Share

4. MENGHILANG

Hari ini nasib Basti tak jauh lebih sial dengan Raline. Mereka sama-sama pergi mencari pekerjaan, tapi sama-sama gagal.

Hanya saja Raline pulang lebih awal dari pada Basti yang pulang setelah jam makan malam sudah lewat.

Basti terlihat kusut malam ini. Dia pulang dalam keadaan yang cukup memprihatinkan setelah tadi sempat terkena sasaran amukan seorang pengendara bermotor yang kesal padanya karena menyeberang jalan sambil melamun.

Alhasil, dia mendapat tanda mata dari si pengendara motor berupa bogem mentah di pelipis kirinya.

"Ya ampun Bas, pipi kamu kenapa biru begini?" tanya Rani yang langsung berhambur ke arah Basti saat menantunya itu muncul dari balik pintu.

"Nggak apa-apa Bu," jawab Basti pelan lalu permisi untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Makan dulu, Bas?" ucap Rani lagi sebelum Basti benar-benar pergi.

"Iya, Bu. Basti mau mandi dulu,"

Sebelum masuk ke dalam kamar, Basti sempat mendengar percakapan antara Ibnu dan Rani di ruang Tv.

"Nanti kita cari jalan keluarnya Bu. Kita pinjam uang di Bank saja. Soalnya, karena kejadian itu Bapak jadi di pecat dan harus ganti rugi juga. Orang yang Bapak tabrak itu mau menuntut melalui jalur hukum kalau Bapak tidak menyanggupi biaya ganti rugi yang dia ajukan,"

"Jahat sekali dia. Padahal dia tahu Bapak cuma supir taksi, kok bisa-bisanya dia meminta uang ganti rugi sebanyak itu?" ungkap Rani dengan nada sedih, bingung, bercampur marah.

Basti merasa penasaran dengan masalah yang sedang dihadapi Bapak dan Ibu mertuanya itu. Tapi, kalaupun dia tahu apa masalah yang kini sedang dihadapi ke dua Ibu dan Bapak mertuanya itu, dia sendiri tidak akan bisa membantu. Jadi, lebih baik dia diam dan berpura-pura tidak tahu saja.

Akhirnya, Basti pun memilih untuk masuk ke dalam kamarnya, di mana Raline sedang menerima telepon. Basti sempat melihat Raline tertawa di telepon itu, meski tawa itu kian memudar seiring kehadiran dirinya di kamar itu. Bahkan, Raline justru memilih keluar tanpa sedikit pun perduli pada wajah suaminya yang bonyok serta kemeja putih Basti yang kotor dan kusut.

"Iya-iya sebentar Mas, aku mau pindah dulu," ucap Raline pada lawan bicaranya ditelepon tepat saat dia berjalan melewati Basti.

Setengah jam berlalu, Basti sudah selesai mandi dan dia sengaja menunggu Raline masuk ke dalam kamar. Sepertinya, dia perlu bicara serius dengan Raline malam ini.

Tak lama setelah itu, Raline terlihat masuk ke dalam kamar dengan senyuman yang sempat terukir di wajah manisnya. Meski senyuman itu tak bertahan lama dan langsung memudar begitu tatapannya tertuju pada lelaki yang kini resmi menjadi suaminya.

"Kamu habis teleponan sama siapa?" tanya Basti dengan nada suaranya yang dia usahakan selembut mungkin. Padahal dalam hati, Basti tahu dia sedang dilanda rasa cemburu. Hatinya terbakar saat dia harus mendengar pembicaraan Raline di telepon itu.

Sebab, beberapa menit yang lalu saat dia baru saja keluar dari kamar mandi, Basti sempat menguping pembicaraan Raline di belakang rumah. Dan amarah Basti semakin nyata ketika dirinya harus mendengar Raline yang memanggil lawan bicaranya di telepon dengan panggilan Mas.

Apa-apaan?

"Lin, kamu habis teleponan sama siapa tadi?" tanya Basti mengulang pertanyaannya yang tak kunjung di jawab oleh Raline. Wanita itu justru sibuk mengetik-ngetik sesuatu pada ponsel di tangannya sambil menyambungkan charger ponsel itu ke stop kontak. Raline duduk di tepi jendela kamarnya.

Basti yang kesal karena merasa di acuhkan jelas tidak mau tinggal diam. Dia mengambil ponsel di tangan Raline secara paksa. "Aku bicara sama kamu, Lin! Tolong hargai aku sedikit!" katanya dengan nada yang mulai meninggi. Emosinya mulai terbaca oleh Raline.

