Sia terperanjat saat berpapasan dengan Rigel di halaman samping. Nyaris tersandung gulungan selang air, Rigel mencegah itu terjadi dengan menangkap lengan kanan Sia.
Sadar akan kesulitan yang akan didapatkannya, Sia segera menarik kembali tangannya dari cengkeraman Rigel.
Mundur dua langkah, Sia gugup karena yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah si pemilik rumah. Meski begitu, Sia bersyukur karena dia tidak melihat sesuatu yang buruk tentang majikannya. Masa depan penuh darah atau kecelakaan yang bisa mengancam nyawa.
Rigel memandangi telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk memegang lengan Sia. Baru kali ini Rigel memegang seseorang lebih dari beberapa detik, jika itu menyangkut hal yang mendesak atau mendadak.
Di luar itu, dia berusaha untuk tidak menyentuh, apalagi memegang seseorang. Rigel membenci hal itu. Sentuh menyentuh membuatnya muak.
“Maaf, Tuan ...” Sia bergetar, menghindari kesalahan, tapi baru saja dirinya justru berbuat ulah langsung di depan si pemilik rumah, “aku Galexia Pandora, pelayan yang ditugaskan untuk membersihkan rumah Anda.”
“Aku sudah tahu mengenai hal itu.” Rigel menyahut tanpa peduli, kedua matanya masih fokus pada telapak tangan yang seolah ‘ternoda’ karena ulahnya sendiri.
Seketika Sia menjadi canggung. Dia sama sekali tidak menduga bahwa pemilik rumah akan pulang secepat ini. Sia bahkan belum menyelesaikan pekerjaannya di dapur.
Buru-buru, Sia berbalik menuju ke pintu samping, meninggalkan Rigel yang termagu dengan tatapan penuh konsentrasi pada telapak tangannya sendiri, seolah tangan itu sudah melakukan kesalahan besar yang tidak diperintahkan oleh otaknya.
Sia membereskan semua sisa bahan makanan yang berantakan di dapur, serta wadah-wadah kotor bekas memasak. Dia bahkan tidak sadar bahwa Rigel menyusulnya melalui pintu yang sama.
Memperhatikan Sia yang sekarang menggerakkan kedua tangannya untuk mencuci piring, Rigel sadar dia melakukan hal yang tidak berguna.
Belasan pelayan silih berganti melakukan tugasnya di rumah ini, tapi tak pernah sekalipun Rigel tertarik untuk mau tahu, apalagi memperhatikan cara kerja para pelayannya.
Memutar tubuh untuk berjalan meninggalkan dapur, baru selangkah, Rigel kembali berbalik, menatap punggung Sia yang terbalut gaun melewati lutut berwarna ungu pudar, dengan gaya ikat rambut half ponytail.
“Siapa tadi namamu?”
Sia sedang memegang piring yang baru saja dia bilas di luar wastafel untuk diletakkan pada rak piring di samping bak cuci piring itu, ketika Rigel mengejutkan Sia dengan bertanya.
Piring terlepas dari tangan Sia, berantakan di lantai dan menyisakan keterkejutan lain saat Sia menyadarinya.
Dengan acuh, Rigel menyilangkan salah satu kakinya, sebelah bahu bersandar di kusen pintu dapur. Lurus menatap Sia yang cemas dan terlihat bergetar.
Sia berjongkok, membersihkan pecahan piring yang bertebaran di lantai.
“Sedang apa kau? Cepat ambil sapu dan serokan!” perintah Rigel, masih dalam posisi yang sama. Dia sengaja tidak mendekat.
Sia bangkit. “Hati-hati dengan langkahmu!” seru Rigel. “Gunakan sapu untuk membersihkan pecahan kaca yang memiliki bagian besar.”
“Baik, Tuan.” Sia berjinjit, melakukan gerakan langkah kedua kakinya dengan hati-hati.
Semenit berlalu, Sia kembali dan mulai menyapu pecahan piring yang berukuran besar. Sementara Rigel baru saja pergi untuk mengambil selotip hitam dan slipper berbahan plastik dengan warna biru pastel.
“Sudah selesai?” Rigel menghampiri, melemparkan slipper itu secara pelan ke arah aman, di samping Sia. “Pakailah itu.”
Sia patuh, mengangguk sekilas dan langsung memakai pelindung kaki berukuran besar itu dengan sedikit canggung. Jelas memberi ruang lebih di belakang kedua kakinya.
“Ambil senter dan roti tawar beberapa lembar.”
Meski bingung, Sia tetap bergerak untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Rigel.
