Share

5. Gentle

"Jarak 1 meter."

    Arbel cemberut, memundurkan kakinya beberapa langkah, menjauhkan dirinya dari Ares yang sedang berjalan di depannya sambil melihat pemandangan kota Jakarta.

    Mereka sedang berjalan menuju stasiun MRT terdekat, tadi Ares ngotot ingin naik kereta saat Ayahnya menyuruh untuk mengantar Arbel menggunakan mobil.

"Aku nanti kumpul sama teman-teman. Jadi pulang bisa nebeng dan dia bisa pulang sendiri."

    Sebenarnya Arbel tidak masalah, toh katanya jarak dari rumah ke kampus pun tidak terlalu jauh, yang buat Arbel mencebik sebal adalah kata-kata terakhir Ares yang hanya bisa di dengar olehnya.

"Biar bisa pulang pergi sendiri dan gak ngerepotin."

    Arbel cemberut saat mengingat perkataan Ares. Sungguh tidak adil dia bertemu dengan Ares saat melihatnya melakukan pekerjaan suci dan dengan senyum lembut menenangkan terhadap orang sakit. Kan Arbel jadi jatuh hati duluan sebelum tahu sikap setannya, cuma ya kan namanya juga 'cinta itu buta.'

"Woy."

    Arbel mendongakkan kepalanya, menatap punggung Ares yang lebar dari belakang.

    Tinggi, itu deskripsi Arbel pada figur Ares yang dilihatnya, sejak kemarin Arbel memang harus mendongak sangat tinggi untuk bisa menatap Ares. Membuat lehernya pegal saja!

"Apa?" Tanya Arbel dengan nada kesalnya.

"Di kampus jangan ngaku-ngaku kenal saya."

    Arbel menatap Ares tidak terima. "Kalau saya perlu bantuan gimana?" Ucapnya sambil hendak melangkah mendekat, yang malah di hadiahkan pandangan tidak terima Ares.

"Panggil security." Ucapnya datar.

"Ish!" Arbel menghentakan kakinya dengan kesal, orang ini benar-benar membuat Arbel tidak habis pikir.

"Jangan kasih tahu kamu tinggal dimana."

    Arbel menghela nafasnya kasar, tapi mau tidak mau harus menjawab "Iya."

"Kalau ketemu saya, jangan ajak ngomong, kalau perlu kamu cari jalan lain."

"Iyaaaaa iyaaaa." Jawab Arbel dengan malas.

    Duk

"Aduh." Arbel mengaduh kesakitan, memegang keningnya yang serasa menabrak sesuatu  yang keras di depannya.

    Arbel mendongak, melihat Ares yang menengok dan menunduk melihat ke arahnya dengan tatapan dingin khasnya.

    Arbel merasa kan angin berhembus, begitu juga dengan rambut Ares yang terkena hembusan angin.

    Dingin, Ares terlihat sangat dingin tapi juga keren di saat yang bersamaan, tatapannya datar dengan mata yang tajam melirik Arbela dari balik pundaknya. Untuk sepersekian detik, Arbel merasa lututnya kembali melemas.

"Kamu punya e-money?" Tanya Ares setelah berbalik menghadap Arbel.

    Arbel salah tingkah karena lagi-lagi seperti terhipnotis oleh rupa Ares. "E-enggak, emang buat apa?"

    Ares mengembuskan nafasnya kasar, kemudian melirik ke arah mini market yang ada di sebelah mereka.

"Tunggu di sini, jangan kemana-mana. Ngerepotin." Kemudian melangkah dan menghilang di balik pintu mini market.

    Arbel menatap kepergian Ares dengan bingung, Arbel kan tidak melakukan apa-apa yang bisa di sebut merepotkan Ares. Apa-apaan sih pria ini?

    Arbel menengok kanan-kiri, trotoar sudah mulai ramai dan langit mulai menghitam. Kemudian di langkahkan kakinya ke sebelah pintu mini market yang tertutup atap, takut-takut langit akan turun hujan.

    Wuuuush

    Abel terkejut saat merasakan angin berhembus dengan kencang. Matanya perih karena debu yang berterbangan dan perasaan dingin merasuki kulitnya.

    Sialnya Arbela malah menggunakan dress selutut, angin beberapa kali menghembuskan dressnya secara mendadak, membuatnya harus memegangi rok dressnya dan menunduk malu. Beberapa dari orang yang berjalan kaki pasti melihat saat dressnya terhembus angin. Membayangkannya saja Arbel ingin menangis.

"Neng, pwiwiit. Angkat lagi dong Neng dressnya."

"Warna putih ya, Neng?"

