Share

5. Canggung

Raina tertegun atas ulah Devan. Mungkin pria ini kerasukan atau sekadar kedinginan, atau mungkin juga karena sempat terlalu lama menjomblo. Yang jelas, Raina merasa tubuhnya sesak dan bergerak gelisah dalam pelukan itu.

"Rain!"

Raina gemetar saat Devan memanggil namanya dalam jarak sangat dekat. "Kenapa?"

"Request sambel goreng juga, ya! Terus cepetan masaknya, jangan pakai lama."

"Katanya angetin yang ada aja?"

"Cuma tambah sambal aja, kok. GPL!"

"Ya udah, kalau disuruh GPL lepas dulu pelukannya. Apa Bang Dev nyuruh aku masak di kamar?"

Devan melonggarkan pelukan dengan ekspresi biasa saja. "Sorry."

"Titip Zian, ya! Kalau dia bangun bawa aja ke bawah!"

Raina tergesa-gesa menuju dapur. Hatinya belum benar-benar stabil akibat pelukan dadakan yang dilakukan oleh suaminya.

"Oke." Devan menunggu di pinggir kasur, sambil diam-diam ngemil biskuit regal milik Zian.

Devan bisa saja ke luar cari makan. Di sekitar daerah tempatnya tinggalnya bahkan ada tempat makan 24 jam. Tapi memang dasar pria itu ada niat lain, hanya saja tidak jadi karena masih ragu-ragu untuk menjamah mantan pacar adiknya itu.

Ponsel Devan bergetar, ada pesan masuk. Dia menggeser layar dan mendapati wanita yang sempat dia hubungi waktu itu, tiba-tiba mengirim pesan. Itu dari Kirana.

Devan mengerutkan dahi. Apa mungkin saat berselancar di dunia maya, dia tidak sengaja tap icon love pada salah satu foto Kirana, sehingga wanita itu bisa berani menghubungi. Tapi diingat-ingat Devan sudah hati-hati untuk tidak ketahuan.

Hallo, Malam. Devan, kamu belum tidur? Hapenya masih online aja, nih.

Devan heran, terakhir kali Kirana bilang jangan mengganggunya. Tapi kini, malah dia kirim pesan duluan. Devan lalu menuliskan balasan pada mantannya.

Tak lama, Devan pun turun ke bawah menghampiri Raina. Dia melihat makanannya sudah siap di meja makan.

"Makasih, Rain. Sorry banget, kamu jadi masak malam-malam."

Raina tersenyum. "Sama-sama, gak apa-apa."

Setelah itu Devan menyantap makanan yang dihidangkan Raina sambil membaca beberapa pesan W* dari temannya yang belum sempat dibaca. Dia melupakan Raina yang berdiri mematung menatap ke arah Devan.

Raina ingin ikut duduk bersama tapi masih segan. Lagipula dia tidak ingin berlama-lama meninggalkan Zian. "Abang Rain ke atas dulu, ya. Lihat Zian."

"Tunggu!"

"Apa?"

"Besok beberapa temen lama aku yang dari Jati Negara mau dateng. Agak lama mereka di sini, kamu bisa bantuin aku pesenin makan siang dari Resto? Sorry aku baru ngasih tau, baru baca pesan dari mereka."

Raina mengangguk. "Bisa. Untuk berapa orang, dan makanan apa?"

"Lima porsi, makanan khas Betawi aja. Soalnya mereka suka masakan Betawi."

"Ok."

"Ya udah, sekarang kamu ke kamar aja duluan temui Zian!"

Raina berbalik badan. Dia berjalan sambil memukul-mukul kepala sendiri cuma gara-gara mengingat pelukan tadi.

Devan tertegun, khawatir dengan reaksi Raina yang seperti itu. Istrinya sangat aneh, dulu sering tersenyum pada hujan di luar, kemarin tersenyum pada piring kosong sambil tersipu malu. Sekarang memukul-mukul kepala secara berkala. Tapi, dalam situasi tertentu, dia juga sempat memergok Raina menangis secara diam-diam. Jangan-jangan, Raina terkena syndrom yang dikatakan ibunya itu.

