Mereka menyantap makan siang sambil berbincang-bincang tentang banyak hal, sampai kepala Bima mendadak pusing lalu tak sadarkan diri.
Lalu Bima terbangun di kamar hotel dengan tubuh setengah telanjang, foto tidur bersama perempuan dan ancaman untuk membatalkan proyek yang sudah disepakati.
"Aarrgghhh ... Brengsek!" Bima melempar foto yang ditangannya. Kepalanya bertambah pusing dengan masalah yang dia hadapi sekarang.
Papi pasti marah besar. Ini proyek pertama yang dipercayakan padanya. Tetapi dia menggagalkannya dalam satu hari?
"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya.
"Aliciya pasti tidak akan memaafkanku kalau dia tau tentang foto ini. Dan papi pasti tidak mau jika proyek ini dilepas.""Seseorang telah menjebakku. Orang itu dengan sengaja melakukannya untuk menghancurkanku.""Aku harus bisa menemukan orang yang menjebakku."Bima berbicara sendiri, pikirannya sangat kalut dengan masalah yang tiba-tiba menimpanya.
***
Mobil Bima memasuki halaman rumah. Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam.
Dengan lesu Bima melangkah ke dalam, dipandangnya sekeliling. Tidak ada yang berubah. Rio tengah duduk santai bersama Wulan menonton televisi. Arsya biasanya sudah berada di kamar bersama Aliciya."Syukurlah." katanya dalam hati. "Berarti surat ancaman dan foto tidak sampai ketangan papi." gumamnya.
Setelah memberi salam pada Rio dan Wulan, Bima berjalan menuju kamarnya. Aliciya sudah tidur berdampingan dengan Arsya. Usai mandi dan membersihkan diri, Bima memandang dua orang yang dicintainya yang sedang tertidur pulas.
Tangannya mengelus pipi Aliciya, lalu mengusap puncak kepala istrinya dengan lembut. Kemudian beralih ke pipi Arsya yang gembul. Berbeda dengan Aliciya, Arsya mengerang ketika tangan Bima menyentuh pipinya.
Bibirnya tersenyum, Aliciya justru tidak sadar ketika di sentuh tetapi Arsya, anaknya bisa cepat menyadarinya. Bima teringat di awal mereka menikah, Aliciya susah sekali dibangunkan. Bima mesti teriak-teriak dari luar kamar supaya Aliciya bangun.
Puas memandang Aliciya dan Arsya, Bima mengambil tempat disamping Arsya. Bertiga mereka berbagi ranjang menggapai mimpi indah bersama.
***
"Hari ini papi belum ke kantor ya, Bim. Kamu bisa urus semua kan?" kata Rio di sela-sela sarapan.
"Iya, Pi." jawab Bima."Kalau ada yang kamu tidak paham, kamu cepat hubungi papi." ujar Rio kemudian.Bima mengangguk, tadi malam dia tidak bisa tidur dengan tenang. Bayangan foto dia tidur dengan wanita di hotel itu menari-nari di alam bawah sadarnya."Apa yang harus aku lakukan?" Pikirannya bekerja keras untuk menjawab pertanyaan yang terus berputar di kepala.
Tangan kecil Arsya menyentuh pegelangan tangan Bima, seketika dia tersentak. Bima terlalu banyak pikiran hingga dia tidak tau kalau Arsya sudah berada disampingnya. Diciumnya pipi gembul Arsya, berlanjut ke pipi Aliciya yang sedang memangku Arsya lalu menuju mobil untuk berangkat ke kantor.
Ponselnya bergetar, Bima membereskan berkas yang sudah dibaca kemudian memasukkan tumpukan kertas tersebut ke dalam sebuah map. Diraihnya ponsel yang berada di laci meja, sebuah notifikasi pesan dari nomor yang tidak di kenal masuk ke ponselnya.
Dengan tangan gemetar, Bima membuka pesan tersebut. Matanya kembali membulat ketika layar ponsel menampilkan foto dengan pose berbeda dari yang dilihatnya beberapa hari lalu.
Pose foto ini lebih menakutkan dibanding foto kemaren. Bima sendiri merasa jijik melihatnya."Bagaimana mungkin perbuatan tidak senonoh ini aku lakukan pada perempuan lain?" Hatinya menjerit. Orang yang tidak tau, pasti akan menudingnya sebagai laki-laki jahat.
Dengan cepat jarinya bergeser ke tombol delete. Dia tidak mau jika Aliciya melihat foto tersebut. Tidak lama kemudian, sebuah pesan kembali masuk. Isinya cukup membuat jantung Bima keluar.
