Share

Bab 4

Baru beberapa hari yang lalu ia mendapat pekerjaan di kafe tempat Hazel bekerja. Mendapat informasi baru bahwa anak perempuan yang tengah ia selidiki berdasarkan petunjuk terakhir yang diciptakan Arnold itu sering mengunjungi kafe itu. Rachel mengatakan semua yang diketahui wanita itu tentang Amanda setelah ia mendapati Edward yang tengah memarahi Rachel dan ketiga temannya itu karena melemparkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugas mereka padanya. Ia mengambil kesempatan itu untuk menanyakan pada Rachel sebagai ganti karena sudah menyelamatkan mereka dari amukan Edward. Untungnya, Rachel tipe yang bisa diandalkan. 

Dan sekarang, intuisinya seperti mengatakan padanya kalau nyawa Amanda berada dalam bahaya. Sebenarnya ia enggan untuk mengikuti intuisinya karena itu berarti ia harus mengorbankan waktu istirahat yang baru saja ia dapatkan kemarin. Sayangnya, intuisinya itu selalu benar, sehingga ia tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Berkat intuisinya yang selalu tepat dan indra penciumannya yang tajam inilah ia bisa mendapatkan pekerjaannya sebagai detektif kepolisian. 

Sial.

Mau tidak mau, ia harus meluangkan waktunya untuk mengawasi keadaan Amanda hari ini. Intuisinya tepat. Ia berada di luar stan kedai teh yang ada di dekat sekolah Amanda, mendapati ada beberapa pasang mata yang tertuju pada murid-murid yang baru saja keluar dari sekolah mereka karena sudah waktunya pulang. Ia berusaha menahan diri untuk tidak mengetuk jemarinya di atas meja karena khawatir jika pria berkacamata hitam yang duduk tidak jauh darinya mencurigainya. Sebisa mungkin ia harus tetap bersikap natural, selangkah lebih maju dari pihak-entah-siapa yang mengincar Amanda. Ia belum mengetahui pasti motif orang-orang ini, tapi yang pasti, ia yakin sekali kalau itu ada hubungannya dengan Arnold.

Matanya segera menangkap sosok Amanda yang baru keluar dari gerbang sekolahnya, berbalik sekilas memandangi gedung sekolahnya. Raut wajahnya terlihat sedih. Ada sedikit guratan sedih di wajah anak itu. Ah, bukan. Lebih tepatnya ia merasa kalau anak ini kelihatannya merasa kesepian karena teman-temannya yang biasanya mengerubunginya tidak terlihat sama sekali hari ini. Tangannya mengaduk-aduk cangkir berisi teh jahe

panas ketiga yang ia pesan untuk menghalau cuaca dingin karena duduk di luar kedai, memikirkan cara yang tepat untuk mengawasi anak itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia sudah menghafal semua rute yang ada di kota iniーkemampuan yang ia dapatkan setelah lima tahun bekerja di kantor kepolisian, sehingga yang ia butuhkan saat ini hanyalah menebak rute yang akan dilalui Amanda. Berdasarkan pengamatannya selama ini, anak itu tidak pernah langsung pulang ke rumah begitu pulang sekolah. Mungkin karena kesepian, mengingat anak itu tinggal seorang diri di rumah yang terbilang sangat besar untuk ditinggali seorang diri.

Ia tidak bisa menyalahkan sikap anak itu karena ia dulu juga pernah mengalaminya. Anak itu bisa dikatakan jauh lebih beruntung daripada dia. Setidaknya, orangtuanya meninggal dengan mewariskan uang dalam jumlah yang lebih dari cukup untuk menghidupi anak itu hingga ke bangku perkuliahan—dari informasi yang ia ketahui saat menyelidiki Amanda. Dalam kasusnya, orangtuanya bercerai dan meninggalkannya seorang diri di rumah yang terlalu besar untuk ditinggali seorang diri dengan uang yang hanya cukup memenuhi kebutuhannya selama setahun begitu ia lulus SMP, membuatnya harus mencari banyak kerja sambilan agar bisa membayar uang sekolahnya dan bertahan hidup. Mengingatnya saja sudah berhasil membuat perasaannya sedikit kacau. Jika seseorang bertanya padanya kenapa ia tidak mau menggunakan kemampuannya untuk melacak keberadaan orangtuanya ia akan menjawab pertanyaan itu sesederhana mungkin: ia tidak tertarik. 

