TING TONG
“Ekhem ekhem.” Aku berdeham pelan, merapikan rambutku dan menepuk-nepuk rokku yang sepertinya kusut. Sudah dua kali ku tekan tombol bel rumah ini, tapi sama sekali belum ada tanda-tanda balasan dari dalam.
Hihi, setelah insiden tadi aku masih termenung di stasiun, mengingat pria super tampan tadi yang sukses membuat jantungku berdegup kencang. Tanpa sadar jam sudah menunjukan pukul 2. Dengan panik aku mecari jalan keluar yang ternyata salah dan memutari jalan di stasiun untuk sampai di terminal terdekat.
Di depanku sudah ada sebuah pintu dengan gantungan kayu yang bertuliskan A1/08. Iya! Saat ini aku sudah sampai di depan rumah Algibran. Rumah yang terlihat sangat mewah dari luar. Bukan hanya rumah ini saja, tapi seluruh rumah di komplek ini terlihat sangat mewah. Bahkan saat aku mau masuk tadi aku harus konfirmasi identitas dan tujuan, baru setelah Nyonya Algibran mengkonfirmasi aku boleh masuk. Keluarga Algibran, keluarga fenomenal di Indonesia. Artikel pujian akan kejeniusan gen mereka serta prestasi mereka dalam memajukan Indonesia di bidang kesehatan ini sudah tersebar dimana-mana. Sudah seperti takdir mereka untuk terjun ke dunia kesehatan sejak leluhur mereka lahir (yang bahkan katanya, salah satu pendiri sekolah kedokteran pertama di Indonesia!) Betapa hebatnya keluarga ini ya. Kata Bibi pun mereka punya rumah sakit keluarga sendiri. Ckckckck, Aku mulai merasa insecure kalau begini. “Sebentaaaaar….”Deg.
Jantungku berdegub. Setelah pintu ini terbuka, aku akan secara resmi tinggal di rumah ini. Entah aku akan jadi apa di dalam rumah ini, entah pembantu, babysitter atau bahkan di adopsi jadi anak akupun tidak tahu. Ayah hanya bilang aku akan tinggal di sini.
Cklek.
“Eeeeeeh??”
Seorang wanita paruh baya membuka pintu untukku. Cantik sekali! Meskipun aura dewasa dan ada beberapa keriput di matanya, tapi wajahnya benar-benar cantik menurutku.
“Selamat siang… Eeeeeh… Nyonya Algibran? Hehehehe..”
Aku membungkukan badan pertanda santun kemudian tertawa kaku. Tidak terlalu yakin siapa wanita di depanku ini, tapi karena penampilannya yang paruh baya, sepertinya dia adalah Nyonya dari keluarga Algibran.
“Loh? Saya bukan Nyonya Algibran.” Wanita itu menatapku dengan aneh.
Duh! Malu sekali aku! Wanita itu pun malah terlihat canggung di depanku. Buru-buru ku buka kertas berisi alamat di tanganku.
Perumahan Angkasa Blok A1 No. 08. Ah, benar tuh. Apa Mereka sudah pindah ya? Wah gawat! Kalau begitu apa gunanya aku pergi ke Jakarta dan pindah universitas? Aaaaaah, apa aku harus mencari mereka? Tapi dimana?Eh? Tapi security tadi bilang ini benar rumah keluarga Algibran.
“Hahaha! Bercanda… bercanda…” Wanita tadi tertawa dan menepuk-nepuk kedua pundakku. Tangannya dengan cekatan merangkul pundakku dan menarikku berjalan ke dalam.
“Barbela? Udah lama gak ketemu ya.”
Aku masih termenung. Apa si maksudnya ini?“Loh kamu masih gak paham?” Seakan-akan mengerti dan bisa membaca isi kepalaku, wanita itu menatapku dengan gemas. “Iya ini rumah keluarga Algibran. Nah, tante ini benar Nyonya Algibran”
Aku mengeluarkan kata oh yang sangat panjang. Iya, ternyata benar ini Nyonya Algibran. Ternyata dia orang yang suka bercanda ya.
