“Siapa yang kamu sedang dekati, Andro?” Suara bass sang Ayah menginterupsi pria muda yang tengah memasuki rumah itu.
Dia memandang sang ayah yang terlihat begitu mengintimidasi saat ini. Bukan karena apa-apa, namun pria itu tak mau melihat sosok yang paling dibencinya itu. Baru kali ini, pria yang berstatus ayahnya itu mempertanyakan keadaannya.
“Memangnya kenapa? Anda tak pernah peduli kepada saya sebelumnya,” sanggah pria itu sambil menatap tajam sang ayah yang terbilang memiliki duplikasi wajah seperti dirinya.
Dia membenci jika harus melihat wajah yang sayangnya dia tak bisa mengubah bentuk wajah yang terkutuk itu. Dia memilih untuk melewati sang Ayah tanpa harus bersikap sopan, dia sudah terbiasa melakukannya.
“Kamu boleh mendekati gadis mana pun, mau itu ningrat atau pelacur sekali pun. Namun, jangan kamu lanjutkan hubunganmu dengan gadis itu, Kejora.”
Deg!
Pria itu berbalik menatap tajam, sekilas menampilkan mata pisau tajam yang siap menebas siapa pun yang tersentuh dengan bilahnya.
Tangannya yang menggantung di sisi tubuhnya sudah mengepal kencang. Sudut-sudut bibirnya tertarik, membentuk garis bibir datar nan tipis. Matanya berkabut dengan segala rasa marah yang menumpuk.
“Bukan urusan anda saya tengah bersama siapa! Anda pun dari dulu tak pernah memperhatikan saya!” teriak pria itu lantang dan penuh dendam yang membara.
“Dia adalah adikmu, Andromeda!!” Pria dengan gurat-gurat wajah yang menunjukkan usia menua itu membalas dengan bentakan kepada putranya.
DEG!
***
Grep!
“Hah!!! Hah!!!” Napas seorang gadis yang baru saja terbangun dari mimpi buruknya itu begitu kencang menghempas partikel udara lainnya.
Tubuhnya terguncang seiring dengan kucuran keringat yang mengalir deras, terproduksi dari permukaan sel-sel kulitnya saat ini. AC semakin menghembuskan udara dingin ke arahnya, namun tetap saja tak menghilangkan getaran ketakutan yang ada di tubuhnya.
Drrttt ... drrt ...
Ponsel miliknya sudah bergetar di atas nakas, menampilkan nyala cahaya latar yang berkedip-kedip. Lantas gadis itu menyisipkan jarinya ke dalam helaian rambut tebal miliknya. Menarik dan menyisirnya sebentar, lantas mengambil ponsel miliknya.
Terlihat satu nama kontak yang tertampilkan. Mama.
Ibu jarinya bergerak ke kanan, menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga kirinya.
“Halo, Ma ... ada apa?” tanyanya sambil bangkit dari pembaringannya.
Sreeekkk!
Dibukanya gorden yang menghalangi cahaya untuk masuk ke dalam ruangannya itu saat ini.
“Kamu di mana? Jadi mau ke Indonesia, Jora?” tanya sang Ibu yang memiliki suara menenangkan itu.
Panggilan yang disematkan sang Ibu selalu disebut oleh wanita itu sendiri.
“Iya, Ma ... Jora jadi dong ke Bandungnya, Mama jangan suruh Jora untuk stay di sini ....”
Sejenak suasana menjadi hening. Kejora atau yang biasa dipanggil Jora oleh sang ibu itu bersedekap, berdiri mengahadap keluar jendela dan menatap sinar matahari yang lembut saat ini. Dia selalu mengagumi matahari yang tengah menampakkan dirinya di balik awan-awan putih musim salju saat ini.
“Ya sudah, Mama tak bisa juga menahan kamu di sini. Asal kamu baik-baik di sana ya?” pesan sang ibu yang mengkhawatirkan anak gadis satu-satunya itu.
