Limora Catty. Siapa yang tidak mengenalnya di pemukiman kumuh ini. Pemukiman Lauht. Limora menamai tempat ini tanpa pikir panjang, dan menandai Lauht sebagai tempat untuk dia dan Buckley berkuasa.
“Tamu istimewa yang mendatangi kita ini, siapa Buck?” Keramahan singkat dari Limora, dia tersenyum.
“Entahlah. Aku melihat dia berjalan ke sana kemari seperti wanita gila. Kupikir, dia pasti suruhan para penggusur atau apalah itu, untuk menyusup ke sini. Dia akan mengacau seperti Irene. Tidak akan kubiarkan itu terjadi lagi,” cerca Buckley. Ada guratan kemarahan di raut wajahnya.
Limora tertawa pelan, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak menampar Buckley yang bodoh. Limora sadar, dia mendapatkan berlian dengan cuma-cuma.
“Bisakah kau singkirkan prasangka tidak bergunamu itu, Buck?” Limora melirik Buckley, tajam dalam pandangan menekan. Suaranya saat bicara terdengar manis, tapi mengandung racun.
Buckley membungkam mulutnya sendiri. Dia tahu tidak akan ada gunanya berdebat dengan Limora yang maha benar. Lagipula, dia berhutang banyak pada wanita itu. Hutang budi atas kehidupan kedua untuknya.
Sambil menggerutu, Buckley meninggalkan Limora dan Sia dengan wajah ditekuk. Dia memilih menyerahkan semua masalah rumit pada Limora, dan hanya akan mengurusi hal berbau fisik yang biasanya sulit ditangani oleh seorang wanita.
“Hei, Nona, siapa namamu?” tanya Limora, mendekatkan wajahnya pada Sia. Dia ingin memastikan bahwa wanita basah kuyup di depannya ini, memang benar-benar cantik dan menawan.
Sia memundurkan tubuhnya, dia cemas akan pendekatan Limora, karena itu berarti mereka bisa saja bersentuhan.
“Sia. Namaku Sia.”
“Oh, nama yang bagus. Nama lengkapmu?” Limora menunggu. Dia melihat Sia kebingungan menjawab, membuat Limora mengernyit. “Apa kau sudah bahagia hanya dengan tiga huruf itu saja sebagai namamu?”
Sia memperhatikan bahwa mungkin, dugaan pertamanya, Limora bukanlah seseorang yang ingin berbuat buruk pada dirinya. “Galexia ... Galexia Pandora,” jawab Sia. Dia ragu apakah itu benar nama lengkapnya, tapi dia ingat seorang Perawat Rumah Sakit pernah menyebutkan nama itu saat Dokter memeriksa perkembangan tubuhnya.
“Hmm ... namamu memang bagus. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Limora, dia menatap Sia lekat-lekat. “Aku tidak ingin mendengarnya dari Buckley. Kau lihat sendiri bagaimana dia membenci hampir semua wanita di dunia ini, kecuali aku, bukan?”
Sia mengangguk setuju. Setidaknya, ada seseorang yang bisa diajak bicara dan itu melegakan untuk pertama kalinya, setelah dia diusir oleh Josie.
“Aku ... terjadi kesalahapahaman antara aku dan Bibi dari pihak Ibuku ...” Sia berhenti, menatap Limora yang menunggu dengan senyum terukir di wajahnya yang memiliki bintik-bintik di sekitar pipi kanannya yang penuh, “aku diusir dan berjalan tidak tentu arah, hingga tanpa sadar memasuki pemukiman ini. A-aku tidak berbohong, memang itu yang terjadi padaku ....” Sia menekan telapak tangan kanannya di atas dada, memberi kesungguhan pada ucapannya.
“Aku percaya padamu, Sia.” Limora merapatkan duduknya, mendekati Sia lebih dekat lagi, dia ingin menguatkan hati si berlian yang tiba-tiba muncul tanpa dia perlu bersusah payah mencarinya. Tapi Sia menjauh, hingga Limora kembali mengernyit. “Ada apa? Kau takut padaku?”
“Bukan, bukan begitu,” geleng Sia, dia melindungi semua anggota tubuhnya dengan memeluk dirinya sendiri, “aku hanya minta satu hal saja padamu, tolong ... jangan sentuh aku, dalam bentuk apapun itu. Aku mohon,” pinta Sia, hampir menangis.
