“Ayo! Katakan padaku bagaimana panasnya pria yang bernama Aiden itu!” Seorang perempuan berambut cokelat highlight terlihat sangat bersemangat. Wajahnya berseri-seri. Ia menatap lawan bicaranya dengan memelas, berharap kalau dia akan menjelaskannya.
“Aku tidak mau menjelaskannya, Shirley,” seru Stephanie malas.
Shirley Adner, seorang model yang juga merangkap sebagai sahabat Stephanie. Mereka memulai hubungan sejak duduk di bangku perguruan tinggi. Dikarenakan Nancy dan Stephanie yang berbeda universitas, membuat Stephanie sulit bergaul. Tapi untung saja di semester selanjutnya dia menemukan Shirley yang pandai bergaul.
Shirley mencebik kesal. “Aku sudah mengundur jadwalku yang padat hanya untuk bertemu denganmu. Mendengar kabar baik ini membuatku langsung terbang. Tapi sayangnya kau tidak menyambutku dengan baik.”
Stephanie menghela napasnya panjang. Dia memilih untuk membaringkan wajahnya di pundak Shirley, begitu juga dengan Shirley yang membaringkan wajahnya di kepala Stephanie. Mereka berdua melihat bunga-bunga cantik yang berada di taman Casey’s Mansion.
“Maaf. Aku belum bisa berpikir dengan jernih. Padahal sudah beberapa hari sejak kejadian di pesta itu tapi aku masih belum bisa melupakannya.”
“Kau masih tidak enak dengan Joshua?” Shirley sudah tahu semuanya. Penjelasan Stephanie ditambah dengan Nancy membuatnya tahu apa saja yang sudah terjadi belakangan ini.
“Benar. Aku—”
“Stephanie, lupakan saja. Itu hal yang tidak penting. Kau bisa saja memberikan alasan lupa karena sibuk menyiapkan pertunanganmu dengan Aiden.”
“Tapi—”
“Atau jangan-jangan kau menyimpan rasa kepada Joshua?”
Pertanyaan itu membuat Stephanie buru-buru menjauhkan wajahnya dari pundak Shirley. Dia membuang wajahnya ke depan. Tak berani menatap Shirley.
“Bukan begitu!” jawab Stephanie cepat.
Tidak mungkin bagi Stephanie memiliki perasaan yang Shirley katakan. Iya, dia menganggap Joshua hanya sebagai seorang sahabat. Semoga saja begitu sampai seterusnya.
“Lalu begitu apa, heh?” tanya Shirley yang sudah menaik turunkan alisnya, menggoda Stephanie.
Stephanie menarik napasnya. Bersama dengan Shirley membuatnya harus mengatur emosi. Pasalnya, Shirley suka sekali menjebak dirinya. “Baiklah! Aku akan mengikuti saranmu saat bertemu dengan Joshua nanti.”
“Bagus! Kau tidak perlu berpikir terlalu lama hanya untuk masalah sepele ini!” Tiba-tiba Stephanie menarik pandangan ke Shirley. Raut wajah misterius yang Stephanie buat membuat Shirley menjadi merasa was-was. “A—apa?”
Stephanie tersenyum manis. Setelah memantapkan hatinya, akhirnya dia membuka suara. “Kau tahu jelas tentang kehidupanku. Aku tidak pernah berhubungan dekat dengan pria selain daddy, kakak, dan Joshua—”
“Bukannya tidak. Tapi karena kakakmu!” potong Shirley yang kesal.
Benar memang. Sean selalu berada di samping Stephanie. Walau jarak memisahkan mereka saat Stephanie kuliah, Sean sudah menyiapkan segalanya. Dia memutuskan untuk menyewa mata-mata yang siap sedia melaporkan segala apa yang Stephanie lakukan.
Jika ada pria yang mendekati Stephanie, maka Sean akan selalu bertindak tegas. Dia akan mengancam Stephanie. Tidak hanya itu, dia juga akan membuat pria yang mendekati Stephanie merasa kapok. Oleh sebab itu banyak pria yang langsung mundur sebelum berusaha.
“Itu juga,” sahut Stephanie sedih. “Jadi, aku belum punya pengalaman. Sedangkan kau? Kau sudah menghabiskan waktu dengan banyak pria. Bahkan kau punya hubungan gelap dengan salah satu pemilik club yang punya banyak cabang—”
“Hey!” potong Shirley. “Kecilkan suaramu! Awas saja orang lain mendengar itu! Bisa-bisa karirku menjadi taruhannya!”
