Share

Cuti Terakhir

Paginya, ketika Icha sedang memasak di dapur, tiba-tiba Aldy menghampirinya dengan ekspresi wajah yang seperti orang bingung dan kesal.

“Tadi malem aku ketiduran di sofa?” tanya nya kepada Icha dengan nyawanya yang masih belum sepenuhnya terkumpul.

“Lah, menurut kamu? Kan kamu bangun nya di sofa, Pak,” sahut Icha yang merasa aneh dengan pertanyaan pria mengantuk itu.

“Iya juga sih, yang ngasih selimut tadi malem itu kamu?” tanya Aldy lagi yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Icha.

“Lah kok nggak dibangunin, kan aku belum mandi sejak sore,” gerutu Aldy yang kesal.

“Lah mana aku tahu, Pak. Kamu datang kapan aja aku enggak tahu. Pas aku keluar kamar kamu sudah tidur, dibangunin enggak ada respon. Yaudeh ku ambilkan selimut daripada kamu dimakan semut, ‘kan,” sahut Icha. “Pantesan bau banget,” sambungnya lagi sambil sedikit tertawa.

Aldy menggaruk kepalanya dengan ekspresi sedikit kesal, dia memang selalu mandi jam berapapun dia datang kalau malam karena bagi dia kebersihan itu yang paling utama.

Icha mengernyitkan dahinya, dia tidak mengerti dengan sikap Aldy yang barusan. Dia langsung saja menyelesaikan memasaknya dan menyiapkan di meja makan.

“Cepat mandi sana! Itu selimutnya dilipat yang rapi, taruh aja di sofa nanti aku yang bawa ke kamar. Makanannya sudah siap ini, setelah mandi langsung saja sarapan.”

Aldy mehela napas kasar, dia segera beranjak dari tempatnya menuju sofa untuk melipat selimut dan naik ke kamarnya untuk mandi.

Icha hanya berdecak, dia belum mengetahui sikap kekanakan suaminya yang ini. “Bisa-bisanya dia marah cuma karena enggak dibangunin untuk mandi?”

Hari ini adalah hari terakhir keduanya cuti menikah. Masa libur yang tidak begitu mereka nikmati karena sangat sibuk, mulai dari persiapan pesta pernikahan hingga pindahan yang benar-benar melelahkan dan memakan banyak waktu.

Masih sambil merapikan beberapa sudut ruangan, sesekali pasangan suami istri baru itu saling berbincang. Sekedar membahas posisi perabot dan sedikit tentang kerjaan yang mereka tinggal selama cuti.

Bukan bulan madu dengan liburan yang menyenangkan, bukan pula jalan-jalan mewah yang mereka nikmati. Keduanya hanya sibuk dengan kehidupan baru dengan orang baru pula. Cukup sulit menyesuaikan diri dengan orang asing yang tiba-tiba dating menjadi sosok paling dekat dengan kehidupan. Suami, benar-benar masih seperti bayangan di kepala Icha mengenai sosok itu. Tetapi semuanya adalah nyata, kini dirinya dan pria asing itu telah resmi menjadi pasangan yang sah yang akan selalu bersama menjalani hari-hari.

Aldy melihat ke arah jam dinding yang tergantung di dekat pintu, dia menyentuh perutnya yang telah mulai keroncongan.

“Sudah lapar?” tanya Icha sambil memindahkan beberapa pot bunga di halaman belakang.

Pria berponi itu mengangguk pelan, “Kita makan di luar aja ya …,” ujarnya. “Kamu kan capek, jadi kita cari tempat makan aja sekalian cari angina gitu,” sambungnya lagi.

“Kemana? Bukannya sekarang masih jam istirahat kantor, ya? Pasti akan banyak pengunjung rumah makannya.”

“Ah benar juga … Kita beli online aja deh, kamu mau makan apa?” Aldy segera meraih ponselnya yang diletakan di meja kecil dekat pot bunga.

“Aku mau soto daging, deh.” Icha masih sibuk memotong daun kering dari bunga yang tak terawat.

“Oke, dua porsi soto daging dalam perjalanan!”

“Dy, kalau kamu mau cari angina. Nanti malem aja ke perempatan depan komplek. Disana ada bebek goreng enak banget, aku beberapa kali beli kalau pas lembur dulu,” kata Icha.

“Warteg?”

“Iya, kenapa? Kamu enggak bisa makan di warteg?”

“Ah bukan begitu. Maksudku, kayaknya aku pernah juga makan di sana pas lagi keluar sama anak-anak komunitas.”

