“Len, gue paham betul perasaan lo. Tapi mau sampai kapan lo kayak gini terus?” tanya seorang perempuan yang sedang menepuk-nepuk wajahnya. Dia baru saja mengolesi wajahnya dengan serum yang sedang hits di kalangan anak muda sekarang.
Gadis itu bertanya pada seorang temannya yang sedang tidur telungkup di atas kasur. Sang teman sudah hampir satu minggu menginap di rumahnya.
“Huh!” temannya menghela nafas kencang. Kemudian gadis itu beranjak dan duduk di samping temannya.
“Elaine Venesia Rinjani, lo denger gak sih gue nanya?” ucapnya dengan nada yang cukup keras.
“Apa sih Shan? Lo udah nggak mau nampung gue lagi di sini?” tanya Elaine kesal. Kini gadis yang sedari telungkup itu beranjak dan duduk sila di samping temannya, Shani.
“Bukan gitu. Gue seneng lo diem di sini, gue ngerasa ada temen. Tapi please lah! Mau sampai kapan lo murung terus?” keluh Shani.
Elaine tak menjawab. Dia hanya diam dengan tatapan yang kosong.
Melihat tak ada respon dari temannya itu, Shani mengambil ponsel miliknya yang dia simpan di meja rias. Kemudian dia membuka chat dari seorang perempuan bernama Grace.
“Lusa kita hangout ya! Lagian kita udah nggak ada kerjaan. Ujian udah, kita tinggal nunggu pengumuman masuk univ. Dari pada lo murung terus kayak ayam kedinginan, mending kita main. Si Grace ngajak ketemuan sama kenalannya dari Binder. Katanya cowok itu bakal bawa dua temennya. Jadi si Grace juga ngajak kita ikut,” ungkap Shani. Dia mencoba menghibur sahabatnya yang baru saja patah hati ini.
“Gue males ketemu cowok. Trauma!” tegasnya.
“Hey, Len! Jangan karena Tirta lo sampe trauma sama cowok. Kalau lo trauma sama cowok, lo mau sama cewek gitu? Jadi lesbi? Anjir gue ogah temenan sama lo kalau gitu,” ledek Shani.
“Ya nggak gitu juga!” sangkal Elaine.
“Ya udah, makanya lusa kita hangout, Dandan yang cantik, gue gak mau tahu! Kalau lo nggak ada baju bagus, besok kita beli. Duit mah gue ada,” perintah Shani. Ucapannya tadi sudah seperti ultimatum untuk Elaine. Sehingga dia tidak bisa menyanggahnya lagi.
Keesokan harinya, Elaine berbelanja baju bersama dengan Shani. Sesuai janji Shani, semua biaya ditanggung olehnya. Dia memang tidak perhitungan pada sahabat, ya termasuk dalam katagori loyal pada sahabat. Asalkan sahabatnya bahagia dan kantongnya sedang tebal, pasti dia akan memberikan apa pun keinginan sahabatnya itu.
“Udah ini aja?” tanya Shani pada Elaine yang hanya mengambil satu stel pakaian. “Sepatunya nggak sekalian?” Dia menawarkan item lain untuk dibeli oleh Elaine.
“Nggak usah. Sepatu gue masih bagus kali,” tolak Elaine.
“Ok. Mba ini aja,” ucap Shani pada kasir di toko baju tersebut. Kemudian Shani membayar belanjaan Elaine dan setelah itu mereka pulang ke rumah Shani.
Kini sudah genap satu minggu Elaine menginap di rumah Shani. Gadis itu tidak ingin pulang ke rumah. Jadi, dia ikut menginap di rumah Shani untuk sementara waktu, sampai dia merasa tenang dan siap untuk pulang ke rumah. Orang tua Elaine pun mengizinkan, selagi anak gadisnya bersama Shani dan Grace.
***
“Nah gitu dong, Len. Wake Up! Stand Up! Move Up! Galaunya jangan lama-lama, walau gue tahu itu pasti berat banget buat lo,” ucap Grace ketika mereka bertiga bertemu di rumah Shani.