    Arbela menunduk, pipinya memerah dan matanya mulai berair. Merasa kalau dirinya di permalukan di depan umum dan harga dirinya di permainkan. Bukan salah Arbel kalau dressnya terangkat sedikit, mana ada Arbel berniat memamerkan safety pants dan pahanya yang mulus pada semua orang?

"Hhhhh....."

    Arbel melihat sebuah kaki yang tiba-tiba berdiri di depannya berbarengan dengan suara hembusan nafas malas yang mulai biasa dia dengar, seolah-olah melindungi Arbel dari pandangan orang-orang itu, dan benar saja, tidak ada lagi suara godaan yang Arbel dengar.

"A-Ares?"

    Arbel membelalakan matanya saat menyadari Ares lah yang berdiri membentuk tameng di depan tubuhnya.

"Ngerepotin." Ucapnya sebelum menarik Arbel menjauh dari mini market tersebut.

    Wuuuush

    Bukannya memberi solusi, aksi dari Ares malah membuat angin yang berhembus makin terasa kencang menaikan rok Arbel.

"Kyaaa." Pekik Arbel kecil sambil menahan dressnya agar tidak terangkat lebih lagi.

    Ares menatap Arbel dengan datar, sebelum akhirnya melepaskan jaket yang dia pakai dan mengikatnya di pinggang Arbel.

    Astaga, jantung Arbel serasa mau copot!

    Beberapa detik dia merasa Ares seperti akan memeluk dirinya, tangan kekarnya yang melingkar di pinggang Arbel membuatnya menahan nafas untuk beberapa saat.

    Ares memperhatikan jaketnya yang sudah terlilit rapi di pinggang Arbel, kemudian matanya dengan tidak sengaja menubruk iris mati kecoklatan Arbel yang juga sedang memperhatikannya dari tadi.

    Ares memalingkah wajahnya, melihat wajah Arbel yang kaget dengan polosnya membuat Ares agak kaget dengan tingkah lakunya sendiri. Memang Ares sudah menanamkan dalam hatinya kalau dia akan membenci Arbel selama perjanjian ini tidak di batalkan, tapi kan mana mungkin Ares membiarkan seorang perempuan menjadi tontonan?

    Benar, pasti hanya karena Arbel adalah seorang wanita, jadi Ares hanya melakukan hal yang sejak dulu di ajarkan, yaitu sopan santun. Tidak ada alasan lain kan?

"Ma-makasih." Arbel tergagap, menunduk tersipu kemudian menautkan kedua tangannya dan meremas jari-jarinya, kebiasaannya kalau gugup sejak kecil.

    Ares yang sadar buru-buru berbalik dan melangkah lebih jauh ke tangga menuju stasiun bawah tanah.

~

"Nih."

    Arbel berhenti berjalan saat Ares menyodorkannya sebuah kartu. Mereka sudah berada di depan mesin tap, Arbel baru saja akan membeli tiket ke loket sebelum Ares menyodorkannya sebuah kartu.

"E-money yang saya beli di mini market, kamu bisa pake ini buat naik MRT atau KRL. Kalau harus beli di loket gak efektif dan efisien. Repot."

    Arbel buru-buru mengambil kartu tersebut dari tangan Ares. Wah, ternyata tadi Ares membeli ini untuk Arbel? Apa-apaan dia selalu mengeluh kalau Arbel merepotkan tapi ternyata malah rela merepotkan dirinya sendiri untuk Arbel?

    Ah sekali lagi, ini pasti cuma insting Ares sebagai pria.

"Buat saya?" Arbel menatap Ares penuh harap.

"Buat monyet." Jawab Ares ketus, meninggalkan Arbel yang memasang wajah tidak percaya masuk lebih dalam menuju stasiun melewati mesin tap.

    Arbel buru-buru mengikuti yang Ares lakukan, kemudian berjalan tepat di belakangnya. Suasana stasiun di senin pagi dan jam-jam berangkat kerja memang biasanya akan ramai, tapi tidak pernah Ares melihat yang seramai ini sebelumnya.

"Ada gangguan gitu sih katanya, jadi jadwal berangkatnya telat."

Ares yang curi-curi dengar dari dua pekerja di sampingnya mengangguk paham, pasti mereka terjebak di sini untuk menunggu sejak pagi.

"Nanti kamu bisa cek saldonya di stasiun, buat jaga-jaga setiap sisa 15 ribu kamu top-up di mini market terdekat. Paham?" Jelas Ares tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatan kecil yang sedang dia baca.

    Arbel menatap Ares dengan ragu, tingkahnya seperti ingin melakukan sesuatu tapi takut-takut. Matanya bergerak liar ke arah Ares. Membuat orang yang di tatapnya mengerutkan kening dengan tidak nyaman.

"Apa?" Tanyanya datar.

