Share

A Gentle Kiss
A Gentle Kiss
Penulis: Mira Restia

1. Raina

Devan menggenggam tangan Raina yang kini berbaring di rumah bersalin. Dia melihat raut ketakutan pada mantan kekasih adiknya itu. Sebenarnya, genggaman ini bukan karena rasa kasih sayang, akan tetapi sebuah keterpaksaan yang perlahan mulai mengikis hatinya yang sunyi.

"Jangan takut! Jangan berhenti berdoa biar hati kamu juga makin tenang. Percaya aja, bahwa kamu bisa melewatinya," ucap Devan dengan wajah datar. Seolah ucapan itu hanya sebatas kalimat penenang yang dia ambil dari g****e.

Raina mengangguk seraya memaksakan diri untuk tersenyum. Dia dapat merasakan, seberapa canggungnya Devan. Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangan pada langit-langit. Terlihat gerakan bibirnya membacakan do’a, namun raut wajahnya tetap resah. Sebentar lagi dirinya harus menjalani operasi Caesar.

Devan mulai melirik Raina kembali. Dia mengacak rambutnya karena kebingungan, kalimat apa lagi yang harus diucapkan pada wanita yang dengan terpaksa dia nikahi beberapa bulan lalu, hanya untuk menutupi aib adiknya.

Tapi memang pada akhirnya, tidak ada satu kalimat terucap dari keduanya, sampai seorang perawat memindahkan Raina dari ruang inap menuju ruang operasi.

Devan mengikuti brankar yang dibawa perawat, menuju ruang operasi. Masih harus menunggu lagi, brankar yang membawa Raina itu terhenti di ruangan tunggu yang disekat tirai.

Raina mendengus, tidak ada sesuatu tempat dia menumpahkan rasa takut, kecuali tangan Devan yang tidak sengaja menyentuh safety rail di sampingnya. Dia genggam tangan Devan, menautkan jarinya pada jari pria di sampingnya. Untuk pertama kali, dia melakukan hal itu.

Hanya kali ini dan hari ini, Devan bersedia meminjamkan tangannya sebentar. Meski tidak ada cinta untuk Raina, dia bukan pria yang tidak punya hati dan simpati disaat seperti ini.

Raina dibawa kembali oleh perawat ke ruang operasi, dan dia mulai melepaskan genggaman tangan itu, tangan yang cukup membuat hatinya tenang.

"Yang tadi istrinya ya, Mas?" tanya seorang Ibu-ibu yang duduk di samping Devan.

"Iya," jawab Devan.

"Bayinya cewek apa cowok?"

"Kalau di-USG, sih , cowok, Bu."

"Wah, selamat, ya! Ngomong-ngomong kenapa bisa harus sampai caesar?"

Devan memejamkan mata, malas dengan pertanyaan semacam ini, lagi pula dia tidak tahu alasan pasti Raina bisa operasi. Sehingga dia menjawab seadanya, "Air ketubannya sedikit, terakhir kontrol Dokter menyarankan operasi."

"Oh, dulu anak saya air ketubannya sedikit. Masih bisa normal tuh, apa gak dicoba induksi?"

"Hmm ... gak tahu, gak ngurus." Devan menjawab sambil mengacak rambutnya.

Jawaban Devan membungkam ibu-ibu yang kepo barusan. Ada sedikit penyesalan mengapa dia sampai berkata seperti itu pada orang tua. Tapi, saat ini dia sangat lelah hanya untuk mengurus Raina, sampai mengabaikan kesantunan yang selama ini dipertahankannya.

Selang 15 menit. Bayi Raina dibawa oleh perawat menuju ruang bayi. Raina masih berada di ruang operasi karena perutnya yang barusan disayat, masih dijahit oleh dokter.

Devan mengikuti langkah perawat menuju ruang bayi. Kemudian mengadzani bayi laki-laki yang diberi nama Zian. Tentu saja perasaannya biasa-biasa saja karena itu bukan darah dagingnya. Bahkan kadang, terbersit dalam hatinya untuk apa dia ada di sini.

***

Kamar Dandelion 1, ruang inap kelas VIP tempat Raina berbaring begitu sepi, meski dua orang berada di sana. Raina masih berbaring dengan efek bius yang belum sepenuhnya menghilang. Badan masih terasa menggigil, bagian perut serta kaki masih belum bisa digerakkan sempurna.

Beberapa saat yang lalu, suster memberitahu bahwa bayinya belum bisa satu kamar dengan Raina, butuh waktu maximal 24 jam untuk bayi tersebut di ruang observasi.

"Sudah aku adzanin tadi. Suara tangisnya juga kencang, dia terlihat sehat," ucap Devan membuka percakapan.

