Share

2. Hello Jakarta

“Carilah keluarga Algibran di Jakarta. Sampaikan nama Ayah dan tinggal lah dengan mereka, belajarlah di sana dan bahagia.”

    “Dek, keretanya wis sampe.”

     Aku mengerjapkan mataku, menguap sebentar dan meregangkan tubuhku. Cahaya tajam dari jendela kereta terasa menusuk-nusuk mataku, ku usap mataku dan ku tengok sekitarku. Di sampingku ada seorang ibu-ibu yang sedang membereskan barang bawaan di bagasi atas kursi.

     Eh? Ibu ini siapa ya?

     Aku di mana ya?

“Kamu yang bener di sana ya, Nduk. Jangan lupain yang Bibi sama Bapakmu ajarin di sini.”

“Kamu beneran harus pergi toh, Bel? Sedih aku.”

“Inget yo, Bel! Lanang-lanang di Jakarta tuh jahat kaya di sinetron! Tunggu aku pasti nyusul kamu ke sana yo, Bel.”

    Tiba-tiba kilas ingatan perpisahan yang berisi tangisan Bibiku, isakan teman-temanku, dan Anto yang histeris beberapa jam yang lalu terputar di kepalaku. Oh iya, tadi saat masih gelap sekali aku sudah berangkat menuju Jakarta.

    Ku tegakan tubuhku untuk melihat keluar jendela dengan lebih jelas. Wah stasiun Jakarta yang sangat ramai. Biarkan kalian sebut aku norak! Seumur hidupku aku memang belum pernah memijakan kaki di Ibu Kota Indonesia ini.

    “Ibu duluan ya, Dek.” Ibu tadi tersenyum dan mengangguk ke arahku yang masih memproses semuanya karena baru sekali bangun dari tidur. Kemudian ku lihat dia berjalan dan hampir menghilang di balik pintu gerbong.

      Eh? Oh iya! Setelah menangis sepanjang perjalanan karena perpisahan tadi, Ibu yang duduk di sampingku ini terus menenangkanku sampai aku tertidur.

    “Bu! Makasih ya, Bu!” Buru-buru aku berteriak ke arah Ibu tadi. Hampir saja aku melupakan ajaran keluargaku untuk menjunjung tinggi sopan santun kepada orang yang lebih tua.

     Setelah Ibu itu membalas dengan senyuman dan anggukan, aku buru-buru melambai padanya sambil tersenyum.

      Yash! Akhirnya aku sampai di Jakarta. Semangat Barbela! Aku pasti bisa memulai hidup baru di sini.

      “Aduh!”

       Ku rasakan nyeri di pelipisku yang berdenyut. Tadi aku buru-buru berdiri dari kursi dan melupakan kalau langit-langit di kursi penumpang lebih pendek dari langit-langit di lorong kereta. Bagus sekali! Beberapa menit sampai di Jakarta sudah mendapatkan benjol di pelipisku.

    “Gak apa-apa, Neng?” Aku menengok ke arah bapak-bapak cleaning service yang menatapku dengan aneh dari atas sampai bawah.

    “Hehehe, nuwun sewu, Pak.” Ucapku menyengir kuda sambil mengusap-usap pelipisku.

~

    Arbel melangkahkan kakinya. Rambut hitam panjangnya yang di kepang dua mulai kusut, poninya mulai mencuat, dan rok selutut yang dia pakai pun sudah membentuk garis-garis tidak beraturan. Sweater yang dia pakai juga sudah basah oleh keringat karena panasnya stasiun saat ini. Arbela yang memiliki jadwal berangkat pagi sekali memilih sweater sebagai outfitnya, lupa kalau dia akan sampai di Jakarta pada tengah hari.

    Arbela meremas tali tas jinjing besar yang berisi barang-barang bawaannya dari Yogya, menengok ke kanan dan kiri untuk mecari jalan keluar mana yang kira-kira harus dia pakai.

    Suasana stasiun saat ini benar-benar ramai, orang-orang berjalan lalu-lalang dengan kesibukan mereka masing-masing.

    “Aduh!” Arbel mengaduh. Seseorang menubruk pundaknya dengan keras, pundaknya terasa sakit dan orang itu hanya berbalik untuk mengatakan ‘Sorry’ kemudian kembali pergi dengan ponsel di telinganya.

    “Haaaaah…” Tak apa! Arbel sudah menanamkan dalam hatinya pepatah ‘dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.’ Arbel lah yang harus mencoba mengerti dan beradaptasi dengan kebiasaan orang-orang di Jakarta ini. Bibinya pun sudah bilang kalau mungkin Arbel akan menemukan orang-orang seperti tadi.

    Saat kembali melangkah, mata Arbela tidak sengaja bertatapan dengan seorang wanita yang sedang bersandar di tiang stasiun. Setelah berpikir, Arbel memutuskan mendekati wanita itu, sekedar ingin basa-basi dan bertanya jalan keluar mana yang sekiranya paling dekat dengan tempat yang penuh angkutan umum. Untung-untung dia tahu secara detail ke arah mana dan harus naik apa Arbel agar bisa sampai tujuan.

     Arbel tidak boleh telat sampai di rumah keluarga Algibran. Bibinya bilang dia sudah menghubungi rumah mereka dengan nomor yang ada di dalam jurnal Ayah. Saat ini mereka pasti sudah mempersiapkan dan menunggu Arbel. Arbel tidak boleh membuat kesan pertama yang buruk.