Hari ini adalah hari yang dimaksud. Mereka akan kencan buta bersama tiga orang pria yang tidak mereka kenal sebelumnya. Elaine sudah berdandan cantik sekali. Dia mengenakan atasan tanktop berwarna hitam dengan outer berwarna putih tulang. Sedangkan untuk bawahnnya gadis itu mengenakan hotpants levis. Rambutnya dia biarkan tergerai.
“Lo kudu bikin si Tirta nyesel ninggalin lo!” ucap Shani dengan penuh penekanan.
Elaine menyeringai. “Nggak mungkin dia nyesel. Emang dari awal juga nggak ada rasa kayaknya,” ketusnya. “Yok ah cabut!” ajaknya. Kemudian dia masuk ke dalam mobil Grace.
Shani dan Grace saling tatap dan mengedikan bahunya bersamaan. Kemudian mereka segera masuk ke mobil dan meluncur ke tempat pertemuan.
Butuh waktu sekitar setengah jam bagi mereka untuk sampai di tempat pertemuan kencan buta. Akhirnya mereka sampai ke sebuah club yang ada di kota Bandung.
“Gila, for the first time buat kita masuk ke club gini!” ucap Shani. Tentu saja, karena selama ini mereka tidak berani masuk ke club macam ini. Biasanya jika hangout mereka hanya habiskan ke mall atau cafe.
Karena sekarang mereka sebentar lagi lulus dari sekolah. Jadi mereka bertiga berani untuk masuk ke dalam club dan bersenang-senang di sana.
“Katanya mereka sudah sampai dan pesen meja. Bantu cariin ya. Dua orang pakai jaket, satu pakai kemeja. Katanya sih … yang bertiga cuman mereka aja,” ungkap Grace sembari membaca pesan di ponselnya. Akhirnya mereka bertiga melangkahkan kakinya masuk ke dalam club.
Suasana ramai dan juga berisik mendominasi di sana. Bagi mereka bertiga yang baru pertama kali masuk ke dalam club, agak bising dan menusuk ke telinga. Sesekali Elaine harus menyentuh telinganya karena rasanya sedikit berdengung.
Mata Elaine mencari keberadaan tiga laki-laki yang dimaksud oleh Grace. Tak lama kemudian Shani menemukan keberadaan mereka dan memberi tahu pada Grace. Sejurus kemudian mereka bertiga menghampiri ketiga laki-laki itu.
“Valen ya?” tanya Grace pada seorang laki-laki yang mengenakan jaket kulit berwana hitam. Suaranya agak sedikit keras agar laki-laki itu bisa mendengar.
“Grace?” laki-laki itu balik bertanya.
“Yes!” ucap Grace. Kemudian laki-laki yang bernama Valen itu mempersilakan Grace dan kawan-kawan untuk bergabung bersama mereka.
“Kenalin gue Grace, ini temen gue Shani, yang ini Elaine,” kata Grace memperkenalkan diri.
“Ok. Gue Valen. Ini temen gue Kale dan Darell,” balas Valen sembari memperkenalkan dua teman laki-lakinya.
Mereka saling melempar senyum satu sama lain. Ternyata Valen CS ini berbeda dua tahun dari mereka. Alias sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tingkat dua.
Grace sudah klop ngobrol bersama Valen. Sedangkan Kale mulai mengajak ngobrol Shani. Tinggal Elaine dan Darell saja yang masih saling diam. Sepertinya Darell tipe laki-laki pendiam.
“Maju yuk!” ajak Valen pada semua yang sedang duduk di meja tersebut. Dia mengajak untuk bergabung bersama kerumunan di depan sana, alias berjoget.
“Kuy!” Kale menyetujui ajakan Valen. Otomatis Grace dan Shani yang menjadi pasangan ngobrolnya ikut maju ke depan.
“Lo nggak ikut Rell?” tanya Kale pada Darell yang sepertinya tidak tertarik.
“Nggak, lo pada aja dah. Gue di sini aja,” jawab Darell.
“Elaine? Lo ikut juga nggak?” Kini Kale bertanya pada Elaine.
Elaine menggelengkan kepalanya. Jujur kepalanya pusing sekarang, dia belum terbiasa berada di tempat ramai dan berisik seperti ini.