“O-oh? Hahahaha, Nyonya ini bisa aja…” Jawabku sambil tertawa canggung. Tentu saja aku masih canggung, duh. Apa jangan-jangan keluarga Algibran ini isinya orang-orang yang kebangetan ramah? Tidak buruk sih, tapi kan aku merasa kaget.
“Loh kok Nyonya??”
“Panggil Ma….ma.”Ma….ma?
Eh? Mama?Mama?! Astaga! Apa jangan-jangan selama ini aku adalah anak kandung dari Ayah dan wanita ini? Dan Ayah mengirimku ke Jakarta untuk mendekatkan diri dengan Mama kandungku dan keluarga tiriku?
Tidak tidak. Ayahku bukan orang yang seperti itu. Mungkin saja nyonya Algibran ini hanyalah saudara jauh yang sangat dekat dengan Ayah sampai-sampai mau menganggapku anaknya juga.
“Mama?” Tanyaku ragu padanya.
“Iya! Mama. Ayo ayo sini, kita ketemu yang lain.”
Nyonya Algibran menarik tanganku dengan semangat. Di bawanya aku ke sebuah ruangan di ujung lorong. Tapi yang menarik perhatianku adalah segala furniture di rumah ini. Aku memang dengar mereka adalah keluarga dokter. Tapi, apakah normal memiliki banyak sekali patung dan figur tubuh manusia di lorong rumahmu? Bayangkan jika sudah malam dan gelap! Aku pasti mengompol saking ketakutannya.
Sampailah kami di sebuah ruangan yang ternyata adalah ruang keluarga yang sangat luas. Ku edarkan pandanganku, sudah ada 3 orang lainnya yang sedang bersantai di dalam. Satu pria paruh baya, satu anak laki-laki yang terlihat berusia 12 tahun, dan satu lagi anak perempuan berusia kisaran 5 tahun.
“Papaaa, Aya, Andre! Lihat nih Barbela udah dateng.”
Kini semua perhatian tertuju ke arahku. Pria paruh baya berkaca mata yang sedang duduk dengan koran di tangannya itu pasti Tuan Algibran, anak laki-laki yang sedang membaca bukunya pasti Andre dan gadis kecil yang sedang bermain dengan bonekanya pasti Aya.
Waaaah…. Keluarga yang sangat indah sekali. Pasti seru karena memiliki anggota keluarga yang banyak. Meskipun memiliki beberapa sepupu, tapi aku ini anak tunggal. Dan setelah ibu meninggal, aku hanya tinggal berdua dengan Ayah.
“Eeeeeh? Kakak mana, Ma?”
Andre yang sedang membaca bukunya berdiri dan menghampiri kami. Imutnyaaaaaa, masih kecil saja sudah punya wajah yang imut dan tampan. Hatiku lemah sekali untuk menerima serangan keindahan berturut-turut seharian ini.
“Hmmmm, Kakak tadi Mama suruh jemput Barbela ke stasiun, tapi sepertinya malah kena masalah deh.” Ucap Nyonya Algibran.
Ternyata mereka mengirim orang untuk menjemputku? Tapi kenapa aku tidak merasa ada orang yang mencariku ya? Duh, kalau ternyata dia terkena masalah karena harus menjemputku bagaimana?
“Maaf ya, Barbela. Kamu jadi harus dateng sendiri.” Nyonya Algibran menunjukan wajah bersalahnya, yang membuat aku salah tingkah.
“Eh enggak, Nyonya. Saya yang harusnya minta maaf. Pasti anak Nyonya kena masalah karena harus jemput saya, ya?” Ucapku sambil menggaruk leherku yang sebenarnya tidak gatal. Kebiasaanku kalau merasa canggung dan tidak enak hati.
Bagaimanapun aku tidak boleh membuat mereka kesusahan di hari pertamaku datang kan?
“Kok panggil Nyonya terus, sih?” Nyonya Algibran cemberut.