“Matikan lampunya!” perintah Rigel lagi.
Sia mundur beberapa langkah untuk memadamkan lampu, bingung semakin menggantung dipikirannya.
“Nyalakan senter yang ada di tanganmu, lalu terangi ke lantai di sekitar piring yang tadi pecah, pasti banyak serpihan kaca yang tertinggal.” Rigel memberi instruksi.
“Baik, Tuan.” Sia berjongkok, terlalu fokus pada lantai dan tidak begitu memperhatikan Rigel yang ada didekatnya.
Tangan mereka saling bersentuhan di lantai. Membuat keduanya tersentak dan menarik kembali tangan masing-masing, bersikap canggung dikeremangan dapur.
Sia berdebar, dia takut penglihatannya memberi gambaran buruk masa depan orang lain yang tidak ingin dia lihat.
Rigel mengernyit, dia memegangi tangan kanannya yang masih terasa memanas karena sentuhan singkat mereka.
“Kau belum menjawabku. Siapa tadi namamu?” Mengatasi kecanggungan, Rigel ingat jika gadis di sampingnya ini belum menjawab pertanyaan darinya. Meski Sia sudah memperkenalkan diri sejak awal pada Rigel.
“Galexia Pandora, Tuan.”
“Tetap di situ,” cegah Rigel sambil menunjuk cahaya senter di lantai. Dia segera merogoh saku celananya mengeluarkan selotip, “tahan!”
Sia mengangguk, memperhatikan jari-jari lentik Tuannya yang nyaman dipandang mata. Sia terlalu naif setelah hilangan ingatan, sehingga rasanya terlalu sulit untuk menjadi dirinya sendiri sementara dia tidak ingat siapa dirinya yang lalu.
Selama kurang lebih dua puluh lima menit mereka bekerjasama untuk menyelesaikan kekacauan yang dibuat Sia, dan selama itupula, baik Rigel ataupun Sia tidak mengeluarkan sepatah katapun.
“Apa ada yang Tuan perlukan lagi?” Sia memberanikan diri bertanya setelah semua selesai dan dapur kembali terang.
“Tidak ada ...” Rigel memalingkan pandangan ke meja makan. Dia baru menyadari bahwa ada beberapa hidangan di sana, “ini untuk makan malam?”
Sia mengangguk, “Benar, Tuan. Aku sengaja memasaknya sedikit lebih cepat. Agar saat Anda pulang bekerja, Anda tidak terlambat untuk makan malam.”
“Kalau begitu, ayo makan.” Rigel menarik kursi, duduk tenang, lalu menoleh untuk melihat Sia. “Ambilkan aku air.”
“Baik, Tuan.” Sia bergegas menuju lemari es, tapi tergelincir saat melewati lantai dekat wastafel dengan sisa air dari piring yang tadi pecah.
Suara gedebuk menandakan tubuh Sia berada dalam ambang bahaya. Rigel melompat dari kursinya, mengangkat tubuh Sia yang terus mengerang kesakitan.
Posisi Sia jatuh cukup berbahaya, berbaring dengan kepala bagian belakang terbentur ke lantai. Rigel seakan lupa bagaimana dia dengan panik membawa Sia menggunakan kedua tangannya untuk dibaringkan di sofa ruang tengah.
Sia sudah tidak sadarkan diri setelahnya. Membuat Rigel semakin panik dan menghubungi Yoan untuk segera membantunya.
Yoan tiba lima belas menit bersama Dokter Fredy yang langsung sigap memeriksa keadaan Sia.
Berdiri dengan gugup dipinggir sofa, Rigel memperhatikan Yoan yang terlihat begitu khawatir pada Sia. Berulang kali secara terang-terangan, Yoan seakan mengabaikan kehadiran Rigel dan hanya banyak bertanya pada Dokter Fredy.
Pemeriksaan selesai dalam dua belas menit.
“Dia baik-baik saja. Sebaiknya, baringkan dia di tempat tidur. Butuh beberapa jam untuk beristirahat sampai dia terbangun nanti,” jelas Dokter Fredy pada Rigel, meski yang bertanya tentu saja, Yoan.
Tanpa pikir panjang, Yoan mengangkat tubuh Sia. Kulit mereka saling bersentuhan satu sama lain. Bahkan dalam tidurnya, Sia bisa melihat melalui mimpi bagaimana Yoan mendapatkan bencana di masa depan.
Bersambung.
