“Carilah keluarga Algibran di Jakarta. Sampaikan nama Ayah dan tinggal lah dengan mereka, belajarlah di sana dan bahagia.”
“Dek, keretanya wis sampe.”
Aku mengerjapkan mataku, menguap sebentar dan meregangkan tubuhku. Cahaya tajam dari jendela kereta terasa menusuk-nusuk mataku, ku usap mataku dan ku tengok sekitarku. Di sampingku ada seorang ibu-ibu yang sedang membereskan barang bawaan di bagasi atas kursi.
Eh? Ibu ini siapa ya?
Aku di mana ya?
“Kamu yang bener di sana ya, Nduk. Jangan lupain yang Bibi sama Bapakmu ajarin di sini.”
“Kamu beneran harus pergi toh, Bel? Sedih aku.”
“Inget yo, Bel! Lanang-lanang di Jakarta tuh jahat kaya di sinetron! Tunggu aku pasti nyusul kamu ke sana yo, Bel.”
Tiba-tiba kilas ingatan perpisahan yang berisi tangisan Bibiku, isakan teman-temanku, dan Anto yang histeris beberapa jam yang lalu terputar di kepalaku. Oh iya, tadi saat masih gelap sekali aku sudah berangkat menuju Jakarta.
Ku tegakan tubuhku untuk melihat keluar jendela dengan lebih jelas. Wah stasiun Jakarta yang sangat ramai. Biarkan kalian sebut aku norak! Seumur hidupku aku memang belum pernah memijakan kaki di Ibu Kota Indonesia ini.
“Ibu duluan ya, Dek.” Ibu tadi tersenyum dan mengangguk ke arahku yang masih memproses semuanya karena baru sekali bangun dari tidur. Kemudian ku lihat dia berjalan dan hampir menghilang di balik pintu gerbong.
Eh? Oh iya! Setelah menangis sepanjang perjalanan karena perpisahan tadi, Ibu yang duduk di sampingku ini terus menenangkanku sampai aku tertidur.
“Bu! Makasih ya, Bu!” Buru-buru aku berteriak ke arah Ibu tadi. Hampir saja aku melupakan ajaran keluargaku untuk menjunjung tinggi sopan santun kepada orang yang lebih tua.
Setelah Ibu itu membalas dengan senyuman dan anggukan, aku buru-buru melambai padanya sambil tersenyum.
Yash! Akhirnya aku sampai di Jakarta. Semangat Barbela! Aku pasti bisa memulai hidup baru di sini.
“Aduh!”
Ku rasakan nyeri di pelipisku yang berdenyut. Tadi aku buru-buru berdiri dari kursi dan melupakan kalau langit-langit di kursi penumpang lebih pendek dari langit-langit di lorong kereta. Bagus sekali! Beberapa menit sampai di Jakarta sudah mendapatkan benjol di pelipisku.
“Gak apa-apa, Neng?” Aku menengok ke arah bapak-bapak cleaning service yang menatapku dengan aneh dari atas sampai bawah.
“Hehehe, nuwun sewu, Pak.” Ucapku menyengir kuda sambil mengusap-usap pelipisku.
~
Arbel melangkahkan kakinya. Rambut hitam panjangnya yang di kepang dua mulai kusut, poninya mulai mencuat, dan rok selutut yang dia pakai pun sudah membentuk garis-garis tidak beraturan. Sweater yang dia pakai juga sudah basah oleh keringat karena panasnya stasiun saat ini. Arbela yang memiliki jadwal berangkat pagi sekali memilih sweater sebagai outfitnya, lupa kalau dia akan sampai di Jakarta pada tengah hari.
Arbela meremas tali tas jinjing besar yang berisi barang-barang bawaannya dari Yogya, menengok ke kanan dan kiri untuk mecari jalan keluar mana yang kira-kira harus dia pakai.
Suasana stasiun saat ini benar-benar ramai, orang-orang berjalan lalu-lalang dengan kesibukan mereka masing-masing.
“Aduh!” Arbel mengaduh. Seseorang menubruk pundaknya dengan keras, pundaknya terasa sakit dan orang itu hanya berbalik untuk mengatakan ‘Sorry’ kemudian kembali pergi dengan ponsel di telinganya.
“Haaaaah…” Tak apa! Arbel sudah menanamkan dalam hatinya pepatah ‘dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.’ Arbel lah yang harus mencoba mengerti dan beradaptasi dengan kebiasaan orang-orang di Jakarta ini. Bibinya pun sudah bilang kalau mungkin Arbel akan menemukan orang-orang seperti tadi.
