Share

Chapter 6 - Restoran Fast Food

This Novel is owned by Ailana Misha

Please, don’t copy and remake!

Meskipun universitas tempatnya sekarang bukanlah universitas favorit nomor satu di negaranya, tetapi baginya kampusnya sudah sangat bagus dan lebih dari cukup bagi dirinya yang serba biasa–biasa saja ini. Seingatnya, mamanya dan dirinya bahkan terlalu bahagia hingga tujuh hari tujuh malam saat mengetahui dia bisa diterima di kampusnya itu. Dania Adelaine Sanders mengedipkan matanya berulang kali, ia hampir menolak prasangka tersebut, semua itu pasti masa dimana dia belum bertemu Mrs. Rose Amanda Jolie, ibu dosen galak satu itu, ya tuhan!

Dengan kakinya yang kurus itu, Dania menapaki jalanan di gedung fakultas sebelah. Gedung bewarna putih di sebelah fakultasnya adalah fakultas Psikologi, di fakultas tersebut rutinitas mahasiswanya tidak sesibuk di fakultasnya. Mungkin cerminan dari apa yang diajarkan di fakultas Psikologi itu sendiri, menghindarkan orang dari masalah psikis sampai emosi batin.

Dania harus mencegah dirinya untuk menguping pembicaraan salah satu dari kumpulan mahasiswa di depannya. Mahasiswa-mahasiswa itu sedang berjalan bergerombol sambil membicarakan suatu topik yang berhubungan dengan tugas praktik di rumah sakit jiwa. Menurut kepala Dania yang kecil itu, orang yang bahkan tahu apa yang dibicarakan orang gila pasti orang yang berilmu tinggi, atau sudah ikut menjiwai kebiasaan mereka karena paham apa yang sedang mereka obrolkan.

Setelah keluar dari jalan di dalam gedung fakultas psikologi, Dania melewati undakan tanah menuju ke ruang terbuka hijau di samping gedung pusat penelitian. Di samping gedung itu memang ada taman luas yang juga bersebelahan dengan kolam ikan mas, taman yang ditumbuhi oleh tiga pohon besar buah pear dan apel. Taman ini biasanya lengang dan sering dijadikan sedikit sekali mahasiswa untuk tempat dadakan berkumpul dengan teman-temannya. Taman buah pear begitu kelompok mereka menyebutnya.

“Kenapa mukamu ditekuk seperti itu?” tanya Kevin setelah Dania sudah sampai di tempat janjian kelompok mereka.

“Kemana Angela?” Dania tak menanggapinya dan langsung duduk di samping anak laki-laki itu. Kevin hanya mengernyit mendengar pertanyaan gadis bernama belakang Sanders satu itu.

“Kan tadi dia ada kelas denganmu, yak apa sih?” Kevin bertanya heran.

Angela tadi mengabarinya jika urusannya telah selesai dengan Mr. Albert. Angela bilang dia punya berita bagus buat Dania, dan ia-pun menyuruh Dania bertemu dengannya di taman buah pear selepas kelas Mrs. Jolie selesai. Rupanya dia benar-benar ingin membolos pikir Dania.

“Dia tadi memintaku datang kesini, dia belum kesini?” Dania menanyakan perihal Angela ke Kevin. Anak laki-laki itu terlihat sedang mengunyah sesuatu, Dania belum melihat apa yang sedang Kevin pegang.

“Belum. Mau?” Dania ditawari sebuah pear berkulit kuning oleh Kevin, anak laki-laki itu menunjuk sebuah pohon pear tidak jauh dari tempat mereka duduk. Dania paham maksud Kevin, gadis itu menggelengkan kepalanya dengan tatapan aneh pada Kevin.

“Seharusnya kamu cuci dulu!” Dania hampir menyipitkan matanya. Bisa-bisanya cowok ini makan buah tanpa dicuci begitu saja. Otak si Kevin kemana sih?

“Kenapa? Buat apa? Kampus kita tak memakai pestisida juga!” kata Kevin dengan sok tahu, cowok dari aliansi artisnya anak Teknik Sipil itu malah bersiul-siul mirip burung pipit.

“Jorok, kau bisa sakit perut!” seru Dania tak habis pikir.

Tetapi Kevin tidak mempedulikan keluhan Dania dan kembali menggigit buah pearnya. Laki-laki itu senang sekali dengan taman ini, banyak sekali buah gratis tumbuh subur disini. Andai saja tanaman anggur di depan sana masih hidup, lengkap sudah begitu pikir Dania sambil merenung dengan isi kepala yang hampir kosong.