--Waktumu sudah hampir habis. Dalam satu jam, proyek tersebut harus dibatalkan.--
Bima benar-benar tidak bisa berfikir dengan jernih. Teringat perkataan Rio yang menaruh harapan besar padanya. Dia tidak mau mengecewakan Rio padahal ini baru awal Rio mempercayakan kepemimpinan di tangannya.
Kembali dia membaca pesan ancaman tadi lalu dia menghubungi nomor pengirim.
Dua kali panggilan tidak dijawab, dipanggilan ketiga baru berbunyi nada tersambung."Hallo, siapa kamu?" tanya Bima.Terdengar suara tawa diseberang sana. Darah Bima mendidih mendengarnya. Lalu Bima meninggikan nada suaranya."Halloo ... Kamu jangan mencoba mengancam saya ya." ujar Bima berang."Waktumu sudah habis bro ... Good Bye."Sambungan telepon terputus.
Bersambung..
Bima mengumpulkan berkas yang sudah di tanda tanganinya, dia mulai bersiap untuk pulang. Diliriknya benda bermerk yang melingkar di pegelangan tangan, "Sudah jam delapan malam" gumamnya.Baru saja dia berjalan beberapa langkah, Ponsel yang berada di dalam saku jas nya berbunyi. Bima segera mengambil dan mengangkat panggilan dari Wulan."Ya, ada apa, Mi?" katanya membuka percakapan"Bim, Aliciya belum pulang dari tadi. Kamu tau kemana?" jawab suara di seberang sana. Wulan terdengar sangat panik, ditambah suara Arsya yang menangis."Belum pulang? memang Aliciya kemana, Mi? Dia tidak menghubungi Bima." tanya Bima cemas."Siang tadi katanya mau ke makam orangtuanya, tapi sampai sekarang belum pulang. Kamu coba susul ke makam ya, siapa tau dapat petunjuk." perintah mami.Bima melajukan mobilnya dengan cepat, setelah memasuki kawasan makam tempat mertuanya dikuburkan, Bima mulai memelankan laju mobilnya. Suasana sangat sepi bahkan menyeramka
Tangan Bima langsung gemetaran memegang foto yang diberikan sama polisi, matanya membulat lebar. Keringat bercucuran."Aliciya, tidak mungkin....""Bagaimana mungkin bapak menemukan mobilnya tetapi tidak menemykan istri saya?" tanya Bima, suaranya terdengar agak tertekan karena menahan gemetar."Sedang kami selidiki Pak, tidak ada saksi mata di tempat kejadian.""Saya mohon, bantu saya menemukan istri saya.""Jangan khawatir Pak, semua sudah menjadi tugas kami."***Bima tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan yang sedang ada di depan matanya. Pikirannya menerawang jauh memikirkan Aliciya.Semalaman ia tidak bisa tidur, dan sekarang ia harus menerima kenyataan pahit kalau mobil Aliciya ditemukan dalam keadaan buruk."Dimana kamu sayang? apa yang terjadi? anak kita menangis, merindukanmu. Aku juga rindu dan sangat mencemaskanmu." Bima bermonolog.Bima menyand
Bruukk...Bima tidak bisa bertahan, ia terjatuh sebelum meraih dinding untuk pegangan.Pelan dibukanya matanya, netranya menyesuaikan dengan cahaya lampu di kamar. Samar-samar dilihatnya wajah orang yang mengelilingi ranjangnya. Matanya memandang ke sekeliling ruangan yang serba putih, jelas ini bukan kamarnya.Nampak Wulan dengan cemas memandangi Bima, Wulan mulai tersenyum melihat Bima sudah membuka mata."Syukurlah, kamu sudah sadar. Kami sempat panik melihat kamu jatuh dan pingsan tiba-tiba." ujar Wulan. Ia mengusap kepala Bima.Bima meringis, kepalanya terasa berdenyut dan sakit. Kemudian dokter dan perawat masuk kemudian mendekati Bima. Perawat tersebut melingkarkan alat pengukur tensi ke tangan Bima. Setelah itu dokter memeriksa keadaan Bima."Kondisinya sudah mulai pulih, Pak Bima hanya kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran." kata lelaki yang berpakaian serba putih itu."Saya akan resepkan obat dan vitamin. Istirahat dan cu
Yasmine memakan bubur yang dibawa inaq nya dengan lahap. Tidak biasanya ia makan selahap ini, ia seperti tidak makan berhari-hari.Inaq tersenyum puas saat melihat semangkuk bubur di tangan Yasmine kandas. Ia senang karena Yasmine menyukai bubur buatannya."Kamu mau tambah lagi, Yasmine? Inaq akan mengambilkannya." Katanya, dia mengambil mangkuk kosong dari tangan Yasmine."Tidak Inaq, Yasmine sudah kenyang." Yasmine menjawab, kembali di edarkannya pandangan ke sekililing ruangan."Apa kamu melupakan kamarmu?"Yasmine mengangguk, sedikitpun ia tidak bisa mengingat sesuatu yang berhubungan dengan kamar ini?"Mungkin kamu lupa akibat benturan di kepalamu." Inaq duduk di sebelah Yasmine, mangkuk yang di pegangnya tadi di letakkannya di meja kecil sudut ruangan.Tangannya mengusap rambut Yasmine yang kusut. Sesekali tangan Inaq beralih mengusap punggung lalu naik kembali ke kepala."Kamu istirahat ya, nanti kalau sudah agak kuat, inaq bawa jalan-ja