Sedikit banyaknya mereka saling bertukar pesan sebelum berpisah.
Kejora sendiri sudah mengakhiri panggilannya dengan sang ibu. Dia sudah merapikan seluruh pakaian dan keperluannya untuk pindah ke Indonesia kembali. Terlahir dari keturunan Nusantara namun tinggal di Belanda selama masa hidupnya. Beberapa kali mengunjungi negara asalnya, dia memutuskan untuk tinggal di sana.
Dia menatap satu skripsinya yang sangat dia banggakan. Bagaimana dia berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana yang tak mudah di negara Eropa ini. tangannya mengusap sampul skripsi miliknya, menatap lamat-lamat judulnya dan segera memasukkannya ke dalam koper.
Suara musik mengalun merdu memenuhi ruangan flat kecil miliknya. Lagu dari band terkenal legendaris Simple Plan yang menyanyikan Welcome to My Life, yang menggambarkan suasana hatinya.
Bahkan dia ikut bernyanyi sambil terus packing sebelum benar-benar pergi dari tempat yang nyaman ini.
Semuanya akan berubah setelah ini. Mungkin dia tak akan merasakan musim dingin setiap harinya.
Jendela yang terbuka menampilkan pemandangan jalanan yang dipenuhi hamparan butiran putih menakjubkan, butiran halus, mengkristal dan sangat dingin jika bersentuhan dengan permukaan telapak tangannya.
Dihirupnya oksigen yang begitu penuh di sekelilingnya. Dingin namun ....
Kejora menggerek koper miliknya keluar dari flat miliknya saat ini. Dia lantas berbalik, menutup pintunya dan menguncinya.
“Vaarwel schat ....”1
Selamat tinggal, Sayang. (1)
Tangannya bergerak menggeret koper miliknya keluar bangunan dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil miliknya.
***
“Kamu nggak mau makan dulu Ra?” tawar Rina sambil merangkul hangat sang putrinya itu.
“Kan tadi aku sudah makan Mam ...,” kilah Kejora saat ini.
Rina hanya bisa menghela napasnya saat ini. Dia memang sudah lama tak tinggal bersama putrinya sejak putrinya itu menduduki bangku SMA. Apalagi Kejora yang tak dekat ayah tirinya yang baru dinikahi saat usia putrinya 16 tahun atau di saat Kejora duduk di bangku SMA.
“Als je daar hulp nodig hebt, vertel het dan aan papa?”2 pinta pria yang menjadi suami Rina yang berdarah Belanda itu.
Kalau ada apa-apa di sana, beritahu Ayah ya? (2)
Kejora terkekeh mendengarnya. Dia memang tak akrab dengan ayah tirinya, namun ayah tirinya itu menjadi pria yang berdiri paling depan untuknya, menolongnya dan membelanya tentu saja.
Kejora memeluk Marje, ayahnya dengan erat. Suara jenaka sang ayah selalu terdengar riang.
“Aku sayang kalian semua ... aku pergi ya?” pamitnya sambil mengecup pipi kedua orangtuanya bergantian.
Rina hanya bisa memandangi kepergian putrinya yang sudah memasuki bandara Amsterdam saat ini. Dia melepaskan kepergian Kejora dengan penuh rasa sedih.
“Tak apa-apa, nanti kita menjenguknya,” hibur Marje kepada sang istri.
***
Kejora memasuki pesawat yang bertujuan Jakarta. Akan memakan waktu 14 jam lamanya. Dia menyandarkan kepalanya dan menutup matanya dengan penuh ketenangan. Sebentar lagi, hidupnya akan berubah.
‘Tot ziens Nederlands,’3 ucap batinnya saat matanya memandang negara dimana sang ibu tinggal.
Selamat tinggal Belanda. (3)
Kehidupan Kejora terlalu biasa dan mengikuti didikan sang ibu yang berbudaya ketimuran. Dia sudah mengubur masa lalunya seiring dengan pesawat yang lepas landas. Hati dan tubuhnya akan berada di tempat baru dan membuka kenangan baru.
