Share

Satu Tempat Untuk Bermalam

Emily berjalan tertatih mengikuti langkah kaki laki-laki jangkung bernama Abi itu. Kakinya masih terasa sakit untuk dipakai berjalan. Sedangkan Abi melangkah cepat di depan seakan tak menimbang rasa pada Emily yang berjalan tertatih di belakangnya.

Abi yang berjalan di depan tahu jika Emily kesulitan mengikuti langkahnya. Beberapakali dia menoleh ke belakang dan berhenti agar Emily tak terlalu jauh tertinggal. Ketika Emily telah mendekat, Abi pun kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Emily yang kembali tertinggal di belakang.

Emily berusaha untuk tidak tertinggal terlalu jauh. Dia menahan sakit kakinya dan berlari-lari kecil mengikuti langkah Abi. Sebetulnya Emily merasa kesal dengan sikap Abi yang terkesan acuh. Tapi dia tak bisa berteriak marah pada laki-laki itu karena dialah satu-satunya penolong baginya. Jadi Emily hanya diam dan terus berjalan mengikuti.

Sekali lagi Abi menoleh. Dia melihat pada Emily yang telah tertinggal cukup jauh. Dengan berusaha untuk sabar, dia berdiri menunggu sampai Emily mendekat. Diperhatikannya Emily yang berjalan tertatih menghampirinya.

"Kenapa lama sekali jalannya?" tanya Abi ketika Emily telah cukup dekat dengannya.

"Kaki saya sakit dipakai jalan terus," jawab Emily pelan dan hampir kembali menangis.

Abi pun menunduk memperhatikan kaki Emily. "Sudah berapa jauh kamu berjalan?" tanya Abi lagi.

Emily menggeleng. "Nggak tahu," jawabnya.

"Hari ini kebetulan saya nggak bawa motor. Tapi rumah saya nggak jauh, kok. Paling cuma sepuluh menit berjalan kaki dari toko," kata Abi seolah memberi semangat pada Emily.

Sepuluh menit? Ya, tapi mungkin itu untuk dia yang berjalan cepat seperti itu. Sedangkan untukku, rasanya tidak mungkin sepuluh menit. Huh, kenapa hari ini aku terus sial seperti ini? Satu-satunya keberuntunganku hanyalah bertemu dengan laki-laki yang mau menolongku ini. Dia telah memberiku makan dan tempat untuk menginap. Meski sikapnya tak terlalu hangat, tapi dia cukup baik.

"Masih kuat jalan, kan? Saya nggak mau kalau harus gendong kamu," kata Abi kemudian.

Emily tak segera menyahuti. Dia memperhatikan wajah Abi yang tampak dingin ketika dia bicara tadi. Ah, rupanya dia tidak sedang bercanda. Dia serius mengatakan itu. Tapi, siapa juga yang mau digendong sama dia? Walau pun harus berjalan tertatih untuk sampai ke rumahnya, aku lebih memilih untuk berjalan, bisik hati Emily sedikit sewot.

"Saya juga nggak mau digendong," sahut Emily akhirnya.

"Bagus, karena saya pun nggak akan menggendong kamu. Kalau memutuskan untuk lari dari rumah, berarti kamu harus tangguh. Nggak boleh cengeng. Apa lagi manja!"

Setelah mengatakan itu, Abi pun segera melanjutkan langkahnya. Dan Emily kembali tertatih mengikuti dia dari belakang.

Tak lama Abi berbelok memasuki sebuah perumahan. Emily terus mengikuti. Dia memperhatikan gapura yang ada di pintu masuk kompleks perumahan itu. Ada nama perumahan itu tertera di sana. Tapi Emily kurang memperhatikan nama perumahan yang baru saja dimasukinya itu. Perhatian Emily lebih terfokus pada cat warna warni yang menghiasi gapura itu. Tampak meriah sekali seakan-akan melukiskan kegembiraan hati para penghuninya.

Mereka terus berjalan melewati rumah-rumah berukuran kecil yang berjejer rapi dan bersih. Sepertinya para penghuni kompleks itu peduli dengan kebersihan dan kerapihan lingkungan mereka. Sepanjang jalan yang Emily lewati, semua tampak rapi dan bersih sekali. Juga ada pot-pot bunga yang menghiasi sepanjang jalan itu hingga jalanan kompleks tampak indah dan hijau.

Tiba-tiba langkah Abi berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih. Sama seperti rumah-rumah yang lain, rumah ini pun kecil dan sederhana sekali. Tapi terkesan nyaman karena si pemilik rumah Sepertinya mengerti cara menata pekarangannya dengan berbagai macam pohon bunga yang indah.

Abi membuka pintu pagarnya dan mempersilakan Emily untuk masuk dan duduk di teras. Emily pun segera duduk di kursi bambu yang ada di situ. Emily merasakan kakinya berdenyut sakit.

"Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya. Sebentar saya kembali," kata Abi. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Emily, dia pun segera melangkah pergi meninggalkan Emily sendirian di teras rumah itu. Tapi rupanya Abi tak pergi jauh. Emily melihat laki-laki itu masuk ke rumah sebelah. Dan tak lama dia kembali bersama dengan seorang perempuan muda yang kira-kira seusia dengannya.

Perempuan muda yang datang bersama Abi itu pun tersenyum ramah pada Emily. Lalu sesaat dia memperhatikan Emily yang sedang duduk dengan sikap kikuk. Perempuan itu tampak bingung, walau pun tetap mengurai senyum.

"Hai, saya Inung, sepupunya Abian," katanya memperkenalkan diri.

