Share

Bab 5

Serius?

Raymond memandangi anak laki-laki berkacamata yang waktu itu menatapnya tajam di hari pertama ia kerja yang saat ini berdiri di hadapannya setelah beranjak keluar dari toko itu. Itu pun setelah harus beberapa kali menolak ajakan Martha untuk minum teh sambil membicarakan masa lalu. Diam-diam ia mengamati anak ini. Dari penampilannya ia sudah menduga kalau anak ini tipe yang bisa diandalkan, tapi ia tidak menyangka kalau teman yang dihubungi Amanda adalah anak ini. Kenapa di antara semuanya, Amanda malah memilih Gerald Tan? Ia pikir, Amanda akan menghubungi Priskaーanak perempuan berbadan atletis yang jago olahraga itu. Bukan bermaksud meragukan kemampuan Gerald, tapi Raymond merasa kalau Gerald bukan orang yang tepat untuk melindungi Amanda.

Habis sudah. Tahu begini, seharusnya dari awal ia meminta Amanda untuk menghubungi Priska saja.

Begitu mereka keluar dari toko, anak laki-laki itu langsung menarik Amanda agar menjauh dari Raymond, menatapnya dengan tatapan super galak. Melihat sikap over protective anak itu mengingatkan Raymond pada respon seorang ibu yang menjauhkan anak perempuannya yang masih balita dari orang asing yang berusaha mendekat. Benar-benar sosok ibu sejati. Layak mendapat tepuk tangan darinya dan penghargaan sebagai ‘Sosok Ibu Terbaik Tahun Ini’.

Raymond melirik ke jalan raya, mendapati ada dua mobil sedang bergerak menuju tempat mereka. Aneh. Bagaimana bisa orang-orang ini tahu keberadaan mereka di tempat ini?  Ia mengambil ponselnya, mendapati kalau ternyata sudah 15 menit berlalu sejak mereka meninggalkan kafe tadi. Pantas saja. Pasti mereka juga sudah memperkirakan rute-rute yang sekiranya akan dilewati Amanda, sama sepertinya.

“Kan sudah kubilang, Amanda. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Bukan malah ikut dengan orang asing yang nggak jelas asal-usulnya ini!” Sekali lagi ia mendengarkan omelan Gerald untuk ketiga kalinya, mengacungkan telunjuknya pada Raymond dengan sorot matanya yang memperlihatkan dengan jelas ketidak sukaannya pada fakta bahwa Amanda lebih memilih untuk bergantung pada orang asing daripada teman masa kecilnya. Anak itu mencubit pipi Amanda hingga Amanda menangis. Bahkan cara mengomeli Amanda saja mirip seperti ibu-ibu. Sekilas ia melihat bayangan Gerald yang mengenakan celemek dengan tangannya yang memegang spatula. Ia menggeleng cepat, membuyarkan bayangan itu dalam sekejap. Mengerikan. Tapi ia sendiri tidak bisa mengelak. Apa yang dikatakan anak ini tidak sepenuhnya salah, tapi cara menyampaikannya itu benar-benar tidak sopan. Apa semua anak remaja sekarang seperti ini?

“Udah selesai ngomelnya?” Raymond langsung menyela saat Gerald akan melanjutkan kembali omelannya untuk keempat kalinya. Bisa hancur gendang telinganya kalau terus mendengar omelan anak ini yang tidak ada habisnya. “Waktuku nggak banyー”

“Orang luar diam saja!”

Kata-kata Gerald sukses memancing kemarahannya. Tanpa ampun, Raymond melayangkan tendangan tepat di kaki Gerald hingga anak itu terjerembab di atas trotoar. Ia menggeleng frustrasi. Sudah ia duga. Memanggil Gerald ke sini bukan pilihan yang tepat. Padahal ia hanya mengerahkan 25 persen dari kekuatannya saat menendang Gerald, tapi anak ini sudah mengaduh kesakitan. Payah.

“Itu balasan buat omonganmu yang kasar, Anak Sialan! Apa nggak pernah diajari sopan santun sama ibumu?!”

“Bukan urusanmu ibuku ngajarin atau nggak!”

“Ngomong lagi, dan tendangan kedua akan mendarat mulus di kakimu yang satunya lagi!” Raymond mengacak rambutnya, frustrasi menghadapi Gerald. Hidungnya mengendus aroma orang-orang yang menguntit Amanda. 

“Ayo, sini!” Anak ini berdiri dan kini malah balik menantangnya. 

Dasar anak gila. Sebaiknya ia acuhkan saja. Ia tidak ada waktu meladeni perdebatan Gerald.

“Kalian pergi dari sini. Sekarang.” Raymond menekankan kata terakhirnya sambil menatap Gerald yang terdiam melihatnya, “Gerald, jaga dia.”

“Oi, tahu dari mana namaku?”

“Mereka sudah datang.” Sambil merenggangkan otot lehernya, ia berdiri di hadapan mereka agar menghalangi pandangan orang-orang itu seraya memberikan tas belanja berisi set cangkir yang ia beli tadi. “Aku titip barangku. Amanda?”

“Iya?” Agak takut, Amanda memandangnya di balik Gerald, sambil menghapus air matanya. Pipinya masih merah karena cubitan Gerald, membuat pipi anak ini terlihat seperti buah persik.

Melihat tubuhnya menggigil, ia melepaskan jaket tudungnya, memasangkannya pada Amanda. “Pakai ini. Nah, pergilah. Kususul kalian nanti.”

Gerald hendak kembali protes, tapi mengurungkan niatnya begitu melihat ke belakang, mendapati orang-orang itu sudah turun dari mobil mereka dan berjalan menuju ke arah mereka. “Aku mengerti.”

