Share

Takut Ketahuan

 Pagi ini Gea tidak diizinkan keluar oleh Rayyan, mereka juga sarapan pagi di kamar. Rayyan hanya tidak ingin Gea terus menerus merasa takut saat berhadapan dengan keluarganya.

"Jadi bagaimana kita makan, sedangkan sofanya hanya satu saja?" tanya Gea. 

"Seperti semalam," sahut Rayyan santai.

"Apa maksudnya aku harus duduk di pangkuanmu?"

"Nah, itu kau tahu. Jika kau tidak ingin suamimu yang tampan ini duduk di lantai, maka duduklah di atasku," kata Rayyan menepuk kedua pahanya. 

 Gea yang mendengar lantai, mendadak dia duduk di atasnya.

"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Rayyan yang membimbing Gea untuk berdiri kembali. 

"Ma - maaf," ucap Gea terbata-bata. 

Rayyan tahu, itu semua karena Gea belum terbiasa dengan suasana baru ini. Jadi Gea masih melakukan sesuatu yang seperti kebiasaannya sehari-hari. Rayyan jadi menyesal, mengapa Tuan Williams tidak mengatakan ini sebelumnya. Harusnya Gea tidak semenderita ini. 

"Ayo, duduklah dan kita langsung makan." Ajak Rayyan lembut. 

 Gea menurut, dia duduk di pangkuan Rayyan. Tapi kali ini dia menolak untuk disuapi. 

"Aku bisa makan sendiri," kata Gea saat melihat tangan Rayyan mulai menyentuh sendok. 

"Jika begitu maka suapi aku," pinta Rayyan tersenyum.

"A - apa?"

"Jika kau menolak aku untuk menyuapimu, maka kau harus melakukan sebaliknya padaku." Jelas Rayyan.

 Gea bimbang, harus di suapi atau menyuapi. Tapi tentu saja dia tidak berani menyuapi Rayyan, bisa-bisa tangannya tidak bisa bergerak nanti. 

"Kau saja yang melakukannya," kata Gea akhirnya, membuat senyum mengembang di wajah Rayyan. 

"Ya, Tuhan ... mengapa dia selalu saja tersenyum," lirih Gea dalam hati. 

"Kenapa kau tidak ikut makan?" tanya Gea saat Rayyan terus menyuapinya. 

"Perutku akan kenyang bila kau tidak kelaparan," sahut Rayyan. 

 Gea mendengus kesal, saat ditanya serius pun, Rayyan masih bercanda. Membuat Gea kadang-kadang malas berbicara dengan pria itu.

"Sebentar lagi aku akan pergi," kata Rayyan masih dengan aktivitas tangannya, mengambil nasi di piring.

 Mendadak Gea sedih, jika Rayyan pergi itu artinya dia akan kembali pada hidupnya yang dulu. Padahal baru saja Gea bahagia. 

"Jangan sedih, aku tidak akan lama," kata Rayyan saat tahu apa yang dirasakan Gea. 

"Bisakah aku memintamu untuk tetap tinggal?" tanya Gea tiba-tiba. Entah darimana datangnya keberanian tersebut, yang jelas Gea tidak ingin jauh dari Rayyan. 

"Apa kau ingin mengurungku di sini? Aku harus bekerja."

"Kalau begitu aku juga ikut." Pinta Gea cepat, membuat kerutan di kening Rayyan nampak jelas. "Bawa aku kemana pun, Rayyan." Pinta Gea lagi. 

"Apa kau setakut itu saat jauh dariku?" tanya Rayyan iba. 

 Gea diam, sesungguhnya itu ketakutan. Tatapi menetap tanpanya di sini, melebihi ketakutan apapun. Ya, Gea memang tidak berharap itu. 

"Ya, sudah. Kau pergi saja, aku tidak bermaksud untuk mengurungmu di sini," ucap Gea datar. Dia sadar, Rayyan bukan siapa-siapa yang harus dikurungnya. Juga bukan orang yang akan membawanya. Lantas apa hubungan pernikahan mereka, Gea tidak punya jawaban. 

 Rayyan diam sejenak, berpikir jalan keluar untuk ini. Sebenarnya dia juga tidak ingin meninggalkan Gea sendirian, resikonya terlalu besar, apalagi setelah dirinya hadir. Bisa saja setelah dirinya pergi, Gea kembali disiksa mereka. Namun, jika Rayyan tidak pergi juga tidak mungkin. Banyak hal yang harus diurusnya, apalagi sejak semalam dia sudah di sini. 

 Rayyan juga sebenarnya ingin membalas orang-orang yang selama ini menindas, Gea, tidak tega melihat gadis itu. 

"Ayo, ikut aku!" Rayyan menarik tangan Gea, mengajak gadis itu keluar. 

"Kita mau kemana?" tanya Gea penasaran.

"Sudah, ikut saja," kata Rayyan mempercepat langkahnya. 

 Gea syok saat tiba-tiba Rayyan menghentikan langkah setelah tiba di ruang keluarga. Semua orang yang kala itu sedang menonton televisi mendadak bangun semua saat melihat kedatangan mereka. 

