Share

Siapa Pria itu?

2 minggu sebelumnya.

 Oma mendadak mengatakan pada anggota keluarga Kumar, jika salah satu dari anak-anak mereka atau cucunya harus bersedia dijodohkan dengan seorang pria pilihannya. Bahkan Oma sudah sepakat menerima lamaran pria tersebut sebelum terlebih dahulu berunding dengan keluarga besarnya. Mereka tahu, tidak ada yang bisa menentang ataupun membantah Oma.

"Segera tunjuk siapa yang menerima tawaran ini."

 Karena tidak ada satu pun dari mereka yang bersedia, lantas mereka memilih jalan keluar sendiri, yaitu dengan menikahkan Elle. Dengan alasan, Elle adalah anak tertua diantara anak lainnya. 

"Kami memilih, Elle, Oma. Dia merupakan anak tertua, jadi sudah sepantasnya dia yang menikah duluan," papar Bibi Meyli mewakili seluruh keluarga. 

"Tapi, Oma, aku tidak mau." Tolak Elle ketakutan. 

"Baiklah, semua sudah sepakat. Andin, bujuk putrimu ... atau kau tidak akan menerima apapun."

 Bibi Andini terus membujuk Elle agar mau menerima perjodohan tersebut, jika tidak, Bibi Andini mengancam tidak akan memberi fasilitas apapun lagi pada Elle. Karena sesungguhnya Bibi Andini juga takut jika Oma tidak memberikan hak pada mereka lantaran mengekang perintahnya.

 Dengan berat hati, Elle pun akhirnya menerima. Namun, banyaknya gunjingan keluarga yang menganggapnya lemah di depan Oma, membuat Elle nekat dan kabur. Elle hanya ingin membuktikan pada mereka semua jika dia bisa menentang Oma, bahkan mengecewakan Oma dengan begitu  berat. Seperti yang dilakukan sebelumnya, Elle memang keras kepala dan susah diatur. 

 Hingga kini, belum ada kabar tentang Elle. Banyak pesuruh yang sudah dikerahkan oleh Paman Burhan, tapi belum juga membuahkan hasil. 

"Akhirnya, pesta berjalan mulus dan kita tidak ada yang terganggu," ujar Bibi Meyli disertai dengan senyuman mengembang di wajahnya. 

"Iya, nggak kebayang jika tidak ada gadis bodoh itu. Sudah pasti anak kita yang akan jadi korbannya," timpal yang lain.

"Lagian heran deh, berani banget si Elle menentang Oma. Apa nggak diajari sama si Andin." Bibi Meyli sedikit mengeraskan suaranya saat Bibi Andini melintasi mereka. 

"Apa maksud kamu, Meyli?" tanya Bibi Andini dengan sorotan mata yang tajam. 

"Ya, apalagi, Andin, anak kamu itu sama nggak bergunanya dengan gadis bodoh itu. Bikin malu keluarga," cibir Bibi Meyli yang bikin kuping serta wajah Bibi Andini panas.

"Haha ...." Mereka semua langsung menertawakan Bibi Andini. Tentu saja Bibi Andini tidak terima, namun sebelum ia berhasil membalas mereka, suaminya datang.

"Ma!" panggil Paman Burhan saat melihat amarah istrinya sudah mencapai ubun. "Ayo, kita pergi dari sini. Jangan pedulikan apa kata mereka." Bujuk Paman Burhan. 

"Tapi, Mas, mereka mengatai dan menghina, Elle, Mama nggak bisa terima itu," kata Bibi Andini dengan suara yang serak juga mata yang merah. Nafasnya yang naik turun, menandakan jika ia sedang mempunyai amarah yang terpendam. 

"Sudahlah, ayo kita pergi saja!" Paman Burhan segera membawa istrinya pergi menjauh dari mereka semua. 

**

 Di sinilah Gea, duduk menghadap ke cermin, ditemani oleh dua perias profesional yang seharusnya mereka mendandani Elle, bukan dirinya. 

"Nona, jika anda terus menangis, nanti make upnya bisa luntur." Tegur salah satu dari mereka yang tidak bisa membedaki wajah Gea, sedari tadi air mata terus membasahi pipinya. 

 Gea bukannya diam, tapi malah semakin larut dalam kesedihan. Kini air mata yang tadinya hanya merintik-rintik, berubah bak hujan yang deras. Kedua perias itu saling pandang tidak mengerti, pun mereka tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah menghibur atau membiarkan Gea dengan air matanya. 

 Tiba-tiba pintu terbuka dan Paman Burhan muncul di baliknya. 

"Ada, apa? Mengapa belum selesai juga?" tanya Paman Burhan pada kedua perias tersebut.

"Maafkan kami, Tuan. Sedari tadi, Nona ini terus menangis. Membuat kami kesulitan untuk mendandaninya."

"Benarkah?" 

 Lantas Paman Burhan mendekati Gea.

"Gea!" panggil Paman Burhan lembut. "Apa ini terlalu berat?"

"Apa Paman sebegitu tidak berdayanya sampai harus melakukan ini padaku?" lirih Gea dengan suara pilu. 

 Paman Burhan bungkam, tidak tahu mesti menjawab apa. Dia tahu, Gea pasti sedih dan merasa terpukul dengan pilihan yang telah dibuat istrinya. Namun, mau bagaimana lagi. Jika bukan Gea, lantas siapa yang sudi. 

"Cepatlah sedikit, sebentar lagi mempelainya tiba," kata Paman Burhan mengalihkan pembicaraan sebelum akhirnya beliau pergi. 

"Mengapa harus aku, Paman?"

 Lagi-lagi terdengar suara pilu Gea yang membuat Paman Burhan semakin iba, juga merasa bersalah karena telah membawanya ke dalam masalah ini.

