Share

Tanda Tanya

 Gea terpesona dengan keindahan kamar tersebut yang sudah dihiasi sedemikian rupa. Bahkan di atas ranjang juga sudah tersebar banyak kelopak bunga mawar. Gea belum pernah melihat ini sebelumnya, walaupun hanya sekedar menonton di televisi.

 Tiba-tiba, pintu kembali terbuka dan lampu dimatikan. 

"Ada apa, ini?" gumam Gea ketakutan, matanya tidak bisa menangkap apa-apa. 

"Tolong, apakah ada orang yang mendengarku!" teriak Gea mulai panik. 

"Jangan takut!" ucap seseorang, yang Gea dengar itu adalah suara seorang pria. 

"Siapa itu?" tanya Gea semakin panik. 

 Tiba-tiba lampu kembali hidup, saat itu Gea sedang berdiri menghadap ranjang. Membelakangi pintu, dia seperti orang yang sedang kebingungan.

"Aku di sini!" Terdengar suara pria itu lagi. 

 Gea segera berbalik dan mendapati seorang pria muda sedang berdiri di depan pintu. Kini pintu tersebut sudah tertutup kembali, entah kapan. Bahkan pintu tersebut tidak mengeluarkan suara. 

"K - kamu, si - siapa?" tanya Gea. 

 Dia memperhatikan pria tersebut dari bawah hingga atas, dia memakai setelan jas berwarna putih. Warna kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya merah, dan matanya berwarna coklat. Gea yang tidak bisa menggambarkan keseluruhan bentuk wajahnya, hanya bisa mengomentari dengan satu kalimat. TAMPAN. Ya, pria yang kini berdiri di sana sangatlah tampan. 

 Sedangkan pria itu juga memperhatikan Gea. Apa yang dilihatnya tidak seperti dalam bayangannya. Yang pria itu lihat adalah seorang wanita dengan pakaian pengantin putih, rambut yang disanggul tapi sedikit berantakan, dia berdiri memegang seikat bunga. 

"Apa itu istriku?" tanyanya dalam hati. Lantas pria itu berpikir siapa lagi yang ada di sana jika bukan istrinya. Jika diperhatikan, wanita itu juga cantik. 

 Gea merasa risih saat pria asing itu terus memandangnya, dia langsung menunduk dan mundur beberapa langkah saat pria itu mulai berjalan. 

"Jangan takut, aku ini suamimu," kata pria itu yang hampir meledakkan tawanya saat melihat ketakutan di wajah Gea. 

 Gea mengangkat wajahnya dan berhenti. Dia menatap pria itu tidak percaya, yang ternyata adalah suaminya. Jadi benar, jika dia telah menjadi seorang istri.

"Rayyan. Rayyan Williams," ujar pria itu memperkenalkan diri, dia juga menyodorkan tangannya untuk dijabat oleh Gea. 

 Namun Gea tidak berani menjabatnya, dia kembali menunduk. 

"Aku, Ge-"

"Geanata." Potong Rayyan yang sudah mengetahui nama Gea saat ijab kabul tadi. Rayyan menarik tangannya kembali, lantas dia mengalihkan perhatian ke desain kamar.

"Ini bagus," ujarnya memperhatikan. Lalu Rayyan mendekati ranjang dan tersenyum. "Apa yang kau pikirkan saat melihat semua ini, Gea?" tanyanya.

 Kemudian Rayyan mengambil sekuntum bunga yang terletak di atas bantal dan kembali mendekati Gea. 

"Malam ini akan menjadi malam yang indah, bukan?" Rayyan sengaja menggoda Gea dengan menyatukan mawar tersebut ke lengannya. Turun dari bahu hingga ke tangannya. Sampai di punggung telapak tangan Gea, Rayyan mengarahkan bunga itu ke telapak tangannya. Kemudian membimbing Gea untuk menggenggamnya. 

 Gea tersentak saat untuk pertama kalinya ada yang menyentuh tanggannya seperti itu, perlakuannya begitu berbeda. Juga suara lembutnya yang membuat Gea gemetar.

"A - apa maksudmu?" tanya Gea dengan mata yang terpejam, juga nafas yang mulai tidak beraturan. 

"Ada apa? Apa kau tidak suka?" Tidak tanggung-tanggung, Rayyan langsung memeluk Gea dari belakang.

 Sikap dan perlakuan tersebut membuat Gea terkejut, sontak dia melepaskan dirinya dan segera menjauh. 

