku heran kenapa hal-hal kecil bahkan aneh diberitakan dengan heboh oleh media. Biasanya oknumnya adalah para selebritis."

Jovian dan Stevia saling berpandangan karena tidak paham ke mana arah pembicaraan Nacita.

"Ada artis yang tidak bisa ngupas salak lalu diekspos seolah itu bagian dari keajaiban dunia. Ada artis yang nggak bisa nyalain kompor, diberitakan juga. Berlebihan nggak sih?"

Stevia dan Jovian mengangguk sambil tertawa mendengar ucapan Nacita.

"Aku aja yang bisa bikin bom molotov nggak pernah tuh ditayangin di tv."

Tiba-tiba Jovian menarik tangan Stevia. Tentu saja gadis itu kaget.

"Ayo kita pergi! Sebentar lagi wartawan datang ke sini beserta pasukan dari Densus 88. Aku udah rekam videonya. Ternyata teman kita selama ini sudah menjadi bagian dari jaringan teroris."

Sontak hal itu membuat Stevia dan Nacita tertawa. Kata-kata dan ekspresi Jovian sungguh menggelikan.

"Tapi yang dibilang Jovian benar juga sih." ucap Nacita setelah berhasil menghentikan tawanya.

"Benar kamu bagian dari jaringan teroris?"

Nacita melotot sedangkan Stevia masih tetap tertawa. 

"Benar bisa ditangkap petugas kalau bikin bom. Maaf pemirsa tadi hanya intermeso! Itu cuma buat perbandingan, kalau orang-orang biasa kayak kita, nggak akan dipedulikan orang-orang sedangkan artis-artis sejuta sensasi bikin hal-hal remeh aja kisahnya dianggap menarik oleh khayalak ramai."

"Betul banget, Na. Eh jadi praktik nggak nih?"

Nacita lalu mempersilakan Stevia menyalakan kompor dan langsung berhasil. Jovian dan Nacita bertepuk tangan seolah Stevia telah berhasil memenangkan nobel.

"Haus banget ya, nggak ada minuman nih."

Jovian langsung mengambil jus buah dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas untuk mereka bertiga.

"Aku udah kayak pembantu tahu nggak!" ujar Jovian kesal. Tapi Nacita malah tertawa.

"Oh ya, Jo. Foto minggu lalu belum kamu kirim juga."

"Wah aku lupa. Sekarang aku kirim deh fotomu dan nona yang suka nyuruh-nyuruh ini."

Stevia mengucapkan terima kasih dengan senyum terkembang di wajahnya saat melihat foto itu sudah ada di ponselnya.

"Aku unggah ke instagram, ah. Omong-omong nama instagram Nacita apa ya?"

"Boro-boro punya instagram, handphonenya aja keluaran tahun jebot. Handphone kayak punya dia udah nggak ada lagi di pasaran." ledek Jovian. 

"Kalau ada yang mau belikan aku smartphone aku terima tapi pulsa sama internet tiap bulan dia juga yang nanggung."

"Mirip lintah darat nggak sih? Padahal bukan rentenir." kata Jovian. Tapi Stevia jadi punya sebuah ide menarik dalam pikirannya.

"Usai sudah sesi istirahat. Saatnya masuk ke pelajaran berikut memasang tabung gas ke kompornya."

"Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status