"Anu." Arbel menarik baju Ares, membuat Ares menatapnya dengan kaget. "Makasih ya, udah bantu saya."

    Ares diam, menatap tangan lentik Arbel yang menggenggam kuat Tshirt putih yang di kenakannya.

    Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa detik.

    Jujur, Ares memang merasa kalau Arbel adalah gadis yang cantik, tidak membuat Ares jatuh cinta pada pandangan pertama atau mudah terpesona tentunya. Tapi Arbel memang cantik, dengan pipi agak tembam namun garis rahang tegas dan dagu kecil menggemaskan. Matanya bulat dengan gemerlap dalam bola matanya.

    Tapi entah kenapa, untuk saat ini Ares merasa mata Arbel bersinar. Wajah takut-takut yang di buatnya pun terlihat menggemaskan. Dan tangannya yang dengan berani menyentuh pakaian Ares berhasil membuatnya gugup seketika.

    Ares buru-buru menepis tangan Arbel yang melihatnya dengan tidak terima, kemudian memasuki kereta yang baru saja tiba, diikuti Arbel di belakangnya.

    Stasiun terdekat kampus mereka ada di stasiun paling akhir, Ares melirik isi kereta yang padat karena gangguan hari ini, benar-benar kesan yang buruk bagi Arbel di hari pertamanya. Padahal Ares yakin Arbel akan mengeluarkan wajah bodohnya jika melihat sesuatu yang baru pertama kali dilihatnya.

    Di sisi lain, Arbel terjepit orang-orang di dekat sekat kursi. Di lihatnya Ares yang tidak bergeming sambil memegang pegangan tangan dan membaca bukunya. Arbel terhalang satu orang pria dari Ares, tangannya yang tidak bisa menggapai pegangan tangan memegang tiang kursi.

    Sesak, itu yang Arbel rasakan. Tubuhnya tidak nyaman karena terjepit beberapa pria. Mengingat kejadian di depan mini market tadi membuat badannya merinding. Posisi di dalam kereta terlalu intim, pahanya tergesek oleh kaki orang lain saat kereta bergerak. Arbel melirik Ares, setidaknya kalau dia berdiri di samping Ares dia bisa merasa sedikti tenang. Tapi melihat Ares yang tidak bergeming sama sekali dari bukunya membuat harapan itu dengan cepat sirna.

'Pintu akan segera di tutup.'

    Arbel merasa badannya kemballi terdorong-dorong, kali ini orang-orang makin menempel pada tubuhnya. Sepertinya banyak penumpang yang naik.

Srrrttt

    Arbel membeku, merasa dressnya terangkat sedikit dan tidak kembali turun. Dia tidak bisa menengok karena tubuhnya terjepit dan dia juga tidak bisa berteriak karena shock. Lututnya lemas saat merasakan ada sebuah tangan yang mengelus bagian belakang pahanya.

    Apa saat ini Arbel sedang di sentuh oleh orang asing?

    Arbel harus berteriak, tapi tubuhnya hanya bisa gemetaran. Syaraf tubuhnya seakan berhenti, trauma yang sudah lama tidak teradi kini menghantui isi pikiran dan tubuh Arbel.

    Tubuhnya gemetar semakin parah saat tangan tersebut hampir mencapai bokong Arbel.

Set

    Arbel terdiam, merasa tangan tersebut sudah menghilang dari balik dressnya.

'Pintu akan segera di buka'

    Arbel berusaha menormalkan nafasnya, beberapa orang turun dari kereta membuat sedikit ruang di antaranya. Orang tadi pasti berhenti menggerayangi Arbel karena sudah tiba di tujuan kan? Arbel berterima kasih dalah hati, andai saja waktunya tidak pas pasti Arbel sudah pingsan di tempat.

'Pintu segera di buka'

"Kamu."

    Arbel kembali menahan nafasnya saat merasa ada hembusan nafas di belakang lehernya. Sebuah tangan terjulur dari belakang tubuh Arbel untuk memegang pegangan kursi yang juga sedang dia pegang, punggungnya merasa bertubrukan dengan dada seseorang yang ada di belakangnya. Apa orang yang meraba paha Arbel tadi ternyata masih ada di belakangnya?

"Kenapa kamu gak teriak?" Arbel merinding saat mendengar suara itu berbisik tepat di samping telinganya.

    Itu suara Ares, apa mungkin yang melakukannya tadi adalah Ares?

"Seharusnya kamu teriak sebelum dia melakukan sesuatu kan?"

    Arbel menengok ke belakang, matanya tepat menatap mata Ares yang kelihatan benar-benar serius.

