Share

Chapter 4 Sweet Desire

Ayse menatap beberapa gaun yang sudah ditaruh di atas ranjangnya. Ia tidak tahu jika Can sudah menyiapkan beberapa paper bag berisi pakaian ganti, termasuk pakaian kasual untuknya.

Ia tersenyum manis.

“Pria itu tidak pernah berubah. Selalu saja ada perhatian kecil yang dia berikan untukku,” ucapnya memilih gaun tanpa lengan dengan panjang selutut warna hijau tua.

Ia mencoba melekatkan pakaian tersebut di tubuhnya dan melihat apakah pantas atau tidak jika ia memakainya.

“Kau tampak manis jika memakainya,” celetuk Can diambang pintu.

Ayse tersenyum kikuk saat pria itu kembali masuk ke kamar sementara miliknya yang ada di apartemen Can.

Anak buah pria itu sudah membawakan banyak gaun dan beberapa high heels serta pakaian dalam untuk Ayse.

“Dari sorot matamu, kau mengingat pagi tadi, bukan?” jahilnya membuat pipi putih itu bersemu.

“Kau tau, Can? Kita tanpa helaian pakaian dan aku tidak terlalu mengingat semalam kecuali pertemuan kita di klub dan sentuhan malam itu di atas ranjang.”

“Sedikit. Hanya sedikit.”

Can tertawa kecil mendengar pengakuan Ayse. Ia memeluk perempuan itu dari belakang, merasa nyaman jika merengkuh tubuh ramping itu.

Ia mencium pelan pipi kanan Ayse. “Aku ingin melihatnya kembali, bagaimana?” suara nakal itu menyahut, membuat Ayse mendengkus sebal.

Perempuan itu pun merasa malu jika mengingatnya.

“Maaf, aku berpikir jika—“

“—Aku hanya menyentuh tubuhmu, Sayang. Tidak mengambil kesempatan lebih jauh di saat kesadaranmu sepenuhnya tidak utuh,” papar Can membuat perasaan Ayse lega.

Mungkin, mereka memang sudah sama-sama dewasa dan Ayse tidak mempermasalahkan jika ia pun semalam menikmatinya dalam ketidakberdayaannya.

“Aku ingin merasakan sentuhanmu lagi, Ayse,” bisik Can nyaris membuat Ayse memekik ketika pria itu membopongnya, menjatuhkan perempuan itu di ranjang nyamannya.

Jantung Ayse berdetak kuat bersama napasnya yang tersengal, terkungkung oleh tubuh besar Can. Tubuh yang sangat proporsional dengan dada bidang dan perut yang tercetak sempurna.

Can memejamkan sejenak matanya ketika Ayse membawa jemari tangannya mengusap rahang Can yang bersih tanpa bulu halus.

“Kau semakin tampan, Can,” bisik Ayse yang selalu saja mengatakan kekagumannya.

“Biarkan hanya kau yang mengatakan semua itu padaku, Ayse. Aku sangat suka rayuanmu ini hanya untukku,” ungkapnya membuat Ayse mengulum senyumnya.

“Aku sepenuhnya sadar telah menyakiti perasaan Akman. Tapi aku tidak bisa menampik perasaanku juga padamu,” akunya jujur.

Can menatap lekat manik hazel yang memandangnya sendu. “Kembalilah padaku, Ayse. Aku akan membuatmu bahagia.”

“Lalu bagaimana dengan Akira?”

“Aku bisa mengatakan semuanya baik-baik. Aku tidak ingin membiarkan hatiku terus sakit tanpa kehadiranmu.”

“Delapan tahun aku menunggumu. Menyimpan kenangan kita satu-satunya dengan sangat baik. Sekalipun itu sangat menyakitkan karena harus memikirkan kenangan yang menjadi kepahitan dalam kisah percintaanku,” jelasnya mengeluarkan kalung berbentuk jangkar dari balik kaus polosnya.

Ayse meraih, memegangnya dengan penuh rasa bersalah.

“Kau membuangnya, Ayse? Di mana kalung yang sama dengan warna yang berbeda itu?”