“Kau harus tetap hidup.” Ucapan Yoan membuat Sia membuka kedua matanya. Seakan bagai nyata, dia melihat tubuh Yoan melindunginya dari sesuatu.Kedua mata Sia memicing, keadaan sekeliling memperlihatkan reruntuhan bangunan dari atas satu persatu jatuh ke bawah. Sia berbaring dengan tubuh Yoan di atasnya, melindungi Sia dari reruntuhan.Yakin ini hanya sebuah mimpi, pemberitahuan dari penglihatannya, Sia mengusap darah yang mengalir turun ke pelipis Yoan. “Ya. Aku akan terus hidup bersamamu. Jangan khawatir, mulai sekarang, aku hidup untuk melindungimu.”Sementara di dunia nyata, Yoan sudah membaringkan tubuh Sia di ranjangnya. Dia bahkan tidak meminta Rigel untuk bersedia memberikan kamar tamu agar Sia bisa istirahat di sana.Rigel mengantar Dokter Fredy ke depan pintu dan bicara singkat mengenai tubuh Sia yang kuat, serta dia yang ternyata memiliki riwayat tubuh dalam masa pemulihan, dan memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.Berenc
Berjalan beriringan, Rigel memutuskan untuk mematikan mesin mobil saat Sia memberitahu bahwa tempat tinggalnya, berjarak dekat dari rumah mewah Rigel.“Sejak kapan kau tinggal di rumahmu itu?” Pertanyaan Rigel lebih mirip curiga. Dia memang tidak menyukai segala bentuk pengintaian orang asing terhadap dirinya.“Sehari setelah aku bekerja di rumah Anda.”“Kau sengaja mencari yang dekat dengan rumahku?”“Mungkin, ah, maksudku, bukan aku yang mencarinya, tapi Catty yang menyediakannya untukku.”“Catty? Siapa itu?” Rigel mengernyit. Dia tidak tahu apapun dan memang tidak ingin tahu mengenai kehidupan para pekerja di rumahnya, seharusnya begitu, karena Rigel selalu seperti itu sejak dulu, sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Tak perlu peduli, mereka tidak setara. Jika Rigel membuka jalan hingga terbuka, para pekerja itu akan masuk dan merusak dinding penghalang antara keinginan tidak tersentuhnya dengan ketamakan mereka yang menginginkan lebi
Sia gugup, bingung. “Ke rumah Anda, Tuan?”“He-em, ayo cepat. Aku lelah dan ingin segera tidur di ranjangku.” Rigel tanpa sadar mengulurkan tangannya, tidak memberi Sia waktu untuk berpikir, dia menarik tangan Sia. Melangkah santai menyeberangi jalan.Sia tidak keliru, dia sengaja tidak menepis tangannya dari genggaman Rigel, karena ingin mencoba lagi untuk memastikan bahwa memang benar, Sia tidak bisa melihat apapun masa depan buruk dari Rigel meski mereka sudah bersentuhan beberapa menit.Rigel tidak mengerti ada apa dengan dirinya. Sudah selesai menyeberangi jalan, hati dan isi kepalanya bekerja sama untuk tetap menggenggam tangan Sia dengan niat sampai mereka tiba di rumahnya.Genggaman tangan mereka basah. Itu lucu karena kedua telapak tangan mereka sama-sama berkeringat akibat gugup.“Apa aku pria yang semudah ini? Kenapa berpegangan tangan saja sampai membuatku berkeringat dingin?” gumam Rigel kasar, dalam hatinya. Dia melirik Sia yang diam
“Kau cantik. Tidak berniat menjadi model atau bintang iklan?” Rigel masih memperhatikan wajah Sia tanpa malu-malu. “Aku memiliki teman yang bisa membantumu.”Sia terperangah, menyadari kesalahan fatalnya yang lancang mengusap keringat di kening Tuannya. Tapi berhubung Rigel tidak membentaknya, Sia hanya diam dengan tangan yang sudah dia tarik kembali ke samping tubuhnya.“Sepertinya tidak, Tuan.”Rigel tetap mempertahankan kedekatan mereka, mencari-cari kesungguhan di wajah Sia. Biasanya, tidak ada wanita yang menolak saat ditawari pekerjaan menjanjikan tidak hanya dalam segi materi, tapi juga ketenaran.Sia menolaknya. Rigel tidak habis pikir. “Kenapa? Kau mengira aku akan membohongimu?”“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak berpikir begitu, Tuan.”“Lalu?”“Aku sudah cukup senang bisa bekerja di sini. Membersihkan rumah dan memasak untuk Tuan dan Kak Yoan.”“Begitukah?” Rigel mendadak menemukan ide gila. “Kalau begitu, coba pel
Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Sia. Semburat merah muda seketika hadir kembali di wajah si gadis pelayan rumah.“Setelah sarapan, temui aku di alamat ini,” kata Rigel, mendorong kartu namanya ke arah Sia, “cepat ambil.”Dengan malu yang tidak tertahankan, Sia mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke saku gaun semalam yang bahkan tidak dia ganti karena tak ada pakaian wanita di rumah ini. Sia menolak dengan halus saat semalam Rigel menawarinya untuk mengganti pakaian Sia dengan kaus longgar milik Rigel, tapi tanpa bawahan.Itu akan sangat memalukan bagi Sia yang harus tetap membersihkan rumah dengan kaus kedodoran, sementara ada satu orang pria lagi di rumah ini yang bisa melihatnya berpakaian seperti itu.Tapi Sia bingung untuk kesekian kalinya, ketika Rigel mengatakan bahwa dia menyukai aroma Sia. Padahal Sia hanya mandi menggunakan sabun cair yang ada di kamar mandi khusus tamu pagi-pagi sekali tadi dan tidak mengganti pakaiannya.Yoan
Rigel benar-benar tertidur setelah Sia mengusap-usap perutnya yang rata, dalam beberapa menit berlalu. Merasa canggung, Sia perlahan-lahan duduk dan bersandar di kepala ranjang, setelah memastikan bahwa Rigel benar-benar sudah tidur dengan nyenyak.Jantung Sia masih saja berisik. Dia tidak paham apa artinya. Tapi jelas, dia merasa sangat tidak nyaman berada di kamar Rigel berduaan saja. Pikiran Sia menerawang jauh, ada perasaan ingin menyerah dan berhenti bekerja di sini, di rumah mewah milik pria yang kini tertidur pulas di sampingnya.Tapi jika mengingat bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi tanggung jawab Limora Catty terhadap dirinya di depan Rigel dan Yoan, Sia resah.Sia sama sekali tidak sadar ketika Rigel terbangun dan menatapnya. “Kenapa berhenti?” keluh Rigel. “Lihat, aku jadi terbangun.”“Oh, maafkan aku, Tuan.” Sia panik, kembali merosot dan mendekati Rigel.“Peluk aku.” Tangan Rigel sudah terbentang.Sia ragu, tapi
“Aku tidak ingin melihat kau dan Yoan berpelukan seperti itu lagi, apa kau mengerti?” Rigel menekan nada bicaranya agar tidak terdengar seperti sebuah bentakan terhadap Sia.“Baik, Tuan.” Sia mengangguk, menunduk sembari meremas gaun di samping tubuhnya. Dia mulai merasa tidak nyaman dengan sikap Rigel.Rigel menghela napas. Dia bingung pada dirinya sendiri. Mereka masih berada di dalam mobil dan belum pergi kemanapun. Yoan baru saja kembali ke kantor, atas perintah Rigel.Keheningan benar-benar tercipta di dalam mobil. Sia merasa sesak karena dia berpikir banyak hal tidak benar yang terjadi padanya, Rigel, dan Yoan.“Kita akan pergi ke tempat yang aku ingin kau pergi ke sana. Apa kau keberatan, Galexia?”Suara lembut Rigel membuat Sia mendongak, perubahan suasana hati Rigel memang luar biasa baginya. Tadi, betapa suara Tuannya itu seakan mencekik leher Sia, namun kini, halusnya terasa begitu menenangkan.“Tidak, Tuan.”“Kalau begitu,
“Oh, silahkan kalau begitu.” Sia mundur, menatap Rigel, lalu berusaha melepaskan tangannya yang tak kunjung dilepas.“Mau kemana? Tetap didekatku, jangan lepaskan tanganmu,” bisik Rigel, terdengar mengikat.Sia menurut, dia melihat betapa wanita berkulit eksotis itu seakan ingin menelan dirinya hidup-hidup. Kekesalan tampak jelas di matanya.“Ada apa?” Rigel bertanya dengan nada yang kasar, sikapnya dua kali lebih tidak bersahabat dari sebelumnya.“Kau ingin aku berteriak-teriak di sini? Tidak apa-apa?” Disi mengangkat alis, bertanya dengan nada menghina, kedua matanya sesekali tertuju pada Sia.“Tidak masalah, silahkan saja.” Tampak tidak peduli, Rigel justru merangkul pundak Sia dengan mesra.Menggertakkan gigi, Disi menahan amarah yang sudah siap meledak. “Hubungan kita belum berakhir, sayang. Kau hanya marah padaku sesaat. Dua minggu, dan ini sudah lebih dari cukup untuk m