Icha menanggapinya dengan mengangguk. Perempuan berambut pendek itu sudah mulai berpeluh karena cahaya matahari sudah tepat berada di tengah.

“Sini deh!” Aldy sedikit menarik tubuh Icha agar mendekat padanya. Segera saja dia mengikat rambut pendek istrinya itu seperti pohon kecil di atas kepala. Nampak lucu.

“Kalau gini kan dahi kamu kena angin. Mana lagi yang harus dipindahkan bunganya?”

Icha mehela napas panjang, dia kesal dengan sikap Aldy barusan. Bisa-bisanya dia mengikat rambut seseorang tanpa persetujuan dari si pemilik rambut. Tetapi itu tidak begitu buruk karena dahinya terkena angin dan membuatnya lebih nyaman karena rambut bagian depannya tidak lagi mengganggu.

Hal yang masih membuatnya kesal, yaitu ikat rambut yang digunakan oleh Aldy adalah karet getah entah bekas apa yang ia temukan di bawah meja saat membereksn ruang tengah. Icha hanya pasrah karena itu pasti akan membuatnya sakit saat melepasnya nanti.

Tidak perlu menunggu lama, makanan yang telah mereka pesan dating, keduanya pun segera menikmati makan siang di halaman belakang.

Icha membuat minuman dingin yang sangat banyak, dia juga membawa dua potong ayam goreng tadi pagi untuk dijadikannya teman makan. Tidak lupa kerupuk dalam kaleng besar juga dia sajikan.

“Wah porsi makanmu cukup mengejutkan,” cletuk Aldy saat melihat istrinya itu mengangkut makanan dalam tudung saji mereka.

“Ssstt … Ini demi kelangsungan hidup umat manusia. Lagian ya, aku yakin kamu nanti pasti akan nambah.”

“Haha itu sangat jarang terjadi, bahkan hamper tidak pernah karena aku selalu menjaga porsi tubuhku agar selalu ideal,” sahut Aldy mengesalkan.

“Baiklah.” Icha menuangkan minuman untuk berdua.

Dengan ditemani semilir angin siang yang menyejukkan, keduanya seperti sedang berlibur di suatu tempat hanya kurang kicauan burung.

Keduanya yang harus kembali berangkat ke kantor masing-masing untuk bekerja besok hari, merasa belum cukup beristirahat selama cuti. Mereka bahkan menginginkan hari ini menjadi hari yang lebih lama agar dapat menikmati libur lagi setelah melalui cuti yang melelahkan.

“Kalau di sudut sana kita beri bunga matahari, gimana? Kurasa itu akan bagus apalagi pas cahaya terang begini, pasti akan sangat cerah dengan warna kuningnya yang indah,” cletuk Aldy tiba-tiba.

Icha mengikuti arah pandang Aldy, salah satu sudut halaman yang memang masih kosong. Dia segera setuju dengan pernyataan suaminya itu, hanya saja dia tidak begitu mengerti cara untuk merawat tanaman berbiji kuwaci itu.

Aldy telah mempelajari beberapa hal di internet tentang bunga matahari, dia hanya berharap kalau dirinya tidak berubah mood untuk melakukannya.

Sudah lewat dari tengah hari, akhirnya mereka selesai merapikan taman belakang juga bagian lingkungan rumah yang sempat banyak ditumbuhi tanaman liar. Keduanya kini dapat beristirahat dengan aktivitasnya masing-masing.

Malamnya mereka pergi untuk makan bebek goreng sambil menikmati angina malam. Bagaimana tidak, keduanya bahkan hanya berjalan kaki menuju warteg tersebut. Tidak begitu jauh memang, tetapi jika tidak diniati sejak awal itu akan terasa melalahkan.

“Cuti sepuluh hari hanya seperti libur mingguan. Aku tidak pernah membayangkan kalau persiapan menikah hingga pindahan akan sangat melelahkan begini,” ujar Icha yang berjalan santai di samping Aldy. Nampak mungil, dia memang kalah tinggi dari suaminya itu.

“Hemm, aku bahkan tidak merasa kalau sedang cuti. Urusan kafe dan komunitas menambah padat kegiatanku di masa cuti.”

“Apa mungkin kita yang salah dalam memanfaatkan waktu cuti?” tanya Icha yang membuat Aldy menolehnya.

“Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Aku menjadi banyak bicara karena setiap hari bertemu denganmu,” jawab Aldy yang terus memandangi perempuan berambut pendek di sampingnya.

“Apa aku harus merasa tersanjung dengan kalimatmu itu?” tanya Icha lagi.

Aldy hanya tertawa ringan, “Enggak perlu. Aku hanya berterimakasih.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status