Share

Chap 02: Behind the Sun

Tiada suara selain tepukan kaki kuda yang bergesekan dengan jalanan. Temaram lampu di pinggiran kota Resalf mengantarkan sunyi yang tak bertepi di dalam kereta. Martin berkendara dengan tenang, tak ingin mengganggu tuannya yang tengah menyelam dalam bacaan.

Meski kerikil tajam tak jarang membuat kereta bergeredak, tuan mudanya itu tetap memilih melalui rute perumahan kumuh ketimbang jalanan mulus di pusat kota.

"Selera yang buruk sekali." Komentar Martin, setelah tertawa pelan dibalik kemudinya. Sosok yang merasa tengah menjadi bahan pembicaraan terdiam sejenak.

"Apa maksudmu?" Balasnya.

"Semua kekayaan ini tidak berarti untukmu, ya?" Sindirnya, lagi. Martin terus saja mencemooh apa yang selalu ia lakukan, sedangkan tuan muda itu hanya tersenyum kecil menanggapi rasa heran salah satu pelayan setianya.

Tak ada yang bisa dinikmati selain kecipak lumpur yang terinjak kaki dan kendaraan di tengah gerimis. Namun semua itu bisa membuatnya teringat dengan masa lalu. Ia tak akan melupakan kenangannya dahulu, sebelum menjadi seperti saat ini. Sebenarnya tanpa bertanya pun, Martin sudah mengetahui tujuan lain dari sang tuan selain hanya berjalan-jalan menyusuri kenangan.

"J-jangan!"

Yaitu menyesapi kejahatan-kejahatan dibalik damainya pemerintahan.

Kuda-kuda itu meringkik saat tali kekangnya ditarik. Telinga tajam Martin menangkap teriakan dari kejauhan yang bahkan tidak terdengar telinga manusia di tengah hujan. Hampir mempertanyakan mengapa kereta mendadak berhenti, sekelebat bayangan tiba-tiba menyapa sang tuan.

Iris hitam itu sesaat bertemu mata dengan sosok gadis berambut panjang, rintik hujan yang menutupi kaca tebal jendela tak berpengaruh ketika ia menemukan raut sedih dan air mata yang mengalir dari wajah gadis itu yang hancur.

"Martin." Panggilan sang tuan bergaung keras di telinga Martin. Tanpa harus membuka bibirnya, mereka bisa mengerti suara batin masing-masing. 

"Sesuai keinginanmu, tuan."

Martin melompat dari kereta, berlari memasuki sebuah gang sempit sebelum berubah menjadi kepulan aura hitam yang menyatu dengan bayangan.

Membuatnya menjadi secepat kilat mencapai sumber suara.

Tuan muda itu segera turun dari kereta. Setelah mengenakan mantel dan topi yang menutupi wajahnya, ia berjalan menyusul sang pelayan. Namun ditengah perjalanan, dua orang lelaki berlari dari arah berlawanan. Hampir saja menabrak bahunya karena ketakutan. Sekilas wajah kedua orang itu tertangkap dari pinggir mata sang tuan muda.

Sesampainya di ujung gang, ia menemukan Martin dan seorang anak lelaki yang tengah terduduk lemah. Mata yang langsung menatapnya nyalang itu bercucur air mata, pipinya lebam. Syal di leher bocah itu bahkan tak mampu menutupi tubuh kurus dan luka yang membalutnya disana sini.

Sebelum sempat membuka suara, bocah di hadapannya berdesis, "L-lepaskan aku!" Kebencian terpancar jelas dari mata. "Biarkan aku pergi!" Teriaknya.

"Kau mempunyai adik perempuan, bukan?"

Mata bocah itu melebar mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut orang didepannya. Rautnya kemudian berubah menjadi sedih, menunduk dalam sembari menangis.

"Gre-Gretta.." Gumamnya, membisikkan nama adik dan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Isak tangis terdengar pilu. Sang tuan muda menunduk, meraih kepala anak lelaki itu. Membuatnya mendongak dan bertemu pandang dengan Iris hitam yang seakan menghisapnya dalam.

"Ikutlah denganku, aku akan membantu semuanya." Bisik orang itu, "termasuk membalaskan dendam atas kematian adikmu."

Bola matanya seketika mendelik kaget. Jantungnya berdetak ngilu mengingat detik dimana nyawa adiknya terenggut kejam oleh orang-orang itu. Potongan-potongan peristiwa membuat hatinya mencelus. Ketika lelaki dihadapannya tersenyum lembut, kesedihannya tak mampu ia bendung lagi.

