“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”
Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.
Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.
“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.
Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.
“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
Tubuh Ayse menegang. Dengan gemetar ia meremat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa helaian pakaian. Ia menelan saliva susah payah. Keringat dingin itu sudah terasa di keningnya.“Kau sudah bangun, Ayse?”Suara bariton itu membuat pandangan Ayse langsung teralih ke sumber suara. Ia membeliak. Mendapati pria bertubuh tinggi di depan pintu hanya mengenakan celana jeans.Wajahnya bersemu melihat perut liat dan dada bidang itu tercetak sempurna. Dulu, saat usia pria itu menginjak tujuh belas tahun, tubuhnya tidak terlihat sangat seksi seperti sekarang.Meskipun untuk rerata usia tersebut, sudah mampu membuat perempuan di sekolahnya mengidolakan pria berdarah Turki itu. Tidak sedikit perempuan yang terpesona, membanjiri sosial media seorang Yavuz Can Sener.“Apa yang kau lakukan di sini, Can?” cicitnya ketika pria berdarah Turki itu semakin masuk ke dalam.Perempuan berambut coklat itu tertegun Can mengulurkan satu gelas berisi air putih. “Ambil dan mi
Tubuh Ayse membeku, memerhatikan pria bermanik coklat itu mulai beranjak dari tempatnya duduk.Can berjalan tegap dan perlahan, pria itu sudah berdiri menjulang di hadapan Ayse. Perempuan itu sadar napasnya memburu bersama detak jantung yang bertalu kuat. Pria itu terlihat berbeda saat usianya masih remaja.Di hadapannya, Can bertransformasi menjadi pria tampan—dewasa dan berkharisma—itu yang terlihat di majalah bisnis dan teve. Kehidupan pria itu tidak luput dari perhatian media.Tanpa diduga, dagu Ayse ditarik lembut Can. Saat itu pula manik hazelnya membeliak mendapati Can menempelkan permukaan bibir keduanya. Sedangkan mata Can sudah tertutup, merasakan betapa lembutnya bibir ranum yang semalam ia rasakan kembali.Jantung keduanya berdegup kuat bersama perasaan berdesir dalam tubuh mereka.Can masih menunduk, meraih dagu Ayse untuk berbagi sentuhan yang pernah mereka lakukan.“C
Pertemuan Ayse bersama Can begitu cepat. Bukan tanpa alasan, melainkan ketika pria itu menyatakan cintanya dan semua seolah begitu mengalir dengan mudah.Ayse sudah merasa nyaman berada di pelukan Can. Pria itu duduk di sampingnya, merangkul pinggang Ayse menatap gedung pencakar langit di Istanbul.“Rumahmu di Ankara. Kenapa bisa sampai ke mari?”Can mengulum senyum seraya menyisir helaian rambut panjang Ayse. “Sudah kukatakan. Tiga bulan terakhir, aku tau keberadaanmu. Tentu selanjutnya bisa aku dapatkan informasi dengan mudah. Termasuk mendapati namamu terdaftar dalam acara reuni,” ungkap Can.Ayse menatap lekat manik coklat di sampingnya. “Kau banyak berubah, Can,” cetus Ayse.“Aku bukan pria yang menganggap semuanya layaknya pertemanan biasa lagi. Aku ingin mengungkapkan semuanya, termasuk perasaanku,” balas pria itu tanpa sungkan.“Seharusnya aku yang berkata demikian. Kau terl
