“Ada apa?” Andro sudah disambut oleh sekretarisnya yang menghampirinya dengan terburu-buru dan wajahnya memucat.
Padahal dia baru saja memarkirkan motornya di pelataran gedung perusahaan keluarganya itu.
“I—itu Pak ... Pak Kelvin ada di ruangan Bapak,” ucap wanita cantik yang rapi dengan gagapnya.
Sudah tak heran lagi, memang Brenda, sekretarisnya itu selalu ketakutan dengan ayahnya.
Andro hanya berdecak saja, dia sudah melenggang pergi menuju ruangannya sendiri. Sekretarisnya itu mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa gugup.
Siapa yang tak ketakutan jika sudah melihat dan menyaksikan secara langsung marahnya Kelvin Wijaya, penerus ketiga grup Angkasa Jaya? Dia yakin tak ada yang berani melawan kecuali anaknya sendiri, Andromeda.
“Sekarang ada agenda apa saja, Brenda?” tanya Andro masih dengan tenangnya.
Pria itu berjalan dengan tubuh tegap tanpa ada perasaan sedikit pun. Dia sudah terlalu mati rasa untuk menghadapi ayahnya sendiri.
Tangannya terangkat, bergerak menyisir rambutnya yang berantakan ke arah belakang. Dengan tubuh berotot yang sangat tertekan dengan jas yang membalutnya ditambah dengan sorot mata hitam legam miliknya yang begitu dingin dan juga garis rahangnya sangat mendukung dengan gestur wajahnya sendiri.
Semua orang pasti akan paham kenapa dirinya menjadi pusat atensi di sekelilingnya. Muda dan bergairah, mungkin dua kata itu yang mampu menggambarkan karakternya saat ini.
Sangat tak mungkin kalau seorang Andromeda tak berkelas dan tak memiliki pesona. Semua itu dia gunakan untuk melawan kuasa ayahnya sendiri. Dia lebih senang mendirikan perusahaan sendiri dibanding bergabung dalam naungan ayahnya.
Cklek!
Suara pintu yang terbuka menampilkan sosok pria yang membelakanginya dengan tangan bertaut di belakangnya.
Pria itu berbalik dan menatap marah pada Andromeda yang santainya masuk dan meletakkan tasnya di atas meja saat ini.
“Apa kamu sudah tak tahu waktu sampai-sampai datang setelat ini dan mengabaikan meeting merger itu?!” desis Kelvin, ayah Andromeda yang masih geram dengan kelakuan putranya itu.
Andromeda mengangkat pandangannya, “bukannya tanpa kehadiran saya anda bisa leluasa untuk menjalankan keinginan anda? Kenapa sekarang repot-repot menegur saya?” jawabnya dengan enteng.
Kelvin merasa kesal dengan ulah Andro saat ini. gelas yang sedari tadi ada di meja menjadi sasarannya. Sekuat tenaga benda pecah belah itu dilempar tanpa ampun sampai buyar membentur tembok di belakang Andromeda.
PRANG!!!
“DASAR ANAK TAK TAHU DIUNTUNG! MAUNYA KAMU APA HAH?!” teriaknya dengan marah yang membumbung tinggi.
Tubuh Brenda yang berdiri jauh dari mereka menjadi tegang, dia sudah menyaksikan keributan yang sering terjadi namun tak seheboh sekarang ini.
Keringat dingin meluncur di sisi wajahnya dengan lancar tanpa beban, jantungnya berdegup kencang dan rasa takutnya mengalahkan profesionalitasnya sendiri sampai-sampai rasanya dia ingin mengundurkan diri saja daripada harus menyaksikan pertengkaran ayah dan anak itu.
“Maunya saya? Apa anda akan mendengarkan keinginan saya? Tidak pernah. Daripada anda capek-capek memarahi saya, lebih baik anda fokus saja mengurus perusahaan ini atau bisa-bisa perusahaan ini hancur karena saya.”
Kalimat yang terlontar terdengar dingin tak berperasaan di telinga Kelvin. Dia geram, rahangnya terbentuk tegas mengetat seiring dengan gigi-giginya yang beradu.
“Menyesal Papa mempertahankanmu di sini saat perceraian itu terjadi.”
Deg!