***
“Ini rumahnya Non ...,” ucap si sopir taksi yang mengantarnya.
“Terima kasih ya Pak?” timpal Kejora sambil memberikan ongkos kepada sopir itu.
Dia beranjak dan memasuki rumah mungil yang dibelikan oleh sang ayah. Kejora harus mengucapkan terima kasih kepada Marje, pria yang selalu baik kepadanya meski dia masih menjaga jarak saat ini. usai delapan tahun pernikahan kedua ibunya.
Segera saja Kejora mencari tempat tidur. Jetlag yang dirasakannya membuat kepalanya terasa berputar-putar dan dia memilih untuk tidur saja. Bagaimana pun juga, transportasi udara memang sangat membuat tak nyaman, saat mulai memainkan ketinggian dan tekanan.
Halo, jangan lupa untuk tinggalkan komen, vote dan tambahkan ke rak buku kalian yaaa ... ssst ... baca terus babnya, jangan setengah-setengah, biar gak kepo hihi, bye bye
Semuanya akan indah pada waktunya. Kata-kata yang selalu Kejora ingat saat dirinya bersama dengan ibunya, pergi mengunjungi sang kakek yang berada di Belanda. Saat itu juga ibunya menangis tersedu sedan, mengadu soal kehidupannya yang menyiksa di kota Utrecht, Belanda. Saat itu dirinya hanya bisa melihat tanpa memahami ucapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Yang ia tahu, kakeknya selalu begitu baik padanya dan menyayanginya sepenuh hati. Kejoraterbangun dari tidurnya, dia merasakan kepalanya begitu nyeri bukan main saat ini. “Akh!” Dia mengerang sembari memegangi kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar sampai-sampai saat bangun pun tubuhnya limbung. Kakinya menapaki lantai yang dingin, namun matanya tak sanggup terbuka. Rasanya kepalanya siap pecah dan terberai dengan gaya gravitasi yang semakin menarik tubuhnya merosot. Dia sudah tak kuat! Kejoraberusaha keluar dari rumah kecilnya,
Hal yang lumrah bagi orang yang ditolong adalah berterima kasih. Sayangnya, Kejoramalah tertidur karena terkena efek obat yang diminumnya dan Andromeda tak mau berlama-lama dan bersusah payah menunggui Kejora. Dia sudah membayar seluruh biaya yang dibutuhkan untuk wanita itu, setidaknya dia tahu bahwa nama wanita itu adalah Kejora. Cukup sampai situ saja. Karena ponselnya berdering hebat semakin cerewet, itu artinya dia benar-benar akan kembali bertengkar dengan ayahnya di kantor. Kejoratak berpikir apa-apa selama tidurnya. Dia mengerjapkan matanya kian perlahan, mencoba menyadarkan dirinya yang sudah tertidur entah berapa lama. Yang jelas, dia merasa tubuhnya sudah lebih baik untuk saat ini. Tangannya dirasa kebas, saat dia berusaha untuk duduk, saat itu juga matanya melihat tangan kanannya yang ditusuk jarum infus. Baiklah, ini tak lucu. Dia sampai diinfus begini. “Sudah bangun?” Dari samping, entah kapan so
“Ada apa?” Andro sudah disambut oleh sekretarisnya yang menghampirinya dengan terburu-buru dan wajahnya memucat. Padahal dia baru saja memarkirkan motornya di pelataran gedung perusahaan keluarganya itu. “I—itu Pak ... Pak Kelvin ada di ruangan Bapak,” ucap wanita cantik yang rapi dengan gagapnya. Sudah tak heran lagi, memang Brenda, sekretarisnya itu selalu ketakutan dengan ayahnya. Andro hanya berdecak saja, dia sudah melenggang pergi menuju ruangannya sendiri. Sekretarisnya itu mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa gugup. Siapa yang tak ketakutan jika sudah melihat dan menyaksikan secara langsung marahnya