"Apa yang kau lakukan!?" teriak Gea dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tidak menyangka, dia akan dipeluk oleh orang yang tidak dikenalnya. 

"Ada apa, Sayang? Kenapa kau marah, aku ini suamimu," ucap Rayyan tanpa rasa bersalah, malah dia tersenyum melihat Gea seperti itu. 

"Jangan panggil aku sayang, atau aku akan marah. Dan satu hal lagi, aku ini bukan istrimu. Asal kau tahu saja, harusnya yang menikah itu bukan aku!" aku Gea apa adanya, dia tidak peduli jika nanti Oma akan menghukumnya untuk itu. Karena Gea sudah telanjur takut pada pria tampan tersebut.

"Aku tahu," kata Rayyan masih dengan suara yang tenang. 

 Gea tidak mengerti dengan Rayyan, jika dia tahu dirinya adalah bukan pengantin yang sebenarnya. Mengapa dia malah diterima.

"Bersiaplah, kita akan segera makan malam," kata Rayyan melihat arloji di pergelangan tangannya. 

"Makan malam?" ulang Gea memastikan. Baru kali ini ada yang mengajaknya makan malam, biasanya tidak ada yang peduli jika dia makan atau tidak. Tapi apa tidak apa-apa jika dia ikut makan malam bersama keluarga yang lain. 

"Iya, makan malam. Memangnya kamu tidak lapar? Aku tidak ingin melakukannya tanpa tenaga," ucap Rayyan yang ingin berlalu.

"Tunggu!" cegah Gea. "Melakukan apa maksudmu?" tanya Gea mendekati Rayyan yang hampir mendekati sofa. 

"Apa lagi, Gea? Kita ini adalah pengantin baru, dan apa perlu aku mejelaskannya padamu?"

 Mata Gea langsung terbuka lebar, jantungnya kian berpacu. Dia gugup dan takut. 

"Haha …." Rayyan tertawa melihat respons tubuh Gea. "Aku baru mengatakannya, Gea, kenapa kau gugup seperti itu?"

"A - aku tidak ingin melakukan apa-apa," kata Gea dengan wajah polos. 

"Aku tidak memintamu, Gea, karena aku yang akan melakukan semuanya," kata Rayyan tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. 

"Dasar pria gila!" kata Gea berlalu. 

"Kamar gantinya ada di sebelah kiri, Gea," kata Rayyan saat Gea berdiri di tengah-tengah kamar. 

 Dengan wajah yang memerah, Gea pun mengikuti arah yang ditunjuk Rayyan.

"Haha … dia lucu sekali," kata Rayyan setelah Gea masuk, dia bahkan tidak bisa berhenti tertawa.

"Dasar pria gila! Dia pikir dia itu siapa? Jika pun aku telah menjadi istrinya, aku tidak akan membiarkan dia melakukan apapun padaku," omel Gea kesal. 

 Sesaat Gea kembali ingat jika Rayyan menyuruhnya bersiap-siap untuk makan malam. Gea kembali sadar jika saat ini sedang berada di mana. Dia mengedarkan pandangannya ke ruangan yang dipenuhi dengan lemari-lemari. 

"Tempat apa, ini?" gumam Gea heran. 

 Dia menuju lemari-lemari tersebut, salah satunya lemari pakaian. 

"Pakaian siapa ini, mewah sekali," ujarnya takjup. Lalu Gea melihat ke sebelahnya lagi, ada lemari sepatu, tas, juga perhiasan. Yang terakhir, Gea melihat meja rias mewah yang terdapat banyak alat make up di atasnya. 

"Apa kau perlu bantuan?" tanya Rayyan yang tiba-tiba sudah menyandarkan tubuhnya di pintu. 

 Gea terkejut dan hampir saja dia menjerit.

"Sedang apa kau di situ? Mau mengintipku?"

"Aku hanya ingin memastikan saja jika kau baik-baik saja. Ternyata benar saja, kau malah tidak tahu harus berbuat apa," kata Rayyan tersenyum.

 Gea heran, Rayyan selalu saja tersenyum, dan itu membuatnya gila. Gea jadi berpikir, bagaimana perasaan setiap wanita yang melihat Rayyan tersenyum seperti ini, ya? Senyumnya benar-benar mempesona.

"Keluarlah!" kata Gea mengusir. 

 Rayyan tidak peduli, lantas dia masuk dan menuju lemari pakaian.

"Kau mau apa?" tanya Gea mengekor. 

