Share

Chapter 2 - First Meeting with Won

This Novel is owned by Ailana Misha

Please, don’t copy and remake!

At Dabella Bakery

Melbourne, Australia

Agak tergesa-gesa, dan agak berlari Dania akhirnya sampai di Dabella Bakery, toko roti langganan mamanya. Dania memasuki bangunan toko roti yang dipulas dengan cat bewarna kuning pucat sewarna dengan warna cheese cake seperti di salah satu etalase toko tersebut. Tak salah toko roti ini menjadi primadona ibu-ibu rumah tangga, selain karena toko tersebut yang sudah berdiri berpuluh-puluh tahun, dengan resep rotinya yang memiliki ciri khas, menurut Dania yang paling berperan adalah bagaimana pemilik toko roti ini dapat memadukan keinginan setiap layer pembelinya, baik remaja maupun orang tua, sebelas dua belas dengan ibunya lah.

Dania mendekati meja cashier dan menanyakan mengenai pesanan ibunya, staff asisten cashier Dabella bakery melihat daftar pesanan di komputernya, kemudian memberikan Dania nomor urut antrian, meminta gadis muda itu untuk menunggu sebentar. Dia kemudian memilih tempat duduk di deretan nomor tiga di kursi tunggu di toko roti itu.

Merasa sayang sekali jika dia hanya duduk-duduk saja, Dania mulai berjalan-jalan mengelilingi etalase toko yang mendisplay beragam varian roti dan cake tersebut. Anggap saja dengan begitu, dia jadi bisa menghafal nama-nama dari jenis cake disana.

Saat gadis pemilik surai cokelat itu sampai pada etalase roti Pastry, Dania terpana pada satu makhluk yang seindah malaikat yang polos dan imut sekali.

Seorang batita, bayi dibawah umur tiga tahun dia rasa, sedang tertidur dipelukan seorang perempuan muda, babysitternya sepertinya. Pipi anak kecil itu putih tak terlalu tembem, tetapi imut dan halus dengan bulu mata lentik menghiasi maniknya yang sedang tertidur. Anak laki-laki di depannya itu indah sekali.

How cute you are, sweety....” ucap Dania pelan.

Babysitter anak kecil itu tersenyum cerah pada Dania, perempuan itu membiarkan Dania yang kini sudah berjongkok mengamati bayi yang sedang terlelap dalam gendongannya. Dania membelai surai rambut anak itu yang sedikit kecokelatan.

“Apa nona menyukainya?” tanya babysitter itu pada Dania.

Dania tersenyum pada wanita itu, dan mengangguk. Dia benar-benar lemah jika dihadapkan dengan anak kecil, sifat juteknya pasti hilang entah kemana.

“Tidak ada yang tidak menyukainya, tuan muda Won sangat lucu sekali.” Gadis itu memuji anak majikannya.

Dania tidak dapat menemukan hal yang salah dengan pujian gadis itu, karena secara pribadi, dia sendiri merasa anak kecil itu terlalu imut untuk ukuran bayi di Australia. Bulu mata bayi itu panjang, dengan bibir yang merah. Kalau bukan tampan, apa namanya? Pikir Dania.

“Tuan muda Won?” tanya Dania setengah berbisik. Tangan Dania masih membelai-belai kepala anak kecil itu.

“Namanya adalah Won,” kata gadis itu kembali, masih melemparkan senyum ramah pada gadis muda didepannya. “Apa anda suka anak ke-“

“EHHMM!!”

Suara deheman seorang laki-laki tiba-tiba mempengaruhi pendengaran Dania dari arah belakang. Cukup membuat babysitter anak kecil itu terdiam tidak melanjutkan ucapannya, dan Dania yang dengan refleks membalikkan punggungnya, dibelakangnya dia dapat melihat dua orang laki-laki.

Dania adalah sejenis manusia pemilik gerak refleks, jadi saat ada orang yang tiba-tiba melakukan gerakan kecil, bahkan deheman sekalipun dia bisa segera menyadarinya. Tepat dibelakangnya, dia dapat melihat dua orang laki - laki berjas hitam dengan setelan kemeja putih menatap dengan isyarat kepada gadis yang sebelumnya berbicara kepadanya, si gadis babysitter. Gadis muda di sampingnya itu kini menunduk meminta maaf.

“Tuan Weygandt meminta tuan muda untuk segera pulang.” kata laki-laki itu, dia kemudian memandang seorang batita yang sedang terlelap dalam tidurnya.