“Ya sudah. Darell temenin Elaine ya. Kasian baru patah hati,” ucap Grace sembari mengedepikan sebelah matanya.
“Apasih lo!” sergah Elaine. Kemudian mereka meninggalkan Elaine berdua bersama dengan Darell.
Hening. Tak ada yang mau membuka topik pembicaraan diantara mereka berdua. Sesekali Elaine melirik ke arah Darell. Dia bisa melihat dengan jelas wajah tampan laki-laki itu. Badannya tinggi, dan sepertinya berat badannya pun ideal. Laki-laki itu beberapa kali meneguk minumannya. Elaine tak tahu itu apa, tapi warnanya seperti air teh.
Merasa sedang diperhatikan. Darell melemparkan pandangannya pada Elaine, gadis yang sedang duduk di sebrangnya. Namun gadis itu langsung mengalihkan pandangannya. Darell tersenyum kecut.
“Lo nggak mau minum?” tawar Darell. “Gue lihat temen-temen lo udah pada minum. Lo doang yang masih teguh pendirian, nggak nyentuh ini sedikit pun. Cobain gih,” imbuh Darell. Gadis itu hanya memesan jus jeruk. Darell memberikan gelas miliknya, memberikan kesempatan untuk sang gadis mencicipinya.
Elaine menatap gelas berisi air berwarna, mirip seperti air teh itu. Dia tidak tahu minuman apa itu. Namun dia yakin, pasti itu minuman beralkohol. Merasa penasaran, akhirnya dia menerima tawaran dari Darell. Sedetik kemudian dia mencoba mencicipinya.
“Akk.” Elaine memekik pelan. Lidahnya terasa sepat,akibat minuman yang seperti air teh itu. Buru-buru dia meraih jus miliknya, mencoba menteralkan kembali lidahnya.
“Pfft.” Darell menahan tawanya. Baginya reaksi Elaine tadi sangatlah lucu. Sangat terlihat jelas, bahwa gadis ini baru pertama kali mencoba minuman beralkohol.
Elaine merasa malu karena ditertawakan. Kemudian dia beranjak dari sofa yang sedang diduduki. “Gue ke toilet dulu,” ucapnya. Lalu pergi meninggalkan Darell.
Gadis itu membasuh wajahnya sesampai dia di toilet. Kemudian ia memandang wajahnya pada cermin. Sedetik kemudian, dia mengasihani dirinya sendiri. Kenapa kehidupan percintaannya seperti ini? Kenapa dia harus melihat pacarnya tidur dengan kakaknya sendiri?
Tiba-tiba bayangan itu terlintas di benaknya. Elaine masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dia lihat malam itu. Tak terasa air mata bergulir membasahi pipinya. Elaine menangis. Buru-buru dia mengusap pipi manisnya itu dan segera keluar dari toilet.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika mendapati Darell yang sedang berdiri di dekat toilet wanita. Elaine bertanya pada dirinya sendiri, laki-laki itu sedang apa di sini?
“Lo habis nangis?” tanya Darell ketika melihat wajah Elaine. Sontak Elaine terkejut, padahal dia hanya menangis sebentar tapi kenapa laki-laki ini begitu peka.
Elaine tidak langsung menjawab pertanyaan laki-laki itu. Dia hanya menatap Darell dengan tatapan dalam. Kemudian tiba-tiba dia mengingat kembali kejadian malam itu. Malam yang kelam bagi dirinya.
“Darell,” panggil Elaine.
“Ya?” respon Darell cepat.
“Lo pernah tidur sama cewek?” tanya Elaine.
