-ππππππππππ πππ π’ππ-
πΆπππ πππππππ
-
"Hah.. Hah.."
Hembusan nafas kelelahan itu menyatu dengan dinginnya udara, membentuk kepulan asap tipis di antara wajah pucat seorang bocah yang sudah begitu rapuh.
"Dasar anak iblis!"
"Tidak berguna, menyusahkan saja!"
"Kenapa masih hidup, hah?"
"Merepotkan!"
Bayangan senyum jahat orang-orang tergambar bersama ucapan bengis yang berdesing keras di telinganya. Sakit..
"Lebih baik kau mati saja!!"
Kaki kecil itu menapaki batu satu persatu, berusaha menggapai lebih tinggi meski terjatuh berulang kali. Angin kencang lautan menyibak selimut tipis yang membalut tubuh kurusnya, namun tak bisa menurunkan keinginannya sama sekali.
"Mati saja kau!"
"Mati!"
Bisikan-bisikan itu terus bergema di telinganya. Alunan suara kematian terus mendayu, merayunya untuk segera melompat ke bebatuan pantai yang begitu curam dan tajam di bawah sana. Haruskah ia tetap hidup? Haruskah ia tetap bernafas di dunia yang tidak menginginkannya sama sekali? Ia tak punya pilihan lain, selain satu.
"Mati.."
Tiada ragu yang tersisa saat telapak kaki kusam itu mulai melangkah ke depan. Segaris senyum yang tak pernah terlukis di bibir mungil itu perlahan tergambar, seiring wajah menengadah ke arah luasnya langit dengan ribuan awan menghitam.
Kini, tak akan ada yang menyakitinya lagi, di rumah itu, maupun di dunia ini..
Tukkk...
Sebuah batu tiba-tiba mendarat di kening sang bocah. Kelopak mata anak lelaki itu langsung terbuka.
"Hoy."
Suara berat mengintrupsi niat yang sejengkal lagi terlaksana. Bocah kumal itu menoleh seketika.
"Jangan mati dulu, anak manusia." Ucap sosok itu kembali.
Tidak pernah ia temukan sesuatu seperti yang tengah anak lelaki itu dapati saat ini. Sama sekali belum pernah ia lihat makhluk dengan bentuk seperti sosok di depan matanya ini. Bocah itu terlalu terkejut hingga hanya bisa terperangah dan terdiam bagai batu yang ia pijak.
Makhluk itu perlahan keluar dari bayangan bebatuan. Menampakkan sosoknya yang tinggi besar dengan kain lusuh yang menutupi tubuhnya, membuat anak lelaki itu beringsut mundur.
"Kau ingin kebahagiaan 'kan?"
Kalimat yang makhluk itu ucapkan seketika bergema di pikiran sang bocah.
"B-bagaimana.." Bingung, alisnya berkerut diantara rasa takut yang masih terasa.
"Aku tau semuanya, bocah." Iris merah itu menyala dibalik gelapnya mendung langit. "Termasuk perlakuan manusia-manusia itu padamu."
"Aku.."
Umpatan dan penderitaan sedikit demi sedikit melonjak ke dalam ingatan, kesedihan, amarah, dendam dan rasa sakit perlahan membuncah keluar.
"Bisa-bisanya kau mengasuh anak seperti itu!"
"Tak tau di untung!"
"Tidak pantas bahagia!"
"AKU MAU!" Tanpa rasa takut lagi, anak itu berdiri di depan sosok mengerikan di hadapannya. Sakit yang ia rasakan ketika menghadapi dunia ini menyalakan nyali di dalam jiwanya.
"Berikan aku kebahagiaan!!"
Makhluk itu tersenyum puas. Garis bibirnya perlahan naik menunjukkan taring besar dibalik tudung yang ia pakai. Membuat bocah kurus itu bergidik ngeri.
"Meskipun harus mengorbankan nyawamu sendiri?"
Bocah itu tercenung sesaat. Terkejut dengan pilihan sulit yang ditawarkan, sedangkan makhluk itu diam-diam tertawa meremehkan. Manusia selemah itu tak akan mungkin berani mengambil keputusan yang begitu berat.
"Akan ku lakukan apapun.. meski dengan bertaruh nyawaku sendiri."