“Ya, tetapi saya masih harus menunggu untuk mengambil Strawberry cheese cake pesanan tuan muda terlebih dahulu.” Babysitter anak kecil itupun mengerdikkan kepalanya ke arah cashier, tanda dia sedang menunggu antrian juga. Kedua tangannya sedang menggendong anak kecil yang menjadi bahan pembicaraan mereka bertiga.

“Cepatlah masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Ini perintah dari tuan. Lagipula, tuan muda Won akan lupa dengan cake yang ia minta.”

Laki-laki berjas satunya memberi saran. Dalam sekejap, Dania dapat melihat gadis itu mengangguk sopan ke arah dirinya, dan pergi menuju sebuah mobil Toyota Alphard putih yang terparkir di halaman Dabella Bakery yang luas. Pria-pria berjas hitam tadi turut melangkah cepat dibelakangnya.

Dania Adelaine Sanders hanya melihat mereka dengan tatapan polos, dia memang sering melihat Angela yang hidup lebih dari kecukupan, tetapi dirinya tak pernah tahu jika di dunia ini ada kehidupan selayaknya serial drama. Karena hidup dengan terlalu banyak peraturan ini dan itu baginya hanya ada di opera sabun di televisi. Mendadak dia teringat tuan muda Won yang disebutkan tadi, apakah bayi selucu itu harus mengenal peraturan mencekik di umurnya yang masih terlalu muda itu. Haruskah? Dania benar-benar tak tega.

Cukup lama Dania termenung sendiri hingga dia baru sadar jika ponselnya bergetar sedari tadi. Seseorang sedang menelfonnya, pikirnya. Saat dia melihat screen ponselnya, ternyata Angela, temannya yang menelfon.

“Ada apa Angela?”

“Dania, mamaku melarangku untuk ngekos!! Beliau menyuruhku pindah sekarang! Huwaa!” dan setelah itu, yang terdengar adalah bunyi tangisan seorang Angela. Di tempatnya Dania menghela nafas panjang, dia tahu setelah ini Angela akan semakin menangis jika dia tidak segera mengatakan sesuatu.

“Mengapa tiba-tiba beliau memintamu pindah kos?” Dania melihat nomor antrian, tiga nomor lagi adalah nomor antriannya. Good, besok kalau tua, dia buka toko roti saja! Keuntungannya sangat menjanjikan.

“Bukan pindah kos... Tapi diminta tinggal sama keponakan mamaku yang baru pindah ke Melbourne. Bagaimana ini, Dania?”

Gadis yang memiliki nama keluarga Sanders itu sebenarnya semakin tidak mengerti, dirinya bukannya tadi menanyakan alasan mengapa Angela diminta pindah kos oleh mamanya, tetapi sahabatnya masih saja sempat untuk membetulkan pertanyaannya. Ya tuhan Angela, apa bisa dia berhenti mengoreksi kosa katanya.

“Katanya karena banyak kriminal di sekitar distrik kos ku, kata mamaku, dengan tinggal dengan sepupuku itu biar aku ada yang jagain. Tapi kan... tapi... Dania, Huwaa....!” Angela terus saja menangis tepat di akhir kalimat.

“Terus aku harus gimana? Bertemu Tante Brown untuk membujuknya?” Dania semakin bingung menghadapinya, berharap Angela tidak mengatakan iya, untuk basa-basinya.

“Kamu mau?”

Dania agak ngeri membayangkannya sebenarnya. Mama Angela memang sangat baik hati, mirip sekali dengan mamanya, kasus yang sama jika itu menyangkut keselamatan atau kebahagiaan anaknya, bahkan andai rintangan itu itu sebesar tembok besar Cinapun bakal dipukul mundur oleh mama mereka. Baiklah, anggap saja Dania cukup pintar kali ini untuk tidak menjadi calon tembok Cina ke dua untuk keselamatan Angela.

Angela, maafkan aku...

“Ahh jangan, sebagai sahabatku, hidupmu akan dipertanyakan. Sudah tak usah. Biar kurayu mamaku saja.”

Angela tiba-tiba berseru di ujung sana, Dania menarik nafas lega saat mendengarnya. Tak lama kemudian sambungan telfon sungguh terputus saat itu juga, beginilah tingkah Angela, selain menelfon dengan berita shocked attack-nya, dia juga sering menutup sambungan sama mendadaknya. Dania mengerjap bingung, apakah di antara grup teman baiknya, tingkah salah satunya ada yang normal? Meskipun itu satu saja.