“Sini-sini kita duduk.”
Aku hanya mengangguk, mengikuti Nyonya Algibran dan duduk di hadapan Tuan Algibran. Di sebelah kiriku ada Nyonya Algibran dan di depannya ada Andre. Aku lihat Aya yang sedang tertatih berlari ke arahku, kemudian dia melemparkan bonekanya ke atas sofa tepat di sebelahku dan mencoba memanjat sofa ini.
“Eh? Aya mau naik, yaaa?”
Aya mengangguk dengan semangat.
“Mbak bantu yaaaa..” Aku mengangkat Aya kemudian mendudukannya tepatnya di sebelah kananku.
“Makatsiiiii…” Jawab Aya dengan cadelnya dan sambil tersenyum senang.
Ge-gemasnyaaaaaaaaa!!! “Wah, kamu akrab sama anak-anak ya, Arbel?"Aku tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Di Yogya pun aku membuka les untuk anak-anak. Entah kenapa aku sangat-sangat menyukai anak-anak. Tingkah mereka yang lucu, ucapan yang jujur dan wajah yang gemas. Ingin sekali aku punya 100 anak setelah menikah kalau bisa.
“Iya, Tuan. Saya masuk jurusan keguruan dan pendidikan karena suka sama anak-anak”
Tuan dan Nyonya Algibran mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Andre terlihat tidak tertarik dan Aya yang sibuk sendiri dengan bonekanya.
Kami pun mulai berbincang, mulai dari saat kematian Ayah, yang ternyata baru mereka ketahui dua hari yang lalu saat Bibi menghubungi dan tidak bisa pergi ke Yogya untuk melayat karena mendengar kabar aku yang akan datang, sampai ke percakapan tentang masa dimana Tuan Algibran pertama bertemu dengan Ayah. Ternyata dulu Ayah dan Tuan Algibran adalah sahabat semasa kecil hingga SMA saat masih tinggal di Malang.
Dari sini aku juga tahu kalau Tuan dan Nyonya Algibran adalah orang yang sangat-sangat ramah dan baik hati.
“Yah, Gio itu orang yang baik. Sayang sekali kita harus lost contact dan kejadian ini terjadi.” Aku mengangguk sambil mengingat Almarhum Ayahku. Kalau saja dia tidak menyimpan semua rahasia ini sendiri, seandainya dia mau menghubungi keluarga Algibran, apa Ayah bisa saja sembuh dan masih ada di sini hari ini?
“Aku pulang.”
“Eh, Kakak udah pulang?”
Aku mendengar suara pintu di tutup dan langkah kaki yang mendekat, sepertinya anak tertua dari keluarga Algibran sudah pulang. Aku yang duduk membelakangi pintu pun menengok ke belakang.
EH?! Itu kan pria tampan yang tadi!
“Hhhhk!” Ku tutup mulutku yang hampir berteriak kaget. Gila! Bagai tertimpa durian runtuh! Aku? Akan tinggal serumah dengan pria tampan ini? Ya tuhan!
Lagi-lagi perasaan tergelitik ini muncul saat ku lihat tubuh proporsionalnya berjalan ke arahku bak pangeran impian. Lengan kemeja yang masih di kenakannya sejak tadi sudah terlipat sampai siku, memamerkan tangannya yang kekar itu.
Wajah dinginnya….
Apa ini? Kenapa aku malah suka dengan ekspresi dingin yang dibuatnya itu?
“Kakak kemana aja si? Barbela udah sampe dari tadi loh!”
Nyonya Algibran berdiri dan menghampirinya, mendorong pundak anaknya yang tinggi itu dan membuatnya duduk di sebelahku,
Deg deg deg,
Aku menunduk, tidak mampu untuk melihat orang yang ada di sebelahku ini. Wajahku pasti sudah merah padam dan kalau mereka sampai melihatnya pasti memalukan. Jantungku juga berdetak tidak beraturan. Dan wangi tubuh ini, wangi tubuhnya benar-benar membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
Seperti sihir, belum pernah aku terbuai segininya dengan orang yang baru ku temui.