"Terimakasih."

"Ini fotonya!" Devan membuka galeri di gawai dan menunjukkannya pada Raina.

Raina tersenyum, dia nyaris lupa akan kondisinya yang tidak berdaya. Meski belum bisa melihat anaknya secara langsung, tapi hal itu membuat dirinya gembira.

"Namanya Zian Pradipta Lubis." Meski tidak suka situasi ini, Devan antusias memberi bayi itu nama, dan sudah pasti anak itu harus ikut marga keluarganya.

Raina pun, merasa berdebar karena anaknya sudah mengikuti marga keluarga Devan. marga yang akan melekat seumur hidup pada Zian.

"Terimakasih, namanya bagus, aku suka nama itu."

Enam jam kemudian, Raina belajar mengangkat kaki pelan. Mungkin terlalu pelan. Dia masih merasa takut untuk mencoba.

Devan masih berada di samping Raina, dari tadi hanya melamun sesekali melihat gawai. Tapi reaksi Raina membuat dia memiliki celah untuk memulai percakapan kembali.

"Dokter bilang coba belajar miring ke kiri dan ke kanan. Semakin diam semakin ototnya kaku. Biar besok bisa belajar duduk dan jalan sedikit-sedikit."

Beruntung, meski terlihat niat gak niat menemani Raina di rumah sakit. Tapi Devan pendengar yang baik di saat dokter memberi informasi. Setidaknya, setelah bertemu ibu-ibu kepo yang tadi, membuat Devan lebih menyimak.

Raina mengangguk, tidak berani bilang bahwa dia takut. Dia merasa canggung minta bantuan pada pria yang dia tahu tidak ada perasaan apapun selain rasa kasihan.

Devan memegang bahu Raina membantu wanita itu untuk menyamping. "Coba menyamping!" perintah Devan, dahinya berkerut. Dia bukan orang yang sabar untuk saat ini. Mungkin karena rasa lelah. Sebenarnya batinnya protes, segala aktivitasnya tertunda hanya untuk menemani Raina.

Raina menyadari raut wajah Devan yang tidak ramah. Dia memaksakan diri mengubur rasa takutnya. Mulai menyamping perlahan. Ototnya masih kaku.

"Sakit?" tanya Devan.

"Iya sakit, tapi gak sesulit yang dibayangkan. Cuma otot terasa kaku."

Memang tidak terlalu sakit untuk saat ini karena dokter memberinya obat anti nyeri yang paling bagus. Akan tetapi, untuk melakukanya butuh usaha yang keras karena dia merasa perutnya ditarik sesuatu.

Bagi Raina, raut wajah Devan yang tidak juga berubah ramah lebih menakutkan dari pada luka sayatan di perutnya.

"Tadi menyamping ke kiri, sekarang coba menyamping ke kanan." Devan membimbing Raina kembali, Memegangi bahu Raina.

Raina mendengus. Tiba-tiba ingin menjambak rambut Devan. Pria itu benar-benar tidak memberinya sedikit jeda untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu. Meski memang disarankan dokter, apa dia tidak tahu jika Raina masih takut.

"Hmm ... pelan-pelan," ucap Raina.

"Oh, Sorry."

Beruntung bagi Raina, beberapa saat setelah itu Bu April ibunya Devan datang. Pasti setelah ini, Devan akan pergi, bergantian menjaga Raina. Raina bersorak dalam hati, berharap Devan cepat pergi.

"Bagaimana keadaan Raina?" Senyum tulus mengiringi Bu April. Tangannya membawa tas berisi pakaian, Bu April akan menginap.

"Baik. Dia sudah bisa menyamping, Bu." Devan mewakilkan layaknya suster.

"Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya. Kamu istirahat dulu. Rain biar ibu yang jaga."

"Ya!" Devan mencium tangan ibunya berpamitan pulang.

"Besok kamu ikut menginap ya, Dev."

"Insya Allah, lihat kondisi dulu, ya, Bu. Aku udah habisin waktu dari kemarin di rumah sakit, pekerjaan Devan tertunda, Bu."

Devan sudah menemani Raina, kontrol, dan mengurus administrasi jadwal operasi dari kemarin.

"Devan pamit pulang dulu, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Raina melihat pintu tertutup dan Devan pun berlalu. Dalam hati dia bersyukur. Bukan hanya karena canggung. Tapi juga karena kasihan pada Devan, dia tidak ingin terlalu membebani pria itu.

"Memang kamu belum diperbolehkan makan dan minum?" tanya Bu April, saat melihat nampan makanan pasien utuh.

"Sudah diperbolehkan, Bu."