“Sebagai tambahan, kuberitahu satu hal: aku teman kakakmu, Amanda Chloe.”

Raut wajah Amanda yang kebingungan mendengar perkataannya itu semakin meyakinkan dirinya bahwa Arnold tidak pernah muncul di hadapan anak ini. Orangtua anak ini pasti tidak pernah menceritakan keberadaan Arnold. Ia tidak paham situasi keluarga lama Arnold karena temannya itu jarang mengungkit tentang masalah pribadinya. Tapi mengkhawatirkan soal latar belakang Arnold itu urusan nanti. Sekarang ia harus membereskan masalah yang ini. Setelah memastikan dua anak tadi menghilang dari hadapannya, ia berbalik, menghadapi orang-orang tersebut.

“Cepat kejar anak itu!” Seorang pria berkacamata yang tadi ia lihat saat di kedai teh itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk segera bergerak. Ia menggeleng, menghadang mereka.

“Nggak secepat itu, Bapak-bapak.” Ia mengintip dua orang wanita yang ada dalam kelompok itu. “Dan kakak-kakak cantik yang ada di belakang sana, tentunya.”

“Minggir! Kami nggak ada urusan sama kamu!” Pria itu menyentuh bahunya, hendak mendorongnya agar menjauh dari mereka. Tangannya secara cekatan berbalik mendorong pria itu hingga jatuh terpental di depan anak buahnya.

“Tapi aku ada urusan dengan kalian. Siapa orang yang menyuruh kalian menguntit anak itu?”

“Aku nggak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu, Anak Muda.”

Ia memutar bola matanya seraya menyiapkan kuda-kuda, memberi kode pada orang-orang itu untuk menyerangnya. “Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menjawab pertanyaanku.”

“Sudah kukatakan, bukan? Kami nggak ada urusan dengan kamu.”

Raymond berjalan cepat menghampiri pria itu sampai pria itu terkejut karenanya, menendang perut pria itu sampai terdengar suara tulang yang patah karena tendangannya. “Mengganggu saja.”

“Ka-kamu! Beraninyaー”

“Apa? Kalian takut?” suaranya yang datar dan dingin saat mengatakannya itu kelihatannya berhasil menakuti orang-orang itu. Matanya menatap tajam pada mereka sambil mengepalkan kedua tangannya, berjalan tenang mendekati mereka yang kini berjalan mundur menghindarinya. Lalu, beberapa orang dari mereka memutuskan untuk mulai menyerangnya dari berbagai sisi yang dengan lincah bisa ia tangkis. Menggunakan kakinya sebagai asetnya setiap kali ia bertarung dan mengukur tingkat kemampuan bertarung orang-orang itu yang berada jauh di bawahnya, rasanya menang bukan hal yang sulit. Tinggal mematahkan masing-masing tulang mereka, pastiー

Matanya membesar seketika begitu melihat apa yang ada di balik pakaian mereka. Gawat. Ia benar-benar tidak memikirkan kemungkinan adanya senjata api dalam pertarungan ini. Ia hanya membawa diri, keputusan yang ia sesali setelahnya. Kalau membawa senjata api, berarti orang-orang yang sedang ia hadapi ini bukan penguntit biasa. Tidak mungkin orang biasa akan membawa senjata api dengan gampangnya seperti mereka.

Kalau begitu, hanya ada satu-satunya cara. Menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat dan tidak membiarkan mereka menyentuh senjata mereka. Seolah tidak merasa terancam, ia kembali melancarkan tendangan ke bagian vital orang-orang itu hingga terdengar suara tulang yang patah. Tidak peduli apakah lawannya itu pria atau wanita. Ia bukan orang klise yang berprinsip untuk tidak melawan wanita. Itu konyol. Terlalu dramatis. Tangannya bergerak cepat mengambil salah satu senjata dari seorang wanita yang berhasil ia patahkan tangannya, memuntahkan peluru ke arah orang-orang itu tepat di jantung mereka. Begitu orang-orang itu sudah tidak bisa bergerak, ia tersenyum puas, menginjak senjata api yang ia bawa hingga hancur berkeping-keping. 

Semua sudah selesai. Sekarangー

Raymond menoleh, mendapati salah satu dari orang-orang tadiーseorang wanita berambut cokelat tua yang diikat ekor kudaーbergerak sekuat tenaga, menodongkan pistol yang diselipkan di ikat pinggangnya tepat ke arah jantungnya. Di saat bersamaan, matanya menangkap bayangan Martha yang keluar dari tokonya. Sorot matanya syok, tubuhnya membeku. Ia segera menghindari peluru yang ditembakkan wanita itu dengan cepat, mengikuti arah pistol tersebut. Tiga tembakan pertama berhasil ia hindari. Tapi tembakan keempat langsung mengenai perutnya.

“Hebat juga,” Raymond tersenyum menyeringai begitu berhasil mendekati wanita yang kini melihatnya penuh ketakutan hingga tubuhnya menggigil. Raymond mencekik leher wanita itu, menjatuhkannya hingga tubuh wanita itu menghantam tanah. “Sekarang bilang. Siapa yang menyuruh kalian melakukannya?”

“I...itu… Tua...n...Si...mon….”

“Simon? Akan kuingat.” Raymond menjauhkan tangannya dari wanita itu. 

“Biar aku yang bereskan ini,” kata Martha yang sudah berdiri di sampingnya. “Kamu bisa berdiri?”

“Kurasa…”

Pandangannya mendadak buram. Rasa nyeri yang ia rasakan dari tembakan yang mengenai perut kirinya itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hanya suara Martha yang seperti menelepon seseorang, dan pandangannya gelap seketika.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status