“Ares.”
Duh, suaranya saja sudah membuatku bisa bergidik merinding seperti ini!
“Ares.”
Eh? Aku buru-buru menengok ke arahnya, hanya untuk menemukan wajahnya yang sudah menatapku dengan kesal dan sinis.
“Apa?” Tanyaku ragu.
“Nama. Ares. Mama suruh kenalan, hhhhh.” Jawabnya sambil menghela nafas berat, kemudian memalingkan wajah dan memainkan ponselnya.
Apa-apaan sikap dingin dan sinisnya itu? Kemana sikap lembut yang dia tunjukan ke pria paruh baya yang sakit di stasiun tadi?
“Jangan kaya gitu, Kakak.” Nyonya Algibran memukul paha Ares dengan gemas, yang bahkan tidak di pedulikan oleh orangnya.
“Tadi ada urgent, Kak?” Tuan Algibran menyeruput kopinya dan menatap Ares.
“Di stasiun, ada bapak-bapak kena serangan jantung. Aku kasih pertolongan pertama, eh malah di culik pake ambulans.” Jawabnya masih dengan memainkan ponselnya.
Tuh kan! Dia memang pria tampang yang menolong di stasiun tadi. Tidak salah lagi, takdir pasti sedang memainkan skenarionya untukku.
“Barbela, gimana kalo kita lihat-lihat kamar kamu?”
Nyonya Algibran sudah berada di sampingku sambil membawa tas jinjing yang berisikan barang-barangku.
“Eh, jangan repot-repot, Nyonya.” Aku buru-buru berdiri dan menghampirinya untuk merebut tas jinjingku kembali. Mana mungkin aku membiarkan tuan rumah untuk membawa barang bawaanku.
“Kok masih panggil Nyonya?” Nyonya Algibran cemberut padaku.
“Eh iya, anu, Tante.” Aku kembali menjawab dengan salah tingkah.
Bisa ku lihat lirikan dari Ares yang sangat tajam, seperti menganilisis diriku dari atas sampai bawah.
“Anu, Tante. Saya di sini jadi babysitter Aya, ya?”
BRUUSTT
Aku terperanjat, Tuan Algibran baru saja menyemburkan kopi yang di minumnya ke wajah Ares. Nyonya Algibran pun sama terlihat shocknya.
Kenapa? Apa omonganku salah?
“Arbel, kamu belum tahu?” Nyonya Algibran menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan prihatin. Ku balas dengan gelengan kepalaku pelan. Ku edarkan pandanganku ke 3 orang lainnya, berbeda dengan Tuan dan Nyonya, ketiga anaknya nampak sama bingung dan penasarannya denganku.
“Arbel….” Nyonya Algibran menghela nafasnya pelan.
“Kamu di sini karena kamu tunangannya Ares.’
Oh, pantas Ayah menyuruhku tinggal di sini.
Eh? Tunggu dulu.
Tunangan?
