Share

2. Pertemuan Kejora dan Andromeda

Semuanya akan indah pada waktunya. Kata-kata yang selalu Kejora ingat saat dirinya bersama dengan ibunya, pergi mengunjungi sang kakek yang berada di Belanda. Saat itu juga ibunya menangis tersedu sedan, mengadu soal kehidupannya yang menyiksa di kota Utrecht, Belanda.

Saat itu dirinya hanya bisa melihat tanpa memahami ucapan orang-orang dewasa di sekitarnya. Yang ia tahu, kakeknya selalu begitu baik padanya dan menyayanginya sepenuh hati.

Kejora terbangun dari tidurnya, dia merasakan kepalanya begitu nyeri bukan main saat ini.

“Akh!” Dia mengerang sembari memegangi kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar sampai-sampai saat bangun pun tubuhnya limbung.

Kakinya menapaki lantai yang dingin, namun matanya tak sanggup terbuka. Rasanya kepalanya siap pecah dan terberai dengan gaya gravitasi yang semakin menarik tubuhnya merosot.

Dia sudah tak kuat!

Kejora berusaha keluar dari rumah kecilnya, di tangannya hanya ada dompet saja.  Berisikan beberapa lembar uang nominal rupiah. Matanya terbuka sebentar namun tak bisa terbuka sepenuhnya. Benar-benar menyakitkan!

Langkah kakinya terseok-seok keluar dari bangunan mungil yang baru ditempatinya itu saat ini. Namun, dirinya tetap besikeras keluar. Rasanya tubuhnya semakin melemah beriringan dengan napasnya yang sesak.

“Sial!” umpatnya dengan terengah-engah. Oksigen yang dihirupnya sangat berkurang menuju paru-parunya.

***

“Kamu tidak makan dulu, Andro?” tanya seorang wanita yang mengenakan celemek, wanita itu hanya terpaut sepuluh tahun darinya.

Meski tampangnya cerah dengan bibir mengulas senyuman ramah, bagi pemuda berusia 29 tahun itu sendiri hanyalah sebuah senyuman palsu saja.

Dia berdecak sebal, mata hitamnya menatap tajam tanpa ada perasaan apa pun sedikitpun. “Cih! Tak perlu sok baik begitu, jalang!” sentaknya cepat sambil berlalu melewati ibu tirinya sendiri.

Wanita itu sedikit berjengit terkejut dengan suara berat nan dingin dari putranya sendiri. Matanya berubah sayu dan mendadak kecewa bukan main. Dirinya terbilang begitu lemah di hadapan Andromeda, putra suaminya.

Jana, selaku ibu tiri Andromeda hanya tersenyum miris saja. Sikap Andromeda padanya tak berubah sedikit selama 10 tahun ini.

“Tak perlu kau tawari makan anak sialan itu!” desis Arjan, ayah Andromeda yang tengah berjalan menghampiri Jana.

Andromeda kaku sejenak, tangannya tergantung di gagang pintu. Rasanya selalu sama. Menyakitkan untuk didengar. Bibirnya terkatup rapat sempurna sembari menebalkan telinganya sendiri saat ini.

“Tapi Mas, kasihan Andromeda pasti lapar sema—”

“Biarkan saja! Dia sudah punya uang sendiri, tak mungkin otaknya bodoh sampai lupa makan!” sambar Arjan dengan cepat.

Kedua pria dewasa dengan usia berbeda itu memang selalu nampak permusuhannya. Jana hanya bisa menghela napasnya dengan sempurna seiring dengan matanya yang bersaksi dengan pertengkaran ayah dan anak itu sampai saat ini.

“Saya pun tak butuh dikasihani kalian berdua!” balas Andro dengan tak kalah sengitnya.

Kakinya melangkah keluar dan tangannya melepaskan pintu sampai benda itu berdebam. Blamm!!!

Andro menghela napasnya dengan perasaan lelah bukan main. Namun, bagaimana lagi? Dia masih ingat memori masa kecilnya yang begitu menyakitkan baginya. Ibunya meninggalkannya dengan sang ayah dan ayahnya menikah kembali.

Andro menaiki motor besarnya, dia seharusnya berangkat bekerja namun dia memilih untuk melipir ke lain tempat.

Emosinya yang tengah naik membuat tangannya memutar gas sampai kecepatan motor itu meningkat drastis. Semua perasaan marahnya terhantam seiring roda motornya berputar, membawanya menjauh dari tempat yang dibencinya itu.

Ckiiittt!!!