“Darell,” panggil Elaine.“Ya?” respon Darell.“Lo pernah tidur sama cewek?” tanya Elaine sedikit canggung.Pupil Darell membulat. Dia merasa aneh pada gadis yang sedang berdiri di depannya ini. Kenapa gadis yang mungkin baru kenal dunia malam bertanya hal se-private itu pada laki-laki yang jelas-jelas tak dikenalnya.“Maksud lo?” tanya Darell mencoba mengkonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.“Making Love sama cewek pernah?” tanya Elaine lagi. Kini gadis itu memperjelas maksudnya. Sontak membuat Darell terkejut, namun disaat yang bersamaan dia juga tertarik dengan gadis yang baru saja dia temui ini.“Pernah. Kenapa?” Darell kembali bertanya.Napas Elaine memburu, Darell bisa melihat dadanya kembang kempis secara cepat.“Lo mau ngga, buat tidur sama gue?” ucap gadis itu polos. Dia menatap Darell bukan dengan tatapan yang ‘pengi
Darell benar-benar tidak habis pikir dengan Elaine. Gadis ini belum pernah melakukan hal yang baru saja mereka lakukan beberapa menit lalu, dengan siapapun. Darell adalah yang pertama. Kenapa dia bisa seyakin itu? Karena dia bisa merasakan pelindung milik Elaine yang berhasil dia terobos. Walau membutuhkan waktu yang lumayan lama.Terlebih tiba-tiba Elaine memintanya untuk tidak saling mengenal, jika suatu saat mereka bertemu kembali. Sepertinya ada sesuatu pada gadis ini, namun Darell tak ingin bertanya.“Gue balik ya,” ucap Darell tiba-tiba. Laki-laki itu tahu betul, bahwa sang gadis sedang ingin sendiri untuk kali ini.“Gue aja yang balik,” sanggah Elaine. Dia mencoba untuk beranjak namun sialnya rasa sakit itu masih tetap bisa dia rasakan. Elaine meringis.“Yakin?” tanya Darell. Laki-laki itu tahu betul, Elaine belum sanggup untuk beranjak dan berjalan. Jelas, ini adalah kali pertamanya pasti rasa sakit itu lu
Cuaca yang tadinya panas berubah menjadi mendung. Mungkin alam pun mendukung Elaine untuk kembali merapati nasib sialnya ini. Gadis itu meninggalkan sekolah tepat setelah mendengar omongan Tirta dan kawan-kawannya. Dia memesan taxi online dan segera pulang ke rumah. Tak peduli dengan acara perpisahan di sekolah yang belum selesai. Dia ingin menenangkan dirinya di rumah. Walau Elaine tahu betul itu bukan hal yang tepat, karena dia pasti akan bertemu dengan pemeran perempuan antagonis dari drama percintaannya ini.'Apa katanya? Elsa tahu aku ada hubungan dengan Tirta, dan dia diam saja?' batin Elaine kesal.“Emang kakak brengsek!” umpatnya pelan.Taxi online yang ditumpangi Elaine sudah sampai tepat di depan rumahnya. Rumah yang tak terlalu besar, namun cukup bagi empat orang untuk tinggal di sana.Gadis bergaun cream itu menarik gaunnya ke atas, kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Tidak di kunci, mungkin salah satu anggot
Kehidupan baru Elaine dimulai. Kini dia bertekad untuk berubah, dan akan lebih memperhatikan penampilannya. Bukan berarti dulu Elaine adalah anak yang cupu, culun, dan kuper. Hanya saja dulu gadis ini terlalu cuek dengan penampilan. Dia tidak pernah mengenakan bedak dengan benar, tak pernah memoles bibirnya dengan lip balm, dan selalu mengucir rambut panjangnya. Kali ini dia bertekad untuk berubah, gadis ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya.“Good! Pokoknya lo harus bikin si Tirta nyesel gak pilih loh!” ucap Grace saat mereka baru saja berbelanja makeup juga baju untuk Elaine kenakan saat dia sudah kuliah.Saat ini Elaine, Shani, dan Grace sedang berada di kosan Elaine. Dua gadis ini sengaja mengunjungi sahabatnya, untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Persahabatan mereka kini menemukan jarak. Karena kini mereka berkuliah di tiga kampus yang berbeda.“Btw dia sekampus sama lo kan?” tanya Shani memastikan.Elaine m
