Share

7. Healing (Kesempatan)

    Tik Tok

    Tik Tok

    Bunyi jam dinding terdengar menggema di kamarnya, Arbel mengeratkan pegangan pada selimut yang sedang menyelimuti tubuhnya. Keringat mengalir di pelipisnya, kepalanya berputar dan matanya benar-benar berat akibat menangis seperti orang gila.

    Dia sudah meminum obat demam yang juga memberikian efek mengantuk pemberian Tante Laras. Dia juga sudah mencoba tertidur, tapi yang muncul di mimpinya malah kenangan buruk yang sudah 4 tahun ini coba dia lupakan.

    "Ayah....."

    Arbel bergumam gusar, meringkuk di dalam selimutnya.

    "Arbel takut yah..." Arbel meringis, mengingat sang Ayah yang ketakutan setengah mati saat kejadian itu terjadi.

    Arbel ingat saat Ayahnya menangis, meminta ampun secara diam-diam kepada almarhumah Ibu sambil memandangi fotonya. Sehancur perasaan Arbel karena insiden itu, lebih hancur lagi saat melihat Ayahnya yang seperti itu. Menangis karena mengkhawatirkan Arbel dan menyalahkan dirinya sendiri.

    Arbel berbalik, menatap langit-langit kamar yang sudah di berikan keluarga Algibran padanya.

    Alasan Arbel menerima perjanjian ini selain karena jatuh cinta pada Ares adalah karena Arbel ingin memberikan bakti terakhirnya pada Ayah. Ayah Arbel sudah hidup dalam rasa bersalah selama 4 tahun ini, memberikan perasaan bersalah yang sama pada anak perempuan satu-satunya.

    Arbel ingin membuat Ayahnya tenang di sana, Arbel ingin percaya kalau pilihan Ayahnya adalah pilihan yang terbaik untuk hidupnya.

    Arbel menjulurkan tangannya ke atas, seolah menggapai langit-langit kamarnya. Matanya kembali meneteskan air mata dalam diam.

    "Arbel kangen Ayah..."

    Ucapnya sebelum air mata makin membanjiri matanya.

Cklek

    Arbel tersentak, tubuhnya mencoba untuk duduk tegak. Matanya membelalak saat mendapati Ares lah yang membuka pintu kamarnya dengan wajah yang berantakan.

    "Ini semua salah kamu. Ikut saya."

    Arbel menatap Ares bingung. Saat itu, jam menunjukan pukul 9 malam ketika Arbel di lempar jaket oleh Ares yang menggiringnya keluar kamar.

~

    Arbel menunduk, sesekali menendang kerikil yang ada di dekat kakinya. Sudah 10 menit sejak mereka berjalan tak tentu arah seperti ini. Ah, mungkin hanya Arbel saja yang tak tahu arahnya kemana. Karena di depannya Ares berjalan dengan tegapnya, tidak Arbel lihat sekalipun Ares ragu memilih arah yang akan mereka ambil.

    Arbel kembali mendongakan kepalanya, menatap punggung Ares yang menjulang di depannya.

    'Tinggi sekali.' pikir Arbel.

    Tadi Ares menyerobot masuk ke kamarnya untuk menariknya pergi. Arbel tahu seharusnya dia tidak memaafkan Ares semudah ini, tapi entah kenapa di dalam hatinya, dia yakin kalau Ares bukan seorang pria yang akan dengan sembarangan melakukan hal yang tidak-tidak.

    Mungkin efek dari traumanya saja yang membuat pikirannya tidak jernih dan panik.

    "Mama aku mau permen!"

    Arbel menengok ke arah suara, seorang anak berumur sekitar 7 tahun sedang menarik-narik pakaian Ibunya sambil menunjuk-nunjuk pedagang permen kapas yang tidak jauh darinya.

    Arbel tersenyum, di sebrang jalan sana ada pasar malam ternyata. Ramai dan tampak hidup, banyak keluarga, pasangan dan segerombolan remaja yang berlalu lalang sambil tertawa. Lampu-lampu menyala di keadaan malam ini, membuat Arbel merasa bersyukur bisa melihat pemandangan yang hangat seperti ini.

    Kemudian matanya kembali tertuju pada Ares yang masih berjalan di depannya, apa Ares ingin mencoba membuat perasaan Arbel lebih baik?

    Arbel terkekeh kecil, 'Ah, mana mungkin' pikirnya.

    "Hati-hati." Ares melirik ke arah Arbel, membuat Arbel mengernyitkan keningnya bingung.

    Arbel melirik ke jalan yang ada di depan Ares. Gelap dan sempit, sangat kontras dengan jalan yang baru saja mereka lewati, banyak  rerumputan dan tumbuhan liar serta tinggi di sepanjang pinggir jalan, membuat Arbel kembali bertanya-tanya. Mau kemana sebenarnya Ares membawa Arbel?

