Share

Tidur Denganku

 Gea menyusul Rayyan ke balkon, berdiri di dekat pria itu.

"Kau lihat, mereka banyak sekali," kata Rayyan menengadah ke langit. 

 Gea pun ikut melihat ke atas. 

"Iya, banar."

 Mereka melihat bintang bersama tanpa ada yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Gea yang seperti baru saja menemukan sesosok teman dalam diri Rayyan, terkadang ia merasa kehadiran pria itu adalah pengobat sepi. 

 Terkadang Rayyan seperti bermain dengannya, tetapi jika serius aura wajah Rayyan berubah lain. Raut wajahnya memang berubah-ubah, sulit ditebak. 

 Tanpa sadar, kini Gea beralih menatap Rayyan. Bintang di atas sana memang sangat indah, tapi wajah Rayyan lebih indah dari apapun. 

"Ada apa?" tanya Rayyan tiba-tiba. 

"Hmm?" Gea yang tidak fokus tidak tahu Rayyan berkata apa.

"Apa kau menemukan bintang di wajahku?" tanya Rayyan menatap Gea. 

"Mana ada bintang di wajahmu?" Kekeh Gea. 

"Lalu kenapa kau terus menatapku?"

 Gea kepergok untuk kesekian kalinya, dan itu sangat memalukan. Sepertinya melihat wajah Rayyan akan menjadi kebiasaannya.

"Aku mau masuk, di luar dingin sekali," kata Gea berlalu sambil mendekap kedua lengannya. 

 Rayyan hanya menatap punggung istrinya tersenyum. Gea cepat kali merasa malu, apalagi saat Rayyan menggodanya. Entah bagaimana Rayyan bisa bertahan dengan segala kepolosan dan keluguan Gea. 

 Gea kembali masuk ke dalam, aroma mawar menyeruak sampai ke rongganya. Begitu harum. Gea menikmati keharuman tersebut dengan mata yang terpejam sampai beberapa detik. Namun, tiba-tiba wajah Rayyan seperti menari-nari di depannya. Hingga sebuah sentuhan di belakang membuatnya tersentak dan membuka mata. 

"Kenapa setiap kali aku peluk kau selalu saja terkejut," kata Rayyan tersenyum saat Gea menjauh. 

"Jangan bersikap seperti itu padaku, Rayyan," lirih Gea mundur. 

"Kenapa? Apa kau tidak suka?" tanya Rayyan heran. Biasanya wanita sangat ingin memeluknya, tapi saat dia memeluk seseorang, gadis itu malah selalu menghindar. 

 Lantas Gea berpaling ke arah lain dan berjalan beberapa langkah, kembali menghadap ke balkon melalui pintu kaca. Gea kembali menatap langit, bintang masih bertaburan di sana. 

"Karena pernikahan kita bukanlah sebuah keinginan. Aku tidak ingin terjebak dan berharap lebih padamu, jadi jangan memberiku apa-apa."

  Gea sadar, jika pernikahannya bukanlah sesuatu yang harus ia banggakan. Apalagi sampai berharap lebih. Jadi, sebelum Rayyan memberinya sesuatu, Gea harus terlebih dahulu menolak itu. 

 Rayyan ikut mendekati Gea, menyandarkan punggungnya di pintu. Mereka berdiri dengan posisi yang berbalik. 

"Katakan satu hal saja tentang pernikahan kita, Gea," pinta Rayyan sembari melipat tangan ke dadanya. Rayyan belum mengerti apa yang dipikirkan Gea tentangnya. Sejauh ini tidak ada pertanyaan apapun mengenai dirinya, saat memperkenalkan diri pun sepertinya Gea tidak mengenali keluarga Williams. 

"Apa yang harus kukatakan, Rayyan?" Gea menyeringai. "Kau pun tahu sendiri, jika aku hanyalah pengganti. Seharusnya kau menikahi Elle, bukan aku."

"Lantas?" tanya Rayyan. Sebenarnya Rayyan tidak suka mendengar nama Elle disebut, gadis itu hampir saja membuat Nyonya Mellany malu dengan kelakuannya. Namun, untung saja masih ada gadis cantik yang menyelamatkan reputasinya. 

 Gea menatap Rayyan sebentar. 

"Lantas apa yang perlu kukatakan?"

"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa jika tidak bisa berkata, Gea. Tapi bolehkah aku bertanya satu hal?"

"Katakan!"

"Apa kau bahagia?" tanya Rayyan menatap Gea penuh arti. Berharap jika Gea mengatakan iya. Namun, itu pasti akan terdengar berlebihan, karena mereka baru saja bertemu. Akan tidak mungkin jika tiba-tiba Gea mengatakan bahagia karena menikah dengan Rayyan. 