 Rayyan tidak menjawab, dia memilih sebuah gaun berwarna hitam dan medekatkannya pada Gea. Rayyan seperti sedang menimbang-nimbang apakah pakaiannya cocok atau tidak.

"Tidak usah seperti itu, pakaian ini tidak pantas di tubuhku," kata Gea dengan suara yang rendah.

"Pakai, ini!" kata Rayyan yang tidak peduli dengan ocehan Gea. 

 Gea masih bergeming, bahkan dia belum menerima gaun tersebut.

"Apa perlu aku yang gantikan?" tanya Rayyan yang membuat Gea refleks meraih gaun tersebut, lalu dia berlari ke arah lain. 

"Jangan mengintipku!" teriak Gea yang ingin berganti pakaian. 

"Apa kau tidak akan mandi dulu!" teriak Rayyan.

 Mendengar itu, Gea baru sadar jika dia tidak mandi sejak pagi tadi. 

"Apa dia mencium bauku? Apa aku ini bau? Ya ampun, ini memalukan sekali," gumam Gea sambil mencium badannya sendiri. Lantas dia mencari-cari di mana letak kamar mandi.

"Keluarlah, kamar mandinya ada di arah sini!" Kembali Rayyan berteriak, dia seperti tahu apa yang sedang dipikirkan Gea. Tidak mungkin sampai sejauh ini dia terus menebak, pikir Gea.

"Apa dia paranormal kali, ya?" 

 Gea segera keluar dengan wajah tertunduk malu. 

"Kamar mandinya ada di sebelah sini, Sayang," kata Rayyan menunjuk ke arah luar yang masih berada di dalam ruangan tersebut, saat Gea lagi-lagi kebingungan. Ada begitu banyak pintu di ruangan ini. Namun, letak kamar mandinya berada lurus dari arah masuk pertama, sedangkan ruangan ganti berada di sebelah kiri.

 Gea lari terbirit-birit dengan membawa serta gaunnya. 

"Aku tidak yakin dia bisa memakai kamar mandi tersebut," kata Rayyan menerka dan ingin kembali ke dalam. 

 Ternyata benar saja, beberapa detik kemudian dia mendengar Gea berteriak. Segera Rayyan menyusulnya. 

"Ada apa?" tanyanya sedikit cemas. 

 Tapi hampir saja Rayyan tertawa saat melihat Gea terduduk di lantai kamar mandi dengan tubuh yang sudah  basah kuyup, air keluar di mana-mana. Bahkan air dingin, panas, hangat, menyatu jadi satu. Pasti Gea tidak mengerti dengan tombol-tombol otomatis tersebut. Namun, Rayyan tidak tega menertawakan Gea saat melihat wajah gadisnya yang begitu sedih.

"Sudah, tidak apa-apa. Pakai ini saja," kata Rayyan menyalakan shower. "Aku tunggu di luar," katanya berlalu.

 Rayyan jadi tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Gea selama ini, padahal rumah ini fasilitasnya serba mewah. Mengapa hanya menghidupkan air saja Gea tidak bisa. 

 Selesai mandi dan berganti pakaian, Gea kembali ke ruang ganti. Dia mendapati Rayyan yang sedang duduk di sebuah sofa sambil membaca majalah. 

"Kau sudah selesai?" tanya Rayyan saat tahu Gea tiba.

"Iya," sahut Gea singkat.

"Biar ku tebak, kau pasti bingung tidak tahu mesti melakukan apa sekarang. Benar begitu, kan?" Tebak Rayyan yang diakui Gea dengan anggukan kepala. 

"Tidak masalah, ayo kemari!" Rayyan menarik tangan Gea untuk mendekati meja rias dan mendudukinya di sana. "Pejamkan matamu!" Perintahnya yang segera dipatuhi Gea. 

 Dengan telaten, Rayyan merapikan rambut Gea. Rambut yang panjangnya sepinggul itu, dia biarkan terurai begitu saja. Tidak hanya itu, Rayyan juga merias wajah Gea secantik dan senatural mungkin. Ini tidak terlalu sulit, karena aslinya Gea juga memiliki wajah yang cantik. Tidak dirias saja Gea sudah begitu cantik di matanya. 

"Sudah selesai," kata Rayyan beberapa menit kemudian.

 Gea membuka matanya perlahan, dia masih duduk menghadap cermin. 

"Apa ini aku?" tanya Gea saat Rayyan merias wajahnya begitu baik, bahkan ini lebih cantik dari dandanan perias pengantin tadi pagi.  