    "Sini." Ares melangkah ke sebuah tangga tua berwarna hijau yang sudah karatan.

    Jembatan penyebrangan?

    Arbel tetap diam saat melihat Ares sudah beberapa langkah menaiki anak tangga tua itu. Ares yang menyadarinya menengok dan menatap Arbel dengan bingung. "Gak bisa naik?"

    Arbel menggeleng, masih belum berniat untuk berbicara, apa lagi kepada Ares. Kemudian melangkah manaiki tangga besi yang sudah reot itu di belakang Ares. Angin berhembus menerpa rambut hitam panjangnya. Arbel mengeratkan jaket Ares yang dikenakannya. Jaket kebesaran yang malah memberi kehangatan lebih.

    Duk

    Arbel kembali menubruk punggung Ares seperti yang di lakukannya saat berangkat ke kampus kemarin. Ares yang tiba-tiba berhenti berjalan kembali melirik ke arah Arbel.

    "Di sini." Katanya sebelum kembali berjalan ke tengah jembatan penyebrangan yang terlihat tidak terpakai lagi ini.

    Arbel mengikuti langkah Ares, kemudian berhenti tepat di sampingnya. Dirinya menatap wajah Ares yang terkena hamparan cahaya, mata Ares yang sedang memandang kedepan saat ini terlihat sangat lembut, berbeda dengan yang biasa dia berikan kepada Arbel setiap hari.

    Arbel mengikuti pandangan Ares, kemudian tercengang. Pemandangan yang dia lihat dari atas sini benar-benar menakjubkan. Lampu-lampu Jakarta di malam hari, suara tawa dari orang-orang di pasar malam yang masih bisa terdengar dan lampu warna-warninya.

    Arbel mendekatkan diri ke arah pembatas jembatan, angin kembali berhembus tepat di wajah mereka berdua, tapi Arbel seakan-akan tidak terpengaruh. Matanya masih sibuk menatap pemandangan di depannya dengan mulut yang terbukan sambil sesekali berucap 'wow'

    Ares melirik Arbel yang ada di sebelahnya sebelum menyenderkan tubuhnya di pembatas. "Kamu tahu gak, katanya bintang bisa di lihat dari tempat yang gelap?"

    Arbel menatap Ares dengan bingung, kemudian menggeleng pelan.

    "Dulu saya kesini sebatas untuk buktiin rasa penasaran saya itu. Tapi saya tetap gak bisa lihat bintang di langit Jakarta." Ares kemudian menyilangkan tangannya dan menyenderkannya di pembatas, kembali melihat pemandangan di depannya. "Tapi saat saya lihat pemandangan ini, hati saya jadi tenang. Seolah semua stress saya di hari itu terangkat." Ares kemudian terkekeh kecil. "Sejak saat itu, jembatan terlantar ini jadi tempat healing pribadi saya."

    Arbel tertegun, melihat senyum tipis, sangaaaaaaat tipis yang baru kali ini dilihatnya di wajah Ares saat berada di dekatnya (Biasanya saat Ares berada di dekat Arbel dia cuma akan menunjukan wajah juteknya).

    Arbel mengangguk mengerti, "Kamu bawa saya kesini, berharap saya bisa healing juga dengan pemandangan ini?"

    Ares menggeleng pelan. "Saya yang butuh ini sekarang."

    Arbel menatap Ares dengan tidak percaya, "Eh?"

    Ares mengangguk. "Iya, saya yang butuh. Ini semua gara-gara kamu Arbel." Dia menutup sebagian wajahnya dengan tangannya. "Saya begini karena kamu."

    Arbel makin tidak mengerti di buatnya, di dekatinya Ares. "Kenapa?"

    Ares menghela nafas pelan. "Saya gak bisa fokus di kampus karena perasaan nyebelin yang saya rasain ini. Saya selalu inget wajah kamu tadi pagi, rasanya nyebelin, dan gak enak. Saya gak ngerti." Ares menyembunyikan wajahnya di lengannya yang masih ada di pembatas. Kemudian menengok ke arah Arbel. "Setelah itu saya dapat masalah di kampus, saya gak pernah suka pergi ke kampus, tapi kali ini lebih parah. Semua ini karena kamu, Arbel."

    Arbel tiba-tiba tergelitik, rasanya aneh melihat Ares seperti ini. Dia terkekeh kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ikut bersandar di pembatas seperti Ares.

    "Haaaaaah... Itu namanya kamu merasa bersalah, Ares."

    "Tapi saya gak salah!" Ngotot Ares.

    Arbel menatap Ares dengan pandangan meremehkan. "Kamu merasa gak bersalah setelah ngelakuin itu?"