“Kamu kenapa marah-marah terus? You look so grumpy. Mirip Mrs. Rose Jolie tahu!” sindir Kevin padanya. Dania langsung melotot matanya, apa ini? Dia mirip Mrs. Rose Jolie? Oh tidak, dia memilih jatuh pingsan saja kalau itu benar terjadi.

“Jangan mengingatkanku, urghh!”

Bagi Dania detik saat dia harus keluar dari ruangan Mrs. Jolie adalah jangan sampai mengurangi segenap dosa Mrs. Jolie di masa lalu dengan kembali menggosipinya, menghibahinya, dan memarahinya di belakang punggung ibu dosen satu itu. Karena dosa-dosa Mrs. Jolie akan kembali berkurang setiap ada orang yang membicarakan keburukannya.

Dania sudah hampir tekanan batin sejak Ibu dosen yang tak bisa dianggap jelek itu menyuruhnya masuk di ruangan yang penuh sesak dengan dosen yang akan bersiap-siap pergi ke rapat dosen. Mrs. Jolie benar-benar tanggung untuk mencelanya kembali. Kenapa tidak sekalian mengumumkan keterlambatan dirinya di acara Dies Natalies kampus juga sekalian.

“Kirim doa buatku gitu, Vin. aku- Huwaaa...” Dania benar-benar malu, dia ingin menutupi mukanya saja setelah ini. Kevin memandangnya dengan tatapan prihatin.

“How pity you are, Dan!” ucap Kevin setengah hati karena ia masih tidak lupa mengunyah buah pear kuningnya. Ckk, si Kevin.

“Jeanne kemana ya? Dia belum memberi kabar lagi sejak tadi.” Dania bergumam. Dia mengeluarkan beberapa kertas dari buku catatannya. Kertas itu adalah kertas yang diberikan Mrs. Jolie di ruangan tadi untuknya, kertas neraka!

“Makanya punya pacar! Biar enggak apa-apa sendirian.” Kevin dengan santainya masih lanjut memakan pearnya.

“Punya cermin enggak sih kamu, Kevin!” Dania mendengus kesal mendengar temannya ini mengatakan sesuatu yang sangat menyebalkan. Dia sendiri jomblo, sok-sokan nyuruh orang punya pacar.

“Ini bukan propose kan? Aku enggak mau sama gadis pemarah kayak kamu, Miss Sanders!” Mulut Kevin memang sadis, tetapi Dania tidak tahu jika laki-laki ini begitu bodoh dan enggak paham sama sekali. Dia perempuan, dan seorang perempuan seharusnya diperlakukan selayaknya perempuan.

“Yakk, siapa juga yang lagi nyatain perasaan ke kamu, bodoh!”

BRUK

BRUK

BRUK

Dan di akhir kata, Kevin sudah dipukuli Dania dengan buku catatannya, membuat anak laki-laki itu meringis kesakitan. Meskipun dia sudah meminta tolong Dania untuk menghentikannya, rupanya gadis itu tidak peduli dengan ucapannya. Kevin jadi berburuk sangka, apa jangan-jangan kekesalan gadis itu pada Mrs. Jolie selama perkuliahannya tadi dilarikan semua kepada dirinya. Bisa-bisa ruam-ruam biru muncul di badannya, bila mengingat Dania sudah berubah seganas ini.

“Hey, kalian lagi ngapain?” seru Angela tiba-tiba.

Gadis kesayangan para dosen di kelas Dania itu sudah berdiri di dekat tempat lesehan mereka berdua, memandang kedua temannya yang berada dalam posisi yang kurang sopan menurutnya. Dania sudah merangkak disamping Kevin yang tengah meringkuk memegangi kepalanya di bawah ancaman buku catatan Dania yang tebal. Angela memandang mereka berdua dengan ekspresi heran sekaligus enggak paham. Dania kembali duduk dengan tak rela, gadis itu memasukkan kembali kertas dan bukunya ke dalam tasnya.

“Tidak, tidak ada apa-apa!” ucap Kevin pada akhirnya. Dia tidak mau dibilang laki-laki yang sudah dijajah wanita. Walau begitu, lengannya terasa sakit rasanya. Dania Adelaine Sanders benar-benar bukan seorang perempuan.

“Yakin?” Angela kembali memastikan.

“Kamu tadi ingin bilang apa, Angela?” tanya Dania memutus pertanyaan Angela, dia tak ingin memperpanjang obrolan tak berkesudahan itu.

