Share

Mengembalikan Dilah Pada Ayahnya

Di malam hati Dilah duduk di tempat tidur. Kemudian telepon selulernya berbunyi.

"Hallo Dilah," ucap Fina yang mulai khawatir karena mendengar isu Dilah diculik.

"Iya Fina," senyum girang mendapat telepon dari sahabatnya.

"Kau diculik ya?" tanya Fina dengan nada takut-takut.

"Hahaha, tidak, justru aku yang menculiknya," tawa Dilah mengungkapkan kata-katanya tadi.

"Apa! Yang benar saja?" tanya Fina, Fina terdengar  menelan ludah.

"Iya aku serius," ucap Dilah sambil tertawa kecil.

"Kau baik-baik saja?" tanya Fina yang masih tak percaya.

Apakah orang yang diculik sesenang ini? Batin Fina.

"Iya aku baik-baik saja, penculikku eh maksudnya orang yang aku culik memperlakukanku dengan baik." ucap Dilah tanpa rasa malu.

"Bagus kalau begitu. Lebih baik kau menikah saja dengan pemuda itu," ucap Fina menggoda.

"Ah, aku tak suka pemuda yang polos seperti dia. Aku anak mafia, aku ingin memiliki pendamping hidupku yang kuat." ucap Dilah penuh harapan.

"Begitu ya, jika disuruh memilik kau lebih memilih Reno atau penculikmu itu?" tanya Fina sambil tertawa geli.

"Iya jelas penculikku, dia lumayan tampan untuk ukuran seorang buruh pekerja roti." ujar Dilah memuji.

"Baguslah jika kau baik-baik saja. Apakah kalian tidak melakukan itu selama berduan?" tanya Fina menggoda agar mendapatkan jawab.

"Sudah gila ya, dia itu pemuda polos. Ia sangat menghargai wanita." ucap Dilah mendengus kesal.

"Bagus lah jika kalian bisa menahan diri. Aku yakin kau pernah berakting bersamanya sebagai sepasang suami istri untuk mendapatkan makanan?" tanya Fina yang sudah mengerti cara Dilah untuk mendapatkan makanan.

"Hahaha, kau ini Fina tahu sekali rencanaku. Sudah ya aku ingin bermain-main dengan penculikku bukan bukan maksudnya orang yang aku culik." ucap Dilah menutup telepon.

"Ali, kemari lah," panggil Dilah ke kamarnya.

"Ada apa Nona?" Ali masuk ke kamar.

"Bisa beri aku pijatan, aku sangat lelah." ucapnya sambil tersenyum tipis namun tak dilihat oleh Franz.

"Nona, aku tak ingin menyentuhmu walaupun aku sangat menginginkannya. Aku takut terjadi sesuatu pada kita." ucap Ali menunduk.

"Ah dasar bodoh, kita bisa mengendalikan diri. Lagi pula kita tidak mabuk. Ayo beri aku pijatan sebelum aku kembali kepada ayahku." ujar Dilah sambil tersenyum tipis.

"Baiklah,"

Franz memberikan pijatan pada tubuh Dilah. Walaupun sesekali ia menutup mata karena ada sesuatu yang terbuka pada pakaian Dilah. Franz memang tahu cara menjaga dirinya dari dosa.

"Sudah cukup," ujar Dilah sambil menyuruh Franz kembali ke tempatnya.

Bahkan ia tak tergoda dengan tubuhku. Kalau itu Reno mungkin entah jadi apa aku tadi. Fina benar ia cocok untukku.

"Nona, ada yang ingin saya tanyakan," ucap Franz di balik pintu karena ia tadi diusir dari kamar.

"Apa!" tanya Dilah berteriak.

"Apakah aku bisa bertemu dirimu dikemudian hari?" tanya Franz, ia sangat sedih akan berpisah besok. Ia tak menyangka bahwa dirinya telah jatuh hati.

"Mungkin saja bisa. Sudah tidurlah besok kau akan jadi kaya." ujar Dilah sambil menutup tubuhnya dengan selimut.

"Nona," panggil Franz lagi.

"Apa?" sekarang Dilah makin kesal Franz mengusik keheningan malamnya.

"Apakah saya bisa memilikimu di kemudian hari?" tanya Franz lagi, dengan segera Dilah keluar kamar.

"Aku tak tahu, bisakah kau berdoa agar Tuhan menyetujui dirimu menjadi pendamping hidupku." ucap Dilah kemudian ia masuk ke kamar.

"Tentu saja bisa." tersenyum.