Selama ini Paman Burhan memang peduli pada Gea, bahkan hanya dirinya di rumah ini yang menganggap Gea sebagai anggota keluarga. Biasanya Paman Burhan selalu membela dan mendukung apapun yang dilakukan Gea. Namun, hari ini, untuk pertama kalinya, Paman Burhan tidak mampu melepaskan gadis itu dari jerat pernikahan. Itu membuatnya sakit, bahkan lebih sakit daripada kehilangan Elle tadi pagi. 

"Nak ... anggap saja ini sebagai babak baru dalam hidupmu. Semoga setelah ini, semuanya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya," kata Paman Burhan, setelah itu beliau keluar. Semakin lama dia berada di sana, maka akan semakin sakit rasanya. 

 Waktu yang ditentukan telah tiba, harusnya Gea sudah dijemput untuk turun ke bawah karena waktunya mempelai prianya telah tiba. Namun, anehnya sampai sekarang belum ada perintah untuknya turun.

"Lihatlah, bahkan mereka enggan untuk menjemputku di sini. Harusnya mereka melepasku dengan suka rela," ujar Gea pada pantulan dirinya di cermin. Sebaiknya memang Gea harus mengatakan isi hatinya pada benda mati, karena manusia tidak ada yang sudi walau hanya sekedar mendengar suaranya, apalagi mendengar ceritanya. 

 5 menit menunggu, belum juga ada kabar apapun. Membuat Gea cemas dan menerka-nerka dalam hatinya. Mungkinkah mempelai prianya juga ikut kabur karena tahu pengantinnya diganti?

"Apa aku seburuk ini, hingga tidak ada satupun manusia yang sudi menerima?" Lagi-lagi Gea merasa tak berarti, bahkan di hari pernikahannya sendiri. 

 Seperti gadis pada umumnya, Gea juga punya mimpi untuk menikah. Pesta pernikahan yang megah, punya suami yang sangat menyayangi dirinya, dan satu hal yang paling Gea inginkan, yaitu menemukan sosok ibu lewat ibu mertuanya.

 Namun sepertinya semua mimpi itu harus pupus, bukan di tengah jalan, tapi di akhir kisah hidupnya melepas lajang. 

 10 menit berlalu Gea masih setia menunggu, setidaknya ada yang memberi kabar, meskipun kabar itu sebuah duka. Bisa saja berduka karena prianya lari, atau berduka karena tiba-tiba pria itu tidak ingin melanjutkan pernikahan. Ingin keluar, namun dia tidak diizinkan untuk itu.

 Gea hampir saja tertidur saat tiba-tiba Paman Burhan membuka pintu. Gea merasa heran dengan wajah Paman Burhan yang sembab. 

"Selamat, Nak ...!" ucap Paman Burhan yang sedikit kesulitan dan langsung memeluk Gea dengan tangis haru. 

 Gea tersentak mendengar ucapan selamat dari pamannya. Mungkinkah ia sudah resmi menjadi seorang istri? Tapi kapan? 

"Mulai sekarang, pengabdianmu hanya pada suami. Jangan pernah sakiti hatinya, apalagi sampai mengecewakannya. Penuhi hak-haknya, maka hak-hakmu akan terpenuhi," kata Paman Burhan melepas pelukannya. 

"Apa itu termasuk untuk tidak menaati dan mengabdi pada, Oma?" tanya Gea. 

 Bagi Gea, itu merupakan poin utama. Jika dia masih berada dalam sangkar Oma, maka menaati suaminya adalah hal yang mustahil. Gea memang tidak mengerti apa-apa, karena selama ini dia tidak pernah bergaul dengan orang-orang selain pelayan.

 Sekali lagi Paman Burhan bungkam, tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan pada Gea. Ya, Gea memang harus mematuhi segala perintah Oma, tapi di sisi lain, kini Gea sudah menikah. Tentu saja hal itu tidak berlaku lagi setelah dirinya jadi seorang istri. Namun, apakah hal itu berlaku juga di hadapan, Oma? 

"Kamu tidak akan mengerti ini, Nak!" kata Paman Burhan. 

"Aku mengerti, Paman. Bahkan sampai hari ini aku masih mengikuti perintah Oma, sampai dijodohkan seperti ini," kata Gea. "Aku rasa juga nantinya Oma akan melakukan hal yang sama padaku, sama seperti hari-hari sebelumnya," lanjutnya tersenyum ringan. "Paman, bolehkah aku bertanya?"

"Iya, kenapa tidak?"

"Apakah aku akan dibawa pergi oleh suamiku?"

"Entahlah!" jawab Paman Burhan tidak yakin. Bukan karena apa, hanya saja suami Gea merupakan orang yang aneh. Saat melakukan ijab kabul saja dia tidak ingin bertemu dengan Gea, apalagi jika ingin membawanya pergi.

 Pernikahan mereka memang aneh, itu karena mempelai pria yang tidak menginginkan Gea turun. Tadinya semua berpikir pertukaran ini akan sia-sia, dimulai dari saat Paman Burhan dijemput oleh beberapa orang. Katanya disuruh jemput oleh calon menantu mereka.

Paman Burhan menyetujui persyaratan dari pihak pria, yaitu melakukan pernikahan di tempat lain. 

"Siapa nama calon istriku?" tanya pria itu pertama kali. 

  Paman Burhan yang saat ini sedang duduk berhadapan dengan pria itu, kini merasa cemas, takut jika pergantian ini diketahui. Ya, Paman Burhan menjadi wali nikah Gea. 

"Ge - Gea, Geanata," jawabnya terbata-bata. 

"Baiklah, mari kita mulai," kata pria itu mantap. 

 Setelah semuanya selesai, Paman Burhan bernafas lega dan beliau diantar kembali ke rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status