“Ahh iya, hampir lupa!” seru Angela, suara gadis ini memang halus. Pantas saja banyak mahasiswa-mahasiswa beda fakultas menyukai gadis satu ini. Dania memandang sahabat karibnya itu ingin tahu.

“Aku rasa, aku sudah menemukan tempat internship yang cocok untukmu Dan dengan kriterianya Mrs. Jolie!” Gadis itu tersenyum cerah ke arah Dania, senyum bahagia.

Angela, hutang kamu di kelas tadi lunas!

***

In MFC (Melbourne Fried Chicken) Restaurant

Merlbourne, Australia

“Lemak jenuh, berminyak, fast food, ini yang kamu maksud makanan sehat young man?” Suara dari ibu seorang Aiden William Weygandt terdengar nyaring.

Wanita itu sedari tadi sudah di kursi sambil mengomel semua hal yang kurang penting seperti tadi, beruntung hampir setengah dari meja di ruang itu sudah Aiden pesan barusan, kalau tidak mamanya pasti sudah ditegur oleh manajer restoran cepat saji tersebut.

Sudah bisa ditebak, sedari dirinya memesan menu makanan untuk Won hingga membawa baki makanan tersebut. Mamanya sudah mengomel tentang ini dan itu, tentang betapa bahayanya memakan makanan cepat saji, komposisi zat-zat berbahaya jika mengkonsumsinya, sampai kursi tempat duduk restoran itupun mamanya akan kritik. Mamanya memang pribadi yang tetap akan ngotot meski dia bilang tidak, dan akan semakin parah karena dia sendiri bukan pribadi yang akan dengan mudah menurut pada ucapan ibunya yang super posesif dan protektif.

“Sekali-kali, menyenangkan Won tidak apa-apa, Ma.” Aiden berseru santai. Pria itu kini sedang memakan humburger ukuran sedang. Yang hanya memegangnya saja tadi, dirinya sudah dipelototi oleh mamanya. Bukan Aiden William Weygandt namanya jika dia tidak masa bodoh dengan itu.

Dad, dat tomato sauce pwease!” Won meminta diambilkan sauce tomat, tangan anak kecil itu sudah kotor memegang paha ayam goreng, padahal batita itu sedari tadi disuapi oleh mamanya. Aiden berdiri, membawa piring milik Won dan mengambilkan saus tomat. Ibunya sudah hampir mengerucut protes mendengarnya.

Tadi, mamanya memang langsung membawa putranya itu pergi duduk di kursinya, membuatnya tidak sempat mengambilkan saus tomat. Aiden tidak mengambil saus banyak-banyak, seperti katanya tadi, dia hanya ingin Won senang. Hal itu bukan berarti dia akan alpa dengan sistem kembang tumbuh anaknya, andai orang tahu dia bahkan bisa lebih protektif jika menyangkut kesehatan putranya.

“Aku tidak setuju dengan gagasan ini.” Bisik ibu dari Aiden saat putranya kembali dengan membawa piring tanpa nasi milik Won.

“Won, sweet heart, do you wanna to rest room now?” Mama dari Aiden menanyai cucunya yang tampan itu.

No, grandma.. Grandma want?” Kalimat milik Won masih begitu sangat sederhana struktur kalimatnya, anak kecil itu memang benar-benar masih batita.

Yes, wait a moment. Kamu disini dengan dad-mu, okay?” Perempuan paruh baya itu mengangguk, memastikan cucunya duduk dengan benar. Saat ia melihat putranya yang sudah kembali ke kursi mereka, mama dari Aiden itupun berdiri.

“Okee...” Kata suara lucu milik Won, pipi batita itu terlihat kembung karena berisi banyak makanan.

“Aiden, ingat jangan pesankan dia kentang goreng atau ayam goreng lagi!” Aiden menggelengkan kepalanya sekali. Sebelum pergipun, mamanya masih bisa melemparkan nasehat-nasehat masalah makanan kepadanya.

“Hemm...” Aiden hanya bergumam, dan meminum minumannya.

Pria itu melirik jendela kaca di luar restoran itu, tempat seorang laki-laki yang sedang duduk dengan tenang sedari tadi. Putra bungsu dari tuan besar William Weygandt itu menatap sosok itu dengan tenang.

Sesaat kemudian laki-laki yang ia lihat itu beranjak dari tempat duduknya, dan masuk ke dalam ruangan tempat Aiden duduk. Pria pewaris keluarga Weygandt itu menggumamkan sesuatu dengan suara rendah, menyebut nama orang itu. Dia sangat mengenal orang itu.