Kosan Elaine lumayan jauh dari jalan raya. Dia harus melewati gang sempit yang hanya muat satu motor. Ya, sepertinya memang gang ini diperuntukan untuk mereka yang pejalan kaki.Gadis yang sedang mengenakan kemeja putih dengan corak bunga itu, melangkah dengan santai. Namun ketika dia hendak sampai ke kosannya, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran seorang laki-laki.“Hai, Elaine. Apa kabar?” sapa laki-laki itu.Sontak Elaine menghentikkan langkahnya. Kemudian gadis itu melihat wajah laki-laki yang mencegatnya, ya sebut saja dia mencegat Elaine. Saking terkejutnya melihat wajah laki-laki itu, Elaine memundurkan langkahnya.“Tirta?” ucap Elaine kaget.“Wah, wah!” Tirta menepuk tangannya. “Jadi gini cara lo balas dendam sama gue?” tanya Tirta. Laki-laki itu melangkah dan sekarang posisinya berdiri di depan Elaine.“Hmm … tapi bagi gue lo nggak banyak berubah,” ucap Tirta semb
“Darell?” batin Elaine, kini jantungnya berpacu dengan cepat. Dia bisa meraskan wajahnya sedikit panas.Seketika Elaine sadar dan mengalihkan pandangannya ke depan. Tak ingin membuat kecurigaan di depan banyak orang. Dia haraus tenang dan tinggal berpura-pura tidak tahu dan tidak mengenali laki-laki tampan di sampingnya ini. Sesuai dengan kesepakatan yang dia minta pada malam itu.“Len, ngapain bengong mulu dah? Ini buku lo sampe jatuh,” ucap Veni sembari memberikan buku Elaine yang sudah dia ambil dari lantai.“Eh?” Elaine melihat ke arah Veni. “Iya, sorry. Thanks loh udah diambilin,” katannya berterima kasih. Elaine meraih buku yang diberikan oleh Veni. Sejurus kemudian dia langsung menyibukkan dirinya dengan membaca buku.Sesekali Elaine melirik Darell, takut saja laki-laki itu melakukan hal-hal yang mencurigakan. Tapi ternyata dia tidak bergeming sedikitpun. Hal itu membuat Elaine meras
“Gue pernah denger gosip. Banyak cewek yang rela buat jalan sama dia, terus ya gitu menggoda dia buat tidur sama dia. Tapi DITOLAK SEMUA!” ucap Nurri dengan penekanan.“UHUK … UHUK.” Elaine terbatuk, dia tersedak mie ayam yang sedang dia makan. Karena dia terkjeut dengan ucapan yang baru saja dia dengar, dari gadis yang duduk di sampingnya itu.Veni yang melihat Elaine tersedak langsung panik dan memberikan minum pada temannya itu. Sedangkan Timmi dan Nurri, mereka terkejut dan langsung terdiam tak melanjutkan lagi pembicaraannya.“Lo kenapa?” tanya Veni khawatir.Elaine masih meneguk air pemberian Veni. “Duh … keselek,” jawabnya. “UHUK.” Dia terbatuk lagi. Tenggorokannya kini terasa tidak enak sekali, seperti ada sesuatu yang mengganjal.“Kenapa sih bisa keselek, macem bocah aja,” keluh Veni.Elaine merasa sedang diperhatikan oleh dua orang yang sedang dud
“Kak, kakak ada kelas lagi habis ini?” tanya Veni ketika pembagian kelompok selesai.“Ada, kenapa?” balas Darell.“Oh, kalau gitu kita bahas untuk materinya nanti ya. Kita coba cari jadwal yang sama-sama kosong. Sekarang saya boleh minta nomor kakak?” tanya Veni dengan sopan. Dia masih tidak tahu sifat Darell seperti apa, jadi dia berbicara secara formal.“Mana handphone lo?” pinta Darell. Sejurus kemudian Veni memberikan ponselnya pada laki-laki tampan itu. Darell langsung memencet layar ponsel milik Veni dan menyimpan nomornya, kemudian memberikan pada Veni. “Nih, nanti calling aja. Btw, ngomongnya santai aja. Pake gue lo juga nggak papa. Sesantainya lo aja,” ucap Darell yang kemudian beranjak dari kursinya.“Oh, oke kalau gitu, Kak,” balas Veni senang. Ternyata anaknya slow juga, nggak kaku dan senioritas.“Yuk ah, gue pamit dulu,” ucapnya dan k