Satu kalimat yang menjadi bom bagi Kelvin sendiri.
“SEHARUSNYA ANDA BIARKAN SAJA SAYA IKUT DENGAN MAMA!!! SIALAN!!!” Kini Andro membentak Kelvin yang ada di hadapannya.
Brenda semakin ketakutan bukan main. Bisa-bisa dia yang mati duluan menyaksikan pertengkaran ayah dan anak itu saat ini.
DRAP! DRAP! DRAP!
Langkah besar Andromeda kembali terdengar melewati ayahnya sendiri dan pergi begitu saja. Dia butuh melepaskan rasa marah dan penatnya.
“Halo, siapkan satu studio untukku,” pintanya pada seseorang yang tengah dihubunginya melalui jaringan seluler.
Andromeda sudah mengangkat helmet dan mengenakan di kepalanya. Dia memutar kembali tubuhnya dan melajukan motor mahal yang dia dapatkan dari menggaet wanita yang berstatus artis dan sudah menjadi mantannya kini.
Tangannya dengan ahli memutar kendali gas dan roda-roda motor itu berputar cepat membawa pengendaranya meliuk-liuk melintasi jalur pertengahan mobil-mobil yang ada di jalanan saat ini.
Dia hanya ingin melakukan hobinya sampai dia kehabisan tenaga atau bila perlu kehilangan nyawanya juga saat ini. Semuanya berada di dalam hatinya yang dipenuhi kegelapan rasa bencinya kepada sang ayah.
***
“Halo, selamat pagi Kania ...,” sapa Jora dengan penuh nada ramah.
Dia meletakkan tas miliknya yang terbilang bermerk dan mahal, namun beberapa staf wanita pasti mengekor padanya, menilik detail tas itu.
Wanita yang disapanya berbalik dan tersenyum ramah. “Good Morning Kejora, Si bintang fajar!”
Teman pertama yang didapatkan sejak pertama masuk kantor adalah Kania, wanita cantik menurutnya. Kulit terbilang eksotis dan Jora sangat mengaguminya saat ini.
Kejora tertawa mendengar julukannya itu. Dia ikut memeluk Kania dengan gemasnya. Rasanya dia menjadi wanita ramah di sini.
“Kamu kok girang banget sih kalau dipeluk gini?” Kania kembali bertanya dan memisahkan pelukannya kepada sahabat lokal rasa bule itu sendiri saat ini.
Kejora hanya tertawa meringis mendengarnya, dia menjadi gila lama-lama karena masih terkejut betapa ramahnya orang-orang di sini.
“Hehe, aku senang aja! Beda banget di Belanda pasti tidak begini,” ujarnya masih dengan bahasa formal.
“Ehem! Bukankah hari ini ada rapat,” sela seorang pria yang berdiri di belakang mereka.
Kejora dan Kania melepaskan pegangan tangannya lantas tersenyum kikuk, tubuhnya berbalik dan memandang sang atasan yang berwajah jutek itu.
“Kami akan segera ke aula Pak,” balas Kejora dengan senyum ramah.
Namun, saat atasannya berbalik pergi meninggalkan mereka kini. Kania yang merasa kesal dengan kepala bagian keuangan yang katanya berwajah triplek itu.
Teman kerja Kejora itu mencibir sambil mengejek atasannya, “cih! Dasar bos papan jalan!”
Mau tak mau Kejora dibuat tertawa oleh Kania. “Ssstt ... nanti Pak Henry dengar jadi bermasalah kita.”
“Halah! Kau ndak tahu aja dia macam apa, hobinya mengganggu kesenangan para karyawan aja lah dia tu!” Lagi-lagi Kania mencibir, merasa kesal karena ulah atasan mereka.
Sementara ini, Kejora menjadi admin keuangan yang bertanggung jawab dengan laboratorium perusahaannya.
“Eh, aku mau coba kopi darat nih dengan cowok yang dari Badiuu itu,” bisik Kania dengan penuh semangat.
“Pria yang mana?” Kejora menoleh cepat dan merasa berminat dengan obrolan itu.
“Itu yang dari aplikasi dating, Badiuu ... lihat deh, cakep banget ya?” cerocos Kania menunjukkan foto pria yang duduk di dalam mobil.