    Ares menghela nafasnya kasar. "Saya gak ngelakuin apa-apa. Saya mabuk, salah masuk kamar, dan saya kira kamu guling yang di pasang piyama sama Andre. Cuma itu." Ares menatap Arbel dengan putus asa, nafasnya memburu pertanda emosi dalam dirinya sedang di uji.

    Arbel tertawa kecil. "Ternyata begitu kejadiannya...." Gumamnya pelan.

    Ares menatap Arbel bingung. "Apa? Cuma gitu reaksi kamu? Terus kenapa kamu histeris sebegitunya tadi pagi?"

    Arbel mengendikan bahunya. Membuat Ares menggeleng-geleng tidak percaya. "Terus kenapa kamu gak ngadu sama Mama?

    Arbel menatap Ares. "Mungkin karena kamu bilang kamu gak ngapa-ngapain?" Ares terenyuh sebentar "Mungkin karena dalam hati saya, saya mau coba percaya sama kamu?" Lanjut Arbel sambil tersenyum.

    Ares terpana beberapa detik saat Arbel mengatakan itu, dengan pantulan cahaya kendaraan yang menerpa wajahnya, dan senyuman cerahnya yang belum di lihat Ares sejak pagi tadi.

    Ares menghela nafasnya berat, kemudian duduk dan bersandar di pembatas jembatan. Matanya menatap tidak percaya ke arah Arbel dan Arbel yang sedang menyengir kuda ke arahnya.

    "Tapi kenapa reaksi kamu segitunya?" Tanya Ares.

    Arbel yang masih berdiri menggerak-gerakan kakinya. Ragu untuk menjawab secara gamblang pertanyaan Ares.

    "Mungkin karena..... insiden masa lalu?" Arbel menatap ke arah Ares dengan ragu sebelum akhirnya kembali tersenyum. "Kalau Ares mau tahu Ares nikahin saya dulu ya!"

    "Gak usah." Jawab Ares telak.

    Arbel cemberut, "Tapi yang kamu lakuin itu keterlaluan loh! Pokoknya aku mau minta tanggung jawab!"

    Ares menatap Arbel tidak terima. "Kan saya gak ngapa-ngapain!"

    "Kamu udah nyentuh badan saya. Meluk saya semalaman, lihat badan topless saya, dan tidur sama saya."

    Ares menghela nafasnya kasar, memang benar perkataan Arbel. Dan kalau dugaan Ares tentang Arbel memiliki trauma itu benar, itu artinya Ares sudah membuat traumanya muncul. Dan berarti Ares memang benar-benar bersalah.

    "Kamu mau saya tanggung jawab gimana?" Tanya Ares.

    Arbel kemudiang jongkok di depan Ares dengan wajah yang gembira. "Nikah sama saya!"

    "Gak."

    Arbel kembali cemberut.

    Ares bergeser menjauh sedikit dari Arbel. "Emangnya kenapa sih kamu mau-mau aja tunangan sama  saya?"

    Arbel nampak pura-pura berpikir, "Hmmm..." Alisnya tertaut seolah-olah itu adalah pertanyaan yang sulit. "Karena saya jatuh cinta sama Ares?" Jawabnya dengan ceria. "Dan karena saya cinta sama Ayah saya." Ucapan terakhirnya mengundang pandangan dari Ares, yang termenung saat melihat tatapan nanar milik Arbel.

    Ares menimang-nimang terlihat seolah memikirkan sesuatu yang sedang menentukan nasib hidupnya.

    "Kalau begitu saya kasih kamu kesempatan."

    Ares menengok ke arah Ares dengan wajah yang luar biasa kaget. "Heh?

    Ares kini kembali ke mode datar yang sering dia pakai saat bersama Arbel. "Satu tahun. Buat saya jatuh cinta sama kamu dalam waktu satu tahun."

    Arbel kini membulatkan matanya, tidak percaya dengan yang diucapkan Ares.

    "Kalau saya jatuh cinta dengan kamu dalam waktu satu tahun, saya akan anggap serius hubungan ini. Dan mungkin bawa hubungan ini ke langkah yang lebih serius. Tapi kalau kamu gagal, kamu harus kembali ke Yogya."

    Ares menatap Arbel yang masih menatapnya kaget.

    Tak apa, toh perjanjian ini tidak akan membuat Ares rugi. Kalau dia bisa jatuh cinta, yasudah, kalau tidak bisa, yasudah. Dan lagi, dengan ini dia sudah mengangkat sedikit beban di pundaknya.

    Setidaknya Ares sudah mau membuka sedikit pintu kesempatan bagi Arbel.

    Yang tidak Ares tahu adalah, keputusannya ini akan berdampak besar dan merubah kehidupan biasanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status