Share

2. Kesalahan Kecil Disi

Enam puluh menit berlalu, menandakan pagi sudah hampir menjelang siang.

Sia keluar kamar, memastikan semua keadaan sudah aman setelah dia menuruni tangga untuk memeriksa bahwa Brandy sudah tak ada, pergi.

Sia berlega hati untuk itu. Dia berpikir, sedikit udara segar di hari ini, mungkin bisa membantunya dari beberapa hal yang membuat gelisah dalam waktu bersamaan.

Ketika dia baru saja menutup pintu, seorang wanita tua sedikit mengejutkan Sia dengan muncul tiba-tiba di sampingnya. 

“Kau ... Pandora, bukan?”

Kening Sia mengernyit, dia bahkan lupa siapa nama lengkapnya selain dari Josie dan para perawat yang memanggilnya, Sia.

“Yang Nenek maksud itu, aku?” Dengan hati-hati Sia bertanya.

Wajah sedih seorang wanita tua mulai tergambar di sana. Si Nenek begitu khawatir dan seakan lupa, bahwa Sia sedang tidak mengingat apa pun tentang dirinya, masa lalunya. 

Tangan keriput si wanita tua mulai mengarah dan terjulur gemetar ke arah Sia, tepat ke wajahnya.

Sia mendadak tidak ingat, dan membiarkan dirinya melihat apa yang buruk dari balik cahaya putih memberitahu penglihatannya.

Sebuah tangga, dengan tubuh Nenek yang renta, terguling-guling dari atas puncak tangga, hingga ujungnya. Si Nenek tidak bersimbah darah, tapi kaku dan pucat. 

Cahaya putih  menyilaukan itupun, menghilang. Membawa Sia dalam kesadaran.

Sia mundur seketika, hampir terjatuh ke belakang jika dia tidak bersandar pada dinding di dekat daun pintu.

Tubuhnya sudah lemas sekarang, napasnya terengah, dengan getaran hampir meluruhkan sisa keberaniannya untuk bangkit, Sia merosot jatuh ke tanah, tak lagi mampu bertahan menopang dirinya.

Hampir menangis, tapi dia ingat, ada yang lebih penting.

“Nek ...” Ada keraguan di mata Sia, tapi wanita tua di depannya terlihat menunggu, bersiap dengan ketakutan Sia dan ceritanya, “kumohon, jauhi tangga, berhati-hatilah, jangan gunakan itu untuk mencapai lantai atas. Ma-maksudku, jika terdesak sekalipun, minta Anak dan Cucumu, menemanimu.”

Wanita tua itu terlihat meremas ujung rok midi berbahan brokat miliknya. Dia kembali bergetar, merasa gadis muda di hadapannya, sudah tidak memiliki kewarasan yang maksimal. Itu, pikir si Nenek.

“Nak, sebaiknya ... kau istirahat, jangan pergi keluar dan menyusahkan Josie. Ayo, kuantar kau ma—”

“Tolong jangan sentuh aku, Nek.” Suara Sia terdengar lemah, dia ketakutan sampai tak dapat bernapas dengan benar. Masih belum setengah hari, dan dia menyaksikan semua itu, dengan nyata.

Si Nenek mundur, merasa tidak dapat mengatasi seorang gadis dengan emosi yang menurut pengetahuannya yang tua, tidak bisa diatasi.

Wanita tua berbalik, tergesa berjalan dan sesekali melihat ke arah Sia yang duduk termenung di bawah dinding dekat pintu.

“Aku harus memberitahu Josie bahwa keponakannya, kurasa, sudah gila.” Wanita tua itu melihat ke belakang sekali lagi, lalu mendorong pintu rumahnya. 

*****

Wanita dengan paras manis, berkulit eksotis, bertubuh tinggi dan langsing, sedang berusaha keras mengejar pria di depannya yang berjalan semakin jauh.

Dengan cemas yang tidak berkesudahan, Disi, nama wanita itu, memanggil-manggil pria di depannya yang sama sekali tidak berpaling.

“Rigel! Kumohon tunggu!” teriaknya dengan rasa kesakitan, menunduk membuka sepatu hak tingginya yang terus mengganggu langkah kaki tergesanya sejak tadi.

“Rigel Auberon!” Teriakan itu berhasil membuat jarak sepuluh meter mereka seolah kini jadi tak berarti, karena si pria itu, berhenti, meski sama sekali tidak menoleh ke belakang.

Pria itu, Rigel Auberon, berhenti karena Disi berteriak memanggil namanya, mengalihkan banyak perhatian orang-orang untuk menatap mereka.