“Tidak, dia ... pamer sekali sepertinya, kamu yakin mau dengan pria ini?” Lagi-lagi Jora mencoba membuat Kania berpikir kembali.
“Ish! Ayolah Jora ... ini tuh Cuma kopi darat, lagian jaman sekarang cari yang ori di sekeliling kita, kemungkinannya Cuma 0,005 persen aja.”
Jora tertawa mendengarnya. Kania dan pacar online—nya.
jangan lupa komen-komen dan tambahkan ke library yaaa, see you
“Yeay ... akhirnya cuti juga kita,” pekik Kania yang sudah kembali merangkul lengan milik Kejora. Gadis dengan rambut panjang yang bercat violet itu ikut tersenyum saja dan memaklumi tingkah dari sahabatnya itu. Sudah satu tahun dirinya bekerja di Nanotechnology Central Corp, milik keluarga Tanuwijaya itu. “Iya ya? Di sini bekerja rasanya tak mendapat hari libur, padahal di Belanda aku bisa cuti dua bulan loh ...,” seloroh Kejora yang menimpali ucapan Kania saat ini. Kania, wanita dengan rambut yang tergerai dan seragam yang mencolok menurut Kejora itu menyambar penuh bersemangat dengan suara melengkingnya, “kamu tuh aneh tau nggak sih, Jora?! Di sana udah enak kamu kerja nggak sesusah di sini, malah pindah ... apa yang lagi kamu cari coba?” Kania menggeleng-g
“Okey, we can meet later in BIP, is that okey?” Kejora tengah berbicara dengan seseorang di balik telpon. Dengan pekerjaan yang masih menumpuk akibat akhir tahun dan audit besar-besaran, maka semua karyawan terkena dampaknya, seperti Kejora salah satunya. Dia bolak-balik ke ruangannya lantas menuju ruangan lain, membuat laporan, menyocokkan dana dan sebagainya sembari dengan benda pipih bernama android itu menempel terjepit antara bahu dan telinganya saat ini. Kania sendiri sudah tak terkena masalah beruntun, karena memang dia hanya menghitung pengeluaran sang atasan saja dan setiap minggu dia membuat laporannya, berbeda dengan bagian administrasi keuangan bidang lainnya, seperti Kejora salah satunya. Dia malah mengekori Kejora yang bergerak ke sana kemari tanpa henti bak setrika yang tengah menghangatkan pakaiannya. “Okey, we will meet at 07.00 pm, bye ....” Kejora menutup panggilannya dan mendesah lelah. Di tang
Kejora tak pernah tahu kalau bertemu pria bule bernama Mike ini menimbulkan efek berkepanjangan. Jelas-jelas pria itu memiliki pesona mematikan dengan mata biru dan rambut jagungnya yang dibiarkan berantakan malah menimbulkan kesan seksi yang tak terkendali saat ini. Tangannya mendadak mengeluarkan keringat dingin nan deras dan jantungnya terus berdetak hebat menyuarakan kegugupannya yang kian kencang seiring matanya menatap dalam-dalam sosok bertubuh tinggi besar tengah menuju ke arahnya sembari melemparkan senyuman mautnya. Deg! Deg! Deg! ‘Berhenti kau jantung sialan!’ maki Kejora dalam hatinya sendiri saat ini. Degupan jantungnya seolah-olah terdengar sampai keluar, dia merasa semua orang memperhatikannya dan mencuri-curi pandang ke arah Mike. Jelas saja, pria itu memang paling berbeda penampilannya di kafe ini. Batinnya tengah bergulat mencoba menghentikan rasa gugupnya, bibirnya terkaatup rapat seiring denga
Siapa yang menyangka seorang Kejora bisa terus memikirkan pria di dalam otaknya untuk saat ini? Bahkan dirinya sendiri pun tak menyangka akan bisa seperti ini, terperangkap dengan sosok Mike yang satu minggu lalu ditemuinya. “Kejora, kamu bisa ikut saya rapat ke perusahaan Angkasa Jaya?” ajak atasan Kejora yang merupakan direktur keuangan di sana. Deg! Srekkk! Brak! Perempuan yang dipanggil namanya itu setengah menggebrak meja karena terkejut. Kejora yang tengah duduk melamun terperanjat seketika saat mendengar suara atasannya yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya saat ini. Matanya hampir menggelinding seiring dengan jantungnya yang siap meluncur bebas.
