Share

7. Staycation

Devan menunda pekerjaannya yang mulai menumpuk. Dia meraih smartphone, mencari website Hotel berdasarkan rating tertinggi di internet yaitu Crowne Luxury . Walaupun pada awalnya dia menanggap omong kosong saran dari anggota grup tadi, tapi apa salahnya dicoba.

Devan menghampiri Raina yang sedang main games Uncle the horor. Devan Ingin memberitahu sesuatu, tapi Raina terlalu larut dalam permainan, membuat Devan terhenti haya untuk melihat raut wajah Raina saat bermain.

Devan merasa aneh, padahal Raina sendiri yang memilih permainan, tapi saat hantunya muncul dia tutup mata, sambil bergedig takut. Jangan lupakan juga backsound games tersebut yang creepy.

Devan duduk di samping Raina. "Seru banget, ya?"

"Eh, Bang Devan. Udah selesai makannya?"

"Iya udah."

Raina menatap manik Devan, tegang. Mengingat perkataan Kirana tadi sore, dia jadi ingin menghilang dari hadapan Devan saat ini. Tapi dia sadar, dia bukan mahluk halus yang bisa langsung menghilang.

Apa ini waktu yang tepat untuk bicara? Tapi kata-katanya menggantung di tenggorokan. Bingung harus memulainya seperti apa. Atau dia langsung pamit saja, minta pulang ke rumah orang tuanya?

"Kamu kenapa liatin aku kaya gitu?"

"hmm."

"Besok kita staycation dua malam di Bandung. Kamu siapin pakaian kita, ya!"

"Kita?"

"Iya, kita. Kamu, aku dan Zian."

"Kayanya gak usah ngajak aku dan Zian. Abang bisa pergi sendiri."

"Pergi sendiri? Aku udah booking room type Royal famili suite karena mau ajak Zian juga. Kalau cuma pergi sendiri, itu artinya aku cuma pelanga pelongo di kamar seluas itu sendirian."

Raina tertegun, untuk apa Devan mengajaknya jalan? Toh, dia tidak diinginkan di rumah ini. "Bang Devan kalau mau main sama Zian main aja, aku tunggu di rumah. Nanti baju Zian aku siapin. Bisa pakai sufor dulu kalau Zian pengen mimi."

"Nanti siapa yang ganti diaper? Aku gak bisa." Ralat, bukan tidak bisa tapi tidak mau. Mana mau Devan berurusan dengan pup seorang bayi.

Raina mendengkus, ternyata dirinya dan Zian tetap satu paket, meski sudah diakali supaya dia tidak ikut, tapi tidak bisa. Raina mengerutkan dahi, bingung menyusun kalimat penolakan lainnya.

"Aku sengaja cari yang ada private jacuzzi yang menghadap ke view pegunungan, kamu bakal suka."

Raina tertarik saat mendengar hal itu. Dia membayangkan dirinya sendiri sedang berendam di jacuzzi  sambil menatap ke arah pegunungan yang asri. "Ya, udah! Aku siapin dulu keperluan buat besok."

Raina pergi ke kamar. Sekalian mengecek keadaan Zian yang sedang tidur. Dia melupakan rencananya memberi tahu Devan kalau Kirana sudah mengajaknya bertemu tadi.

Devan menghampiri piano XA miliknya. Merasa rindu, karena jarang tersentuh. Tapi alat musik kesayangannya itu, begitu terawat. Raina selalu membersihkan debu yang menempel hingga bagian pedal maupun leg assy. Atau bahkan mungkin, memainkannya sesekali. Devan mengijinkannya.

Kalau kamu lagi bosan, gak apa-apa pakai aja pianonya. Devan berkata waktu itu, saat Raina sedang asik mengelap fallboard.

Iya. Raina tersenyum.

Terpikir olehnya, untuk mengajak Raina bermain bersama. Atau mungkin dia bisa mengiringi Raina bernyanyi. Namun Devan sungkan. Meski satu rumah dan satu ranjang, dia tidak seakrab itu dengan istrinya. Dhaka seolah menjadi sekat yang membuat Devan enggan menyentuh Raina.