"Loh, kenapa makananmu masih utuh? Devan tidak membantu menyuapimu?"

"Em ... tadi aku yang menolak."

April mengerutkan dahi, tidak percaya. "Ya sudah, biar Ibu yang menyuapimu, ya."

"Aku bisa sendiri, Bu." Raina berkata sambil bersusah payah membenarkan posisi tidurnya. Tapi tidak berhasil. Menyamping saja masih sulit.

Bu April tersenyum. Pada akhirnya, dia tetap menyuapi Raina.

***

Setelah tiga hari berada di ruang inap. Raina hari ini bisa pulang. Zian sejak kemarin lebih banyak bersama April. Selain masih dalam masa perawatan Raina masih belum paham apa-apa tentang bayi.

Devan membawa tas perlengkapan Raina, April, dan miliknya, seolah dia suami siaga jika dilihat sekilas.

Ibu April bertugas membawa Zian. Sementara itu, Raina diantar menggunakan kursi roda oleh perawat hingga parkiran mobil.

Mereka pulang bersama seperti keluarga bahagia lainnya. Akan tetapi apa yang nampak dari luar tidak seperti aslinya. Devan tidak menginginkan Raina pulang bersamanya.

***

"Sekarang kamu tidur di sini, sama Ibu, ya. Biar malam Ibu bisa temani kamu jaga Zian."

"Baik, Bu. Makasih." Raina menjawab dengan senyum ceria.

Devan seolah tidak mau mendengar hal itu, malas ikut percakapan mereka. Dia hanya sibuk, merapikan barang bawaan tadi.

"Ini yang ginian taruh di mana, Bu?" Devan mengacungkan diaper berukuran New born - Small.

"Yang bungkus besar taruh di dalam lemari untuk stock. Yang bungkus kecil simpan di atas nakas untuk dipakai hari ini barengan tisu basah dan tisu kering."

"Oh, Oke."

Devan keluar dari kamar. Duduk di sofa sambil mengambil air isotonik yang sudah tersedia di meja. Mendengus, dia memikirkan kehidupan barunya.

Devan tidak tahu banyak tentang Raina. Yang dia tahu, Raina adalah anak teman ayahnya. Dia lulusan 2 tahun lalu, selisih 6 tahun lebih muda dengan Devan, semasa sekolah sering mendapat prestasi di bidang seni musik. Devan juga sempat melihat Raina tampil di acara peresmian Music School milik Devan. Saat itu, Raina bernyanyi aliran musik jazz. Sempat tersihir oleh suara Raina, bukan berarti Devan menaruh hati padanya.

Sebenarnya, tidak masalah jika Dia dinikahkan dengan wanita secantik Raina, bahkan mereka mempunyai hobi yang sama dalam bermusik. Tapi yang jadi masalah, Raina adalah kekasih adiknya, Dhaka.

***

Sudah satu minggu Raina berada di rumah Bu April. Malam ini dia terjaga sendiri untuk menyusui bayinya. Bu April sudah tidak menemani di dalam kamar. Tapi dia terjaga di tengah rumah bersama suaminya. Tidur di kasur lipat di depan televisi, mungkin sampai beberapa hari ke depan.

Hujan turun, sengaja Raina membuka sedikit tirai hanya untuk melihat percikannya. Baginya, hanya seperti itu bisa menenangkan hati. Raina begitu suka rintik hujan.

Tak lama kemudian, dia menaruh bayinya di kasur bayi tepat di sebelahnya, menutup kelambu berwarna biru, setelah sebelumnya memastikan kasur bayinya aman dari nyamuk.

Dia kembali menatap ke arah jendela, bukan untuk melihat hujan lagi, tapi ada suara mesin mobil masuk ke arah pekarangan. Devan baru saja pulang, tepat jam dua pagi.

Raina diam-diam mengamati, saat mobil masuk ke garasi, saat Devan membuka pintu depan. Tiba-tiba dia menutup tirai, tersadar pria yang dia amati mulai melirik ke arah kamarnya.

Raina membenarkan posisi tidurnya, rasa ngilu pada perutnya terkadang terasa saat dia merubah posisi berbaring. Saat sudah mendapat posisi yang pas, dia mulai memejamkan mata sejenak. Sambil memasang telinga siap-siap jika bayinya mulai terbangun lagi.

Raina kembali terusik, pintu kamarnya diketuk seseorang. Biasanya, jam-jam segini Bu April datang untuk melihat keadaan Raina dan bayinya.

"Masuk saja, Bu!" ujar Raina. Mata Raina membulat, bukan Bu April yang datang. Akan tetapi, Devan lah yang datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status