Waktu sudah mulai menunjukkan pukul 13.40, tetapi Dania masih ada di Dabella Bakery, ia mulai bertanya-tanya apa ia bisa mengantar pesanan mamanya sebelum lunch time mamanya selesai. Satu kali warna nomor antrian berubah, kini nomor antrian yang tertera adalah miliknya. Dania dalam hati memekik girang sekali.

Setelah menyerahkan uang yang ia bawa, sekotak sandwich-pun ada di genggamannya, harum bau sayuran yang dipotong terasa segar bagi indera pengecap dan penciuman Dania. Dalam hati Dania geli dengan pilihan menu mamanya, sandwich di siang hari, seharusnya mama juga memintanya membawa tikar dan termos air untuk mamanya agar beliau bisa pergi piknik. Sekali lagi Dania sudah berniat tertawa kembali membayangkan pikiran absurdnya.

Great, satu grupnya memang absurd termasuk dirinya!

***

Apartment of Grand Diamonds

Perth, Australia

“Have you gone home? Cepat sekali.”

Seorang perempuan baru saja keluar dari open kitchen di apartment tersebut. Tangannya ia elapkan dari apron hijau yang sedang ia pakai. Perempuan yang sepertinya baru saja selesai memasak itu berjalan segera menemui seorang pemuda berkulit tan yang baru masuk ke ruang tamu apartementnya di lantai tujuh itu.

“Ada yang harus kuambil. Kakak belum pulang?” Pemuda itu membungkuk mengambil kotak persegi panjang bewarna cokelat tua. Netra pemuda itu kembali mengarah kepada orang yang menanyainya.

“Ckk, kamu terdengar mengusirku.” Perempuan muda itupun tersenyum geli.

Mendengarnya pemuda itu menggeleng pelan, dan ikut tersenyum kepada perempuan di depannya itu. “Bukan, hanya saja aku tak mau suami kakak nanti menelfonku terus untuk memintamu pulang. Aku tak ingin David menceramahiku juga.”

“Dia menelfonmu? Tunggu, kamu tak mengadu padanya kan?”

Dari ekspresinya perempuan itu bisa disimpulkan jika perempuan itu terlihat kaget. Selama ini, menurutnya orang yang namanya baru saja disebut itu tak pernah terlihat menelfon pemuda tan di depannya, lantas kalau tiba-tiba suaminya menelfon, kalau bukan ketahuan, apa namanya coba?

Pemuda tan itu, Benjamin S. Cruise bersedekap dan berdiri menghadapnya, “Aku tak bisa menculik kakakku sendiri dari rumahnya, dan membuat suaminya marah, okay!”

“Selama di Perth ini aku harus merawatmu, bagaimanapun juga kamu akan segera pindah dari sini.” Nicole masih saja menjawab setiap perkataan pemuda itu, nampak sekilas terlihat jika dia tak menyetujui usulan pemuda di depannya tadi.

“Selagi aku bisa berbicara bahasa Inggris, aku akan masih bisa bertahan hidup kak.” Sekali lagi, pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia merasa, kakaknya jika semakin terpojok, dia akan semakin kekanakan.

“Tetapi harus ada yang memasakkanmu, kakak tahu, kamu masih asing dengan makanan di tempat baru! Kamu pasti akan kembali lagi ke sini kan?” Tebakan si kakak pemuda tan itu benar sekali! Ia selalu hampir kesusahan untuk beradaptasi dengan jenis dan rasa dari setiap tempat baru yang ia tinggali.

“Aku akan mengunjungi kakak kapan-kapan, bukankah Perth-Melbourne bukan tempat yang jauh. Sudah! Aku akan mengantarkan kakak pulang.”

Tanpa aba-aba, pemuda itu sudah masuk ke dalam kamar perempuan yang dipanggil kakak olehnya, menarik koper ukuran sedang, dan mengambil tas kecil warna baby blue. Terakhir, lengan kakaknya yang ia tarik untuk mengikutinya. Perempuan itu pura-pura untuk berseru kesal.

“Hei! Benjamin, lepaskan kakak! Kau mengapa menjadi adik nakal!”

Benjamin hanya tertawa diteriaki kakaknya seperti itu, karena setelah ini ia akan jarang mendengarkan omelan dari kakaknya ini. Dia yang dipindah tugaskan ke Australia pasti akan jarang bertemu dengan kakaknya. Lagi-lagi ia akan tinggal tanpa keluarganya di tempat dan suasana yang baru.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status