Ya, ia sama sekali tidak tertarik untuk mencari orangtuanya yang sudah membuangnya, dan ia tidak peduli. Lagipula, kalau ia mencari dan menemukan mereka, apakah ada jaminan kalau mereka akan menyesal karena sudah melakukannya dan ingin mencoba membangun kembali kehidupan keluarga mereka yang rusak? Rasanya mustahil. Berdasarkan pengalamannya, ia tidak pernah menemui orang-orang seperti itu. Kebanyakan dari para orangtua yang egois itu begitu bertemu dengan anak mereka yang kini hidup sukses dan mapan sementara mereka yang malah hidup melarat akan menggunakan kesempatan itu untuk menarik iba sang anak, dan berakhir dengan kasus pemerasan uang sang anak. Ya, hal seperti itu sering terjadi saat ia masih bekerja sebagai polisi. Karena alasan inilah ia enggan untuk melakukannya.

Sial. Ia nyaris kehilangan jejak Amanda karena terlalu larut dalam pikirannya. Begitu pria berkacamata itu berjalan menyusul Amanda, ia memberi waktu sekitar sepuluh menit agar tidak dicurigai setelah meminum teh jahenya yang sudah dingin. Ia menghitung jumlah orang yang membuntuti anak perempuan itu. 

Hm, sepuluh orang? Wow. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Hanya untuk mengawasi satu anak perempuan yang minggu lalu baru saja menginjak usia yang ke enam belas, rasanya ada yang salah. Perasaannya semakin tidak enak. Ia menebak rute anak itu, mengambil jalan memutar. Bagus. Anak itu kelihatannya akan pergi ke kafe yang biasa didatangi anak itu setiap pulang sekolah. Kalau begitu, sebaiknya ia segera menyusul. 

Masih memandangi orang-orang yang tidak menyadari bahwa mereka juga sedang diawasi, ia bersiul pelan, meninggalkan tempat itu menuju tempat selanjutnya.

***

Ia tidak kuasa untuk menahan senyum begitu mendapati anak itu berada tepat di dalam kafe yang biasa dikunjungi anak itu,duduk di dekat jendela kafe. Analisisnya benar. Untung ia bergerak cepat. Ia baru saja selesai bernegosiasi dengan Mikeーsalah satu rekan kerjanya yang seharusnya bertugas hari ini, untuk berganti shift dengannya tepat lima menit sebelum Amanda tiba di kafe itu. Beralasan ingin membiasakan diri dengan pekerjaan barunya. Alasan klasik yang berhasil meyakinkan Mike, dan sebagai gantinya ia harus mentraktir Pria itu makan siang selama dua minggu. Sambil merapikan seragam pelayannya yang kusut, ia menghampiri meja Amanda.

“Apa Anda sudah siap memesan, Nona?”

Anak perempuan ini mengalihkan perhatiannya dari luar jendela, terkejut begitu melihatnya. Anak ini cepat-cepat menyembunyikan wajahnya ke dalam buku menu yang dipegangnya dengan tangan gemetar, membuatnya sedikit kebingungan karenanya. Apa ia menakuti anak ini? Aneh. Ia jelas-jelas sudah melakukan SOP dalam melayani tamu sesuai dengan instruksi Edwardーmanajer kafe tempatnya bekerja yang dikenal berwajah ketus itu. Seharusnya tidak ada masalah.

“I-i-iya.” Amanda menjauhkan wajahnya dari buku menu. Jarinya yang mungil itu menunjuk pada nama menu yang ada di daftar, sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia tidak berkomentar sama sekali. 

“Oke, saya akan menyiapkan pesanannya.” Ia menarik buku menu yang diletakkan Amanda di atas meja setelah selesai memesan menu, seraya mencondongkan tubuhnya sedekat mungkin dengan Amanda, menyelipkan secarik kertas di bawah serbet yang ada di dekat anak ini. 

“Ada yang mengawasimu.”

Ia menjauh setelah selesai membisikkan kode pada anak ini untuk membaca pesan yang ia selipkan, menyunggingkan kembali senyum bisnisnya. Anak ini menutup wajahnya dengan kedua tangannya seraya mengangguk. Ia jadi agak sangsi. Apa anak ini mengerti apa yang ia maksud tadi? Yah, lebih baik ia bertaruh pada takdir sekarang. Tentang anak ini mengerti atau tidak itu urusan nanti.

Diam-diam ia menggunakan hidungnya yang peka untuk mencium aroma emosi orang-orang yang ada di sekitar kafe ini. Ia tidak mencium aroma mencurigakan, dan sedari tadi ia melihat Amanda memasuki kafe ini, ia tidak melihat orang-orang yang mengawasi anak ini di dalam kafe ini. Berarti mereka masih di luar, mengawasi mereka dari jauh. Bagus. Setidaknya ia sudah memastikan menyelipkan kertas itu semulus mungkin. Sambil bersenandung pelan, ia berjalan meninggalkan meja Amanda, menyampaikan pesanan pada pelayan yang bertugas menyiapkan pesanan.