Sudah satu tahun Aliciya menghilang. Arsya sudah berumur 18 bulan. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di usianya yang sekarang, dia sudah bisa di ajak mengobrol dan bercerita meskipun dalam pengucapan bahasa belum terlalu jelas.Bima berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Arsya. Ia harus bisa memposisikan dirinya sebagai seorang papi dan seorang mami bagi putranya semata wayangnya.Bima sangat sedih ketika Arsya berceloteh memanggil 'mi..mi..mi..' Biasanya Bima akan menunjukkan foto Aliciya jika Arysa menanyakan sosok mami yang tidak pernah di lihatnya.Arsya suka mencium foto yang terbungkus figura tersebut, yang di kenalnya sebagai mami."Bima, kamu gak ke kantor?" Wulan berjalan mendekat ke arah anak dan bapak yang sedang bermain mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Papi udah berangkat?" jawab Bima sambil memindahkan Arsya yang duduk di pangkuannya ke karpet."Sudah. Kamu harus semangat nak, jangan terus larut dalam kesedihan. Ing
Sudah satu tahun Aliciya menghilang. Arsya sudah berumur 18 bulan. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di usianya yang sekarang, dia sudah bisa di ajak mengobrol dan bercerita meskipun dalam pengucapan bahasa belum terlalu jelas.Bima berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Arsya. Ia harus bisa memposisikan dirinya sebagai seorang papi dan seorang mami bagi putranya semata wayangnya.Bima sangat sedih ketika Arsya berceloteh memanggil 'mi..mi..mi..' Biasanya Bima akan menunjukkan foto Aliciya jika Arysa menanyakan sosok mami yang tidak pernah di lihatnya.Arsya suka mencium foto yang terbungkus figura tersebut, yang di kenalnya sebagai mami."Bima, kamu gak ke kantor?" Mami berjalan mendekat ke arah anak dan bapak yang sedang bermain mobil-mobilan."Bentar lagi, mi. Papi udah berangkat?" Jawab Bima sambil memindahkan Arsya yang duduk di pangkuannya ke karpet."Sudah. Kamu harus semangat nak, jangan terus larut dalam kesedihan. Ingat, ada
Sudah hampir satu minggu Yasmine menunggu. Seseorang yang katanya berstatus suaminya akan menjemputnya kesini.Benarkah apa yang dikatakan pemuda itu?Bahkan namanya saja, Yasmine tidak ingat. Yasmine hanya mengingat nama 'Pak Bima' yang ia bilang akan datang menjemputnya."Kamu kenapa, akhir-akhir ini, Inaq lihat sering melamun."Ucapan Inaq menghentikan lamunan Yasmine. Inaq memang tidak mengetahui, kalau Yasmine mulai menemukan jati dirinya.Satu tahun yang lalu, ketika Yasmine baru sadar dari kecelakaan, Yasmine tidak mengingat apapun. Bahkan rumah yang di ketahuinya sebagai tempat dari masa kecilnya, dimana ia tumbuh bersama orang tua dan keluar
Aku melangkah ke luar gedung perkantoran. Rasanya masih kesal dengan Pak Bima yang tidak mau menemuiku mesti hanya sebentar. Padahal aku membawa berita penting tentang Aliciya. Aku juga memaksakan diri untuk datang menemuinya padahal kondisiku belum terlalu pulih.Karena mengingat janji dengan perempuan yang bernama Yasmine di Lombok, aku memutuskan ke Jakarta dengan kondisi tubuh yang belum sepenuhnya pulih.Kemudian aku kembali masuk ke dalam. Aku mencoba menunggu di lobby, berharap pak Bima turun. Sudah hampir dua jam aku duduk, namun yang aku tunggu tidak juga muncul. Karena sudah lapar dan haus, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.Aku kembali ke Bandung setelah mengisi perut. Menyesal rasanya ke Jakarta, hanya lelah yang aku dapat. Bahkan nomor ponsel pak Bima pun tidak berhasil aku dapatkan. Mereka sama sekali tidak percaya kepadaku jika aku akan menyampaikan sesuatu yang penting tentang Aliciya.Sebenarnya, apa peduliku? Aliciya hanyalah seseoran