 Gea tersenyum kecut sebelum ia menjawab. 

"Bahkan sampai sekarang aku belum merasakan apa-apa," lirih Gea sendu. Dari dulu memang itu yang Gea rasakan. Kesepian, kesedihan, bahkan sepertinya kesenangan dan kebahagiaan pun enggan menghampiri walau hanya sekedar menyapa Gea. 

"Kalau begitu izinkan aku membuatmu bahagia, Gea," kata Rayyan sambil berjalan mendekati Gea dan memeluk gadis itu.

"Aku berjanji, Gea, akan memberimu kebahagiaan. Dan untuk mereka, juga akan merasakan seperti yang kau rasakan sebelumnya," kata Rayyan dalam hati. 

 Gea tidak tahu apakah dia harus senang atau tidak dengan pernyataan Rayyan yang akan membahagiakannya. Gea hanya takut jika dia semakin terbuai pada Rayyan, lantas Rayyan akan pergi setelahnya.

"Kenapa kau selalu menangis saat aku peluk? Apa kau tahu, aku tidak punya pakaian ganti. Bagaimana jika bajunya basah oleh air matamu?" kata Rayyan. 

"Kenapa kau selalu saja bercanda denganku, Rayyan. Bahkan kau tidak bisa serius, mana ada air mataku sebanyak itu," kata Gea melepaskan dirinya kesal.  

 Rayyan memang tidak bisa jika tidak mencandai Gea. Bila sebentar saja dia bersikap serius, maka keinginan lain pun ikut muncul. Jadi Rayyan hanya ingin menghindar saja dari apa yang seharusnya tidak dia lakukan sekarang.

"Apa kau tidak suka?" tanya Rayyan tersenyum.

"Kau bahkan selalu mengulang pertanyaan yang sama," kata Gea berlalu. Dia menuju ruang ganti untuk mengganti pakaian tidur. 

 Setelah Gea keluar, dia mendapati sepiring nasi telah tersedia di atas meja. 

"Apa Rayyan lapar lagi? Pasti dia tidak kenyang tadi," pikir Gea dalam hati.

"Kemarilah!" pinta Rayyan saat melihat Gea keluar. 

"Ke sana?" tanya Gea mengerutkan dahinya.

"Memangnya kemana lagi? Cepatlah kemari!"

 Gea menuruti. 

"Duduk!" kata Rayyan.

"Duduk di mana?" tanya Gea saat melihat hanya ada satu sofa di sana. 

 Tanpa menunggu lama, Rayyan segera menarik pinggang Gea dan mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Lagi-lagi Gea terkejut dan tidak menyangka.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Gea gemetar. 

"Memangnya tidak boleh?"

"Kau selalu saja menjawab pertanyaan dengan pertanyaan," kata Gea kesal. 

"Apa kau tidak suka?" tanya Rayyan lagi yang membuat Gea bertambah kesal. 

"Apa kau tidak punya kalimat lain, selalu saja mengulang pertanyaan yang sama," sungut Gea.

"Kau cerewet sekali, diamlah!" kata Rayyan, lalu mengambil sesendok nasi untuk menyuapi Gea. 

"Buka mulutmu!" pinta Rayyan. 

"Untuk apa?" tanya Gea tidak mengerti.

"Kau harus makan, karena tadi kau makan sedikit sekali."

"Jadi makanan itu bukan untukmu?" tanya Gea dengan mata yang bulat.

"Untukku? Ya jelas bukan, aku sudah kenyang. Kau yang harus makan, tadi makananmu tidak habis, kan?" kata Rayyan. Dia tahu jika tadi Gea tidak bisa menikmati makanannya dengan baik, jadi Rayyan sengaja meminta pada pelayan untuk mengantar makanan ke kamarnya.

"Aku bisa makan sendiri," kata Gea yang tidak ingin disuapi. 

"Jangan terlalu membantah, Gea. Ayo, buka mulutmu."

 Akhirnya Gea memakan suapan pertama dari Rayyan, berlanjut ke suapan kedua, dan suapan seterusnya.

"Kau harus banyak makan, badanmu seperti tidak punya isi," kata Rayyan. 

"Kau selalu saja mengejekku," kata Gea kesal. 

"Siapa yang mengejekmu."

"Kamu. Bukankah tadi katamu aku ini seperti tidak berisi? Aku juga sering diejek sama saudara yang lain, bahkan mereka mengataiku lebih dari itu."

"Oh, ya? Memangnya apa saja yang mereka katakan?"

 Gea kembali diam, saat kesekian kalinya dia keceplosan. Apa karena selama ini Gea tidak punya teman untuk bercerita, lantas saat dia bertemu dan bersama Rayyan, Gea ingin menceritakan banyak hal padanya.