“APA?”“APA?” Hal yang tak akan pernah ku lupakan hari itu adalah, wajah shock Ares yang sama denganku, dan wajah keluarga Algibran yang lebih shock lagi melihat Ares yang shock.Nama: Ares Algibran.Usia: 21 tahunPekerjaan: Mahasiswa Universitas AdiwarnaJurusan: Kedokteran, tahun ke 3.Kelebihan: Jenius, tampan, badan proporsionalKekurangan: Sikap macam kulkas dan setanAku menaruh pulpenku di samping diary yang baru saja ku tuliskan hal-hal yang ku tahu tentang Ares setelah 3 hari tinggal di sini.Singkatnya, Ares itu buruk.Sudah 3 hari sejak Tante dan Om Algibran (Karena tidak mungkin lagi ku panggil Nyonya dan Tuan, serta ada kemungkinan Ares akan membunuhku jika mereka ku panggil Mama dan Papa, maka aku memutuskan memanggil mereka Om dan Tante) menjelaskan tentang perjanjian yang dia dan Ayah buat.Sebelum Ayah menin
"Jarak 1 meter." Arbel cemberut, memundurkan kakinya beberapa langkah, menjauhkan dirinya dari Ares yang sedang berjalan di depannya sambil melihat pemandangan kota Jakarta. Mereka sedang berjalan menuju stasiun MRT terdekat, tadi Ares ngotot ingin naik kereta saat Ayahnya menyuruh untuk mengantar Arbel menggunakan mobil."Aku nanti kumpul sama teman-teman. Jadi pulang bisa nebeng dan dia bisa pulang sendiri." Sebenarnya Arbel tidak masalah, toh katanya jarak dari rumah ke kampus pun tidak terlalu jauh, yang buat Arbel mencebik sebal adalah kata-kata terakhir Ares yang hanya bisa di dengar olehnya."Biar bisa pulang pergi sendiri dan gak ngerepotin." Arbel cemberut saat mengingat perkataan Ares. Sungguh tidak adil dia bertemu dengan Ares saat melihatnya melakukan pekerjaan suci dan dengan senyum lembut menenangkan terhadap orang sakit. Kan Arbel jadi jatuh hati duluan
Malam sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Di luar sedang hujan lebat dan suara petir bersambar terdengar sejak tadi. Beruntung rumah Algibran semi-kedap suara, membuat Arbel yang biasanya gugup ketika hujan kini bisa tertidur nyaman dengan penghangat ruangan dan selimut yang nyaman. Laras dan Rangga malam ini tidak akan pulang karena memiliki shift malam di Rumah Sakit, menyisakan Arbel, Aya dan Andre di rumah untuk makan malam bertiga. Tadi sore pun Ares tidak pulang karena ada acara makan malam di luar dengan teman-teman. Arbel sebenarnya ingin menunggu Ares sampai pulang, tapi Arbel tidak tahu nomor telpon Ares untuk menanyakan kapan kira-kira akan pulang, itu juga belum tentu Ares akan memberi tahunya, atau bahkan mungkin akan langsung memblokir nomornya. Jadi Arbel langsung pergi tidur karena kejadian-kejadian kemarin cukup melelahkan baginya. Cklek. Pintu rumah terbuka, menampakan Ares yang memegangi kepalan
Tik Tok Tik Tok Bunyi jam dinding terdengar menggema di kamarnya, Arbel mengeratkan pegangan pada selimut yang sedang menyelimuti tubuhnya. Keringat mengalir di pelipisnya, kepalanya berputar dan matanya benar-benar berat akibat menangis seperti orang gila. Dia sudah meminum obat demam yang juga memberikian efek mengantuk pemberian Tante Laras. Dia juga sudah mencoba tertidur, tapi yang muncul di mimpinya malah kenangan buruk yang sudah 4 tahun ini coba dia lupakan. "Ayah....." Arbel bergumam gusar, meringkuk di dalam selimutnya. "Arbel takut yah..." Arbel meringis, mengingat sang Ayah yang ketakutan setengah mati saat kejadian itu terjadi. Arbel ingat saat Ayahnya menangis, meminta ampun secara diam-diam kepada almarhumah Ibu sambil memandangi fotonya. Sehancur perasaan Arbel karena insiden itu, lebih hancur l