Stephanie mengangguk. Dia mendekatkan tubuh ke Shirley. “Jadi aku ingin meminta tips darimu.”
Jujur saja, saat ditantang oleh Aden di pesta itu, Stephanie merasa ragu. Dirinya hanya belajar mengenai tata krama menjadi seorang perempuan, bukan menjadi seorang pasangan untuk pria. Untung saja saat itu Aiden membawanya ke pesta dengan banyak tamu undangan. Kalau Aiden mengajaknya makan malam berdua, maka habislah Stephanie karena tidak tahu harus mlakukan apa. Stephanie patut bersyukur saat makan malam pertama mereka sehabis rem mendadak itu, paslanya Aiden tidak ada berucap apapun.
Shirley menarik bibirnya, membentuk sebuah senyuman. Kedua tangannya menyatu lalu bergesekan. Dia sudah tahu bagaimana cara memulai ini semua.
“Baiklah. Aku akan memberikanmu tips ampuh!” sahut Shirley senang hati.
***
“Aiden Chayton terlihat menggandeng seorang perempuan cantik bernama Stephanie Casey,” seru Marvin sesudah masuk ke ruangan kerja milik Aiden. Itu adalah judul dari artikel yang baru dia baca. Saking kagetnya Marvin sampai rela datang ke Chayton’s Company untuk menanyakan lebih lanjut kepada Aiden.
Aiden menghela napasnya panjang. Kedatangan Marvin membuatnya harus memutuskan fokus kepada laptop yang ada di hadapannnya. Aiden memilih bersandar di bangku kebesarannya, lalu membuka kancing kemeja yang menjepit pergelangan tangan agar lebih rileks.
“Wow, Man!” sorak Marvin yang memotong suara Aiden. “Aku tidak percaya kalau kau akan menikah dengan perempuan yang menabrak dirimu waktu itu!” Marvin tahu kalau Aiden akan dijodohkan tapi ia belum tahu siapa wanita itu.
“Lalu?” tanya Aiden sambil menaikkan alisnya satu.
“Tentu saja itu adalah hal yang mengejutkan!” Marvin memilih duduk di seberang. “Katakan, apa yang kau rencanakan di balik ini semua?”
“Tidak ada.”
“Ck. Tidak mungkin!” sahut Marvin. Dia kenal Aiden. Aiden tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa punya alasan yang jelas.
“Lalu kalau kau tahu alasannya apa yang akan kau lakukan?”
“Tidak ada.”
Pria itu menghela dengan kesal. Tak lupa tatapannya menajam. “Untuk apa aku mempertahankan manusia kalau tidak memberikan keuntungan bagiku—”
“Kau tidak mungkin membuangku, Kawan!” kekeh Marvin. “Walaupun aku kadang merepotkanmu, tapi kau harus tahu kalau aku sahabatmu. Aku yang selalu berada di sampingmu saat kau mabuk. Kalau aku tidak ada, mungkin kau akan diinjak-injak di lantai dansa.”
“Bagaimana menurutmu tentang Stephanie?”
Setelah diam beberapa saat akhirnya Aiden mengeluarkan suaranya. Tadinya Marvin sudah ingin memejamkan mata tapi karena suara itu dia terpaksa melawan rasa kantuk yang mulai memenuhi seluruh bagian tubuhnya.
Marvin mengetuk-ngetuk dagunya, seperti sedang berpikir. Kegiatan itu membuat Aiden berdecak kesal. Menurut Aiden itu adalah hal yang sangat menjijikkan.
“Menurutku dia cantik dan juga seksi,” tutur Marvin sambil menerawang ke depan. Apa yang Marvin katakan tidak membuat Aiden merasa puas karena dia tahu hal itu.
“Lalu?”
“Tunggu ....” Marvin menjeda. Tatapan sulit dijelaskan. “Aku seperti pernah melihat dirinya di balapan sebelum kalian bertemu.”
“Maksudmu?” Aiden menegapkan tubuhnya. Dia mulai penasaran dengan apa yang Marvin katakan.
Alis Marvin menyatu. Berusaha keras menggali memori yang tersimpan di otaknya yang sempit. “Iya!” Suara Marvin menguat. “Aku pernah melihatnya bersama dengan Joshua, musuhmu!”
Aiden tak merespon apapun. Tapi perlahan-lahan dia mulai menunjukkan gelagat saat dimana orang mulai merasa emosi.
“Oh, astaga!” Marvin tersenyum penuh arti. “Kau tidak mungkin belum mengetahui hal ini, bukan? Oh, oh, oh. Jadi selain alasan harta, ternyata Aiden punya alasan pribadi.” Marvin tak perlu menjelaskan asalan apa itu. Melihat wajah Aiden sudah menjawab semua apa yang Marvin duga.