Ayse menatap Can dengan senyum hangatnya. “Tidak sekalipun aku berniat membuangnya, Can. Aku selalu menyimpan di lemari, menyimpan dalam salah satu kotak perhiasanku dan di saat malam, terkadang aku mengenang bersama tangan yang mengenggam erat kalung yang sama.”

Perasaan Can membuncah mendengar pengakuan Ayse. Keduanya tersenyum dan Ayse membiarkan Can kembali memagut bibir ranumnya dengan sangat lembut.

Kedua tangan perempuan itu melingkar di leher Can, sesekali mengusap tengkuk pria itu.

Ayse pernah takut untuk menginjakkan kakinya kembali ke Turki. Tapi, di Kota Istanbul pertemuannya bersama Can kembali terkenang penuh keindahan.

Desahan mereka semakin mengisi keheningan ruangan. Tangan Can tidak ingin berdiam saja. Ia mengantarkan gelenyar dalam tubuh perempuan-nya lewat sentuhan memabukkan.

Hidungnya menghidu aroma menguar dari ceruk leher Ayse. Semakin turun sampai Ayse membiarkan dirinya mendongak, memegang kepala belakang Can saat pria itu berhenti di tengah dadanya.

Perut Ayse terasa menggelitik dan sensasi liar mengisi pikirannya ketika Can mencium lembut pertengahan dadanya.

“Kau tumbuh begitu cantik, Ayse,” bisik Can menggigit cuping telinga perempuan-nya.

Ayse menggeliat saat Can tidak berhenti di sana. Ia terus menggoda Ayse dengan sentuhan memabukkan.

“Kau tumbuh sebagai perayu andal, kan?”

Can berhenti menggoda Ayse dan menatap mesra perempuan itu yang bersemu. Menahan hasrat sama seperti dirinya.

“Usiaku sudah dua puluh lima tahun. Lalu, apa yang membuat aku harus terlihat seperti anak lelaki polos berusia sepuluh tahun?”

Ayse mendengkus geli dan mengusap rahang kokoh Can. Ia menatap lekat manik coklat di atasnya. “Kenapa kau sangat kuat bertahan, melihatku tanpa helaian pakaian saat malam itu?”

Meskipun malu, Ayse ingin bertanya. Ia tidak ingin membayangkan bagaimana tubuhnya yang polos dan mendapati tatapan liar dari Can.

Ia hanya berpikir alasan Can berusaha keras menahan dirinya saat itu.

Can mengulum senyum dan mengusap permukaan bibir ranum Ayse. Ia menunduk, mensejajarkan kedua wajah mereka dan menatap mesra Ayse yang bersemu. Perempuan itu salah tingkah ditatap pria yang pernah menjadi ciuman pertamanya saat sekolah menengah.

“Kau berpikir aku bisa menahannya semalam, Ayse?”

Pria itu menekan tubuh bawahnya di milik Ayse membuat perempuan itu membeliak.

Can tersenyum nakal, “Bahkan, dia pun sudah menegang tanpa perlu melihatmu melepaskan seluruh pakaianmu sendiri,” bisiknya mesra, semakin membuat Ayse merona.

Sebuah ciuman manis mendarat di pipi Ayse dan Can berbisik di sana, “Aku terlalu mencintaimu, Ayse. Sampai aku tidak ingin terkalahkan oleh rasa bersalah saat kau sadar. Lebih baik aku meyakinkan hatimu baru mendapatkan apa yang kerap dipikirkan pria dewasa sepertiku.”

Detak jantung Ayse kembali terasa kuat. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa senang sekaligus yakin jika Can yang ia kenal dulunya belum berubah. Pria itu masih sama, penuh kasih sayang pada orang terdekatnya.

Melakukan segala sesuatu tanpa mengedepankan ego.

Can selalu disukai pribadinya oleh siapa pun yang mengenal baik ataupun orang yang baru bertemu dengannya.

“Bagaimana jika malam ini kita kencan?”

**

Angin malam memainkan helaian rambut coklat Ayse. Ia memejamkan mata, merasakan debaran jantung sekaligus sensasi intim dan begitu layak disebut kencan. Ia tersenyum seraya membuka kembali mata, memandang di samping area terbuka. Memperlihatkan kapal pribadi Can berlayar di bawah Jembatan Bosphorus, Istanbul.