“Kamu bilang, kamu akan datang sendiri, Aiden?” Kata orang itu saat ia sudah berada di jangkauan pendengaran Aiden.

“Apa?” Penerus semua kekayaan keluarga Weygandt itu melihatnya tanpa ekspresi, mengawasi dari ujung kepala sampai kaki pemuda jangkung di depannya. “Duduklah....”

Aiden memintanya duduk, Won yang tengah makan ayam yang sudah diiris-iris oleh neneknya, ikut memandang pria yang baru saja bergabung di meja mereka.

“Sendiri, Aiden? Kamu bilang kepadaku kamu akan datang sendiri? Lalu kamu tiba–tiba mengganti pertemuan kita di restoran cepat saji, Great! Untung tante Eli tak melihatku!” Pria itu berucap agak jengkel, dan duduk sesuai dengan tawaran pria di depannya. Dia memandang galak ke pria Weygandt itu lagi.

Are you angry to me?” Aiden masih bersikap tenang.

“Lupakan!!”

“Aku sudah mengatakannya padamu untuk tidak membuat janji bahkan sebelum aku menyetujuinya, Jack!” Ya, Jackson, nama pria yang baru masuk barusan. Aiden mengenalnya dengan sangat baik, sahabatnya dari mulai zaman elementary school.

“Aku hanya kasihan kepadanya, kau tahu dia marah-marah terus beberapa hari ini!” Jack sedikit ambigu saat mengucapkannya.

Pria itu lalu melihat anak dari sahabatnya, Won yang melihatnya dengan tatapan polos anak kecil, Jackson tak bisa tidak mengelus kepala bocah kecil itu. Anak kecil di depannya tersenyum sambil memasukkan daging ayam ke dalam mulutnya yang kecil.

“Dia selalu seperti itu!” Aiden Weygandt berseru dengan tenang, dia beralih mengawasi putranya yang sedang makan. “Biarkan saja!”

“AIDEENN!!” Jack hampir berseru mengatakannya. Dia tahu sahabatnya tak pernah tertarik dengan topik ini, namun setidaknya atas nama persahabatan mereka, Aiden seharusnya sedikit saja merasa perlu peduli.

“Kecilkan suaramu, Jack. There is my son here.” Pria muda itu mengingatkan Jack kembali.

“Okay.... Okay, Aiden.” Jack menghembuskan nafasnya, ia harus mengerti dimana mereka sekarang berada, dan siapa yang sedang bersama mereka sekarang.

Dad... Dad, you are hungry, right?” Won yang memang masih terlalu kecil dan tak paham dengan pembicaraan orang dewasa, menawari dad-nya ayam gorengnya.

Hungry?” Tanya Aiden bingung, dia baru saja makan. “Oh, yeah.” Lelaki itu faham maksud putranya, dan mengiyakan saja.

You want dis... Dis is delicious...” Won semakin menawarinya irisan ayam goreng miliknya, tangan bocah itu sudah terjulur untuk menyuapi dad-nya. Aiden menerima suapan dari anaknya dengan tertawa renyah.

“Yes, kamu benar, son...” Kata pria itu sambil mengelap sudut bibir anaknya dengan tissue dan membenarkan letak kancing baju putranya.

You are kind of husband material so much, Aiden!” Puji Jack melihat interaksi ayah dan anak itu. Melihat mereka, mau tidak mau Jack yang sedang suntuk dengan urusan kerjaan dan sahabatnya itupun ikut tertawa. 

You want dis too, uncle?”

Jack terkesiap saat putra kecil sahabatnya itu tiba-tiba menawarinya, pria lajang itu tersenyum. “No, dear, thank you.”

“Jangan katakan jika kami disini, aku sudah sangat kesulitan untuk menghindarinya dengan mama yang selalu menempeliku kemana-mana setiap ada kesempatan.” Aiden benar-benar berkata dengan serius, Jackson menatapnya dengan rasa kepedulian tinggi.

“Mamaku tidak akan membiarkanku mengacuhkannya jika melihatnya disini sekarang, Jack!” Aiden berpesan pada sahabatnya itu, ini serius dan fatal. Dia tahu, Jackson yang tak tegaan itu pasti akan memberi tahu wanita itu dimana dia sekarang. Dia tak mau diganggu, itu saja persoalannya.

“Dia beruntung sebenarnya, she has your mom in her side.” Kata Jackson sambil merenung.

But I dislike her too much.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status