"Ayo, kita turun!" Ajak Rayyan kemudian. Tapi sebelum itu, Rayyan juga mengambil sepasang high, tidak terlalu tinggi. Takutnya Gea tidak bisa berjalan memakai itu. 

"Coba pakai ini," kata Rayyan yang sudah berjongkok dan bersiap memakaikan high tersebut pada kaki Gea. 

"Aku tidak bisa memakainya," kata Gea cepat.

"Benarkah?" tanya Rayyan mendongak ke atas.

 Gea menggangguk dan Rayyan segera bangun.

"Kalau begitu pilihlah apa yang bisa kamu pakai," kata Rayyan. 

 Gea akhirnya memilih sandal yang datar. "Pakai yang ini saja, ya," pintanya. 

"Terserah kamu saja," sahut Rayyan. 

 Tiba di luar kamar, Rayyan mengangkat lengannya ke pinggang dan menatap Gea penuh arti.

"Ada apa?" tanya Gea tidak paham. 

"Ayo," kata Rayyan. Namun, Gea masih bingung dengan maksudnya. Lantas Rayyan meraih lengan Gea dan mengaitkan ke lengannya. Gea terkejut dan ingin melepaskan, namun Rayyan semakin mengeratkan. 

"Ayo!" Ajak Rayyan lagi. 

 Akhirnya Gea pasrah saja, meskipun berada dalam posisi seperti ini membuatnya tidak nyaman. 

"Kita akan makan di mana?" tanya Gea. 

"Di rumah ini, bersama keluargamu, memang di mana lagi," sahut Rayyan.

 Gea tiba-tiba berhenti, membuat kening Rayyan mengerut.

"Ada apa?" tanyanya heran. 

"Apa tidak salah, Rayyan mengajakku makan malam bersama keluarga. Pasti Oma dan yang lain tidak setuju dan mengejekku. Tapi jika aku tidak menuruti, maka Rayyan akan curiga," ucap Gea dalam hati.

"Ada apa, Gea?" Rayyan kembali bertanya.

"Ah, tidak ada," kilah Gea dan kembali melanjutkan langkahnya. 

"Semoga semuanya baik-baik saja," harap Gea sebelum ia berhadapan dengan keluarganya. 

 Di luar dugaan Gea, ada banyak pelayan yang menyambut saat mereka menuruni anak tangga. 

"Selamat malam, Tuan dan Nona," sapa mereka bersamaan. 

 Gea yang disapa Nona hampir saja pingsan dari tempatnya berdiri. Gea lebih takut jika panggilan tersebut, Oma dan yang lain akan mendengarnya, sudah pasti mereka akan menyiksanya. Selama ini, para pelayan tidak dibolehkan untuk menyapa Gea dengan sebutan Nona di depan orang lain. Namun, para pelayan biasanya memanggil Nona Gea jika tidak ada anggota keluarga yang mendengarnya. Tapi apa tidak apa-apa memanggilnya seperti itu di depan, Rayyan? Apakah kini karena Rayyan sudah menjadi suaminya, sehingga hal tersebut dikecualikan?

 Masih menjadi pertanyaan bagi Gea, saat kini tanpa sadar mereka telah tiba di ruang makan. Untuk kedua kalinya, Gea dibuat terkejut. Kini, seluruh keluarga besar Kumar berdiri saat melihat mereka tiba, termasuk Oma. Seperti penyambutan Tuan Besar saja. 

 Bahkan Gea melihat ada dua kursi kosong yang biasa di duduki oleh Paman Burhan dan Bibi Andini dibiarkan begitu saja.

"Kenapa diam saja, Gea. Ayo silakan duduk, jangan biarkan suamimu menunggu," kata Oma ramah. 

 Gea yang tidak tahu menahu apa-apa hanya bengong dengan sikap ramah Oma dan juga mereka yang selalu memasang senyum. 

"Ayo, sayang," kata Rayyan membuyarkan lamunan Gea. 

 Mendengar panggilan sayang dari Rayyan, membuat mereka saling pandang. Gea langsung menduduki kursi tersebut, biasanya dia hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan kenyamanan duduk di atas sana. Karena Gea selalu duduk di atas lantai.

"Ada apa, ini? Aku merasa ada yang tidak beres dengan orang-orang yang ada di sini. Tidak mungkin mereka bersikap seramah ini hanya karena aku telah menikah." Pikir Gea dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status