Share

4. Ares Algibran

Nama: Ares Algibran.

Usia: 21 tahun

Pekerjaan: Mahasiswa Universitas Adiwarna

Jurusan: Kedokteran, tahun ke 3.

Kelebihan: Jenius, tampan, badan proporsional

Kekurangan: Sikap macam kulkas dan setan

    Aku menaruh pulpenku di samping diary yang baru saja ku tuliskan hal-hal yang ku tahu tentang Ares setelah 3 hari tinggal di sini.

    Singkatnya, Ares itu buruk.

    Sudah 3 hari sejak Tante dan Om Algibran (Karena tidak mungkin lagi ku panggil Nyonya dan Tuan, serta ada kemungkinan Ares akan membunuhku jika mereka ku panggil Mama dan Papa, maka aku memutuskan memanggil mereka Om dan Tante) menjelaskan tentang perjanjian yang dia dan Ayah buat.

    Sebelum Ayah meninggal, dia memang memberikan sepucuk surat wasiat yang tidak boleh ku lihat sebelum aku menemui keluarga Algibran.

    “Saya, Gio Raditya, dengan ini menyerahkan anak saya kepada keluarga Rangga dan Laras Algibran sebagai menantu untuk memenuhi janji kami di masa lalu. Semoga anak saya –Barbela Manda- bisa menjadi anak/menantu yang berguna dan senantiasa membahagiakan keluarga Algibran. Dan semoga keluarga Algibran bisa menerima dan memperlakukan anak saya layaknya anak kandung kalian sendiri.”

    Hanya itu isinya.

    Aku menelungkupkan wajahku di atas meja. Mencoba mengingat kejadian kacau 3 hari yang lalu, saat Ares terlihat sangat murka dan seperti ingin memakanku hidup-hidup.

    “Setelah Mama kamu meninggal di usia kamu yang masih anak-anak, Bel. Gio curhat ke saya tentang gimana khawatirnya dia dengan masa depan kamu. Dia benar-benar takut tidak bisa mendidik kamu dengan benar karena mengurus kamu sendirian, dan takut kamu tidak bisa di jaga sampai menikah.”

    Om Rangga melipat surat wasiat yang baru saja dia baca, kemudian memasukannya kembali ke dalam amplop tempat surat itu tadi.

    Aku duduk dengan kikuk, Ares yang kini duduk dengan di tengahi oleh Tante Laras sesekali melirikku dengan tajam, jarinya di ketukan ke pinggiran sofa dengan tidak sabaran. Yang membuatku semakin menciut adalah sikap Andre –Adiknya, yang sama tidak terimanya dengan pengumuman mendadak ini.

    “Saat itu, Om dan Tante gak mengerti, tapi Ayahmu selalu bilang ‘bagaimana kalau aku meninggal duluan?’ tapi setelah kejadian ini, kami paham kalau Gio ternyata sudah sakit sejak saat itu. Saat itu kami membuat perjanjian, kalau memang Gio meninggal sebelum kamu menikah, maka kami akan merawatmu dan mengambilmu sebagai menantu.”

    Tante Laras menyeruput tehnya.

    “Nah itu artinya sejak saat itu kalian sudah tunangaaaaan, karena sudah terikat oleh perjanjian kami.”

    Tante Laras kembali berbicara sambil tersenyum dan menepuk tangannya senang. Sangat kontras dengan kedua anaknya yang seperti sudah siap menerkamku kapan saja.

    BRAK!

    Kami semua terperanjat, Ares baru saja menggebrak meja yang ada di tengah kami.

    “Aku gak mau, kenapa sih kalian suka sekali mencampuri kehidupanku? Tiba-tiba aku punya tunangan? Gak lucu.”

    Aku yang menatap Ares dengan kaget langsung mengalihkan pandanganku saat dia balik menatapku dengan tatapan jijiknya.

    Apa-apaan dia? Aku juga sama kagetnya! Tapi sikap tidak sopan macam itu? Bicara dengan nada jijik seperti itu tepat di depanku?

    “Aku gak mau menikah, Ma, Pa.”

    “Ares! Kamu bicara apa sih? Gak mau menikah?”

    Tante Laras berdiri, menggenggam pundak Ares dan menatapnya dengan tidak percaya.

    “Iya, aku gak ada rencana untuk menikah. Apa lagi sama orang yang baru ku kenal, yang tampangnya bego ini.”

    Tampang bego? Astaga! Baru kali ini aku di sebut tampang bego. Selama 19 tahun hidupku, aku di gadang-gadang sebagai kembang desa di kampung. Anto, pria paling tampan di kampung juga sudah mengejar-ngejarku sejak kami SMP.