Saat kembali melangkah, mata Arbela tidak sengaja bertatapan dengan seorang wanita yang sedang bersandar di tiang stasiun. Setelah berpikir, Arbel memutuskan mendekati wanita itu, sekedar ingin basa-basi dan bertanya jalan keluar mana yang sekiranya paling dekat dengan tempat yang penuh angkutan umum. Untung-untung dia tahu secara detail ke arah mana dan harus naik apa Arbel agar bisa sampai tujuan.
Arbel tidak boleh telat sampai di rumah keluarga Algibran. Bibinya bilang dia sudah menghubungi rumah mereka dengan nomor yang ada di dalam jurnal Ayah. Saat ini mereka pasti sudah mempersiapkan dan menunggu Arbel. Arbel tidak boleh membuat kesan pertama yang buruk.
“Anu, Mbak. Permisi, saya boleh tan-”
Baru saja sampai di depan wanita tadi, Arbel sudah terdorong-dorong oleh rombongan pelajar SMA yang datang dari sebelahnya.
“Mbak, tolong Mbak.” Arbel berusaha menggapai wanita tadi, yang hanya di balas dengan tatapan bingung darinya.
“Maaf, Mbak.”
Arbela masih terbawa arus para pelajar SMA itu. Badannya yang kecil ditambah berkurangnya berat badan akhir-akhir ini membuat siapapun yang melihatnya pasti berpikir kalau terhantam anginpun dia akan terbang sekarang sedang terhuyung ke kanan dan kekiri membuatnya terdorong-dorong dan semakin masuk ke dalam gerombolan.
“Maaf, Mas.”
Kakinya yang sedari tadi oleng tak tentu arah beberapa kali menginjak kaki orang lain yang ada di sekitarnya.
“Menepi! Keadaan darurat! Menepi!”
Arbel yang sejak tadi merasa sesak karena orang-orang yang menghimpit tubuhnya kini tiba-tiba merasa kosong.
Eh? Ternyata semua orang sudah menepi ke dinding terdekat, membuka jalan di lorong selebar-lebarnya. Arbel yang baru paham keadaanpun berlari ke arah para gerombolan pelajar tadi yang kini sudah menepi.
Hebat! Arbel kira orang-orang di sini itu bodo amatan terhadap sekitar. Ternyata mereka tertib dan peduli juga!
“Ada penumpang yang tumbang. Di duga serangan jantung, sudah di berikan pertolongan pertama oleh seorang pemuda.”
Arbel samar-samar mendengar percakapan tim medis dengan tandu yang lewat tepat di depannya. Waaaaah, Arbel belum pernah melihat keadaan darurat seperti ini sebelumnya. Saat Ayahnya meninggalpun, orang-orang bahkan Ayahnya sendiri sudah paham kalau waktunya sudah tidak banyak lagi karena penyakitnya.
Penasaran, Arbel melongok ke arah tim medis itu tuju. Di ujung sana ada seorang pria paruh baya dengan setelan kantornya sedang terduduk dengan nafas yang terengah. Di sampingnya ada seorang pria yang menggenggam pergelangan tangannya sambil terus berbicara memberi arahan.
Tam-Tampan!
Pria dengan rahang tegas, mata tajam, tangan yang kekar dan hidung yang mancung. Benar-benar tampan! Belum pernah Arbel melihat orang setampan itu sebelumnya. Arbel menutup mulutnya, menahan agar tidak berteriak di sini saat ini juga. Karena bagaimana bisa dia malah kegirangan di keadaan yang darurat seperti ini.
“Ya tuhan…..” Arbel memekiki kecil. Rambut dan kemeja yang basah karena keringat. Tatapan serius dan tajam akan keteguhannya. Benar-benar sexy!
Terlebih saat pria tadi berbicara dengan serius ke security yang ada di sebelahnya, dan tersenyum lembut menenangkan saat pria paruh baya tadi mencoba bicara padanya. Ya Tuhan! Lutut Arbela benar-benar lemas dibuatnya!
Jantungnya berdebar, tubuhnya gemetar dan kupu-kupu seakan berterbangan di perutnya. Hanya dengan melihatnya saja Arbela sudah merasa seperti ini. Coba bayangkan kalau Arbela berada di dekapannya? Tidak! Tidak! Bisa-bisanya dia membayangkan hal semacam itu di keadaan seperti ini. Arbel penasaran, beberapa langkah dia ambil untuk bisa melihat dan mendengar lebih jelas.
Arbel belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Saat sekujur tubuhnya merasa gatal hanya dengan menatap pria lain yang menarik perhatiannya. Arbel lihat pria paruh baya tadi sudah diangkat dengan tandu. Begitu juga dengan pria tampan itu, sudah berdiri dan membetulkan pakaiaannya.
“Kamu juga ikut ke ambulance.”