“Ku kira kau sudah melupakan masa lalumu, Kawan .... Tapi ternyata dugaanku salah,” seru Marvin
Suara telepon yang berbunyi itu akhirnya memotong kalimat yang ingin Marvin katakan. Marvin terdiam. Dia menunggu Aiden bertindak. Apakah Aiden akan menolak pangilan itu atau tidak.
Ternyata Aiden bergerak. Dia mengambil benda pipih itu. Menggesernya lalu mendekatkan ke telinga.
“ ... “
Satu kalimat yang disampaikan oleh lawan bicaranya kembali membuat rahang AIden mengetat dengan kuat. Tak hanya rahang, dia juga meremas benda pipih itu. Berusaha menyalurkan rasa emosi yang mulai mengendalikan diri Aiden sepenuhnya.
“Tunggu aku,” tegas Aiden yang lalu berlari ke luar ruangan kerja. Dia mengabaikan Marvin yang berteriak ke arahnya.
Dan sekarang Aiden sudah berada di sebuah restoran. Matanya terus saja tertuju ke tempat duduk yang berada di sudut. Memperhatikan apa yang mereka lakukan. Pembicaraan mereka sangat kompak sekali. Bahkan dalam jarak yang bisa terbilang jauh, Aiden masih dapat mendengar canda tawa dari mereka. Itu berhasil membuat emosi yang ada dalam Aiden kian membara.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Aiden punya kesempatan. Langsung saja dia mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah kamar mandi. Perempuan itu tak lain adalah Stephanie.Sebenarnya Aiden ingin sekali menghampiri pria yang menjadi lawan bicara Stephanie. Memberinya pelajaran dengan beberapa pukulan— tapi akhirnya Aiden memutuskan untuk tidak melakukannya. Bukan dirinya takut, tapi ia lebih malas berurusan dengan pria itu. Ditambah lagi dengan kondisi restoran yang sangat ramai. Aiden tidak mau mengambil risiko dimana dirinya menjadi trending topik dengan judul “Seo
“Ck. Ternyata kau sangat bawel.” Sindiran yang Aiden berikan berhasil membuat Stephanie semakin bertambah kesal.Baiklah, dia tidak akan lagi bersuara untuk seterusnya. Langsung saja Stephanie mencari tempat ternyaman. Memundurkan kursi, lalu menutup matanya— tidur dengan pulas.Setelah Aiden memarkirkan mobil sportnya di tempat yang memang khusus dipersembahkan untuk dirinya, akhirnya dia memberikan seluruh fokusnya kepada perempuan yang sedang tertidur pulas dengan wajah yang menghadap ke arahnya.Biasanya bentuk wajah terjelek adalah saat dimana kita tertidur, tapi berbeda dengan Stephanie. Dia malah terlihat sangat cantik, sama seperti ketika dia bangun. Bibir yang sedikit tebal itu terlihat tertutup sempurna, bulu matanya yang panjang menambah nilai. Kali ini Aiden membenarkan satu hal, kalau keturunan Chayton memang tidak pernah gagal dalam memproduksi seorang perempuan.