    Jangan mentang-metang dia tampan macam dewa jadi bisa seenaknya memberi cap aku tampang bego.

    “Tampang bego?” Tanyaku dengan tampang kesal yang sama sekali tidak aku tutupi. Untuk apa aku menutupinya kalau dia saja dengan terang-terangan menyatakan perang padaku.

    “Iya, saya inget kamu di stasiun tadi. Ngeliatin saya hampir ngiler dengan tampang begomu itu kan?”

    Eh?

    Aku meremas tanganku. Kesal kesal kesal! Ternyata dia melihat dan mengingatku di keadaan memalukan seperti itu. Aku memalingkan wajahku, tidak bisa mengelak dan melawan lagi.

    Ares, di sisi lain, ku lihat dari pantulan cermin tersenyum menang dan meremehkan.

    “Eeeeeh? Jadi benar ya, itu kamu? Kamu suka ya sama saya makanya gak nolak rencana ini?”

    Aku kembali menatap Ares dengan tidak terima.

    Tapi, saat ku tatap Ares yang sedang berdiri dengan tangan di lipat di dadan, wajah mencemooh dan bibir sexy yang tersenyum miring itu. Aku malah diam dan terpana.

    Apa aku ini seorang masokis? Kenapa melihatnya seperti itu aku malah berdebar?

    “Lihat kan?”

    Ares memutar bola matanya malas.

    “Pokoknya aku gak akan mau menikah, terserah Mama dan Papa mau adopsi dia sebagai anak atau peliharaan, aku gak peduli.”

    Aku cemberut, ugh, sebal sekali.

    “Ares! Kita belum selesai, Ares!”

    Tante Laras mengikuti Ares yang melangkahkan kakinya ke lantai atas, sementara Om Rangga memijat pelipisnya dan menatap nanar surat wasiat dari Ayah.

    “Kayanya Gio akan bangkit dari kuburan kalau begini terus.”

    “Om!”

    Aku menghela nafas lagi, sudah tiga hari juga aku diam di rumah ini dan berusaha mendekati Ares. Mulai dari memasak sarapan yang malah di muntahkan olehnya, mencuci bajunya yang malah dia buang, dan membuatkan teh yang malah dia semburkan ke wajahku dengan sengaja.

    Benar-benar manusia iblis!

    Tapi, dari semua perlakuan itu padaku hanya membuatku semakin gencar mendekatinya saja. Aku jadi semakin penasaran, dan lagi, setiap melihatnya pikiranku berubah jadi liar.

    Tubuhnya dan rambutnya yang basah setelah mandi, badan tingginya dan harum badannya.

    “Ih! Enggak-enggak!”

    Buru-buru aku gelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran macam itu.

    Maafkan Arbel, Ayah. Arbel jadi begini karena sering baca novel dewasa, tolong maafkan Arbel.

    “Woy!”

    Aku terperanjat, ku tengokan kepalaku dan ku lihat Ares yang sudah berdiri bersandar di pintu kamarku. Dengan kaos putih tipis dan rambut basah serta handuk yang melingkar di lehernya.

    Baru saja menghayal, modelnya sudah berdiri di depan pintu kamarku.

    Ku senderkan daguku di telapak tanganku. Haaaaah, pemandangan yang luar biasa di pagi hari.

    “Woy! Mikir mesum ya kamu?”

    Aku buru-buru sadar, bisa-bisanya aku menghayal tentang manusia iblis ini sampai melupakan segalanya.

    “Enak aja! Kamu tuh, kok buka pintu kamar anak gadis gak ketuk pintu dulu? Mau mesum ya?”

    Aku berdiri dari kursi meja belajarku dan menghampirinya, ku lipatkan tangan di depan dadaku dan menatapnya dengan menantang. Padahal, dalam hati aku berteriak ingin di peluk dan di dekap kencang di antara tubuhnya yang sudah mengeluarkan wangi semerbak ini.

    “Saya udah ketuk pintu kamu berkali-kali, kamu aja yang menghayal terus.”

    Ares menatapku dengan malas.

    “Mandi, saya udah kelar.”

    Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya yang tepat berada di sebelah kamarku.

    Di lantai dua rumah ini, hanya ada aku dan Ares, yang lain memiliki kamar di bawah. Dan entah beruntung atau sial tapi di lantai atas cuma ada satu kamar mandi. Jadi kami berbagi kamar mandi bersama.

    Dan tentunya dengan senang hati aku mengalah kalau Ares mau mandi duluan. Karena kamar mandi yang bekas Ares pakai selalu menyisakan wangi tubuhnya.