"Hargai?" Raline tertawa hambar dengan wajah yang melengos cuek. Seolah-olah apa yang baru saja dikatakan suaminya adalah hal yang lucu. Sangat lucu, bahkan. "Setelah apa yang kamu lakukan padaku, lalu kamu bilang aku harus menghargai kamu? Kamu sedang melawak apa sedang mengigau? Hah?" teriak Raline tepat di depan wajah Basti. Mata wanita itu melotot dengan tatapan sarat emosi. Ke dua sisi rahangnya mengeras.

"Tapi aku suamimu sekarang, Lin," bahu Basti merosot seketika. Suaranya kali ini terdengar lemah. Selemah dirinya yang memang tak memiliki daya apapun saat ini. Harga dirinya sebagai kepala rumah tangga benar-benar tak bisa dia pertahankan. Basti sadar, kesalahan yang telah dia lakukan memang sudah sangat fatal. Tapi, entah mengapa, relung hatinya menentang keras hal itu. Ada sebagian dalam dirinya yang mengatakan bahwa bukan dia pelakunya. Bukan dia yang sudah memperkosa Raline. Meski, hal itu tidak bisa dia buktikan. Basti benar-benar terjebak dalam dilema yang berkepanjangan. Dilema yang membuatnya hampir putus asa.

"Lalu? Kamu mau apa dariku sekarang?" tanya Raline menantang. Dagunya terangkat ke atas. Dia menatap Basti dengan penuh keberanian. Bahkan kini, Raline terlihat mulai membuka satu persatu kancing baju teratasnya. "Kamu mau tubuhku? Kamu mau aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri? Iya? Oke, akan aku lakukan!"

Basti berjalan mundur karena Raline kini terus berjalan maju ke arahnya, hingga akhirnya, langkah Basti terhenti saat tubuhnya mentok di pintu kamar.

Raline sudah membuka kaus hitamnya dan menyisakan bra merah yang menutupi payudaranya yang ranum dan begitu menggiurkan. Tatapan amarahnya kian menjadi-jadi. Menguliti setiap jengkal wajah laki-laki bajingan dihadapannya. Jika memang dia harus menjadi seorang pelacur, Raline akan melakukannya malam ini. Bukankah harga dirinya sudah hancur berantakan, terkoyak hingga ke akar-akarnya. Bagi Raline tubuhnya kini sudah tak lebih dari sebuah barang yang bisa di nikmati sesuka hati. Tak berharga. Tak bernilai sama sekali. Jadi untuk apa dia malu?

Manusia biadab ini sudah meluluhlantahkan harga dirinya, kehormatannya sebagai seorang wanita. Sampai Raline sempat berpikir bahwa dirinya kini hampir gila.

Gila karena terus menerus larut dalam kesedihan yang sama.

Di saat dia tahu, bahwa dirinya telah di nodai oleh laki-laki yang jelas-jelas begitu dia cintai selama ini. Satu-satunya laki-laki yang telah mendiami relung hatinya yang kosong dan telah tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Satu-satunya laki-laki yang dia harap bisa menjadi tumpuan harapan manis dalam kehidupannya di masa depan.

Hingga pada saatnya, Raline terbangun dari semua mimpi-mimpi indahnya itu. Dia terbangun, dalam keadaan yang begitu mengenaskan. Dia terbangun, saat mahkota sucinya telah di renggut secara paksa bahkan tanpa permisi. Dan sejak itulah, seluruh perasaan cintanya pada Basti musnah seiring dengan pupusnya asa yang terganti oleh perasaan benci yang tiada tara.

Raline memang mencintai Basti, tapi dia tetap tidak bisa menerima kenyataan jika Basti harus memperlakukan dirinya serendah itu.

"Ayo jamah aku! Ayo perkosa aku seperti waktu itu! Sekarang kamu bisa melakukan apapun terhadapku, Bas! Nggak akan ada yang menyalahkanmu! Ayo! Lakukan!" perintah Raline lagi. Teriakannya bahkan terdengar keluar.

Rani dan Ibnu hanya bisa menangis mendengar teriakan anaknya dari dalam kamar.

"Bukan aku pelakunya, Lin! Bukan aku yang memperkosa kamu! Harus berapa kali lagi aku bilang?" ucap Basti pada akhirnya.