    “Anu, Mbak. Permisi, saya boleh tan-”

     Baru saja sampai di depan wanita tadi, Arbel sudah terdorong-dorong oleh rombongan pelajar SMA yang datang dari sebelahnya.

     “Mbak, tolong Mbak.” Arbel berusaha menggapai wanita tadi, yang hanya di balas dengan tatapan bingung darinya.

     “Maaf, Mbak.”

     Arbela masih terbawa arus para pelajar SMA itu. Badannya yang kecil ditambah berkurangnya berat badan akhir-akhir ini membuat siapapun yang melihatnya pasti berpikir kalau terhantam anginpun dia akan terbang sekarang sedang terhuyung ke kanan dan kekiri membuatnya terdorong-dorong dan semakin masuk ke dalam gerombolan.

    “Maaf, Mas.”

     Kakinya yang sedari tadi oleng tak tentu arah beberapa kali menginjak kaki orang lain yang ada di sekitarnya.

    “Menepi! Keadaan darurat! Menepi!”

     Arbel yang sejak tadi merasa sesak karena orang-orang yang menghimpit tubuhnya kini tiba-tiba merasa kosong.

     Eh? Ternyata semua orang sudah menepi ke dinding terdekat, membuka jalan di lorong selebar-lebarnya. Arbel yang baru paham keadaanpun berlari ke arah para gerombolan pelajar tadi yang kini sudah menepi.

     Hebat! Arbel kira orang-orang di sini itu bodo amatan terhadap sekitar. Ternyata mereka tertib dan peduli juga!

     “Ada penumpang yang tumbang. Di duga serangan jantung, sudah di berikan pertolongan pertama oleh seorang pemuda.”

     Arbel samar-samar mendengar percakapan tim medis dengan tandu yang lewat tepat di depannya. Waaaaah, Arbel belum pernah melihat keadaan darurat seperti ini sebelumnya. Saat Ayahnya meninggalpun, orang-orang bahkan Ayahnya sendiri sudah paham kalau waktunya sudah tidak banyak lagi karena penyakitnya.

     Penasaran, Arbel melongok ke arah tim medis itu tuju. Di ujung sana ada seorang pria paruh baya dengan setelan kantornya sedang terduduk dengan nafas yang terengah. Di sampingnya ada seorang pria yang menggenggam pergelangan tangannya sambil terus berbicara memberi arahan.

     Tam-Tampan!

     Pria dengan rahang tegas, mata tajam, tangan yang kekar dan hidung yang mancung. Benar-benar tampan! Belum pernah Arbel melihat orang setampan itu sebelumnya. Arbel menutup mulutnya, menahan agar tidak berteriak di sini saat ini juga. Karena bagaimana bisa dia malah kegirangan di keadaan yang darurat seperti ini.

     “Ya tuhan…..” Arbel memekiki kecil. Rambut dan kemeja yang basah karena keringat. Tatapan serius dan tajam akan keteguhannya. Benar-benar sexy!

     Terlebih saat pria tadi berbicara dengan serius ke security yang ada di sebelahnya, dan tersenyum lembut menenangkan saat pria paruh baya tadi mencoba bicara padanya. Ya Tuhan! Lutut Arbela benar-benar lemas dibuatnya!

     Jantungnya berdebar, tubuhnya gemetar dan kupu-kupu seakan berterbangan di perutnya. Hanya dengan melihatnya saja Arbela sudah merasa seperti ini. Coba bayangkan kalau Arbela berada di dekapannya? Tidak! Tidak! Bisa-bisanya dia membayangkan hal semacam itu di keadaan seperti ini. Arbel penasaran, beberapa langkah dia ambil untuk bisa melihat dan mendengar lebih jelas.

     Arbel belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Saat sekujur tubuhnya merasa gatal hanya dengan menatap pria lain yang menarik perhatiannya. Arbel lihat pria paruh baya tadi sudah diangkat dengan tandu. Begitu juga dengan pria tampan itu, sudah berdiri dan membetulkan pakaiaannya.

     “Kamu juga ikut ke ambulance.”

     Samar-samar Arbel mendengar percakapan tersebut saat salah satu tum medis menarik tangan pria tadi untuk mengikuti pria paruh baya yang baru di angkat tersebut.

     “Tapi, Pak! Saya ada urusan.”

     Ucapnya ikut mengikuti langkah orang tadi tapi sambil berusaha melepaskan genggaman pada lengannya.

     “Sudah kamu ikut dulu untuk laporan medisnya, penting.”

      Mereka berdua berjalan tepat di depan Arbel.

      Bagaimana ini? Tubuh pria itu benar-benar wangi! Wangi yang maskulin! Meskipun tubuhnya berkeringat sangat parah, tapi dengan tidak di sangka tubuhnya bisa mengeluarkan harum seperti ini.

      Bagaimana ini? Arbela makin berdebar di buatnya. Apa lagi saat dia melewatinya dengan tampang tidak terima seperti tadi.

      Duuuuuh, jantung Arbela seakan-akan ingin meledak!

      Bagaimana ini? Arbela sepertinya sudah jatuh cinta!

Barbela Manda jatuh cinta pada pandangan pertama!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Amandarla
looooooveeee
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status