    Duh! Aku seperti orang mesum saja kalau begini.

~

    Hari ini adalah hari pertama aku kuliah, setelah sampai Jakarta aku masih harus mengurus surat-surat kepindahan. Bukan aku sih, tepatnya Tante Laras yang dengan semangat mengurus semua tentang kuliahku di sini, katanya dia bahkan mengambil cuti sampai seminggu saat tahu aku akan datang demi mempersiapkan semuanya untukku.

    Sejujurnya, aku sangat senang karena merasa memiliki keluarga yang lengkap. Ada Ayah, Ibu dan adik yang manis.

    Iya, seandainya saja sikap Ares dan Andre tidak seperti setan aku pasti sudah sujud syukur pada Tuhan.

    “Arbeeeeeeel, ayo sarapan.”

    Aku mendengar suara Tante Laras berteriak dari bawah, sekarang semua orang pasti sudah berada di meja makan sekarang.

    Buru-buru ku oleskan lipstick pada bibirku dan merapikan poniku. Sebenarnya aku tidak suka berdandan, tapi kata Tante aku harus siap perang, karena wanita-wanita di Jakarta cantik-cantik dan pandai merias diri, jadi aku di ajarkan dasar berdandan oleh Tante kemarin.

    “Iya Tanteeeee..”

    Aku ambil tas pundakku dan ku tatap pantulan diriku di cermin sekali lagi.

    Rambut panjang yang di gerai ku berikan efek bergelombang, dress kuning selutut dan sepatu putih di tambah wajah yang sudah kurias sedemikian cantik.

    Sempurna!

    Buru-buru aku keluar kamar kemudian menutup pintu dan berjalan ke lantai satu. Di ruang makan, ku lihat Tante yang sedang menata makanan, Om yang sedang membaca koran, Aya yang sedang duduk dengan manis, Andre yang sedang membaca buku dan Ares yang…..

    Yang entah perasaanku saja atau sepertinya dia memang sedang menatapku tadi?

    Ah, mana mungkin, Ares sedang membaca buku dengan serius, aku datang pun dia pasti tidak sadar.

    “Selamat pagiiiii…” Ucapku dengan ceria, di balas dengan ucapan pagi dari Tante dan Om secara bersamaan serta Aya yang menatapku dengan senang.

    “Pagii Kaka Albeeeeel..” Ucap Aya dengan lidah cadel yang malah membuatku gemas tidak ketulungan. Memang hanya Aya sahabat sejatiku di rumah ini.

    Buru-buru aku duduk di salah satu kursi yang kosong setelah Tante mengisyaratkan agar aku langsung duduk dan tidak perlu membantunya.

    Aku duduk di paling ujung, di samping Andre dan….. di depan Ares.

    Bayangkan setiap hari makan berhadap-hadapan dengan orang setampan dewa macam ini? Aku pun salah tingkah setengah mampus saat pertama kali makan berhadapan dengannya.

    “Apa?”

    Tanyanya dengan dingin.

    “Pandangan kamu itu bisa buat buku yang saya baca bolong.” Ucapnya dengan mata yang masih menatap ke bukunya, sambil membalik ke halaman berikutnya.

    “Hehehe…” Aku hanya menyengir sambil menaruh dagu di kedua tanganku. Menatapnya dengan pandangan konyol yang ku tahu akan membuatnya kesal.

    “Ares, kita kan beda 2 tahun.” Ucapku sambil masih menatapnya.

    “Terus?”

    “Saya boleh panggil, Mas? Hehe.” Tanyaku dengan masih memandangi wajahnya.

    “Gak.”

    “Oooooh.” Ucapku sambil pura-pura mengeluarkan nada kecewa. Tapi tentu saja Ares tidak akan mempan, berbeda dengan Anto yang kalang kabut kalau aku sudah mengeluarkan nada bicara seperti itu. Ku lirik Tante Laras yang hanya menatapku seolah berkata 'Jangan menyerah Arbela!'

    “Kamu mau teh?” Tanyaku lagi.

    “Udah ada.”

    “Kalau saya buatin kopi?’

    “Gak sudi.”

    “Mau saya siapin roti?”

    “Gak.”

    “Kalau jus?”

    “Gak.”

    Ares ini memang bukan cowo gampangan seperti yang kebanyakan ku lihat. Dia ini kulkas berjalan!

    “Kamu ini maunya apa sih?” Tanyaku dengan kesal.

    “Kamu pergi.”

    Ugh! Awas saja, aku pasti akan membuatmu jatuh cinta setengah mati padaku.

    Tunggu saja, Ares Algibran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status