“Tetap berdiri di situ, jangan lebih dekat dari ini,” ancam Rigel, berdesis dengan suara tertahan dari balik deretan giginya yang bergemelutuk, ketika Disi menghampirinya.

“Rigel, kumohon ... maafkan aku. A-aku ... tidak sengaja, kupikir ... kau sedang tidur dan—”

“Meski dalam keadaan tertidur sekalipun, kau tak berhak dan sudah kuperingatkan berulang kali, untuk tidak menyentuhku jika ingin tetap berada dekat denganku.” Rigel melipat kedua tangan di depan dada, tidak angkuh, tatapannya dingin menembus Disi, sudah tak ada lagi kepercayaan darinya untuk wanita itu.

“Ini tak adil!” Disi histeris.

“Apa yang tak adil? Coba katakan padaku? Sudah kuberikan kau kebebasan untuk menyentuh, bahkan lebih dari itu pada pria manapun yang kau inginkan, asal bukan diriku, agar kau tidak merasa tersiksa. Lalu apalagi yang kau mau?”

“Aku menginginkanmu ...” lirih Disi, dia sudah menunduk dengan air mata yang kini mengalir perlahan di kedua belah pipinya, “aku begitu ingin menyentuhmu, memelukmu, menciummu, layaknya pasangan normal lainnya. Apa aku salah?”

Tetap dalam posisi yang sama, Rigel menggaruk alisnya menggunakan jari telunjuk. “Aku ingat, kau sudah bersedia dengan syarat yang kuajukan sebelum kita memulai hubungan ini,” kata Rigel.

“Tapi ... aku tidak bisa menahan keinginanku untuk menyentuhmu, kau ... kau bahkan tidak bersedia menggenggam tanganku meski sekali saja,” keluh Disi, memegang dadanya yang terasa sakit, dia terhina, merasa kotor karena sikap Rigel yang seperti itu padanya.

Rigel tertawa, mirip ejekan, serupa dengusan. “Berapa kali aku bertanya padamu, tentang kesediaanmu menerimaku? Coba kau ingat lagi bagaimana tiga bulan lalu, kau berusaha meyakinkanku tak masalah dengan hubungan tanpa saling menyentuh sama sekali seperti sekarang, lalu, apa aku salah? Aku sudah berulang kali pula mengingatkanmu tentang hal ini.”

Disi menggigit bibir, merasa perih. Dia hanya melakukan kesalahan kecil. Secara tak sengaja, dia terayu oleh keinginan hatinya untuk menyentuh Rigel yang sedang tertidur lelah dengan kepala terkulai di meja kerjanya.

Hanya menyentuh pipinya. Tidak lebih. Tapi Disi ingat bagaimana sensasinya. Dia ingat bagaimana menyentuh kulit wajah Rigel, membuat darahnya seolah memanas, jantungnya berpacu, dan tentu saja, gairahnya timbul.

Kini dia menyesalinya. Seolah sekali sentuhan wajah saja, mampu menghancurkan hatinya seperti sekarang ini. Perjuangannya selama tiga bulan, tidak berbuah apa pun.

“Rigel, aku ....” Disi tak mampu berkata apa pun. Mulutnya terasa kering, meski air matanya mengalir.

“Akhiri saja, Disi. Aku sudah tidak bisa memastikan lagi, apakah isi kepalamu masih terus ingin menyentuhku atau tidak setelah kejadian tadi.” Rigel melepas lipatan tangannya, memasukkan kedua tangan itu ke saku celana hitamnya.

“Tidak bisa, kau tidak bisa begini padaku,” isak Disi. Hatinya sungguh hancur saat ini.

“Tentu saja kau bisa. Karena aku yang menginginkan perpisahan.” 

“Rigel Auberon!” Kedua bahu Disi naik turun merasakan isak di antara suaranya yang sudah hampir hilang.

“Jangan buang waktumu bersamaku. Tidak ada yang baik dalam diriku. Aku bukan hanya tidak suka disentuh, aku juga tak suka menyentuh siapa pun.” Rigel tersenyum getir. “Bukankah itu aneh dalam sebuah hubungan? Jadi, berhentilah Disi. Kau sudah cukup lelah, carilah seseorang yang bisa memelukmu dengan erat.”

Disi kembali menjadi pusat perhatian karena tangisnya yang pecah, seusai Rigel berjalan semakin jauh darinya.

Orang-orang mengenalinya. Tentu saja. Dia Aktris berbakat dan Penyanyi terkenal di negeri ini. Suara manis dan merdunya kini hanya menyenandungkan isak tangis yang pilu.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
lupa udah pernah baca apa belum
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status