Arbel terkikik, kakinya di tendang-tendangkan ke meja didepannya. Pikirannya masih teringat-ingat kejadian di jembatan penyebrangan dua hari yang lalu. Sudah dua hari berlalu sejak saat itu, Ares memang masih menjadi Ares yang seperti biasanya, dingin dan galak. Tapi Ares tidak lagi mencak-mencak tentang pertunangan mereka. Ah Arbel senang sekali, pipinya sudah sakit karena terlalu sering senyum-senyum sendiri dua hari ini."Aaaaah, hmmmm.." Gumam Arbel masih dengan tampang yang Ares sebut tampang bego. Pokoknya saat ini Arbel merasa seperti ABG yang baru pertama kali jatuh cinta!"Bel, Arbel!" Sebuah bisikan terdengar di telinga Arbel, membuatnya menatap orang itu dengan pandangan yang sangat tajam."Apa sih?!" Bentak Arbel padanya."Barbela Manda." Arbel menengok ke arah suara lain yang memanggilnya dari depan. Ups, ternyata Pak Dosen sudah menatapnya dengan pandangan yan
"Aduuuuh, maaf ya Arbel jadi harus jagain Ares di rumah." Laras menarik kopernya keluar rumah, diikuti Rangga yang menenteng tas besar dan Andre yang menggandeng Aya untuk berjalan. Di belakang mereka sudah ada Arbel yang tertawa canggung dan Ares yang menguap ngantuk. Jam sudah menunjukan pukul 4 sore, Laras bilang dia dan Rangga harus pergi ke press conference yang di adakan oleh Ikatan Dokter Indonesia di Bandung. Dan karena sekarang adalah malam minggu, Andre dan Aya akan ikut dan di titipkan di rumah kerabat mereka di sana kemudian lanjut jalan-jalan di kota Bandung keesokan harinya."Aaaaaah, gak apa tante. Ares gak ngerepotin kok." Ucap Arbel sambil tersenyum malu-malu. Arbel memang berniat untuk jual mahal setelah kejadian kemarin. Tapi kalau ditinggal berdua saja semalaman kan dia jadi berdebar-debar juga."Iya, kamu yang ngerepotin." Kata Ares sambil menatap malas Arbel, memikirkan entah ap
"Yusa! Sini!"Yusa menengadah, memandang seorang gadis cilik yang hanya berbeda dua tahun darinya itu dengan bingung. Tangan mungilnya yang sedang merangkai bunga dan ranting kecil terhenti untuk memberikan perhatian penuh pada gadis tersebut."Nda mau!"Yusa menggeleng, tangannya kembali dengan pelan membengkokan ranting-ranting tersebut agar bisa membuat bentuk bulat sempurna.Kesal, gadis tersebut berjalan ke arah Yusa cilik dengan kecepatan hebat.DUKKaki gadis tersebut mendarat tepat di punggung Yusa, membuat Yusa mengaduh kesakitan."Kak Rasya! Sakiiiiiit...." Yusa cemberut, kemudian matanya mulai berair, sedangkan Rasya hanya berdiri dengan menyilangkan tangan di depan dadanya, wajah kesal yang di penuhi luka seharusnya sudah cukup membuat Yusa takut, tapi sedari tadi Yusa terlihat sangat sibuk sampai tidak mau ikut main dengannya."Eeeeeh, anak ganteng mama kenapaaa?"Yusa mengalihkan pandangan ke arah wanita de
"Bel? Lo kenapa si?"Yusa menepuk-nepuk punggung Arbel yang saat ini sudah kelihatan tidak bernyawa.Sejak pagi tadi, Yusa merasa Arbel seperti mayat berjalan, Arbel bahkan tidak sengaja menabrak dosen killer mereka di lorong jalan.Untung saja Yusa sempat putar badan, jadi dia bisa buru-buru meninggalkan Arbel di marahi sendirian dan pura-pura gak kenal. Hehe."Lo marah ya gue ninggalin lo di marahin Pak Burhan sendirian?"Arbel menggeleng, saat ini wajahnya sedang di sembunyikan di dalam lipatan tangannya di atas meja.Yusa kembali mengingat-ingat ada kejadian apa lagi tadi yang sekiranya membuat Arbel tidak bergairah seperti sekarang."Lo marah ya tadi gue mintain contekan terus?"Arbel kembali menggeleng."Kalo gitu lo marah gara gara gue nyalain hotspot dari hp lo?"Arbel bangun dari tidurnya. "Kamu yang ngabisin kuota saya?"Yusa, dengan cengiran tidak tau malunya hanya mengangguk."Ck." Arbel