Samar-samar Arbel mendengar percakapan tersebut saat salah satu tum medis menarik tangan pria tadi untuk mengikuti pria paruh baya yang baru di angkat tersebut.
“Tapi, Pak! Saya ada urusan.”
Ucapnya ikut mengikuti langkah orang tadi tapi sambil berusaha melepaskan genggaman pada lengannya.
“Sudah kamu ikut dulu untuk laporan medisnya, penting.”
Mereka berdua berjalan tepat di depan Arbel.
Bagaimana ini? Tubuh pria itu benar-benar wangi! Wangi yang maskulin! Meskipun tubuhnya berkeringat sangat parah, tapi dengan tidak di sangka tubuhnya bisa mengeluarkan harum seperti ini.
Bagaimana ini? Arbela makin berdebar di buatnya. Apa lagi saat dia melewatinya dengan tampang tidak terima seperti tadi.
Duuuuuh, jantung Arbela seakan-akan ingin meledak!
Bagaimana ini? Arbela sepertinya sudah jatuh cinta!
Barbela Manda jatuh cinta pada pandangan pertama!
TING TONG“Ekhem ekhem.” Aku berdeham pelan, merapikan rambutku dan menepuk-nepuk rokku yang sepertinya kusut. Sudah dua kali ku tekan tombol bel rumah ini, tapi sama sekali belum ada tanda-tanda balasan dari dalam.Hihi, setelah insiden tadi aku masih termenung di stasiun, mengingat pria super tampan tadi yang sukses membuat jantungku berdegup kencang. Tanpa sadar jam sudah menunjukan pukul 2. Dengan panik aku mecari jalan keluar yang ternyata salah dan memutari jalan di stasiun untuk sampai di terminal terdekat.Di depanku sudah ada sebuah pintu dengan gantungan kayu yang bertuliskan A1/08.Iya! Saat ini aku sudah sampai di depan rumah Algibran. Rumah yang terlihat sangat mewah dari luar. Bukan hanya rumah ini saja, tapi seluruh rumah di komplek ini terlihat sangat mewah. Bahkan saat ak
Nama: Ares Algibran.Usia: 21 tahunPekerjaan: Mahasiswa Universitas AdiwarnaJurusan: Kedokteran, tahun ke 3.Kelebihan: Jenius, tampan, badan proporsionalKekurangan: Sikap macam kulkas dan setanAku menaruh pulpenku di samping diary yang baru saja ku tuliskan hal-hal yang ku tahu tentang Ares setelah 3 hari tinggal di sini.Singkatnya, Ares itu buruk.Sudah 3 hari sejak Tante dan Om Algibran (Karena tidak mungkin lagi ku panggil Nyonya dan Tuan, serta ada kemungkinan Ares akan membunuhku jika mereka ku panggil Mama dan Papa, maka aku memutuskan memanggil mereka Om dan Tante) menjelaskan tentang perjanjian yang dia dan Ayah buat.Sebelum Ayah menin
"Jarak 1 meter." Arbel cemberut, memundurkan kakinya beberapa langkah, menjauhkan dirinya dari Ares yang sedang berjalan di depannya sambil melihat pemandangan kota Jakarta. Mereka sedang berjalan menuju stasiun MRT terdekat, tadi Ares ngotot ingin naik kereta saat Ayahnya menyuruh untuk mengantar Arbel menggunakan mobil."Aku nanti kumpul sama teman-teman. Jadi pulang bisa nebeng dan dia bisa pulang sendiri." Sebenarnya Arbel tidak masalah, toh katanya jarak dari rumah ke kampus pun tidak terlalu jauh, yang buat Arbel mencebik sebal adalah kata-kata terakhir Ares yang hanya bisa di dengar olehnya."Biar bisa pulang pergi sendiri dan gak ngerepotin." Arbel cemberut saat mengingat perkataan Ares. Sungguh tidak adil dia bertemu dengan Ares saat melihatnya melakukan pekerjaan suci dan dengan senyum lembut menenangkan terhadap orang sakit. Kan Arbel jadi jatuh hati duluan
Malam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Di luar sedang hujan lebat dan suara petir bersambar terdengar sejak tadi. Beruntung rumah Algibran semi-kedap suara, membuat Arbel yang biasanya gugup ketika hujan kini bisa tertidur nyaman dengan penghangat ruangan dan selimut yang nyaman. Laras dan Rangga malam ini tidak akan pulang karena memiliki shift malam di Rumah Sakit, menyisakan Arbel, Aya dan Andre di rumah untuk makan malam bertiga. Tadi sore pun Ares tidak pulang karena ada acara makan malam di luar dengan teman-teman. Arbel sebenarnya ingin menunggu Ares sampai pulang, tapi Arbel tidak tahu nomor telpon Ares untuk menanyakan kapan kira-kira akan pulang, itu juga belum tentu Ares akan memberi tahunya, atau bahkan mungkin akan langsung memblokir nomornya. Jadi Arbel langsung pergi tidur karena kejadian-kejadian kemarin cukup melelahkan baginya. Cklek. Pintu rumah terbuka, menampakan Ares yang memegangi kepalan