Devan selalu beranggapan, jika Dhaka tiba-tiba kembali, bisa saja Raina akan pergi darinya, dan kembali menjalin kisah asmara dengan Dhaka.

Masih belum beranjak dari bench piano. Devan terpaku sejenak. Merasa akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengusik hatinya. Seperti sekumpulan awan yang berkumpul memenuhi dada. Memacu jantung lebih cepat berdetak dari biasanya. Sensasi tidak biasa itu semakin bergemuruh, jika dia berada dekat dengan Raina.

Setelah cukup lama di ruang tengah. Devan pergi ke kamarnya untuk istirahat. Tapi saat membuka pintu, aura di dalam kamar begitu mencekam. Lampu tidur yang redup. Ada suara-suara srigala mengaung, dan denting piano bernada pilu, merobek hati. Dan itu semua berasal dari gawai Raina.

Devan menyalakan lampu utama. Dia terkekeh saat melihat Raina menutup kedua matanya dengan tangan, membiarkan gawainya terjatuh. Kakinya menendangi selimut dengan ritme cepat. Sementara di layar gawainya, terpampang jelas wajah hantu menyapa Raina. "Hwaaaa ..."

"Ngapain? Kamu bisa bikin Zian bangun kalau terus main games itu, Rain."

"Tapi aku suka." Raina mulai membuka mata, sebenarnya dia pun baru sadar Devan sudah ada di kamar.

"Kamu gabut banget, Rain."

Devan menggapai gawai yang terjatuh di kasur, menekan pilihan exit karena dia pun sudah merinding dengan suara backsound itu. Devan terperangah, saat melihat menu pada gawai Raina. Ada belasan games horor lain.

"Kamu udah kecanduan rupanya, sejak kapan suka games horor? Dulu gak pernah main 'kan?"

"Iya, baru-baru ini. Dipikir-pikir rumah ini 'kan sepi. Aku jadi kepikiran bikin suasana horor sendiri. Daripada ke rumah hantu kan gak ada yang ngajakin juga."

Devan bertolak pinggang, tersindir. Sadar dirinya memang jarang pulang. Tapi tidak tahu mengapa, Devan malah terseyum lebar merasa Raina begitu lucu mendeskripsikan suasana itu. "Ya sudah lah, asal jangan kesurupan aja."

"Enggak lah, ini seru banget."

Devan memberikan smart phone Raina, yang masih berada di tangannya."Sekarang tidur dulu! Besok kan mau berangkat ke Bandung pagi-pagi."

"Heem."

"Tapi kamu udah siapin buat besok 'kan?"

"Sudah, kok."

"Oke, selamat tidur." Devan mengelus kepala Raina mendaratkan satu kecupan hangat di puncak kepala Raina, sebelum tidur.

Ada keraguan saat Devan mengecup istrinya. Bagaimana jika Raina kembali pada kisah masa lalu. Bisa saja Dhaka tiba-tiba hadir diantara mereka, dan Raina memilih untuk pergi.

Devan naik ke atas ranjang, menatap ke arah Raina, lekat.

Raina yang dari tadi mencoba menstabilkan degup jantungnya karena mendapat kecupan dari Devan, memberanikan diri membalas tatapan mata Devan. "Kenapa tidak tidur? Katanya tadi, besok harus bangun pagi."

"Aku nunggu kamu merem duluan."

Raina belum mengantuk, dia masih ingin bermain games. Raina memaksakan diri untuk terpejam, supaya Devan juga terpejam dan mempunyai waktu tidur yang cukup.

Devan terseyum melihat reaksi Raina. Kelopak mata yang terpaksa tidur itu bergerak-gerak.

***

Kirana merebahkan diri di kasur kamarnya, memainkan smart phone. Dia menekan aplikasi W******p, mencari kontak bernama Devan. Beberapa kali Kirana ingin mengirim pesan, namun tidak jadi.