***

Raymond memainkan layar ponselnya. Tangannya yang bebas dimasukkan ke dalam saku jaket hitam bertudung seraya bersenandung, berjalan menyusuri koridor begitu keluar dari ruang ganti pakaian untuk karyawan. Shift-nya hari ini sudah selesai, sehingga hal yang harus ia lakukan adalah menunggu apakah takdir akan berpihak padanya atau tidak. Kalau iya, berarti seharusnya, anak perempuan bernama Amanda itu saat ini tengah menunggunya di bagian belakang kafe ini begitu membaca pesan di kertas yang ia selipkan tadi. Tapi jika tidak, ia harus memikirkan opsi lain untuk menyelamatkan anak itu. Sulit juga. Ada banyak cara yang bisa ia coba jika cara pertama gagal, tapi ia sangat berharap tidak akan melakukannya. Sesekali Raymond melirik ke belakang, berjaga-jaga kalau ada orang yang mengikutinya. Hidungnya tidak mencium aroma apa pun selain aroma yang sudah ia kenal, dan juga sedikit jejak dari Amanda. 

Bagus. Kelihatannya ia tidak memerlukan cara lain. Ini sudah lebih dari cukup. Dilihat dari bagian interior dalam kafe ini, seharusnya anak itu tidak menemui kesulitan untuk keluar dari kafe ini tanpa dicurigai oleh orang-orang yang mengikuti anak itu. Anak itu hanya perlu berpura-pura pergi ke toilet yang letaknya dekat dengan ruang ganti karyawan, tertutup oleh dinding yang menjadi titik buta sehingga akan membutuhkan waktu lama bagi para penguntit itu untuk menyadari bahwa anak itu sudah meninggalkan kafe ini. Didukung dengan waktu sekarang, di mana sore hari akan menjadi jam-jam sibuk bagi para karyawan kafe untuk melayani pelanggan yang kebanyakan adalah orang-orang yang baru pulang kerja, sehingga tidak akan ada satu pun karyawan yang akan melewati koridor ini. 

Rencananya seharusnya sempurna.

Raymond memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, berhenti bersenandung begitu ia mencapai pintu belakang kafe yang mengarah pada lorong gelap belakang kafe yang biasa digunakan untuk membuang sampah, membuka pintu itu dan menutupnya cepat, lalu puas begitu mendapati sosok yang diharapkan tengah menunggunya di sana.

“Sudah menunggu lama?” Raymond menghampiri Amanda yang segera menggeleng. Ia memperhatikan tubuh anak ini gemetar hebat. Tangannya mengeluarkan kertas yang tadi diselipkan Raymond, memperlihatkan isinya pada Raymond.

「Seseorang mengawasimu. Jam 5 sore, di belakang kafe. Lewat toilet.」

“Apa benar aku diawasi seseorang?”

Raymond tidak menggubris pertanyaan Amanda, mengambil kertas yang ada di tangan Amanda lalu merobeknya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dan membuangnya tepat di genangan air yang ada di dekat kakinya, menghancurkan serpihan-serpihan itu dalam sekejap. Tidak akan ada jejak. Tanpa menunggu persetujuan dari Amanda, Raymond menarik tangan anak itu, membawanya berlari menyusuri jalan kecil yang gelap itu. Sepuluh menit bukan waktu yang lama, tapi cukup untuk mengulur waktu. Tinggal menunggu waktu sampai mereka menyadari bahwa target mereka sudah hilang dari pengawasan mereka.

Mereka terus berlari melewati lorong itu hingga ia merasa aman, dan berbelok ke jalur yang membawa mereka keluar dari lorong itu menuju areal ruko yang kuno dan sepi. Area ini hanya muat dilalui oleh dua mobil sedan. Raymond mengamati sekeliling, menyadari bahwa bangunan di tempat ini banyak yang perlu direnovasi. Ada banyak bangunan yang penuh dengan graffiti, ada yang warna catnya memudar, dan ada juga yang dindingnya mengelupas. Waktu kali pertama ia ke tempat ini untuk menyelidiki Amanda, ia tidak begitu memperhatikan detail ini karena sibuk mencari rute jalur yang bisa membawanya cepat ke rumah Amanda jika terjadi hal buruk pada anak itu. Raymond kini melepaskan tangannya dari Amanda, memberi waktu pada anak itu untuk mengatur pernapasannya (kelihatannya anak ini tidak terbiasa berlari sejauh ini), lalu mengajaknya untuk berjalan menyusuri trotoar, bersikap seperti pejalan kaki pada umumnya.