Devan segera menandaskan makannya lalu pergi ke kamar. Dia mengendap-endap mengintip istri sendiri, memeriksa bagian tubuh Raina. Dia takut gara-gara putus cinta sama Dhaka, Raina nekad melukai diri dan bayinya.

Raina belum sepenuhnya terlelap. Dia kaget saat tahu Devan sedang memeriksa tangan dan kakinya seperti untuk bahan penelitian. "Abang sebenarnya lagi ngapain sama tangan dan kaki aku?"

Devan terperanjat, dia sampai tak sadar terlalu berlebihan dalam mengecek kondisi Raina. "Gak ngapa-ngapain."

Raina tak percaya, dia memasang wajah waspada dan menutupi tubuhnya dengan bantal.

"Te-nang a-ja! Aku gak bakal jual organ tubuh kamu secara ilegal." Devan buru-buru naik ke atas ranjang dan kembali tidur dalam posisi membelakangi Raina.

***

Raina mendengar bel rumah berbunyi. Dia berjalan ke depan rumah untuk membuka pintu. Setelah itu, dia melihat beberapa orang sedang berdiri di situ. Itu teman-teman Devan.

"Silakan masuk! Abang masih ada di kamar mandi," sapa Raina.

"Makasih!" jawab salah seorang dari mereka, mewakilkan.

Teman Devan masuk. Raina familiar dengan wajah mereka karena pernah bertemu di resepsi pernikahan hingga berfoto di pelaminan. Hanya saja, ada satu orang lagi yang terlihat asing. Wanita cantik menggunakan blouse maroon. Mungkin Raina lupa, atau dia pacarnya Dewa, salah satu teman Devan yang masih anteng menjomlo.

Karena asisten rumah tangga yang diminta oleh Devan belum juga datang, Raina menyiapkan semua sendiri walau sambil bawa-bawa Zian.

"Silakan duduk! Aku ambilin dulu minum bentar!"

"Makasih. Gak usah repot-repot, Rain," jawab Senja mewakilkan teman yang lain.

Senja adalah istrinya Faiz. Dia tahu Raina kerepotan jika harus ambil minum sambil bawa Zian, dia pun menawarkan diri mengais Zian. Sukur-sukur kalau Zian mau karena biasanya balita suka takut sama orang asing.

"Siapa namanya? tampan sekali, ya."

"Zian, Mbak!"

"Masya Allah bagus sekali namanya. Wajahnya mirip sama ayahnya, ya," ucap Senja gemas.

Dhaka dan Devan memiliki, wajah yang mirip. Tentu saja, maksudnya Zian mirip dengan Dhaka 'kan? Raina menelan ludah, malu mengingat kenyataan itu. Akan tetapi sungguh, Senja tidak bermaksud menyindir. Bahkan memang tidak tahu masalah itu.

Diam-diam, wanita berpakaian maroon tadi tersenyum geli. Dia seolah tahu kenyataan pahit dalam rumah tangga Devan. Dia tahu anak itu anak siapa.

"Zian sama Tante dulu, yu!" ucap Senja. Dia pun tersenyum ternyata Zian bersedia digendong.

Setelah itu, Raina pun bisa mengambil minuman dan beberapa cemilan di belakang.

Akhirnya Devan datang, dia langsung mendekat pada teman-temannya. Dia melihat istrinya juga sedang menyimpan minum di meja. Setelah itu, pandangan matanya berganti pada sosok wanita yang datang tanpa diundang. Karena bukan bagian dari teman yang direncanakan kemarin akan datang

Devan memalingkan wajah pada wanita itu, lalu berjabat tangan dengan Faiz , Senja dan Dewa. Sementara wanita itu, anggap saja mahluk tak kasat mata. Duduk di kursi paling pojok, berambut panjang tapi bukan kunti. Siapa lagi kalau bukan mantan tercinta Devan.

Devan tidak menyapa Kirana, meski ingin menyapa pun, Devan tidak enak pada Raina. Padahal harusnya santai saja, Raina tidak kenal dengan Kirana.