Percakapan terakhir kali di W* dengan Devan membuatnya gerah dan jengkel.

Hallo Devan, kamu belum tidur? Pesan Kirana kurang lebih dua minggu yang lalu, saat melihat Devan online lewat tengah malam.

Belum, tadi kebangun gara-gara lapar. Aku lagi nungguin istriku masakin makanan. Kamu sendiri gak tidur?

Susah tidur. Gak tahu kenapa, aku lagi kangen banget sama kamu.

Devan tidak membalas pesan Kirana waktu itu. Hingga kini, tidak ada komunikasi lagi. Sedikit menyesal, harusnya saat Devan minta balikan dia to the point bilang iya. Berniat hati tarik ulur perasaan Devan, malahan membuat Kirana susah sendiri.

Jika saja Kirana tahu, wanita yang dinikahkan dengan Devan secantik Raina. Dia tidak akan segegabah ini.

Kirana harus bertindak, sebelum perasaan Devan pada istrinya terlalu mendalam. Mungkin dia harus bertemu dengan Devan, meskipun harus ke rumahnya langsung. Dia yakin, separuh hati Devan masih tetap untuknya.

***

Berlama-lama dalam sebuah perjalanan liburan bersama Devan tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Raina. Makan berdua di luar saja terasa mustahil, ini malah diajak menginap selama dua hari. Jantung Raina bertalu-talu sejak tadi.

Dari sekian banyak tempat wisata keluarga, Devan memilih tempat yang cocok untuk Zian bermain. De Ranch dan Lembang Wonderland pilihannya.

Baru pertama kali ini Devan liburan tidak santai karena bawa perlengkapan Zian sambil dorong stroller. Dia membiarkan Raina menikmati liburan tanpa terbebani tugas apa pun. Hal itu membuatnya serasa menjadi bapak-bapak siaga, yang jadi tempat penitipan barang berjalan buat istri dan anaknya. Padahal, dia sama sekali tidak berniat seperti itu sebelumnya.

Tak lama, Raina membawa Zian menikmati salju buatan di salah satu wahana. Devan akhirnya bisa duduk, dia hanya memantau dari kejauhan. Karena memang dari awal, dia hanya berniat membuat Raina bisa melepas penatnya. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berlibur ke wahana keluarga.

Gawai Devan berbunyi, dia merogoh saku celana untuk menggapainya. Ada panggilan telepon dari Kirana. Devan menolak panggilan. Setidaknya, ini bukan waktu yang tepat untuk mereka berbicara.

Kirana mengirim chat bertubi saat tahu panggilannya ditolak. Devan membuka isi chat, dan terlihat beberapa chat dengan kalimat panjang seperti artikel. Membuat Devan malas membacanya, meski satu kata saja.

Kirana kembali mengirim pesan, dan Devan pun akhirnya penasaran juga. Meskipun yang dia baca hanya chat terakhir.

"Aku kangen sama kamu Devan. Apa kamu masih berniat untuk balikan sama aku? Kita bisa ketemu dulu 'kan. Bentar aja. Please."

Jika saja Kirana berkata seperti ini sejak dulu. Devan tidak akan ragu untuk menemuinya meski dia ada di luar kota sekali pun, pasti akan diusahakan pulang. Tapi keadaanya kini berbeda, Devan telah menikahi Raina secara sah.

Ada hati yang tertinggal untuk Kirana, nyaris saja Devan terjebak kisah masa lalu. Bayangan Kirana saat fitting baju pengantin, atau pun kebiasaan Kirana yang selalu memeluk Devan dari belakang, jika Devan bad mood. Pelukan itu bisa membuat perasaan Devan kembali membaik.

Devan berusaha membuyarkan kenangan lama, dan berusaha menerima kehidupannya yang baru bersama Raina.

Raina menghampiri Devan karena sudah cukup lama di tempat itu. "Abang, apa kita bisa check in sekarang? Zian kayanya udah ngantuk."