    Arbel merasa darahnya berdesir. Ares menyelamatkannya, Ares yang membuat orang tadi pergi, Ares yang sekarang sedang membuat tameng di belakang tubuh Arbel seperti saat dia membuat tameng di depan tubuh Arbel tadi.

    Mata Arbel memanas, merasakan perasaan bersyukur dan lega yang sangat besar. Seandainya Ares tidak melakukan sesuatu pasti trauma Arbel kumat.

    Syukurlah Ares peduli padanya, syukurlah Ares mau mengurusnya, syukurlah Ares ada di sisinya.

    Ares menaikan sebelah alisnya bingung melihat Arbel yang buru-buru memalingkan wajahnya kedepan. Namun setelah melihat pundak Arbel yang bergetar, Ares langsung sadar, Arbel sedang sangat ketakutan.

"Ma-makasih." Ucap Arbel dengan suara bergetar.

"Makasih banyak, hiks."

    Arbel menutupi kedua matanya menggunakan telapak tangan kanannya, sedangankan tangan kirinya dia pakai untuk menutupi mulutnya agar tangisan tersedu-sedunya tidak mengganggu orang banyak.

    Ares terdiam melihat Arbel yang menangis di depannya, tidak yakin harus berbuat apa. Tadi dia mendapati wajah Arbel yang sangat tegang, dan saat melihat seorang pria paruh baya mencoba menempel padanya dari belakang Ares yakin ada yang tidak beres. Dan benar saja pria itu langsung kaget saat Ares menarik tangannya keluar dari dress Arbel.

    Ares menghela nafas, "Sama-sama." Jawabnya singkat sebelum menepuk punggung Arbel.

~

    Mereka sudah melewati gerbang kampus, wajah Arbel masih memerah dan terlihat salah tingkah, mengingat semua perilaku Ares padanya hari ini membuat dia bertanya-tanya mengenai semua sikap dinginnya. Apa Ares hanya pura-pura dingin? Atau Ares sudah jatuh cinta pada Arbel? Ah membayangkannya saja membuat Arbel senang.

    Kepalanya tidak henti-hentinya memutar perilaku Ares yang dingin tapi ternyata peduli, yang kalau Arbel pikir-pikir malah menggamaskan.

"Kamu jalan di depan saya."

    Setelah sampai Ares terus memaksa Arbel berjalan di depannya, alasannya sih takut Arbel hilang dan makin ngerepotin, tapi Arbel yakin kejadian tadi setidaknya membuat Ares sedikit cemas akan keselamatannya.

"Gedung prodi saya lewatin gedung kamu kok, jadi saya juga lewat sana, jangan gr."

    Arbel senyum-senyum sendiri mengingat percakapan tadi. Jelas sekali kan kalau sebenarnya Ares khawatir?

"Woy."

"Eh, iya?" Arbel berhenti berjalan, menengok ke arah Ares yang mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

    Suasana kampus belum begitu ramai, jadi Arbel pikir mungkin tidak masalah kalau Ares berbicara padanya sekarang.

"Nih." Ares mengulurkan sebuah payung lipat ke arah Arbel.

    Arbel menerimanya dengan ekspresi bingung, seolah meminta penjelasan pada orang yang memberikannya.

"Tadi saya beli, lupa kalau udah bawa, jadi kamu bawa aja jaga-jaga kalau hujan."

    Arbel menatap Ares ragu, apa iya dengan IQ setinggi yang Ares miliki bisa melupakan sesuatu seperti ini?

"Di sekitar sini ada banyak taksi, kalau hujan atau malas jalan kamu naik aja." Lanjut Ares sambil menutup resleting tasnya kembali.

"Gedungmu yang di sana itu. Saya duluan." Kata terakhir darinya sebelum pergi meninggalkan Arbel yang masih menatap bingung Ares.

    Arbel menatap payung yang di beri Ares.

    Satu hal yang Barbela Manda sadari dari Ares hari ini adalah Ares yang sebenarnya memiliki sikap gentle. Apa mungkin Ares bersikap dingin dan menyebalkan karena sebegitu bencinya dia pada perjanjian tersebut? Apa mungkin jika mereka bertemu dengan cara yang tidak seperti ini Ares bisa memperlakukannya lebih baik?

    Apa mungkin Arbela memiliki kesempatan, kalau saja dia bukanlah tunangan Ares?

    Apa mungkin yang membuat mereka jauh adalah status mereka saat ini?

    Apa boleh, Arbel berharap kalau sifat gentle dari Ares bisa dia dapatkan lebih banyak? Dia rasakan lebih lama, dan dia dekap lebih dalam?

    Apa boleh, Arbel berharap sifat gentle Ares hanya diberikan untuknya?

Ares dan sifat gentlenya hari ini, yang pasti akan Arbel catat di jurnal, dan di ingat setiap malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status