Share

2. Bayi Baru Lahir

Devan menaruh bungkusan warna putih. Tulisan mandarin dan logo brand di plastik tersebut membuat Raina tidak perlu bertanya untuk tahu isinya.

"Ini obat cina yang aku ceritain kemarin. Ada 6 kapsul, diminum setiap mau tidur, kata temanku proses penyembuhan luka caesar bakal cepet." Devan tidak tahu hal seperti ini, jika bukan dari temannya yang dengan inisiatif memberitahu duluan.

"Iya, makasih."

"Aku juga beli ekstrak gabus buat kamu, kamu kan gak suka makan ikan gabus langsung. Jadi gantinya ini."

"Iya, nanti bakalan aku minum," jawab Raina.

Beberapa saat mereka terdiam, pandangan mata Devan masih tertuju pada plastik yang sudah dia taruh di nakas. Seolah, ingin mengatakan sesuatu namun tertahan.

Raina tahu ada hal lain yang ingin Devan sampaikan, tapi dia pun tidak berani untuk bertanya.

Hingga akhirnya, Devan pun berkata, "Rain, ingat! Kamu harus cepat pulih! Dan, nanti tolong cepatlah pergi!"

Tadi siang, dia mendapatkan informasi dari temannya, bahwa Kirana mantan pacar Devan sudah tinggal kembali di Jakarta. Sebelumnya, Kirana pindah ke Riau dan menjalankan hubungan dengan pria lain, tapi semuanya baru saja berakhir.

Devan ingin kembali, semua itu tidak akan terwujud jika dia masih bersama Raina, yang diketahui semua orang adalah istrinya. Devan tidak bisa membayangkan reaksi Kirana, jika dia nekad ingin kembali, sementara ada Raina di sisinya.

"Kamu bisa pergi kapan pun kamu mau. Ingat, ijab qabul saat mengandung itu tidak sah. Aku kasih toleransi beberapa bulan buat kamu tinggal di sini."

Rain mengangguk. "Tenang saja, aku juga ingin cepat pulih. Aku juga janji akan pergi."

"Jangan bilang-bilang sama sama Ibu bahwa aku bilang kaya gini sama kamu!"

Raina mengangguk. Walau sebenarnya, dia sendiri kebingungan nantinya akan seperti apa hidupnya membesarkan anak seorang diri.

Raina tahu dari awal, bentuk perhatian apapun dari Devan, hanya untuk menebus rasa bersalah karena perbuatan adiknya menghamili Raina. Pak Petra, Ayah Devan meminta agar Devan bisa bersama Raina selamanya. Namun, Devan menolak. Cukup sampai Raina pulih total dan bisa secara mandiri mengurus bayi.

Sementara, Dhaka yang menjadi biang masalah. Batang hidungnya saja tidak kelihatan. Dia kabur, dan menimpakan semua tanggung jawab pada kakaknya.

"Kamu beneran gak tahu Dhaka ada di mana, Rain?"

Raina mendengkus, Devan sering bertanya hal yang sama padanya, padahal dirinyapun dirugikan. "Tidak."

"Kamu jujur?"

"Iya, tentu aja."

Devan tidak bertanya lagi, hanya menatap lekat pada Raina memberi isyarat bahwa Raina akan kena masalah jika dirinya bohong tentang keberadaan Dhaka.

Sebelum keluar dari kamar, Devan melirik bayi di samping Raina. Tertegun, sering dia melihat di berita online atau surat kabar, bayi dibuang oleh orang tuanya. Mungkin saja, hal serupa akan dilakukan Raina jika dia menghadapi sendiri aibnya.

Devan membungkuk demi dapat melihat Zian lebih dekat. Tersenyum kecil, saat melihat hidung Zian yang mancung, dan pipinya yang cuby. Ingin menyentuh wajahnya, tapi Devan khawatir membuat Zian terbangun. Devan pun pergi.

Setelah Devan menutup pintu, Raina melanjutkan aktivitas menjaga Bayinya. Lantas, menggapai obat yang dibawakan Devan tadi, lalu meminumnya. Bagaimana pun Raina berterimakasih karena sudah diijinkan tinggal di rumah ini, terlepas dari apa pun tujuan sebenarnya Devan.