"Saya Emily," sahut Emily tersenyum. Ah, jadi Abi itu kependekan dari Abian? Dan perempuan ini adalah sepupunya, pikir Emily sambil membalas senyuman ramah Inung.

Sementara itu Abian membuka pintu rumah dan mengajak Emily dan Inung untuk masuk. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu yang agak sempit. Hanya ada seperangkat sofa di sana. Tapi sama seperti halamannya tadi, ruang tamu itu pun terasa nyaman dan bersih. Wangi bunga dari pengharum ruangan tercium lembut oleh Emily. 

"Jadi kamu mau menginap di sini malam ini?" tanya Inung pada Emily. 

Emily mengangguk. "Ya, Mas Abi bilang saya boleh menginap di sini." 

"Kalau begitu biar saya temani kamu menginap di sini," kata Inung lagi.

"Huh?" Emily sedikit bingung.

"Abian ini masih bujang. Jadi nggak mungkin kalau kamu dan dia berdua-duaan di dalam rumah seperti ini. Karena itulah Abi meminta saya untuk menginap di sini malam ini. Untuk jaga-jaga biar nggak ada yang khilaf," kata Inung tersenyum sambil melirik pada sepupunya itu.

"Menghindari fitnah, Nung," kata Abian cepat menyahuti, seakan ingin meralat kata-kata Inung barusan.

"Emangnya lo nggak bisa khilaf, Bi, berduaan sama gadis cantik begini?" Inung bertanya tanpa basa-basi lagi.

"Semua orang bisa khilaf. Makanya gue panggil lo kemari buat nemenin dia. Udah, ah, jangan bikin dia takut sama gue," sahut Abian sambil melangkah ke dalam kamar.

"Saya nggak takut, kok. Mas Abi baik udah mau nolongin saya," kata Emily.

Abian kembali dengan membawa sebuah handuk  dan sebuah sikat gigi. Lalu dia memberikannya pada Emily.

"Jangan terlalu cepat percaya pada orang yang baru kamu kenal. Untung kamu bertemu dengan saya. Seenggaknya saya nggak punya niatan jahat sama kamu," kata Abian segera.

"Ya, kamu beruntung bertemu dengan Abi. Dia orang yang baik. Saya sepupunya dan saya tahu banget seperti apa dia. Dia laki-laki yang bisa dipercaya," sambung Inung seperti sedang mempromosikan Abian di depan Emily.

"Cukup promosinya, Nung. Sekarang biar Emily mandi dulu. Tapi saya nggak punya baju perempuan untuk salinan baju kamu, Emily," kata Abian.

"Biar saya pinjamkan baju saya aja. Sebentar saya ambil," kata Inung sambil berdiri dan melangkah keluar.

Emily duduk diam menunggu. Orang-orang yang baru dikenalnya ini sepertinya memang orang-orang yang baik. Emily bersyukur tuhan telah menolongnya bertemu dengan mereka. Setidaknya malam ini dia punya teman dan tempat untuk tidur. Soal bagaimana besok, biarlah dipikirkan besok.

Setelah Inung kembali dan memberikannya baju ganti, Emily pun segera mandi. Dia menikmati setiap guyuran air yang menyiram tubuhnya. Sejuk sekali. Hilang sudah penat dan keringat lengket bercampur debu yang mengotori tubuhnya setelah berjalan jauh tadi. Meski pun tak ada shower di kamar mandi itu, tapi Emily tetap bisa menikmati acara mandinya itu. Yang penting tubuhnya bersih dan segar sekarang. Tidak kotor dan kumal seperti tadi.

Selesai mandi, Emily cepat mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang diberikan oleh Abian. Lalu dia memakai baju yang dipinjamkan oleh Inung. Sebuah daster lengan pendek berwarna biru. Hm, daster itu terasa pas di badan Emily. Syukurlah ukuran tubuh Inung sama dengan tubuhnya hingga Emily tak harus memakai baju yang kebesaran atau kesempitan.

Ketika Emily keluar dari kamar mandi, Abian pun segera bergegas untuk mandi. Pasti dia pun merasa penat, pikir Emily. Sebab Emily melihat ada sedikit keringat di kening laki-laki itu.

Emily kembali duduk di ruang tamu dengan handuk yang masih membungkus rambutnya yang basah. Inung yang masih tetap duduk di tempatnya itu pun tersenyum senang ketika melihat dasternya terlihat pas di badan Emily.

"Wah, rupanya bentuk tubuh saya masih ideal, ya? Buktinya daster saya pas sekali di badan kamu," katanya senang.

Emily tersenyum. "Ya, ukuran badan kita sama," sahutnya.

Tak lama terlihat Abian yang berjalan menuju ke kamar hanya dengan mengenakan lilitan handuk di pinggangnya. Emily melihat dan sesaat dia terpaku. Dia tak menyangka jika ternyata laki-laki penolongnya itu memiliki tubuh yang bagus sekali. Dadanya terlihat bidang dengan otot-otot kekar yang membuat tubuhnya tegap dan gagah. Kulit berwarna coklat bersih yang membalut tubuhnya, membuatnya jadi terlihat sangat seksi di mata Emily. Dada Emily pun bergetar sesaat. Duh, benar-benar satu pemandangan yang indah, pikir Emily sedikit nakal. Tapi dengan wajah yang tampan dan tubuh seindah itu, kenapa belum ada perempuan yang mendampinginya? Adakah sesuatu yang salah dengannya? Emily merasa sedikit penasaran walau pun tahu kalau itu bukanlah urusannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status