Sayangnya, itu tidak terjadi. Sia sama sekali tidak memohon lebih seperti yang diharapkan Yoan.
Justru ketakutan merambat naik dengan cepat ke tubuh Sia. Berulang kali Sia tampak tidak menikmati pergerakan mereka. Tatapannya hanya tertuju ke ranjang di mana sekarang Rigel tampak berbalik arah.
Sia refleks melepas diri dari dekapan Yoan. “Maaf, Kak. Tuan mungkin bisa terbangun lebih cepat.” Selesai mengucapkan itu, Sia dengan tergesa melangkah menuju ranjang.
Memang di luar dugaan, Rigel terbangun sesaat tanpa membuka mata untuk mencari Sia dengan meraba-raba sosoknya yang tiba tepat waktu dibalik selimut Rigel.
Menghela napas di antara ketakutannya, Sia menoleh untuk memastikan Rigel masih nyenyak dan tidak membuka mata.
Yoan terpaku di tempat. Meski ada kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya, tapi dia berusaha memahami keadaan.
Sia mengangkat sedikit kepa
Sia keluar ruangan Rigel dengan langkah yang sedikit sulit. Percintaan yang menggemparkan ranjang dan tubuh mereka berulang kali memanas tanpa mampu teredam. Rigel mengizinkan Sia menghirup udara segar di luar, karena Dokter datang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan terakhir pada dirinya. Austin yang sudah menunggu di tempat janji mereka bertemu, tidak terlalu memperhatikan langkah Sia yang tampak menahan kesakitan. “Kau merasa yakin bisa bicara leluasa di sini?” tanya Austin, ragu karena ada banyak pasien, perawat, bahkan para penjenguk yang lalu lalang di sekitar mereka. Lagipula, ada beberapa orang yang hafal wajah Austin si Asisten Disi yang tampan. Sehingga Austin merasa tidak nyaman untuk beberapa tatapan yang dilayangkan padanya. “Kenapa tidak?” Sia menjawab, tapi dia tahu kegelisahan Austin, hanya berusaha bersikap wajar pada orang asing. “Bagaimana jika di taman Rumah Sakit saja?” Austin menawar, dan beruntung Sia mengang
Yoan melihat jejak tidak beraturan di leher Sia pada bagian atas, sedikit mendekati bawah dagu. Yoan berdeham agar Sia menyadari kesalahannya. Tapi percuma saja. Wanita itu sibuk menyiapkan makanan di atas meja.Tanpa melihat ke wajah Yoan, Sia mengingatkan Yoan untuk membersihkan diri terlebih dulu sebelum makan malam.“Kau mau ke mana?” Yoan menahan lengan Sia yang bersiap pergi.“Ri ... ah, Tuan Rigel perlu dibangunkan. Dia tidur sejak tadi.” Sia gugup ketika lupa menyebut ‘Tuan’ di depan nama Rigel, sementara saat ini Yoan sudah tampak memanas, pria ini berpura-pura tidak menyadari dan tidak memperlihatkannya. Seolah dia baik-baik saja karena hal itu.“Biar aku saja.” Tanpa menunggu, Yoan sudah pergi menuju kamar Rigel. Mengedarkan pandangannya ketika masuk, memicing untuk memastikan sesuatu.Menghela napas, meski dia tahu Rigel dan Sia mungkin melakukan sesuatu dibelakangnya, tapi Yoan tetap mera
Tidak pernah ada yang tahu siapa Ayah dan Ibu dari Rigel Auberon. Bahkan Yoan yang telah bersama dengannya setelah bertahun-tahun yang lalu pun, tak tahu menahu mengenai hal itu.Tapi, pagi ini, sepasang suami istri berusia akhir lima puluhan, bertandang tanpa tujuan ke rumah yang jarang kedatangan tamu, kediaman Rigel.Di kamarnya, Rigel dan Sia sedang sibuk membelai satu sama lain, sudah membersihkan diri bersama, bahkan tubuh mereka kini beraroma mint, ketika Yoan dengan hati yang panas, mengetuk-ngetuk pintu kamar Rigel sembari berseru. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu Anda sekarang.”Sama-sama terperanjat, terutama Sia, mereka duduk tegak di ranjang. Dengan sigap, Rigel menutupi tubuh polos Sia menggunakan selimut, dan mencium cepat tepat di keningnya.“Tetap di sini. Jangan bergerak tanpa perintahku,” ucap Rigel, langsung turun dari ranjang. Dia memang tidak ingin wanitanya dilihat dengan pandangan liar oleh Yoan. Tubuh Sia