“Yeay ... akhirnya cuti juga kita,” pekik Kania yang sudah kembali merangkul lengan milik Kejora. Gadis dengan rambut panjang yang bercat violet itu ikut tersenyum saja dan memaklumi tingkah dari sahabatnya itu. Sudah satu tahun dirinya bekerja di Nanotechnology Central Corp, milik keluarga Tanuwijaya itu. “Iya ya? Di sini bekerja rasanya tak mendapat hari libur, padahal di Belanda aku bisa cuti dua bulan loh ...,” seloroh Kejora yang menimpali ucapan Kania saat ini. Kania, wanita dengan rambut yang tergerai dan seragam yang mencolok menurut Kejora itu menyambar penuh bersemangat dengan suara melengkingnya, “kamu tuh aneh tau nggak sih, Jora?! Di sana udah enak kamu kerja nggak sesusah di sini, malah pindah ... apa yang lagi kamu cari coba?” Kania menggeleng-g
“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon. Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini. Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya. Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya. “Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah. Di tang
Kejora tak pernah tahu kalau bertemu pria bule bernama Mike ini menimbulkan efek berkepanjangan. Jelas-jelas pria itu memiliki pesona mematikan dengan mata biru dan rambut jagungnya yang dibiarkan berantakan malah menimbulkan kesan seksi yang tak terkendali saat ini. Tangannya mendadak mengeluarkan keringat dingin nan deras dan jantungnya terus berdetak hebat menyuarakan kegugupannya yang kian kencang seiring matanya menatap dalam-dalam sosok bertubuh tinggi besar tengah menuju ke arahnya sembari melemparkan senyuman mautnya. Deg! Deg! Deg! ‘Berhenti kau jantung sialan!’ maki Kejora dalam hatinya sendiri saat ini. Degupan jantungnya seolah-olah terdengar sampai keluar, dia merasa semua orang memperhatikannya dan mencuri-curi pandang ke arah Mike. Jelas saja, pria itu memang paling berbeda penampilannya di kafe ini. Batinnya tengah bergulat mencoba menghentikan rasa gugupnya, bibirnya terkaatup rapat seiring denga
Siapa yang menyangka seorang Kejora bisa terus memikirkan pria di dalam otaknya untuk saat ini? Bahkan dirinya sendiri pun tak menyangka akan bisa seperti ini, terperangkap dengan sosok Mike yang satu minggu lalu ditemuinya. “Kejora, kamu bisa ikut saya rapat ke perusahaan Angkasa Jaya?” ajak atasan Kejora yang merupakan direktur keuangan di sana. Deg! Srekkk! Brak! Perempuan yang dipanggil namanya itu setengah menggebrak meja karena terkejut. Kejora yang tengah duduk melamun terperanjat seketika saat mendengar suara atasannya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya saat ini. Matanya hampir menggelinding seiring dengan jantungnya yang siap meluncur bebas.
Kalau waktu menjadi pemerhati untuk kedua insan yang saling beradu pandang, maka jelas waktu adalah sesuatu yang bisa dirasa tanpa bisa dilihat dan diraba. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Seperti Andromeda yang tak paham kenapa dirinya capek-capek ikut menunggu dan terus memerhatikan Kejora yang tengah menunggu sang pujaan. Tanpa ada sapaan, tanpa ada bicara dan hanya bertatapan sebentar namun dia memiliki rasa yang aneh tak terdefinisi dalam sanubarinya sendiri saat ini. *** Kejora mendesah bingung, dia menatap ponselnya lama dengan jari yang mematung, menjadi penyangga untuk ponselnya sendiri. Begitupun Andromeda yang melihat terus menerus profil Kejora, merasa aneh dengan gelagat hatinya yang tak membolehkan dirinya menggulir layar ponselnya sendiri. Jarinya bahkan bisa bimbang dalam menentukan akan memberikan love atau tidak. Lucu sekali reaksi tubuhnya saat ini. Matanya seolah-olah ada yang