***

Sisa hujan semalam masih terasa, udara lumayan dingin di pagi ini. Raina melihat jam ditangannya menunjukan pukul delapan, dia sudah bersiap-siap untuk pergi kontrol sekaligus mengganti perban di Rumah Bersalin Karya Bunda.

"Rain, kamu udah siap? Ayo pergi sekarang!" ajak Devan.

"Iya." Raina menjawab singkat, lalu mengikuti langkah Devan menuju parkiran mobil.

Mereka tidak banyak bicara saat perjalanan, jika tidak teralu penting keduanya memilih untuk diam. Bukan karena Raina orang yang pendiam, sebenarnya dia cukup supel dan menyenangkan. Akan tetapi, keadaan mereka yang tidak berniat saling mengenal lebih jauh.

20 menit di perjalanan. Kini mereka sedang menunggu antrian. Disebelah bangku kiri dan kanan mereka duduk, terdapat pasangan yang sedang mengantri juga, membuat sedikit iri dihati Raina, karena terasa harmonis sementara dirinya sebaliknya.

Raina kemudian menatap Devan diam-diam. Mencoba membaca apa yang Devan fikirkan saat ini. Tapi wajah pria itu hanya datar. Raina berpikiran mungkin saja dirinya adalah orang yang paling Devan benci. Tiba-tiba hadir lalu mengusik kehidupannya.

"Antrian nomer 7 Ibu Raina." Perawat memanggil, kemudian Raina dan Devan masuk. Saat itu, Raina tidak membawa bayinya dia menitipkan pada Bu April, dengan stock Asi di freezer.

"Selamat pagi, Bu Raina. Silakan duduk!"

"Selamat pagi, baik. Makasih, dok."

"Bagaimana ada keluhan? Obatnya teratur diminum 'kan?"

"Tidak ada, hanya masih kaku jika dibawa gerak."

"Oke, jagan dulu dibawa aktivitas berat. Pekerjaan rumah bisa dibantu sama suaminya dulu, iya kan, Pak!?" Dokter mulai menatap Devan.

Devan menelan ludah, merasa canggung. Dia tidak nyaman dengan status bapak satu anak. "Iya," jawab Devan pelan.

"Sekarang berbaring dulu, Bu. Kita akan cek jahitan di perutnya."

Raina mengikuti intruksi, berbaring dan mengangkat baju hingga terlihat jelas luka jahitan operasinya. Suster telah membantu melakukan itu semua.

Tibalah Dokter membuka perban anti air itu, kemudian melambaikan tangan pada Devan. "Kemari, Pak! Coba lihat bekas lukanya!"

Devan berdebar, pertama kali melihat perut Raina. Dia terpaksa melakukannya.

"Jahitanya bagus, lukanya cepat kering. Nanti, bekasnya lama-lama akan mengikuti warna kulit asli. Saya akan pasang perban anti air lagi, jadi bisa mandi ya, Ibu Rainanya. Kontrol tiga hari kedepan jika dirasa sudah tidak perlu pakai perban. Tidak perlu pakai lagi, Oke!"

Devan hanya mengangguk, dia yang biasanya fokus tiba-tiba blank gara-gara disuruh melihat perut Raina. Entah apa yang nyangkut di otaknya saat melihat perut Raina, hingga mengabaikan luka di perut wanita itu.

"Tugas istrinya sekarang, lanjut banyakin makan putih telur kalau bosen bisa sekali-kali gantian makan ikan gabus."

"Oke, dok."

***

"Rain!" Sapa Devan tiba-tiba saat mengemudi.

"iya?"

"Emm ... tadi Dokter bilang kontrol kapan ya? Aku lupa."

Raina mengerutkan dahi, mana mungkin Devan lupa hal yang baru saja disampaikan padanya. "Tiga hari kedepan, nanti kalau sudah bagus tidak usah pakai perban dan minum obat dari dokter lagi."

"Oh."

"Tumben, Bang Devan lupa?" tanya Raina.