Devan melirik ke arah Zian, anak itu sepertinya belum mengantuk. Devan lalu melihat mata Raina yang berbinar-binar. Devan paham, bahwa alasan yang sebenarnya karena Raina ingin berendam di jacuzzi atau berenang di infinity pool

yang menghadap ke pegunungan juga.

"Iya, jadwalnya udah bisa sekarang. Tapi kita cari makan siang dulu, yuk! Aku udah lapar."

"Oke."

Devan dan Raina pun berjalan kaki menuju parkiran sambil mengobrol.

"Aku baru tahu tempat ini, cuma lihat info di internet di sini cocok kalau ajak anak balita. Kalau kamu pernah ke sini?" tanya Devan saat berjalan berdua di taman.

"Belum, aku paling kalau ke Bandung cari tempat camping bareng temen, di Bandung selatan."

"Oh, daerah pegunungan Malabar, ya? Jauh juga. Aku tadinya pengen ke sana tapi kayanya gak cocok kalau ngajak Zian."

"Iya, perubahan suhu udaranya juga terlalu jauh, Bang. Zian bisa-bisa kena pilek, tidak ada arena bermain anak juga. Nanti aja, kita bisa ke sana kalau Zian udah besar."

Zian sudah besar? Devan tertegun, apa itu artinya Raina ingin selamanya bersama dirinya? Devan tidak mengerti mengapa dirinya bisa deg-degan saat Raina berkata seperti itu.

"Rain, btw kamu ingin buru-buru ke hotel bukan karena Zian ngantuk, kan? Tapi ingin berendam. Iya?"

Raina tertunduk dan menahan tawa. "Tau aja."

"Gak usah sungkan. Kalau kamu mau apa-apa tinggal bilang aja."

***

Liburan Raina bersama Devan dan Zian harus terganggu gara-gara mantan kekasih Devan juga kirim pesan pada Raina. Raina seakan diteror oleh wanita itu.

Raina menyendok Wellcome cake yang sudah tersedia di nakas dengan wajah yang murung. Kudapan enak itu seakan hambar karena suasananya saat ini sedang kacau akibat ulah Kirana.

Devan keluar dari kamar mandi, melihat istrinya murung. "Kenapa wajahmu murung, Rain."

Raina menoleh pada Devan. Raina tak ingin menghancurkan momen indah di tempat ini bersama Devan. Mungkin nanti saat di rumah. "Aku gak kenapa-napa, cuma lagi ngantuk aja."

"Istirahat dulu aja kalau gitu."

Devan tersenyum pada Raina. Namun hal itu tak cukup mampu membuat hati Raina lebih baik.

Raina pun berbaring di samping Zian yang sudah tidur duluan dari tadi, supaya bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya di hadapan Devan.

***

Raina terbangun, dari tadi dia memang tidak berniat tidur. Dia membuka sedikit jendela, memandangi lampu-lampu di luar yang jumlahnya sedikit. Sepi dan dingin, suasana di luar yang terasa hingga ke dalam kamarnya.

Dia memutar memori, saat pertama kali tinggal di rumah Devan, saat Devan masuk ke kamarnya, lalu membuat suatu janji. Janji yang sebenarnya ingin dia ingkari.

Rain, ingat! Kamu harus cepat pulih! Dan, nanti tolong cepatlah pergi!

Aku juga ingin cepat sembuh, dan aku janji bakalan pergi.

Ucapan Devan melukai hatinya. Dia selalu mengingat hal itu. Terkadang dia ingin bertahan dan mengambil hati  suaminya. Akan tetapi, perkataan Kirana padanya membuat dia berputus asa. Devan bertahan hanya sekadar kasihan pada Raina, lalu untuk apa dia terus berada di sisi Devan.

Mungkin, Raina kali ini akan mengabulkan janji itu. Walau sulit untuk melakukannya, saat hati dan perasaan kian tumbuh karena terbiasa bersama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status