“Akhirnya kau datang juga, Sayang.”Dan di sinilah mereka berdua berada, di kediaman keluarga Chayton. Stephanie langsung disambut baik oleh Rose. Sedangkan Aiden, dia diabaikan bahkan tidak diajak berbicara sama sekali.“Aku masih berada di sini, Mom.”Setelah beberapa waktu mereka berdua berbicara dengan sangat akrab, akhirnya suara Aiden lah yang membuat perbincangan santai mereka terpotong.Rose hanya bisa menghela napasnya kesal karena Aiden yang sudah memotong pembicaraannya dengan sang menantu. “Kau lebih baik membersihkan dirimu, Aiden. Biarkan Mommymenghabiskan waktu bersama Stephanie. Mommyingin sekali mengenalnya lebih dalam.”Aiden menaikkan alisnya, lalu menarik pandangan ke Stephanie yang duduk di samping Rose. “Lebih baik Mommytanya dulu, apakah Stephanie ingin berbicara
Beberapa kali Aiden melirik sampingnya melalui ujung mata dan dia hanya mendapati Stephanie yang duduk terdiam di kursinya sambil mengarah ke arah kaca yang ada di samping. Tidak biasanya Stephanie seperti ini. Walaupun hanya terhitung beberapa kali Aiden membawa Stephanie, dia sudah tahu kalau kebiasaan Stephanie yang tidak bisa diam. Kalau tidak ada topik pembicaraan maka pasti akan ada senandung yang Stephanie keluarkan.Aiden tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang jelas Stephanie mendadak menjadi pendiam disaat mobil ini sudah berjalan.“Apa ada sesuatu yang terjadi?”Akhirnya setelah berperang dengan dirinya,Aiden mengeluarkan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Stephanie menoleh ke arahnya.“Tidak.”Stephanie menjawab pelan dan setelah itu ia kembali ke posisi semula, menghadap ke arah kaca. Dia mengabaikan Aiden yang terlihat mengger
Hari pertunangan Aiden dan Stephanie semakin dekat, dimana kedua keluarga itu mempersiapkannya dengan penuh kebahagiaan. Terutama kedua manusia yang mempunyai peran penting dalam pertunangan itu, tapi kali ini ada pengecualian— Stephanie duduk termenung di atas kasur. Setelah melakukanfittinguntuk gaun pertunangan dia langsung masuk ke dalam kamar. Tidak ada senyuman sama sekali yang menunjukkan kalau dia memang tidak merasakan apa yang dirasakan oleh seluruh manusia di Casey’s Mansion. Ingatannya terus berada beberapa hari yang lalu ... disaat Aiden menjelaskan siapa itu Amanda. Setelah Stephanie diantar pulang oleh Aiden, dia langsung bergegas mencari biodata Amanda melalui internet. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kalau Amanda adalah kakak tingkatnya saat di universitas tapi mereka memang tidak saling mengenal dikarenakan disaat Amanda lulus barulah Stephanie masuk. Menurut berita yang beredar, Amanda sangat ak
“A—apa yang kau lakukan?”Sesudah Stephanie memproses semua apa yang terjadi di kepalanya dengan cepat, akhirnya hanya kalimat itu yang dikeluarkan sebagai bentuk protes akan apa yang Aiden lakukan.Dan Aiden hanya tersenyum mendengar itu. “Kau sedang marah atau bertanya dengan nada yang baik, heh?”Mendengar ejekan yang Aiden berikan kepadanya membuat Stephanie menghela jengah. Kalau saja Aiden tidak melingkarkan tangan di pinggang miliknya, sudah pasti Stephanie akan turun dari tadi.“Kenapa kau menciumku?” Stephanie mengabaikan ejekan itu. “Kau sangat mesum—”“Tidak baik untuk mengatakan bahasa kasar, Sweetie,” potong Aiden yang sudah membawa tangan Stephanie untuk turun dari depan wajahnya. “Orang selembut dirimu tidak cocok mengatakan bahasa kasar.”Cukup! Stepha
“Kenapa kau meneleponku, Sweetie?”Satu kalimat itu langsung terdengar disaat telepon Stephanie dijawab oleh Aiden yang berada di seberang. Stephanie yang tadi masih mengaplikasikan cairan ke bibirnya sontak berhenti kala mendengar suara berat Aiden yang sangat seksi— walaupun Aiden tidak berada di hadapan Stephanie tapi dia menyadari kalau kekuatan Aiden melingkupinya.“Aku ... ingin keluar.”Sesudah teringat akan tujuannya, Stephanie langsung bersuara. Tidak hanya meminta izin kepada orang tuanya, tapi Stephanie juga harus mengingat Aiden yang akan menjadi tunangannya ... Kalau saja Aiden tidak memberikan mata-mata untuk mengawasinya maka Stephanie tidak perlu repot melakukan ini. Stephanie hanya takut kalau tiba-tiba Aiden datang dengan kemarahannya dan membuat kerusakan— itu terlalu mengerikan.“Keluar? Kemana?”Suara A
Boom!Suara tenang itu membawa mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara yang berada tepat di belakang Amanda.Seorang Aiden Chayton sudah berdiri di sana dengan pakaian jas lengkap, tak lupa dengan tatapannya yang tidak pernah lepas dari Stephanie yang sudah dia mematung. Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai sebuah suara membuat fokus mereka terpecahkan.“Sayang, akhirnya kita bertemu.” Suara Amanda yang terkesan ramah itu membuat Aiden menarik pandangan. Dia masih diam dikala Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Padahal aku berniat ingin menemuimu di Chayton’s Group.”Sedangkan Stephanie, dia masih diam di tempat. Melihat dan menunggu akan apa reaksi yang Aiden berikan kepada perempuan yang pernah punya tempat spesial di hatinya dulu. Melihat tatapan Aiden yang lembut sama seperti dia menatap Stephanie membuat hati perempuan itu terasa diiris-iris&m