Sekejap Limora terhenyak, dia penasaran, tapi urung bertanya. Jika ingin mendapatkan hati si berlian, Limora menggunakan pendekatan yang bijak agar Sia percaya padanya.
Limora akan membentuk cara pikir Sia dengan menganggap dirinya sebagai teman, dan akan selalu bersedia membantunya dengan tulus.
“Oh, baiklah, baiklah ...” Limora mundur, menggeser tubuhnya menjauh, “aku mengerti, dan aku akan menuruti keinginanmu, Sia.”
“Terima kasih,” ucap Sia lega. Merasa beruntung bahwa Limora tidak memperlakukannya dengan sedikit buruk seperti Buckley.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Apakah Bibimu itu tidak akan mencarimu?” Limora bertanya hati-hati, dengan tanpa suara yang seharusnya terdengar begitu mendamba.
Sia menggeleng kuat-kuat. “Sisie tidak akan mencariku, dia sudah sangat membenciku.” Sia tidak tersenyum, tidak juga bersedih, nyaris tanpa ekspresi.
Limora membaca hal tidak terduga untuk si berlian utuh belum tersentuh dihadapannya ini. Dia yakin, keberuntungan sedang menghujani dirinya dengan bertubi. Semua begitu sempurna.
“Lalu, apa sekarang kau ingin aku membantumu?”
Sia bukan tidak mencurigai Limora, dia paham akan dirinya yang akan dimanfaatkan dalam hal yang belum bisa dia duga. Tapi bagi Sia, hal buruk sudah terjadi beberapa kali dalam hidupnya, jika terjadi lagi melalui Limora, mungkin dia bisa menghadapinya.
Perlakuan baik dan lembut dari Limora pada orang asing seperti dirinya, tidak mungkin tanpa alasan. Sia tahu itu. Mereka sama-sama tahu bahwa hubungan ini atas dasar saling membutuhkan, memberi keuntungan satu sama lain.
“Ya, aku membutuhkan bantuanmu, dan aku akan membayarnya dengan pantas,” jawab Sia, kini tanpa keraguan.
Sia, yatim piatu dan tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Jika pun ada sanak saudaranya yang lain, itu hanya akan berakhir sama seperti hubungannya dengan Josie.
*****
Rigel mengernyit ketika melihat rumahnya yang berantakan. Dia ingat, memang dirinya lah yang terakhir kali menjadi penyebab hal ini terjadi semalam.
Tapi seharusnya, tempat ini, rumahnya yang luas ini, sudah harus bersih sebelum dia pulang dari kantor.
“Yoan!” Rigel berteriak sambil melepaskan dasinya. Dia melempar tubuh setinggi seratus delapan puluh empat sentimeternya, ke sofa.
Pria muda, Yoan Bailey muncul dengan langkah tergesa, dia baru saja memarkirkan mobil di garasi, tapi teriakan Rigel seolah mengisi seluruh penjuru rumah hanya untuk memanggil nama Yoan.
“Ya, Tuan?”
“Kau lihat?” Rigel menunjuk seluruh ruangan yang berantakan. “Kenapa aku masih melihat pemandangan ini setelah aku pulang?”
“Itu ...” Yoan menggaruk tengkuknya, dia merasa ini membingungkan, “Bella dan Yasmine tidak lagi bisa bekerja untuk Anda, Tuan—”
“Apa?” Rigel duduk tegak mendengar penuturan Yoan, dia mengernyit marah. “Cari tahu, apa gaji mereka tidak cukup selama ini? Apa aku perlu menambahnya menjadi dua atau tiga kali lipat? Cepat tanyakan pada mereka!”
“Maaf, Tuan. Pagi-pagi sekali aku mendapat kabar dari tetangga Bella, bahwa dia sudah pergi dengan kekasihnya ke luar kota. Mereka akan segera menikah. Sedangkan Yasmine, dia juga sudah pergi merantau ke luar kota, itu menurut Pamannya,” jelas Yoan. Dia sudah bersiap akan amukan dari Rigel yang sudah tampak sangat tidak bersahabat.