Matanya terbelalak sempurna dengan napas tertahan, kakinya beruntung bisa refleks menekan pedal rem saat itu juga.

Di hadapannya, tepat di tengah jalan, seorang wanita dengan baju lusuh dan terbuka mencegat dirinya, menghalangi motornya.

Dengan perasaan geram, Andromeda menuruni kuda besinya.

“Kau mau mati hah?!” teriaknya menggelegar.

Grep!

Namun yang terjadi dirinya malah mematung saat tubuh wanita itu jatuh menimpa tubuhnya, sesaat setelah lengannya menyentuh bahu Andromeda saat ini.

“Oh shit! Hey! Hey! Bangun!”  Andromeda mencoba membangunkan wanita itu, dia menepuk-nepuk pipinya dengan lembut namun, nyatanya tubuh wanita itu tak sedikitpun tersadar.

Tempat ini terlalu sepi juga, bagaimana ini? dia hanya membawa motornya.

Andromeda berdecak kesal, melihat bagian tubuh wanita itu terbuka di bagian tertentu. Dia tak melihatnya dengan bergairah namun terlalu kesal.

“Sudah bangun?” tanya Andromeda yang melihat mata gadis itu terbuka. Terpaksa Andromeda memindahkannya di teras rumah kosong.

Kejora mengerjapkan matanya perlahan, di mana dia?

Kejora ingin bangkit, saat dia baru saja mengangkat tubuhnya sendiri namun dia mengerang kesakitan.

“Akh!” erangnya penuh kesakitan.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Andromeda mersa khawatir.

Kejora masih meringis saja, Andromeda semakin merasa kasihan. Dia melepaskan jaket besar miliknya dan memakaikannya kepada tubuh kurus wanita itu.

Kejora hanya bisa diam saja, dia menyimpan seluruh energinya demi menahan rasa sakitnya sendiri saat ini. Bukan hal yang mudah baginya, jika merasakan sakit di kepala luar biasa begini. Dia benar-benar menjadi tak terkendali kalau sudah kesakitan. Dia bahkan lupa kenapa dia bisa bersama pria itu.

“Ayo, kau bisa bangun? Lebih baik kuantar ke rumah sakit,” ajak Andromeda bersamaan mencoba menggendong Kejora.

Kejora tak mampu menjawab sedikitpun. Dia memilih diam dan menyandarkan kepalanya di punggung pria itu. Sementara Andromeda tengah membawanya menuju mobil yang terparkir. Mobil itu dipesannya dengan online, tak mungkin dia membawa Kejora kebut-kebutan.

“Terima kasih,” gumam Kejora setengah sadar.

Andro mendengarnya, hanya saja dia sendiri memilih bungkam sejenak dan membawa Kejora terlebih dahulu.

Dibaringkannya tubuh gadis itu dan kepalanya terpangku di pahanya. “Ayo Pak, jalan,” perintah Andromeda pada sang sopir.

“Adeknya sakit ya Mas?” tanya sopir itu selagi melajukan mobilnya. Dia melirik keduanya di belakang.

“Bukan,” jawab Andromeda singkat.

Dia memilih diam daripada harus memperpanjang bicaranya.

“Oh bukan, saya kira kalian saudaraan. Mirip soalnya,” celetuk sang sopir itu kembali.

Sepagi ini, si sopir masih bisa-bisanya bergosip tanpa merasa bersalah. Andromeda hanya mendengus saja. Ini juga kalau bukan karena gadis itu yang ada menghalangi jalannya, tak mungkin dia berada di sini.

***

Andromeda masih menunggu gadis itu diperiksa, ponselnya sudah berdering sempurna menampilkan nama ayahnya. Dia sudah masa bodo, kali ini alasannya untuk tak bekerja ada di depan mata.

Jelas saja. Dia baru melakukan perbuatan baik. Menolong orang sakit. Haruskah dia bangga? Entahlah.

Dia ingin pulang, namun dirinya masih menunggui gadis itu. Mana dia tak tahu siapa kerabatnya juga. Heran sekali, kenapa daerah itu sepi sekali?! Sebenarnya gadis itu tinggal di sana kah?

Sekali lagi, Kejora terbangun, dia melihat sekelilingnya. Berkali-kali kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ada siapa pun. Dia di mana?

Mengingat kejadian-kejadian tadi, dia sejenak merasa bersalah. Seorang pria telah membantunya. Dan ....

Jaketnya?

Tangannya terangkat dan melihat jaket itu mengurungnya. Jaket yang membuatnya hangat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status