"Apa kabar kalian? Thanks udah nyempetin datang ke rumah gua, padahal kalian lagi pada sibuk semua 'kan?"

"Baek, Van. Sama-sama, kita malah yang gak enak sama lo, karena waktu itu belum sempet lihat kelahiran anak lo. Udah gede aja anak lo. Dah bisa apa dia?"

"Udah bisa nyaingin ketampanan gua, Bro."

"Yakin lo tampan? Anak lo iya tampan. Bapaknya sepet kaya cucian lecek."

Devan tertawa lepas mendengar becandaan Dewa. Dia tidak memperlihatkan masalah keluarganya, sekilas dia dan Raina baik-baik saja.

"Fanza makin gemuk aja, berapa kilo dia sekarang?" tanya Devan sambil mengusap rambut anak balita yang duduk di pangkuan Faiz.

"Lima belas kilo, gimana gak makin gemuk, jajan mulu, gak dikasih jajan ngambek. Kalau Zian berapa kilo, sekarang, Bro?

"Berapa, ya? Raina yang tahu." Kata Devan kemudian menatap Raina, "Berapa kilo sekarang Zian, Yang?"

Yang? Apa yang dimaksud Devan yang adalah sayang? Raina hanya tertegun, berpikir lama. Karena Devan tidak mungkin akan memanggilnya seperti itu, mengingat hubungan mereka yang selama ini kaku meski sudah tinggal satu atap.

"Sayang, barusan Faiz tanya. Zian berapa kilo sekarang?" Devan mengulangi pertanyaannya.

"8 kilo, Bang." Raina menjawab dengan wajah tersipu.

Raina harusnya menangis, jika saja dia tahu Devan memanggil sayang hanya untuk memanas-manasi Kirana. Tapi Raina masih muda, tidak berpengalaman soal trik kuno semacam ini.

"Kalian gak mau tanya anak gua berapa kilo?" tanya Sadewa alias Dewa sang jomlo halu.

"Anak sape, anak tetangga elu, W*?" tanya Faiz.

"Anak kucing gua, ada seperempat kilo lebih empat ons." jawab Dewa.

"Garing banget, joke lo." jawab Faiz.

Obrolan mereka berlanjut, seputar perkembangan Fanza dan Zian. Atau pun obrolan unfaedah lainya, mungpung mereka diberi waktu bertemu di tengah kesibukan, jadi topik apapun akan terasa seru.

Raina pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang sudah dia pesan via aplikasi. Senja sadar itu, dan berniat membantu Raina di dapur, Senja mengajak Kirana sekadar basa-basi.

Tanpa dia duga, Kirana bersedia ikut meski tidak terlalu akrab dengan kedua wanita itu.

***

Kirana mengedarkan pandangan di dapur rumah Devan yang familiar di matanya. Dia menyimpan beberapa kenangan di sini. Pilihan kombinasi warna kitchen set hijau pastel dan putih dapur ini adalah pilihannya, waktu itu. Begitu pun dinding kramik kamar mandi dengan motif salur warna krem, adalah pesanan Kirana.

4 tahun lalu, karena rasa sayang Devan pada Kirana, dia menyiapkan rumah sesuai keinginan Kirana sebelum mereka menikah, termasuk masalah lokasi dan warna. Dan kini, Kirana harus merelakan orang lain menggunakan hunian ini, yang dulu nyaris menjadi miliknya.

Bukan salah Devan. Karena Kirana memilih pisah duluan, dia malas direcoki keluarganya karena berhubungan dengan Devan. Kirana memilih menikah dengan pria lain, meski hanya bertahan satu tahun saja.

Devan yang patah hati waktu itu, mengabaikan rumah ini. Baginya, hampa jika tinggal seorang diri, berteman sepi. Rumah ini pun terbengkalai beberapa tahun, kosong seperti rumah hantu. Mungkin jika ada youtuber pemburu hantu masuk rumah ini, dia akan berkata, "Gila, rumah ini creepy sekali, gaes. Ada sensasi gagal nikah di dalamnya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
haha sensasi gagal nikah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status