Benar saja, tanpa bicara, Rigel menendang meja kecil yang ada di depan sofa. Dia bangkit dan menatap tajam pada Yoan.
“Aku tidak mau tahu, cari pengganti mereka atau kau yang menggantikan semua pekerjaan mereka!”
Yoan mendesah dan mengeluh berulang kali dalam hati. Dia tahu ini akan sangat sulit. Banyak orang yang menolak, bahkan sebelum mereka tahu apa pekerjaan yang harus mereka kerjakan di rumah ini.
Alasannya, tentu saja, karena mereka cukup mendengar bahwa seseorang yang akan membayar upah pekerjaan mereka adalah Rigel Auberon. Sosok menyebalkan yang selalu terlihat bisa menghina hanya dalam sekali dia memandang seseorang.
Bersambung.
Sia terbangun karena nama lengkapnya dipanggil dengan lembut oleh Limora Catty. “Bisakah kita bicara? Aku punya berita baik untukmu.” Limora tersenyum. Keramahan yang tampak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sia mengangguk. Menarik tubuhnya untuk duduk bersandar di kepala ranjang. “Kau pasti ingin hidup dengan kedua kakimu sendiri, bukan?” “Ya, tentu saja.” Limora tersenyum senang, karena dia menang. “Seseorang membutuhkan tenagamu untuk membantu mereka membersihkan rumah dan memasak. Apa kau bersedia?” Sia tertegun sesaat, dia harus memikirkan semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi di masa depan. Tapi di saat seperti ini apa dia membutuhkan sebuah pertimbangan? Tidak, dia tidak butuh harga diri yang terlalu tinggi untuk bisa menerima pekerjaan itu. Sia tidak ingat siapa dia yang dulu. Di mana dia bekerja, tinggal, siapa teman-temannya, bahkan nama lengkapnya pun dia baru berhasil mengingat itu saat Limora Catty menany
“Nona Sia, benar?” Yoan langsung bertanya ketika nada tunggu diseberang menghilang.“Ya, benar. Maaf ... dengan siapa aku bicara?” Sia baru saja melepas mantel hijau tua kumal pemberian Limora—lagi—dari tubuhnya. Berdiri terpaku di sudut ruangan. Khawatir akan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan.“Aku Yoan Bailey, pelayan Tuan Rigel,” jawab Yoan.“Apa? Siapa itu? Lalu ... maksudku, ada hubungan apa—”“Ah, Limora Catty tidak memberitahumu apapun?” sela Yoan. Dia mengusap tengkuk sekilas, merasa sedikit berdebar karena suara halus bergetar dan lembut dari seberang.“Tidak, tidak ada,” jawab Sia cepat. Dia masih berdiri, menatap keluar jendela. Memperhatikan daun-daun berguguran dari pohon samping rumah, sambil berpikir dengan baik, apa ada kesalahan yang telah dia perbuat yang melibatkan Limora, atau tidak.“Akan kujelaskan, singkatnya, kau bekerja di rumah Tuanku yang bernama Rigel Auberon. Mulai hari ini, segala perintah atau hal yang dii
Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru be
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam
“Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel
Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Sia. Semburat merah muda seketika hadir kembali di wajah si gadis pelayan rumah.“Setelah sarapan, temui aku di alamat ini,” kata Rigel, mendorong kartu namanya ke arah Sia, “cepat ambil.”Dengan malu yang tidak tertahankan, Sia mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke saku gaun semalam yang bahkan tidak dia ganti karena tak ada pakaian wanita di rumah ini. Sia menolak dengan halus saat semalam Rigel menawarinya untuk mengganti pakaian Sia dengan kaus longgar milik Rigel, tapi tanpa bawahan.Itu akan sangat memalukan bagi Sia yang harus tetap membersihkan rumah dengan kaus kedodoran, sementara ada satu orang pria lagi di rumah ini yang bisa melihatnya berpakaian seperti itu.Tapi Sia bingung untuk kesekian kalinya, ketika Rigel mengatakan bahwa dia menyukai aroma Sia. Padahal Sia hanya mandi menggunakan sabun cair yang ada di kamar mandi khusus tamu pagi-pagi sekali tadi dan tidak mengganti pakaiannya.Yoan