 Gea menatap takut satu persatu dari mereka, seakan mereka ingin menelan dirinya hidup-hidup. Tanpa sadar, Gea menggenggam jemari tangan Rayyan, begitu kuat. Hingga Rayyan semakin kasihan padanya. 

"Gea, apa kau ingin ikut bergabung bersama kami?" tanya Oma ramah. 

 Gea tersentak, tidak percaya jika Oma mengajaknya serta. 

"Sayang, apa kau mau bergabung bersama mereka?" tanya Rayyan menatap Gea.

 Wajah Gea kian pucat, tidak berani mengiyakan. 

"A - aku ... ingin kembali ke kamar." Pinta Gea terbata-bata, tangannya ikut gemetar. 

"Ada, apa? Apa kau tidak suka bersama dengan mereka?" tanya Rayyan, dia hanya ingin Gea jujur saja. Namun, sepertinya Gea tidak ingin berkata apa-apa, yang ada Rayyan malah membuatnya semakin takut. 

"Gea, sayang, ada apa?" Tiba-tiba Bibi Andini datang mendekatinya. "Kau tidak ingin ikut duduk bersama kami? Apa itu karena sekarang kau sudah menikah?" tanya Bibi Andini lembut. Namun, tidak dengan tatapannya yang begitu tajam, seakan mampu menembus jantung Gea.

"Ayo, Gea, kemarilah!" Ajak Bibi Meyli. "Andin, bawa dia kemari!"

 Bibi Andini perlahan menarik tangan Gea agar terlepas dari Rayyan, tentu saja agar itu berhasil, Bibi Andini harus memakai cara dengan mengancam Gea terlebih dahulu. Agar gadis itu melunak padanya. 

"Lepas tanganmu pada, Rayyan, dan ikut denganku!" bisik Bibi Andini yang membuat bulu kuduk Gea meremang.

 Perlahan namun pasti, Gea mulai melepaskan tangannya. Begitu terpaksa. Andai saja Gea berani, dia akan menjerit meminta tolong pada Rayyan.

"Nah, begitu dong. Jangan malu-malu," kata Bibi Andini tersenyum sinis.

 Citra langsung melemparkan pandangan tidak suka pada Gea saat gadis itu di dudukkan bersebelahan dengan dirinya. 

"Bibi Andin apa-apaan sih, ngapain juga gadis bodoh ini bersebelahan denganku," umpat Citra kesal dalam hati. 

 Sejauh ini Rayyan yang masih berdiri hanya melihat bagaimana cara mereka memperlakukan Gea, dengan sangat terpaksa mereka harus bersikap baik padanya. 

"Rayyan, Oma dengar kau ingin pergi, ya?" tanya Oma.

"Iya, Oma. Aku harus pulang hari ini," sahut Rayyan sedikit malas saat melihat reaksi wajah mereka sebahagia itu jika dirinya benar-benar pergi. Kecuali wajah Gea yang kian sedih. 

"Kalau begitu pulanglah, tidak usah mencemaskan Gea. Kami semua ada di sini untuknya," kata Bibi Meyli tersenyum. Terlihat sekali jika kehadiran Rayyan tidak dibutuhkan di rumah itu, apalagi jika bukan karena mereka tidak akan bebas menindas Gea.

"Tetapi istriku tidak menginginkan aku pergi," kata Rayyan yang membuat mata mereka melotot. 

"Benar begitu, Gea?" tanya Oma.

 Gea diam, dia sangat takut untuk menjawab iya. 

"Ti - tidak, Oma," sahut Gea tanpa bisa melihat ke arah Rayyan.

"Tidak masalah, Rayyan. Kau bisa pergi, mungkin Gea hanya berpikir jika dia akan kesepian saja," ucap Bibi Andini mendesak Rayyan.

"Lihatlah, Gea, kau bahkan tidak berani berkata apa-apa. Lantas bagaimana kau bisa berdiri tegak di atas kekuasaanmu," ucap Rayyan dalam hati. 

"Baiklah, aku akan pergi sekarang," kata Rayyan berlalu.

"Tunggu!" Cegah Gea berdiri. Semua orang menatapnya kesal. 

"Ada apa, Gea? Biarkan suamimu  pergi," kata Bibi Meyli.

"A - aku ... akan mengantarnya dulu," kata Gea segera berlari sebelum Bibi Andini mencegahnya. 

"Sial!" umpat Bibi Andini kesal saat dia tidak berhasil menarik tangan Gea barusan. 

"Oma, bagaimana jika Gea mengadu pada, Rayyan? Apa yang akan terjadi? Apa yang harus kita lakukan, Oma?" tanya Bibi Meyli cemas setelah Gea pergi. 

"Oma yakin, Gea tidak akan seberani itu," jawab Oma.

"Bagaimana Oma seyakin itu? Lihat saja tadi, Gea malah bersikap seperti itu di depan kita."

"Jika pun Gea ingin mengadu, mengapa dia tidak melakukannya semalam. Apa kalian tidak melihat jika sikap Rayyan pada kita masih biasa-biasa saja, itu artinya Gea belum berbicara apa-apa padanya," timpal Bibi Andini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status