Tepat setelah bibir pucat itu berkata, sebuah cahaya bersinar menghantam kegelapan. Disertai angin yang mengibas kuat, tawa makhluk itu berdenyar nyaring membelah keheningan.
"HAHAHAHAHAH!"
"Hah!"Pemuda itu terbangun dengan keringat bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal setelah sebuah mimpi membangunkan paksa dirinya dari tidur lelap."Ada apa tuan?"Sebuah kepala muncul dari bawah ranjang. Lehernya kemudian memanjang, menelisik setiap inci bagian tubuh dan memastikan sang tuan baik-baik saja.Tuan muda itu kemudian duduk, berusaha menghilangkan pening yang teramat sangat dengan memijat pelan keningnya sendiri. Merasa sang tuan tidak sedang dalam keadaan baik, kepala berleher panjang itu perlahan mengeluarkan tubuhnya."Biarkan aku membantumu, tuan.." Menampakkan sesosok wanita berbalut pakaian khas kerajaan Jepang.Beralih ke belakang sisi pemuda yang tengah terduduk lemas, jemari pucat wanita itu menyentuh pelipis sang tuan. Menyalurkan d
Tiada suara selain tepukan kaki kuda yang bergesekan dengan jalanan. Temaram lampu di pinggiran kota Resalf mengantarkan sunyi yang tak bertepi di dalam kereta. Martin berkendara dengan tenang, tak ingin mengganggu tuannya yang tengah menyelam dalam bacaan.Meski kerikil tajam tak jarang membuat kereta bergeredak, tuan mudanya itu tetap memilih melalui rute perumahan kumuh ketimbang jalanan mulus di pusat kota."Selera yang buruk sekali." Komentar Martin, setelah tertawa pelan dibalik kemudinya. Sosok yang merasa tengah menjadi bahan pembicaraan terdiam sejenak."Apa maksudmu?" Balasnya."Semua kekayaan ini tidak berarti untukmu, ya?" Sindirnya, lagi. Martin terus saja mencemooh apa yang selalu ia lakukan, sedangkan tuan muda itu hanya tersenyum kecil menanggapi rasa heran salah satu pelayan setianya.
Gerbang raksasa mulai terlihat dari kejauhan, menjulang tinggi menutupi pilar besar yang menyangga gedung. Sesaat kemudian kereta itu berhenti. Memberi petuah pada Martin agar menjaga anak yang ia bawa selagi dia menghadiri pertemuan, tuan muda itupun keluar. Lalu membawa tungkai panjangnya melangkah ke dalam acara. Para prajurit penjaga langsung menyambut kemudian mempersilahkannya masuk.Di balik pintu, permadani bak sutra tergelar diatas kaki para bangsawan yang saling bercengkrama dengan segelas wine di tangan mereka. Kenyataan bahwa pakaian rakyat yang bahkan tak seindah apa yang mereka injak tersebut membuat tuan muda itu terdiam."Zeindalr Elmardillo!" Seruan seseorang langsung membuat pandangannya beralih. Terlihat pria berbadan gempal tengah tersenyum lebar kepadanya dari atas tangga. "Pewaris tunggal keluarga Elmardillo Fanarlta!" Lanjutnya, kemudian turun dengan cepat.Beberapa orang men
"Selamat malam tuan dan nyonya, jamuan makan malam bersama akan segera dimulai. Silahkan menuju balairung utama untuk acara selanjutnya."Seruan pembawa acara membuat perhatian para bangsawan beralih. Mereka kemudian berjalan bersama menuju tempat jamuan makan malam. Dibalik ramainya tamu, Henry Grandes terlihat terburu-buru menaiki tangga. Kemudian berbelok memasuki salah satu ruangan yang ada.Disisi tembok, Martin menelisik pembicaraan Henry dari luar. Dirinya yang menyamarkan diri sebagai salah satu prajurit penjaga bebas memasuki gedung untuk memperlancar rencana sang tuan.Di dalam ruangan, nampak tuan Henry dan dua orang prajurit tengah berbincang. Prajurit-prajurit itu terlihat tegang dan ketakutan ketika berbicara kepada tuan Henry."T-tidak mungkin!" Henry berteriak, Martin semakin menajamkan pendengaran. "Aku sudah membasmi mereka waktu itu, dan kalianlah yang aku tugaskan. Bagaimana bisa mere