“Telepon temanmu sekarang. Minta mereka untuk menjemputmu,” bisik Raymond, setelah dua orang pejalan kaki melintas melewati mereka. 

“Ba...baik.” Amanda terbata-bata membalas perkataannya. Tangan Amanda yang gemetar mengeluarkan ponsel. Sementara anak ini menghubungi temannyaーentah siapa yang dipanggilーRaymond menggunakan kesempatan untuk mengamati anak ini dengan seksama. Dari jari-jari tangannya, kelihatannya anak ini pandai memainkan piano. Mungkin anak ini menggunakan kemampuan bermain pianonya untuk mendapatkan beasiswa. Masuk akal. Ia memasukkan informasi yang baru ia ketahui itu ke dalam otaknya, menjadikannya kepingan puzzle. Cara ini jauh lebih aman daripada menggunakan komputer yang sewaktu-waktu bisa diretas. Tapi rasanya ia masih memerlukan satu kepingan lagi untuk melengkapi puzzle-nya. 

Raymond mengajak anak ini berjalan begitu anak ini selesai menelepon temannya hingga matanya tertuju pada sebuah toko barang antik yang segera menarik minatnya. Ia melirik sekilas pada Amanda yang terus gugup saat berjalan di sampingnya. Anak ini pasti ketakutan sekarang. Ia menarik anak ini mendekat padanya, agar anak itu merasa tenang dan aman bersamanya.

“Ada aku, jangan khawatir. Kapan temanmu akan datang?”

“Sebentar lagi,” Amanda menunduk dengan wajah yang sedikit merona. Mungkin karena cuaca? Yah, cuaca hari ini memang agak dingin, sih.

“Kalau gitu kita masuk ke dalam dulu,” Raymond terdiam sejenak, menyadari bahwa caranya mengajak Amanda tadi malah membuatnya terlihat seperti orang asing mencurigakan yang berniat mencelakakan Amanda. Ia buru-buru mengubah cara bicaranya. “Maksudku, jauh lebih baik menunggu di dalam daripada kedinginan menunggu di luar.”

Amanda tertawa pelan, lalu mengangguk sebelum melihatnya dengan tatapan penuh tanya.

“Ada yang ingin kamu katakan?” Raymond mengurungkan niatnya untuk membuka pintu toko itu, memberi waktu pada Amanda untuk berbicara.

“A...aku sudah tahu…”

“Ya?”

“Aku tahu kalau ada yang mengawasiku sejak minggu lalu.”

Minggu lalu? Sial. Ia terlalu fokus memikirkan cara untuk mendekati Hazel sampai lupa tujuan awalnya datang ke kota ini.

“Oh. Lalu?”

“Apa…” Amanda memandangnya ragu, “apa aku bisa percaya pada Kakak?”

Raymond tersenyum, mengelus puncak kepala Amanda. “Aku sudah janji akan melindungimu begitu aku menemukanmu, Amanda.”

“Tunggu. Dari mana Kakak tahu namaku?”

Raymond mengangguk, tidak menampik pertanyaan itu. Sesaat ia terdiam saat membuka pintu toko itu, mengamati Amanda sekali lagi. Ekspresi terkejut anak ini berhasil memberikannya kepingan puzzle terakhir yang selama ini ia cari, yang segera menyatukan semua kepingan puzzle yang telah ia kumpulkan. Bagaimana bisa ia tidak menyadarinya? Anak perempuan ini memiliki sorot mata dan wajah yang jika diperhatikan seksama, mirip dengan Arnold. 

Astaga…

Tubuhnya membeku, tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia temukan. Berarti, anak perempuan yang ada di sampingnya ini adalah adik perempuan Arnold? Memang, Arnold dulu sempat menyinggung saat mabuk, betapa ia ingin bertemu dengan adiknya yang sudah lama tidak ia lihat. Waktu itu ia mengira bahwa kata-kata Arnold itu ditujukan pada Verdict Walter, adik Pria Arnold yang sering berkunjung ke rumah Arnold setiap liburan musim panas, sehingga ia tidak ambil pusing. Ia mengira bahwa Arnold sedang bergurau saat itu. Apa itu berarti keluarga Arnold yang sekarang itu bukan keluarga biologisnya? Kalau benar begitu, berarti terjawab sudah kebingungannya selama ini. Ia akhirnya paham kenapa ia selalu merasa aneh setiap kali melihat Arnold yang tampak berbeda dari seluruh keluarga Walter. Semua keluarga Walter memiliki mata abu-abu, rambut blonde gelap, dan kulit yang pucat, sementara Arnold memiliki rambut hitam dan kulit zaitun. Persamaan Arnold dan Verdict hanyalah sikap keras kepala mereka dan ketidaksukaan mereka dalam menjalin hubungan romantis.