Tik Tok Tik Tok Bunyi jam dinding terdengar menggema di kamarnya, Arbel mengeratkan pegangan pada selimut yang sedang menyelimuti tubuhnya. Keringat mengalir di pelipisnya, kepalanya berputar dan matanya benar-benar berat akibat menangis seperti orang gila. Dia sudah meminum obat demam yang juga memberikian efek mengantuk pemberian Tante Laras. Dia juga sudah mencoba tertidur, tapi yang muncul di mimpinya malah kenangan buruk yang sudah 4 tahun ini coba dia lupakan. "Ayah....." Arbel bergumam gusar, meringkuk di dalam selimutnya. "Arbel takut yah..." Arbel meringis, mengingat sang Ayah yang ketakutan setengah mati saat kejadian itu terjadi. Arbel ingat saat Ayahnya menangis, meminta ampun secara diam-diam kepada almarhumah Ibu sambil memandangi fotonya. Sehancur perasaan Arbel karena insiden itu, lebih hancur l
Arbel terkikik, kakinya di tendang-tendangkan ke meja didepannya. Pikirannya masih teringat-ingat kejadian di jembatan penyebrangan dua hari yang lalu. Sudah dua hari berlalu sejak saat itu, Ares memang masih menjadi Ares yang seperti biasanya, dingin dan galak. Tapi Ares tidak lagi mencak-mencak tentang pertunangan mereka. Ah Arbel senang sekali, pipinya sudah sakit karena terlalu sering senyum-senyum sendiri dua hari ini."Aaaaah, hmmmm.." Gumam Arbel masih dengan tampang yang Ares sebut tampang bego. Pokoknya saat ini Arbel merasa seperti ABG yang baru pertama kali jatuh cinta!"Bel, Arbel!" Sebuah bisikan terdengar di telinga Arbel, membuatnya menatap orang itu dengan pandangan yang sangat tajam."Apa sih?!" Bentak Arbel padanya."Barbela Manda." Arbel menengok ke arah suara lain yang memanggilnya dari depan. Ups, ternyata Pak Dosen sudah menatapnya dengan pandangan yan
"Aduuuuh, maaf ya Arbel jadi harus jagain Ares di rumah." Laras menarik kopernya keluar rumah, diikuti Rangga yang menenteng tas besar dan Andre yang menggandeng Aya untuk berjalan. Di belakang mereka sudah ada Arbel yang tertawa canggung dan Ares yang menguap ngantuk. Jam sudah menunjukan pukul 4 sore, Laras bilang dia dan Rangga harus pergi ke press conference yang di adakan oleh Ikatan Dokter Indonesia di Bandung. Dan karena sekarang adalah malam minggu, Andre dan Aya akan ikut dan di titipkan di rumah kerabat mereka di sana kemudian lanjut jalan-jalan di kota Bandung keesokan harinya."Aaaaaah, gak apa tante. Ares gak ngerepotin kok." Ucap Arbel sambil tersenyum malu-malu. Arbel memang berniat untuk jual mahal setelah kejadian kemarin. Tapi kalau ditinggal berdua saja semalaman kan dia jadi berdebar-debar juga."Iya, kamu yang ngerepotin." Kata Ares sambil menatap malas Arbel, memikirkan entah ap
"Yusa! Sini!"Yusa menengadah, memandang seorang gadis cilik yang hanya berbeda dua tahun darinya itu dengan bingung. Tangan mungilnya yang sedang merangkai bunga dan ranting kecil terhenti untuk memberikan perhatian penuh pada gadis tersebut."Nda mau!"Yusa menggeleng, tangannya kembali dengan pelan membengkokan ranting-ranting tersebut agar bisa membuat bentuk bulat sempurna.Kesal, gadis tersebut berjalan ke arah Yusa cilik dengan kecepatan hebat.DUKKaki gadis tersebut mendarat tepat di punggung Yusa, membuat Yusa mengaduh kesakitan."Kak Rasya! Sakiiiiiit...." Yusa cemberut, kemudian matanya mulai berair, sedangkan Rasya hanya berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dadanya, wajah kesal yang di penuhi luka seharusnya sudah cukup membuat Yusa takut, tapi sedari tadi Yusa terlihat sangat sibuk sampai tidak mau ikut main dengannya."Eeeeeh, anak ganteng mama kenapaaa?"Yusa mengalihkan pandangan ke arah wanita de