Ayse menatap beberapa gaun yang sudah ditaruh di atas ranjangnya. Ia tidak tahu jika Can sudah menyiapkan beberapa paper bag berisi pakaian ganti, termasuk pakaian kasual untuknya.Ia tersenyum manis.“Pria itu tidak pernah berubah. Selalu saja ada perhatian kecil yang dia berikan untukku,” ucapnya memilih gaun tanpa lengan dengan panjang selutut warna hijau tua.Ia mencoba melekatkan pakaian tersebut di tubuhnya dan melihat apakah pantas atau tidak jika ia memakainya.“Kau tampak manis jika memakainya,” celetuk Can diambang pintu.Ayse tersenyum kikuk saat pria itu kembali masuk ke kamar sementara miliknya yang ada di apartemen Can.Anak buah pria itu sudah membawakan banyak gaun dan beberapa high heels serta pakaian dalam untuk Ayse.“Dari sorot matamu, kau mengingat pagi tadi, bukan?” jahilnya membuat pipi putih itu bersemu.“Kau tau, Can? Kita t
“Wine?”“Tidak. Terima kasih.”Bibir ranum dari perempuan bermanik coklat itu terulas indah. Ia menuangkan wine dalam gelas berkaki tinggi hanya satu saja. Pria di atas sofa lebar—tepat di samping kaca jendela besar—menampilkan keadaan Kota Rotterdam di malam hari, memilih bertelanjang dada dipadukan jeans panjang.Pandangannya terus teralihkan pada keindahan di kota yang sudah ia tempati dua tahun ini.Tubuh perempuan yang berbalut kemeja milik Can—pria bertubuh tegap di sana—berjalan menghampirinya. Kaki jenjangnya semakin dekat dan perempuan dengan tinggi 165 senti itu tersenyum menggoda.Ia membawa tubuhnya duduk di atas perut yang tercetak sempurna. Olahraga yang pria itu sering lakukan. Pria dengan dada bidangnya, menggantung manis sebuah kalung berbentuk jangkar. Terlihat semakin seksi, terutama saat manik coklat itu pun menatapnya balik dalam tatapan teduhnya.“Sayang, aku d
“Ya Tuhan ... Aku tidak menyangka akan menjadi bridesmaid untukmu, Ayse!” pekik perempuan yang bertandang ke rumah Ayse.Rumah mewah yang ditempati dirinya bersama Akman sejak pria itu sudah menjadi pengusaha muda yang sukses. Apa pun pria itu berikan pada Ayse, sekalipun tunangannya tidak pernah meminta padanya.Banyak teman maupun sahabatnya mengatakan jika Ayse sangat beruntung mendapatkan pria yang memiliki perusahaan di bidang fashion itu.Ayse mengulum senyum memerhatikan salah satu sahabatnya. Perempuan itu mengecat kukunya dan menatap Ayse dengan binaran bahagia.“Sebenarnya aku terlalu gugup,” aku Ayse membuat mereka terkekeh pelan.Ketiga sahabat Ayse datang ke rumahnya dan anggota bridesmaid lain akan datang di waktu yang telah ditentukan menjelang pernikahan.Nur dengan rambut pendeknya mengedipkan sebelah matanya. “Bagaimana? Sudah belajar untuk memuaskan seorang suami
Jika perasaan bisa memilih untuk mendaratkan cintanya kepada siapa. Can tidak ingin menjatuhkan perasaan pada perempuan yang salah.Tapi ia terlalu naif untuk menepis rasa yang ada. Can masih menginginkan Ayse-nya. Sekalipun pria itu sudah mendapati Ayse duduk di depannya bersama calon suaminya.“Ternyata kalian sudah dewasa, ya? Aku nyaris masih mengingat kalian yang muda, penuh keinginan kuat untuk impian kalian saat itu.”Akman tersenyum teduh ketika wanita yang pernah memberikannya perhatian lebih di sekolah. Sebagai istri dari pemilik yayasan di mana ia sekolah. Ia mendapati manik itu berkaca-kaca, merasa terharu melihat dirinya dan Ayse datang diusia yang semakin dewasa.“Undangan pernikahan ini sebagai tanda, jika kami tidak pernah melupakan kebaikan Anda, Nyonya dan Tuan Sener,” ucap Akman membuat Tuan Sener mengangguk.“Kalian tampak serasi,” balasnya.“Doakan yang terbaik