“Kak?”

Suara Amanda yang memanggilnya berhasil membuyarkan lamunannya. Ia mempersilakan anak ini untuk masuk terlebih dahulu, lalu membiarkan pintu itu tertutup dengan sendirinya begitu ia masuk. Begitu mereka memasuki toko antik itu, baik ia maupun Amanda terpesona dengan barang-barang yang ada di toko ini. Mereka memandang satu sama lain, lalu sepakat untuk berpencar. Amanda segera berjalan menuju ke rak yang berisi laci-laci kecil yang dihiasi dengan ukiran khas Viktoria. Dalam hati, ia cukup terkejut begitu mengetahui bahwa seleranya dengan Amanda sangat mirip. Kalau Arnold masih hidup, temannya itu pasti akan mengomel panjang lebar dan mengeluh. Raymond tertawa geli, membayangkan jika temannya masih hidup dan mendapati bahwa adik perempuannya itu memiliki ketertarikan pada hal-hal antik sepertinya.

Raymond mengamati gelas-gelas antik yang ada di rak depannya sambil terus memastikan Amanda tetap berada di dekatnya. Mungkin sebaiknya ia membeli barang di sini sebagai bentuk kesopanan karena sudah meminjam tempat ini untuk bersembunyi sementara waktu. Matanya tertuju pada satu set cangkir yang desainnya terinspirasi dari era Roccoco, menarik perhatiannya. Desainnya ini cocok sekali dengan Hazel. Apa sebaiknya ia membeli set ini? Tapi bagaimana jika Hazel ternyata tidak menyukai pilihannya? Atau mungkin akan membuangnya?

“Raymond? Raymond Cooper?”

Raymond menoleh, mendapati seorang wanita yang tadi memanggil namanya, berjalan cepat menghampirinya. Ia mematung seketika, tidak menyangka bahwa ia akan bertemu teman lamanya yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar lima tahun lalu di kota ini. Wanita itu memegang kedua pipi Raymond, memutar tubuh Raymond berkali-kali, ingin memastikan bahwa yang ia lihat itu benar-benar Raymond.

“Mar...Martha?” Lidahnya kelu, nyaris tidak bisa mengatakan apa pun. Kejutan yang benar-benar tidak terduga. Tanpa ragu, ia langsung memeluk erat Martha. “Kamu ke mana saja? Kupikir kamu mati.”

“Ada banyak hal terjadi,” Martha mengusap kepala Raymond, “harusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu ada di sini?”

“Arnold sudah mati.”

“Aku tahu. Maaf karena nggak sempat datang ke pemakaman Arnold,” Martha melepaskan pelukan Raymond. Ada nada penyesalan saat Martha mengatakannya. Wanita yang mengenakan dress koktail hijau dengan belahan dada yang rendah (sama sekali tidak cocok dengan image yang ditampilkan toko ini, tapi harus ia akui, sangat cocok dengan Martha) dan sepatu hak tinggi 7 sentimeter itu memutar tubuhnya menghadap Amanda. “Oh? Pacarmu?”

“Bukan.”

“Aih, masih belum punya pacar juga? Padahal bentar lagi udah umur 30.”

“26,” ralat Raymond, menatap sebal wanita yang sudah ia anggap seperti kakak perempuannya. “Kamu sendiri juga sama.”

“Aku nggak suka halー”

“Yang merepotkan dan penuh komitmen,” sela Raymond, tahu sekali apa yang akan dikatakan wanita ini setiap kali ia melemparkan pertanyaan itu. Kenapa ia dikelilingi oleh orang-orang abnormal yang tidak menyukai komitmen dan selalu menganggapnya sebagai orang yang terlalu serius dalam menjalani kehidupan?

“Tuh, tahu,” gumam Martha, lalu matanya mengarah pada set cangkir yang tadi menarik perhatiannya. “Buat kamu kukasih harga khusus. Barang-barang di sini tidak diproduksi secara massal oleh senimannya, jadi semua ini bisa dikatakan hanya ada satu di dunia ini. Masih ada barang lain kalau kamu tertarik.”

Raymond tertarik dengan tawaran Martha yang berniat mengajaknya untuk melihat-lihat barang yang ada di tokonya. Sayangnya, tawaran itu tidak datang di saat yang tepat, sehingga terpaksa ia harus menolaknya.

“Lain kali saja. Tolong yang ini.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status