"Dokter sialan itu malah suruh aku lihatin perut kamu, mana bisa aku konsen."

Wajah Raina memerah, dia merasa malu. Raina tidak berniat melanjutkan percakapan, saling berdiam diri seperti biasanya, sepertinya lebih baik.

Cuaca mendung selama perjalanan pulang. Raina memandang ke luar jendela, dan merasa senang saat gerimis mulai turun. Raina tersenyum, mengenang memori masa kecil yang senang bermain di bawah gerimis.

Saat mengemudi, Devan sempat melirik Raina. Baru pertama kali dia melihat wanita itu terseyum. Dan baru dia sadari, senyum Raina sangat indah.

***

Sore ini, Bu April menyiapkan perlengkapan mandi bayi Raina. Raina hanya melihat dari belakang dengan rasa berdebar.

"Kamu mau coba mandikan sendiri, Rain?"

"Em ... belum bisa, Bu! Besok aja, ya!"

"Perasaan besok-besok terus. Yah, gak bakal bisa-bisa kalau kamu gak mulai coba. Nanti setelah kamu pindah ke rumah Devan yang baru harus bisa sendiri, loh. Apa mau sama baby sitter?"

"Enggak lah, Bu. Raina mau sendiri, kok. Cuma masih deg-degan aja kalau mandiin."

Bu April tersenyum.

"Ya, udah Raina coba mandiin Zian ya, Bu."

"Nah, gitu, dong!"

Bu April merangkul Raina, hal semacam itu rupanya mampu membuat perasaan Raina menjadi hangat. Karena di rumahnya yang dahulu dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Raina menjadi merindukan ibu angkatnya, Almarhumah Bu Fatma, yang sudah meninggalkan dirinya saat masih SD.

Setelah selesai memandikan dan memakaikan Zian baju, Raina membawa Zian ke kursi teras depan rumah untuk bersantai di situ. Tempat favorit Raina, karena area depan rumah ini sangat asri dengan tanaman hias yang tertata rapi.

Raina menghentikan langkah, rupanya sudah ada Devan yang menempati kursi itu. Raina berpikiran untuk kembali ke kamar karena tak nyaman bertemu dengan Devan, terlebih pria itu sedang melakukan panggilan telepon.

Devan melirik Raina, lalu mengakhiri panggilan itu. "Udah dulu, ya. Sampai ketemu nanti."

Raina mendadak penasaran Devan bertelepon dengan siapa. Devan tersenyum dengan hangat pada si penerima telepon. Senyum yang tidak pernah dia dapatkan selama ini dari Devan.

"Eh, kamu, Rain. Zian baru mandi, ya? Ganteng banget."

"Iya."

Devan bangkit menghampiri. "Wah, harum sekali kami, Zian." Devan mengelus sedikit pipi Zian.

"Abang Mau pergi?" tanya Raina, saat tersadar Devan lebih rapi dari biasanya.

"Iya ada urusan bentar. Aku jalan dulu."

"Iya, hati-hati di jalan."

Raina tersenyum, akhirnya dia dapat tempat duduk yang dia inginkan.

***

"Kirana, aku mau kita balikan!" ucap Devan pada Kirana, yang sengaja dia temui di sebuah taman tidak jauh dari rumah Kirana.

"Jangan gila, Van. Baru aja kamu nikah beberapa bulan lalu sama wanita lain, sekarang ngajak balikan. Apa kamu pikir, aku tidak tahu tentang itu?"

"Semuanya, gak seperti yang kamu pikirkan."

"Ckk ... bahkan kalian sudah punya anak."

"Itu bukan anak aku, itu anak si berengsek Dhaka."

Kirana menautkan alis, sejurus kemudian mengibaskan tangan ke udara. "Udah lama gak ketemu, kenapa sekarang kamu jadi buaya gini sih, Devan? Gak usah lempar batu sembunyi tangan juga kali."

"Makannya kamu dengerin cerita aku dulu. Ini memang dirahasiakan sama keluarga. Aku jujur, itu anak si Dhaka."

Suara ponsel Devan beberapa kali berbunyi, Devan mengabaikan dan menggeser logo merah, untuk menghentikan panggilan.