"Kejadian kemarin tampaknya membuat polisi kebingungan." Ucap seseorang yang tengah berdiri membelakanginya. "Kau lagi-lagi membuat pemerintah pusat kerepotan, tuan Zein.."Kasus yang terjadi malam lalu meninggalkan misteri besar yang menjadi teka-teki tak terpecahkan oleh pihak keamanan. Tidak ada yang bisa ditangkap dalam peristiwa itu. Pelaku pembunuhan dua orang prajurit di tengah hutanpun tidak pernah ditemukan. Mereka menaruh praduga bila kedua lelaki itu dimakan binatang buas, karena tubuh mereka bagai tercabik hingga sulit untuk dikenali.Dan Henry Grandes, malangnya laki-laki itu kini harus menjalani masa suram di dalam rumah sakit jiwa, setelah sebelumnya terbukti sebagai tersangka tindakan keji hilangnya nyawa anak-anak kaum pinggiran kota Resalf. Hal itu membuat sedikitnya para bangsawan yang menyaksikan sendiri kejadian janggal itu merasa trauma dan akhirnya sedikit demi sed
Barisan prajurit nampak berjajar, membentuk sebuah penjagaan yang ketat. Zein berdiri bersama para warga. Menyaksikan desa yang sebelumnya begitu subur berubah kering bagaikan gurun tandus. Berpetak-petak tanah dipenuhi tanaman busuk dan membuat udara dipenuhi bau tak sedap.Sedangkan para penduduk Yuilr hanya bisa meratapi tanaman-tanaman mereka, berkeluh kesah kepada sang tuan karena panennya gagal di musim ini."Kami tidak tau apa yang terjadi, tuan. Seluruh kebun kami mengering, bahkan hingga bunga yang kami tanam didepan rumahpun ikut layu. Desa Doinh yang berada disebelah kami juga mulai terdampak, tuan.." Ujar kepala desa. Wajah tuanya terlihat begitu sedih menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka.Salah seorang bocah kemudian berjalan mendekat sembari membawa seekor anak domba yang tak lagi bergerak, "Dan kini ternak kamipun mulai teranca
"Yeina, berhenti!""Jangan lari dariku, Yeina!""Kena kau!!""Jangan!""Hahahahahah!""Tidak, jangan..""TIDAAK!!"Perlahan Zein membuka mata, kemudian mengatur nafasnya pelan. Kepalanya penuh dengan potongan-potongan memori yang masih saja membesit meskipun ia telah terbangun dari tidur. Serpihan cerita hidup para hantu yang ia lenyapkan selalu memenuhi mimpinya, membagi kisah yang harusnya diketahui oleh setiap orang. Namun sayangnya kisah yang mengakhiri hidup mereka itu harus terkubur dan bahkan tak disadari oleh siapapun. Hilang dan tertelan bumi begitu saja. Zein mendengus pelan, kemudian bangkit dari posisinya. Kemeja putih yang ia kenakan nampak sedikit tersibak memperlihatkan dadanya yang bidang. Melihat langit yang masih menunjuk
Kumpulan warga berbondong-bondong keluar dari castil setelah berpamitan pada sang tuan. Alexan merubah air wajahnya ketika semua orang telah pergi, kemudian berjalan menghampiri Davine."Ah, aku tidak tau berapa lama lagi harus melakukan pekerjaan ini." Pria itu mendesah lelah, keningnya mengerut dibalik paras Zein yang masih menempel pada wajahnya. Davine tersenyum menanggapi."Kita harus memberikan tuan Zein kesempatan untuk beristirahat, Alexan," ia berujar. "Ia perlu waktu untuk memulihkan kekuatannya," Davine menekan bagian tengah kacamata yang ia kenakan, membenarkan posisinya.Alexan mengangguk sekilas, "ya, benar. Untungnya tidak ada masalah serius untuk saat ini."Kondisi Zein memang sedikit melemah setelah kembali dari hutan. Dua kali menghadapi demon dan mengeluarkan kekuatan besar untuk mengalahkan mereka da