Keadaan malam sangat mengagumkan.

“Apa aku sudah layak menjadi kekasih gelapmu, Ayse? Apa dia jauh lebih romantis dibandingkan diriku?”

Ayse terkekeh pelan dengan pertanyaan Can.

Ia diam-diam selalu yakin jika ‘Can-nya’ memang tidak pernah berubah. Pria muda itu masih saja ada di dalam diri Can yang dewasa.

Ayse menatap lekat manik coklat Can yang duduk di depannya.

Sejenak ia memerhatikan malam malam romantis dengan lilin menghiasi di atas meja.

“Aku tidak mungkin menjadikanmu kekasih gelapku, Can. Kau sangat layak mendapatkan perempuan yang lebih cantik atau setidaknya seseorang yang tidak pernah menyakiti perasaanmu,” ucapnya tertunduk lemah.

Ia masih saja tidak enak hati dengan yang sudah Ayse lakukan pada Can.

Pria itu mengulum senyum. Meraih satu tangan Ayse yang bebas, mengenggam erat dan berkata, “Takdir sudah mempertemukan kita kembali, Ayse. Jika ada hal yang perlu disesali itu adalah mengorbankan diri kita untuk terus melangkah di kehidupan percintaan yang salah.”

Ayse terdiam, menatap lekat manik coklat yang memandangnya lurus.

“Jadi, apa pun yang kita lakukan hari ini, kau tidak perlu menyesalinya. Bukankah kita tengah memperbaiki sesuatu yang dulunya sangat disesali?”

“Berhentilah membuatku semakin lemah, Ayse. Aku sudah menjatuhkan hatiku padamu saat perpisahan kita dulu. Jarak yang membentang sudah cukup lama dan kita memang selayaknya memulai semuanya kembali.”

Ayse seharusnya bersyukur dengan ketulusan dari cinta yang Can hadirkan. Ia tidak bisa menyembunyikan buncahan bahagia dan letupan manis dalam dirinya kala Can mencium punggung tangannya.

Pria itu menatap mesra Ayse yang malam ini semakin terlihat cantik.

“Aku akan membicarakan semua ini pada orangtuaku dan mengajakmu bertemu mereka. Aku ingin memulai semuanya dengan lebih indah, Ayse,” ungkap Can membuat air mata Ayse membumbung tinggi di pelupuk matanya.

“Sikapmu tidak pernah berubah padaku, Can. Aku selalu mendapatkan rasa bahagia dan perlakuan manis darimu,” ucapnya dibalas senyum manis Can.

“Di malam itu, aku berpikir kau tidak mengenali diriku atau setidaknya kau memang sangat membenciku. Tatapanmu sangat dingin padaku di Klub.”

“Aku memang melakukannya untuk melihat apakah kau masih menyiratkan kerinduan di dalam matamu untukku,” tuturnya membuat Ayse terkekeh pelan.

“Aku sangat merasakannya, Can. Pertemuan itu membawa kerinduan untukku padamu.”

“Dan kau juga telah menyelamatkanku dari sikap tidak baik mereka.”

Rahang Can mengetat mengingatnya. “Aku sudah memberikan pelajaran pada pria itu,” tandasnya tidak suka.

“Bukankah dia pernah menyukaimu?”

Ayse membeliak, tidak percaya Can mengetahuinya. “Kau tau?”

Can mendengkus sebal. “Ayse ... Pria mana pun akan menyukaimu, bahkan menginginkanmu untuk menjadi kekasihnya.”

Ayse mengulum senyum. “Aku suka kau cemburu, Can,” ucapnya bersemu.

Can terkekeh pelan dan mengajak Ayse makan malam bersamanya.

Ini hari terakhir mereka bersama dan besok, Can dan Ayse akan kembali ke kota masing-masing. Mereka ingin memulai semuanya dengan lebih baik dalam menapaki hidup.

**

Silakan tinggalkan review-nya jika suka, ya! Tambahkan ke rak baca Beautiful Fault agar tidak ketinggalan update-nya. Instagram @jasmineeal

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status