Pagi hari Dilah dan Franz sudah bersiap dengan konsekuensi akan berpisah. Hari ini adalah jadwal dimana Dilah harus kembali pada ayahnya.

"Aku sedih jika harus berpisah denganmu, Nona," ujar Franz sambil menunduk pasrah.

Aku juga begitu. Batin Dilah sambil menatap lekat Franz.

"Hei! jangan jadi pria lemah. Kau harus kuat," ujar Dilah menceramahi Franz.

"Nona, kau tak sedih sama sekali?" tanya Franz ingin tahu tentang perasaan Dilah.

"Tidak, sudahlah yang terpenting kau dapat uangmu dan aku tidak menikah." ujar Dilah enteng saja sambil mengibaskan tangannya.

"Bagaimana jika Nona pulang terus mereka mengikat Nona dan tidak mengizinkan Nona kemanapun?" ujar Franz yang sangat khawatir.

"Itu tak akan terjadi," Dilah memalingkan wajahnya.

Mereka menyiapkan mobil, kemudian Franz mengikat Dilah dan menutup mulut Dilah, walaupun tidak terlalu kuat agar Reno dan Menir tak curiga. Mereka menuju sebuah tempat terpencil di dekat desa F. Tempat ini sangat privasi buat siapapun.

Franz berhenti dan turun dari mobil. Terlihat ada senyum licik pada Menir dan Reno.

"Apakah aku bunuh dia di sini?" tanya Reno berbisik pada Menir dengan kepala yang masih mendidih.

"Tak usah, uang palsu yang dia dapatkan akan dia gunakan kemudian dia terkena kasus dan membusuk di penjara." senyum licik Menir menolak rencana Reno.

"Baikah, jika dia tak terkena kasus aku sendiri yang akan menyiksanya dan membunuhnya." bisik Reno ditelinga Menir.

"Bagus, calon suami yang terbaik." ujar Menir kenudian ia memelintir kumisnya.

Franz mendekati Reno dan Menir dengan wajah berpura-pura jahat. Disana juga terdapat 3 anak buah Reno berbadan kekar.

"Mana uang tebusannya?" tanya Franz dengan nada tinggi.

"Ini ambil," mencampakkan tas berisi uang palsu ke wajah Franz.

Franz membuka uang tersebut kemudian memeriksanya. Sedangkan Reno dan Menir ke mobil yang terdapat Dilah di dalamnya. Reno tersenyum licik memandang Dilah dan menyentuh wajah Dilah dengan jarinya.

"Astaga, uang palsu!" guman Franz terkejut dan langsung menoleh kebelakang melihat Dilah ke mobil. Ia benar-benar tahu uang itu palsu, kebetulan ayahnya juga memiliki percetakan uang palsu.

"Aku akan menikahimu, Sayangku. Uang itu adalah uang palsu sebagai hukuman untuk penculikmu," ujar Reno dengan tatapan penuh nafsu kemudian Reno membuka lak ban yang menutup mulut Dilah. Seketika Dilah berteriak.

"Ali, tolong aku! Mereka menjebakmu. Itu uang palsu!" teriak Dilah sambil meronta-ronta.

Sial, ikatan ini membuatku susah bergerak, Dilah membatin.

Seketika 3 anak buah Reno menodong pistol di kepala Franz membuat Franz angkat tangan.

"Kita akan melihat penculikmu mati," tawa Reno yang sudah bernafsu ingin Franz mati dengan segera.

Dor! Dor! Dor!

Dilah menutup wajahnya, mungkin Ali ( nama samaran Franz) sudah mati dengan bersimpah darah.

Reno tertawa keras dan diikuti tawa Menir.

"Loh, kenapa anak buahku yang mati?" tanya Reno terkejut dan Menir pun ikutan terkejut.

Karena ikatan tak terlalu kuat, Dilah mengigit tangan Reno yang memeluknya dan cepat berlari keluar. Ia memeluk Franz dari belakang, kemudian Franz melepas pelukan dan menarik tangan Dilah. Mereka langsung lari meninggalkan Reno dan Menir.

"Bodoh, mengapa mereka yang mati?"

"Pak tua Menir kejar mereka!" teriak Reno dengan amarah yang menggelegar. Dengan segera Menir menyetir mobil tersebut.

Dilah dan Franz berlari, mereka mencari jalan yang sulit di lalui mobil. Mereka mengerahkan tenaga untuk lari sekencang-kencangnya agar tak ditangkap Reno dan Menir. Setelah jauh dari lokasi tadi, Franz dan Dilah duduk di bawah pohon sambil mengatur nafasnya.

"Siapa orang yang menolongku tadi?" tanya Franz penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status