Basti memungut pakaian Raline yang tercecer. "Pakai baju kamu, Lin!" perintah Basti seraya melempar tank top Raline ke arah wanita itu. Sebenarnya Basti sendiri tidak ingin munafik. Sebagai seorang suami jelas dia menginginkannya. Dia ingin Raline malam ini. Tapi, bukan atas dasar keterpaksaan wanita itu. Basti tidak ingin menjadi laki-laki egois yang mementingkan nafsunya daripada perasaan wanitanya sendiri. Basti ingin, seandainya memang hal itu harus terjadi, semua atas kehendak Raline sendiri. Basti berharap Raline bisa benar-benar menerimanya.

Basti mencoba menghindar. Dia memalingkan wajahnya dari hadapan Raline sebelum dia benar-benar dibakar hasratnya sendiri. Sungguh, perasaan ini sangat menyiksanya.

"Kalau memang bukan kamu pelakunya, lalu untuk apa kamu bersedia menikah denganku? Kamu kan anak dari Ibu Helen yang terhormat dan berkuasa, kenapa kamu nggak menyewa pengacara untuk membebaskanmu dari hukuman penjara? Kenapa, Bas?" Raline memakai kembali tank topnya. Air mata wanita itu mulai menggenang.

"Harus aku menjawab kenapa?" ucap Basti dengan suaranya yang mulai terdengar parau. Bola mata coklat maroon laki-laki setengah bule itu mulai berkaca-kaca. Dia kembali menatap ke arah Raline.

Raline terdiam untuk beberapa saat. Dia mencoba mencerna kembali pertanyaanya sendiri. Dan menerka kemungkinan yang akan di ucapkan oleh Basti. Meski setelahnya dia berusaha untuk tidak benar-benar perduli. Sebab alasan apapun yang akan di ucapkan oleh Basti, tak akan mampu melunturkan perasaan bencinya terhadap laki-laki itu.

"Aku cuma mau kamu yang dulu, Lin. Aku rindu Raline yang dulu. Raline yang periang dan selalu menjadi alasanku untuk tersenyum. Aku cuma mau kamu melupakan kejadian itu. Kita mulai semuanya dari awal. Cuma kamu dan aku. Aku mau kamu terima aku apa adanya, Lin... Itu aja," Basti kembali berbalik dan menatap Raline yang kini berdiri dengan wajah yang terus menunduk. Basti tahu, Raline sedang menangis.

"Aku mencintaimu, Lin. Aku nggak mau kamu menjalani kehamilanmu tanpa seorang suami. Aku nggak mau kamu, Ibu dan Bapak malu akibat kehamilanmu itu. Itulah sebabnya, aku memilih untuk pergi dari rumah dan terpaksa meninggalkan segalanya. Mengenai masalah uang tabungan kuliahmu yang terpakai untuk biaya pernikahan, aku janji akan menggantinya secepat mungkin. Aku akan berusaha untuk segera mendapat pekerjaan. Aku yang akan membiayai kuliahmu nanti, Lin..." Basti mulai berjalan mendekat ke arah Raline. Meski dia belum memiliki keberanian untuk menyentuh tubuh istrinya.

Detik dan menit berlalu, mereka masih saling diam dalam kebungkaman masing-masing. Masih saling merenungi apa yang seharusnya dilakukan.

Hingga setelahnya, wajah Raline perlahan mulai terangkat. Mata hitam wanita itu terlihat sembab dan sedikit memerah. Ditatapnya Basti dalam-dalam. Seolah mencari kebenaran atas apa yang baru saja laki-laki itu katakan.

"Maaf, Bas. Apapun alasan yang kamu katakan, hatiku tetap nggak bisa menerimanya. Kejadian malam itu seolah mendarah daging di dalam diriku, bahkan setiap kali aku memejamkan mata, aku seolah melihat siluet kejadian malam itu dengan begitu nyata! Kesakitanku malam itu sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Bas... Aku hancur Bas..." Raline menelan salivanya yang terasa pahit. Kejadian itu sungguh menyisakan trauma mendalam bagi diri Raline. Sulit baginya untuk melupakan semuanya. Terlebih, dengan keberadaan Basti di sisinya sekarang.

"Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu bisa melupakan semuanya, Lin? Apa yang bisa aku lakukan supaya aku bisa melihat Raline yang dulu kembali," tanya Basti dengan penuh keyakinan. Dan apapun jawaban Raline, dia akan mengabulkannya. Jika memang itu yang terbaik.

"Menghilanglah dari pandanganku, Bas... Untuk selama-lamanya..."

Dan Basti pun tertegun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status