"Tidak, ada. Lupakanlah," kata Gea sambil memakan suapan yang terakhir. "Sudah selesai, aku akan membawa ini keluar," katanya meraih piring di tangan Rayyan. 

"Tidak perlu, biar mereka yang mengambilnya. Sekarang ayo kita tidur," ajak Rayyan. 

"Ha, tidur? Kita?" Ulang Gea gugup. Takut jika Rayyan akan meminta macam-macam. 

 Sebenarnya ini sangat mengaganjal dalam pikiran Gea. Dia tahu sebuah pernikahan itu harus bagaimana dan melakukan apa di malam pertamanya. Tapi bahkan Gea tidak sanggup untuk memenuhi itu semua. Dia hanya bisa berharap, jika Rayyan tidak akan meminta haknya sekarang. Setidaknya tidak terlalu terluka jika sesaat dia akan ditinggalkan.

"Iya, memang ada orang lain selain kita di kamar ini?"

"Tapi …."

"Kenapa? Apa kamu takut?" tanya Rayyan tersenyum. Dia bisa merasakan ada kecemasan di wajah Gea, dan dia suka itu. Wajah cemas dan gugup saat Rayyan mengatakan sesuatu yang mungkin membuat Gea takut. Takut pada sesuatu.

"Ti - tidak." Gea menggeleng sambil tersenyum. "Apakah kau … akan memintanya?" tanya Gea memastikan. Meskipun jika Rayyan meminta dia tidak akan sanggup memberikan.

"Meminta apa?" tanya Rayyan membuat wajah Gea tersipu malu. Rayyan sengaja, dia ingin melihat sebatas apa keberanian Gea dalam berbicara.

"Sudah, lupakan saja," kata Gea beranjak bangun. "Aku bisa tidur di lantai, kau bisa tidur di ranjang."

"Kenapa begitu?"

"Hanya untuk menghindar dari hal-hal yang tidak diinginkan." Alasan Gea. Sebenarnya dia tidak berani tidur di sana lantaran tidak biasa. 

"Memangnya ada yang tidak kau inginkan? Apa kau tidak menginginkan aku ada di sini? Jika begitu sebaiknya aku pergi saja," kata Rayyan mendekati pintu, alih-alih dia ingin pergi dan melihat apa yang akan dilakukan Gea.

"Jangan!" cegah Gea berlari menyusul. "Kenapa kau pergi? Apa kau tidak suka berada di sini?" tanya Gea penuh rasa bersalah, harusnya dia tidak mengatakan apapun tadi. Pasti Rayyan terluka.

"Itu tergantung padamu yang menganggap aku ini seperti apa."

"Apa maksudmu?"

"Jika kau anggap aku ini suamimu, maka aku senang, Gea. Dan itu artinya, kau pun harus tidur bersamaku."

 Gea terkejut. "Apa itu perlu? Tapi ... aku tidak mau," kata Gea menolak. 

"Jika kau tidak ikut tidur seranjang denganku, maka sebaiknya aku pergi saja." Rayyan kembali melangkah.

"Baiklah. Tidak masalah, lagian ... kita hanya akan tidur saja, bukan?" 

 Gea kembali mendekati ranjang, membiarkan Rayyan pergi di malam pertamanya adalah hal yang tidak baik. Apalagi Rayyan yang kini berada di rumahnya. 

"Apa kita tidur di atas ini?" tanya Gea saat melihat kelopak mawar di atas ranjang.

"Biarkan saja begitu, ini indah sekali," sahut Rayyan. 

"Baiklah."

 Gea memberi batasan di tengah-tengah dengan menaruh guling.

"Jangan lewati batas ini, kau mengerti," kata Gea.

Rayyan tidak menjawab, tetapi dia dengan sengaja memperdengarkan suara dengkuran yang ia buat-buat. 

"Berisik sekali," lirih Gea yang mencoba menutup telinganya dengan bantal.

 Mereka memang tidur berdua, seranjang. Namun, ada jarak yang masih memisahkan keduanya. Bahkan jarak itu lebih panjang dari hanya batasan bantal yang dibuat Gea. Saat ini memang belum ada cinta diantara mereka, juga perasaan apa-apa.

 Setelah memastikan Gea benar-benar tertidur, Rayyan bangkit dengan hati-hati agar Gea tidak terjaga kembali. Rayyan menuju balkon, menghubungi seseorang.

"Leon, apa kau sudah mengurusnya?"

[Sudah semua, Bos]

"Bagus, jangan lakukan apapun dulu sebelum ada perintah dariku."

[Baik, Bos]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status