Kalau waktu menjadi pemerhati untuk kedua insan yang saling beradu pandang, maka jelas waktu adalah sesuatu yang bisa dirasa tanpa bisa dilihat dan diraba. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Seperti Andromeda yang tak paham kenapa dirinya capek-capek ikut menunggu dan terus memerhatikan Kejora yang tengah menunggu sang pujaan. Tanpa ada sapaan, tanpa ada bicara dan hanya bertatapan sebentar namun dia memiliki rasa yang aneh tak terdefinisi dalam sanubarinya sendiri saat ini. *** Kejora mendesah bingung, dia menatap ponselnya lama dengan jari yang mematung, menjadi penyangga untuk ponselnya sendiri. Begitupun Andromeda yang melihat terus menerus profil Kejora, merasa aneh dengan gelagat hatinya yang tak membolehkan dirinya menggulir layar ponselnya sendiri. Jarinya bahkan bisa bimbang dalam menentukan akan memberikan love atau tidak. Lucu sekali reaksi tubuhnya saat ini. Matanya seolah-olah ada yang
Suara gaduh di pelataran benar-benar membuat Kejora risih, apa memang di sini jarang melihat pria barat? Oke, wanita asia suka sekali dengan pria Eropa. Jangan salahkan mereka, dia pun sama sukanya saat ini. Sangat lucu bagi Kejora sendiri ketika dirinya pun ikut mengagumi Mike yang datang menghampirinya. Clarissa, wanita yang menggandeng tangan Andromeda itu juga tak kalah menganga seiring matanya yang menatap Mike, pria bule berambut red ginger. Sangat langka. “Wah, cewek itu seleranya mantap juga, pria bule. Tapi, dianya sih ... biasa aja,” tutur Clarissa ikut berkomentar di samping Andromeda. Andromeda tak suka mendengarnya, kenapa wanita harus mengagumi sosok makhluk kolonialisme itu? Dia berdecih, “cih! Memang apa bagusnya mereka? Kalau begitu kenapa kamu tak mencari partner ONS bule juga?” tanya Andromeda masih dengan nada arogannya saat ini. Clarissa, wanita cantik nan modis, dengan
“Aaa!!! Tidak mau!!!” Teriakan nyaring dari mulut Kejora terdengar melengking. Ini akibat dari Mike yang menggelitiki perut Kejora. Mereka tengah bercanda tawa di pinggir pantai. Usai pertemuan kedua dan ketiga, Mike setuju ikut berlibur bersama Kejora dan kedua sahabatnya yang lain, Kania dan pacarnya. Mereka tengah berlibur ke Bali. “Makanya jangan bermain-main denganku, hahaha ....” tawa puas Mike bahkan terdengar menggelegar. Tadi, Kejora hanya mengerjai Mike untuk memakan makanan yang terbuat dari kaki ayam. Mike yang tak pernah mencoba merasa jijik dan membayangkan bagaimana bisa kaki hewan yang tak berpelindung itu dimakan.
Di tengah malam yang dingin, pria berdarah Eropa itu harus puas dipukuli oleh Kejora yang tak terima karena Mike melihatnya mengenakan bikini. Meski sekarang gadis itu sudah mengenakan handuk yang menutupi hampir seluruh tubuhnya namun tetap saja, Kejora merasa sudah ternodai oleh Mike. “You are pervert Mike!!!” Lagi-lagi dia berteriak kencang, memekakkan telinga Mike tanpa ampun. “Wait! Wait! Wait! Please stop Jora, i am just kidding, au! Stop Jora ... stop ....” Mike menangkap kedua pergelangan tangan Kejora yang terdampar di dadanya. Kejora terdiam, dia membisu karena pandangan netra biru Mike mengunci matanya saat ini. Wajah Mike yang tampan dengan tatapan intens miliknya tertuju pada Kejora. Kejora membeku, tubuhnya kaku tak bisa digerakkan. Otaknya menjadi lumpuh hanya karena tatapan misteri yang diberikan oleh sang Dewa Adonis saat ini. Grep! Srek! Satu hentakan kuat menarik tubuh mungil Kej