Dengan kepala yang terasa berat, mata sedikit berkunang-kunang, Sia bangun dari pembaringan. Dia hampir terjatuh dari ranjang saat berniat turun dan mendapati kakinya tak menginjak lantai, tapi udara.Menaikkan kembali kedua kakinya, Sia mundur ketakutan sampai bersandar pada kepala ranjang. Dia ingin menenangkan dirinya, bahwa dia sedang bermimpi, dan akan segera dibangunkan oleh Rigel atau Yoan.Memeluk lututnya seperti ada air dingin yang mengguyur tubuhnya, Sia menggigil. Sekarang dia tahu, ini bukan mimpi.Di saat itulah Adlin dan Miria muncul dari kejauhan, seolah berjalan di atas udara untuk menyambut sang terdakwa hukuman mati.“Halo, Galexia Pandora,” sapa Miria. Dia tidak tersenyum, tidak juga cemberut.Disampingnya, Adlin melipat kedua tangan di depan dada. Auranya terlihat lebih gelap dari sebelumnya.“Ha-halo, Nyonya,” balas Sia. Dia gugup. Aura Adlin membuatnya tegang.Miria sadar itu, jadi dia me
Pria itu diam sejenak, lalu sengaja mengalihkan jawabannya dengan sebuah pertanyaan. “Menurutmu bagaimana?”Sia dilanda gelisah dan ketakutan. Dia baru saja memulai hidup. Meski tidak tahu seperti apa saat berada dalam tidur panjangnya, tetap saja, delapan bulan itu dia seperti mati suri.“A-aku ... aku tidak tahu,” jawab Sia pelan, tidak berani melihat ke arah si pria yang duduk cukup dekat dengannya.“Sebenarnya, apa tujuanmu untuk tetap hidup, Galexia Pandora? Berikan aku sebuah alasan yang bagus.” Pria itu berusaha memberi satu kesempatan untuk berangan, kemudian akan dia hempaskan sesuka hatinya.Sia merenung dalam keadaan cemasnya. Tidak ada yang istimewa dalam hidupnya sejak terbangun dari koma, selain percintaan menyenangkan bersama Rigel, dan kebersamaan hampa dengan Yoan.Jadi, sekarang dia ragu pada apa tujuan hidupnya selama tiga bulan yang sudah dia jalani, seolah hidupnya tidak akan pernah berakhir
Vanth mengulum senyum, sesuai dugaan dan perkiraan, seperti inilah kepribadian baru yang akan dijalani Galexia Pandora.Keras kepala, tidak memiliki empati, dan tentu saja, bisa bertahan hidup dalam keadaan apapun.“Pandora!” geram Gita, dia berteriak dalam suara yang tertahan lewat kumpulan gigi-giginya yang bertabrakan.Vanth tahu, Gita akan dengan senang hati membiarkannya memotong antrean, tapi tidak dengan Sia.“Apa, huh?” Sia membalas Gita secara terang-terangan. “Kau mau membiarkan dia—”“Sudah-sudah, tolong jangan bertengkar,” kata Vanth, menengahi. Dia menahan lengannya di antara Sia dan Gita yang siap beradu mulut.“Kau juga, enyahlah dari hadapanku!” teriak Sia. Dia menepis lengan Vanth yang terhormat.Keributan benar-benar akan terjadi di dalam antrean, jika Miria tidak datang dan coba membawa pergi Tuannya yang tampak puas, bahkan tertawa-tawa gembira&mdash
Ancaman Sia benar-benar manjur. Dengan kesal dan takut yang sengaja disembunyikan, Disi berbisik untuk pamit dari hadapan Rigel, lalu mengikuti Sia yang sudah lebih dulu bergerak menjauhi pinggir pantai.Tadi, saat terlalu bersemangat menciduk Disi, Sia benar-benar tidak memperhatikan apalagi sampai mengenali Vanth sebagai pria lusuh yang memintanya memotong antrean di stan jajanan pasar, dengan pria yang kini berpakaian pantai berkacamata hitam, serta berkulit putih pucat.Tidak lama setelah Sia dan Disi melewati Miria yang masih terheran-heran, Vanth menyusul pergi, tapi bukan untuk mengikuti dua wanita yang tidak pernah akur baik di kehidupan pertama mereka, maupun yang kedua ini, melainkan ke arah Miria yang tampak bersiap mendengarkan penjelasan pemimpin negeri atas awan.Sedangkan Adlin tertidur di kursi santai, tanpa berniat bangun. Bahkan dengkuran halusnya membuat Rigel kesal dan memilih untuk ikut pergi meninggalkan pantai.Vanth duduk sedikit j
Sia tidak pernah merasa perlu memeluk guling setiap kali dia tidur. Tapi kemudian merasakan kehangatan dari pelukan guling besar di dalam mimpinya, hingga terasa sampai dia terbangun.Ketika mulutnya bersiap berteriak tak lama setelah kedua mata terbuka, sebuah tangan besar milik seorang pria yang kini saling bertatap mata dengannya, membungkam mulut Sia.“Jangan berteriak. Akan kujelaskan sekarang, tapi jangan berteriak,” bisik Rigel. Sebenarnya, dia juga panik karena semalam sudah menyelinap masuk dengan mudah, karena pintu tidak dikunci.Saat Sia mengangguk, Rigel melepas bungkaman tangannya dari mulut Sia, tetap hati-hati memantau wanita yang sejak awal selalu menatapnya dengan tatapan bermusuhan itu, sambil bergerak secara bersamaan untuk duduk di atas ranjang yang mereka tiduri.“Cepat jelaskan sebelum aku berubah pikiran,” ancam Sia. Dia melirik pintu kamarnya, dan sepertinya itu dikunci dari dalam.Rigel menghela nap