Martin memandangi mereka, bocah itu menangis meraung-raung di dalam pelukan. Sedangkan senyum tipis tergambar di salah satu ujung bibir sang tuan.

-0-

Sunyi. Anak lelaki itu tertidur dibahunya. Raut wajah anak itu terlihat begitu lelah, keningnya beberapa kali berkerut takut ketika kenangan buruk menelusup dan bercampur ke dalam mimpinya.

Sedangkan buku ditangan sang tuan muda tertutup setelah baris terakhir selesai dibaca. Pandangannya kemudian jatuh ke luar jendela, menatap wilayah pinggiran kota Resalf yang memadat dan kian ramai dari sebelumnya. Bangunan-bangunan bertumpuk, udara pengap bersatu dengan kepulan asap yang keluar dari cerobong rumah para warga. Menghangatkan ruangan yang berisi keluarga-keluarga dengan meja makan tanpa hidangan. 

Menuju ke pusat kota, rumah-rumah besar dan megah mulai terlihat memenuhi sisi jalan. Lampu yang terang dan indah menyinari setiap pejalan. Sedangkan pikiran sang tuan muda berkecamuk, haruskah semua ini hanya dinikmati orang-orang tertentu saja? Dengkuran bocah kumal dibahunya makin membuat batinnya bergejolak. 

Perbedaan strata sosial masih begitu kental di wilayah ini. Bangsawan yang memegang kendali atas Resalf sama sekali tak paham dengan keadilan. Pajak-pajak dijatuhkan pada rakyat dengan nominal begitu besar, para buruh bagai diperas kering ketika membayar sewa tanah. Jerih payah mereka dibagi untuk menghidupi rakusnya bangsawan, sedangkan hutang yang harus mereka lunasi lebih besar dari hasil yang mereka dapatkan.

Sebenarnya bukan hanya Resalf yang menjadi korban kejamnya perbedaan derajat sosial. Hampir seluruh wilayah masih meninggikan marga-marga tertentu. Marga yang di dapat dari leluhur berabad-abad lalu masih berlaku hingga kini, meskipun sistem kerajaan dan perang telah lama usai. 

Semua orang masih terpaku pada segitiga yang mengendalikan kehidupan. Golongan paling bawah ialah Under yang berasal dari budak dan rakyat jelata. Golongan kedua adalah Middle yang didomimasi para pelayan dan orang yang dapat bekerja di bawah para bangsawan. Sedangkan golongan tertinggi atau Higher berhak memimpin negri dan menikmati semua kemewahan yang ada.

Tingkat derajat bermula pada masa perang besar. Musuh yang menargetkan seisi pulau membuat seluruh kerajaan bersatu untuk bertahan. Setelah usai peperangan, demokrasi perlahan terbentuk dan menjadikan wilayah berdiri dengan pemerintahan. Golongan berdarah kerajaan dan pahlawan berhasil memegang wewenang tertinggi, kemudian predikat bangsawan muncul dan orang-orang dengan darah tersebut tumbuh dengan Marga yang melekat pada nama mereka. 

Tapi pada kenyataannya darah para pejuang yang mengalir di tubuh bangsawan malah dikotori dengan sifat kejam dan ketamakan. Abad demi abad yang berlalu mengubah kebijaksanaan mereka menjadi serakah. Marga yang seharusnya suci dan menjadi ciri pemimpin agung berubah menjadi momok tersendiri bagi para rakyat yang mau tak mau hidup dibawah kaki mereka. Dulu nama yang selalu dielu-elukan kini menjadi kata selipan ditengah amarah dan tangisan rakyat. Tanpa sadar mereka telah menjadikan keluarga mereka begitu buruk. 

Ntah sampai kapan segitiga setan itu akan terus mengatur nasib manusia. Hidup di dalam dunia seperti ini bagai kutukan. Rakyat menderita di bawah kekuasaan yang dimanfaatkan oleh para manusia tak berakal. Wewenang yang seharusnya memberi kesejahteraan pada rakyat dijadikan alat sebagai pemuas nafsu dan keserakahan.

Namun ia akan segera merubahnya. Menghancurkan lingkaran neraka yang memenjarakan keadilan. Kali ini ia akan bergerak, memulai perang tanpa hunusan pedang dan menciptakan dunia yang ia harapkan. Meskipun harus memusnahkan golongannya sendiri. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status