"Angkat dulu teleponmu!" Kirana berkata, saat mendengar ponsel Devan lagi-lagi berbunyi.

"Gak usah, biarkan saja, nanti."

"Dari istri kamu?"

"Bukan, itu telepon dari Ibu."

"Aku pulang sekarang, kayanya kamu lagi sibuk-sibuknya sama bayi kalian." Kirana bangkit, melangkah pergi.

Devan menahan tangan Kirana. Diam-diam di belakang Devan, Kirana tersenyum, dia hanya sedikit tahan harga dan tarik ulur.

"Jangan pergi dulu, Ki. Raina hanya tinggal beberapa bulan saja di rumah."

"Kamu main-main, ya, Van? Tolong jangan ganggu aku lagi!"

Tangan Devan terlepas, dia melihat dari jarak beberapa meter ada ibunya Kirana, melihat ke arah dirinya. Bukan hal yang baik, orang tua Kirana tidak merestui hubungan Kirana dan dirinya.

Bukan hanya dari pihak keluarga Kirana. Petra dan April tidak sudi berbesanan dengan orang tua Kirana. Bisa-bisa seluruh bangsa Indonesia merana, jika melihat mereka bertengkar.

"Maaf, Kirana." Devan berkata sambil memundurkan langkah.

Kirana tidak menjawab, dia menghampiri ibunya yang berada di sebrang jalan.

***

April menghampiri Devan, setelah beberapa menit lalu menerima panggilan telepon dari seseorang. Wajahnya resah sepanjang menerima telepon.

"Devan, sini!"April memanggil Devan yang sedang duduk di sofa.

Devan menghampiri. Mengekor ibunya yang melangkah menuju dapur. Dia merasa heran, kenapa dirinya diajak ke dapur.

"Ibu mau nyuruh aku masak?" tanya Devan mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur.

Ibu menutup pintu. "Sudah jangan becanda dulu. Duduk! Ibu mau bicara sesuatu."

Devan duduk di kursi. Dia terkekeh. "Gak ada tempat diskusi yang lebih elegan, Bu?

April geleng-geleng kepala atas pertanyaan Devan. Suka-suka dia mau mengajak anaknya ngobrol di atas genteng pun, anaknya tidak boleh protes."Kamu tadi sore habis dari mana?"

"Habis dari rumah Arka, Bu."

"Jangan bohong, kamu menemui Kirana 'kan?"

Devan tidak menjawab. Merasa malas untuk menanggapinya.

"Tadi mamahnya Kirana telepon, dia bilang kamu datang dan mengganggu anaknya."

"Hmm ... iya, Devan memang sengaja ngajak Kirana bertemu." Devan langsung mengaku.

April mendengkus. "Jangan seperti itu, kamu kan sudah punya Raina."

Devan terkekeh. "Cewek itu kan, cuma sementara di sini, Bu. Dia udah punya akta kelahiran anaknya dari keluarga kita, kayanya udah cukup puas."

"Maksud kamu?"

"Cepat atau lambat, Raina harus pergi."

"Siapa yang akan pergi? Zian itu cucu Ibu dia tidak akan pergi sampai kapan pun, termasuk Raina."

"Hmm."

"Ayahmu pasti kesal jika tahu kamu menemui Kirana, Van. Bisa-bisa dia merebusmu hidup-hidup."

Devan jadi berpikir. Mungkin kah, selain menutupi aib keluarga. Petra memanfaatkan situasi ini supaya dirinya tidak kembali pada Kirana. Dia tahu, seberapa bencinya Petra terhadap orang tua Kirana.

"Devan gak bisa tinggalin Kirana. Lagi pula, sepengetahuan Devan, pernikahan saat hamil itu tidak sah, terserah kalau ibu punya pendapat lain."

"Kamu gak usah khawatir, ayahmu sudah merencanakan pernikahanmu kembali setelah Raina selesai masa nifas. Secara tertutup, hanya keluarga saja yang tahu.

"Apa?" tanya Devan kaget.

"Rencana ayahmu ini bagus 'kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status