Share

2. Sia-sia Mencinta

Satu kebohongan terungkap. Aku merasa pengabdianku selama satu tahun ini sia-sia. Lucas berbeda usia lima tahun dariku, mungkin saja dirinya takut menjadi perjaka tua, yang memiliki anak diusia senja. Kerepotan menyekolahkan anak kecil di usianya yang sudah tidak lagi muda.

Aku akui, malam ini pikiranku kacau. Prasangka buruk terus aku lontarkan pada Lucas, meski tak terucap oleh lisan. Mau bagaimana lagi, mendadak aku lupa caranya berprasangka baik padanya karena dia sendiri yang acuh, dia sendiri yang menyimpan foto wanita lain secara sembunyi-sembunyi. 

Aku menyibak tirai, menengadah menatap pekatnya malam, bintang memudar redup. Bahkan langit pun enggan berbagi kehangatan denganku. Setitik cahaya bintang pun, tidak mau dia berbagi. Lucas adalah malamku, dapat kupeluk tapi tak mampu menghangatkan, membiarkan aku sendiri kesepian.

Aku masih termenung hingga tengah malam. Berdiskusi dengan hati antara bertahan atau melepaskan. Aku tak sabar datangnya hari esok, karena aku butuh kepastian dan berhenti dengan argumen sepihak dari dalam diri yang menyulut hati.

Suara ringtone telepon mengusik lamunan bodoh ini. Lebih baik begitu, aku seperti orang bodoh jika sedang sendiri. Mungkin terlalu sepi. 

Panggilan telepon ternyata dari Lucas. Aku sengaja tidak mengangkat telepon karena malas. Adapun rasa kegelisahan sebaiknya dibicarakan langsung nanti, itu pun kalau aku sanggup. Kalau tida, paling-paling makan hati sendiri sampai kurus.

Pesan WhatsApp masuk dari Lucas

"Kenapa gak di angkat, Flo? Aku tahu kamu belum tidur, kamu suka matiin data kalau mau tidur. Iya 'kan?" 

"Kenapa Mas telepon tadi?"

"Karena kamu masih online, kamu gak boleh kurang tidur, kamu sering migrain."

"Iya, kamu yang bikin aku migrain."

"Ya, sudah tidur, ya! Maaf bikin kamu sakit kepala."

"Makasih, udah perhatian. Semoga tulus, ya!"

"Ya tulus lah. Kamu aneh hari ini. Ada masalah?"

"Ada, Mas besok pagi pulang, ya! Aku mau tanya sesuatu."

"Sorry gak bisa, masih ada urusan. Paling pulang sore."

Yang benar saja, sore katanya. Sore hari waktunya pendek, kemudian malam datang dan dia akan tidur, besoknya kerja. Benar-benar tidak betah di rumah. Biasanya dia yang duluan tidak membalas pesan, sekarang giliran aku. Malas rasanya jika jawabannya seperti itu. 

Aku mematikan data, tidur dengan membawa luka. Semoga malam ini aku tidak mimpi buruk. 

***

Seperti kata dia kemarin malam, dia akan pulang sore. Suara mesin mobil datang dapat kudengar tepat pukul empat sore. Aku berdiri menyambut dirinya, membukakan pintu dan tersenyum, seperti kebiasaan ku dari awal kami menikah. Tidak aku ubah kebiasaan ku itu meskipun hari kemarin hati ini terluka. Kehadirannya adalah penawar paling ampuh.

Aku tersenyum lebar dia membalasnya dengan tersenyum tipis, itu sudah biasa.

"Makan, Mas. Aku sudah masak."

"Masak apa?"

"Sup ikan patin." 

Aku tahu dia suka ikan patin, terlihat dia tersenyum sambil melangkah ke dapur. Dia lahap aku bahagia. 

Aku menyusulnya, mengambilkan nasi dan lauk untuknya. Waktu yang singkat ini harus aku manfaatkan, dia lebih sering sibuk dengan pekerjaan dan hobby. Mengambilkan dia makanan adalah caraku untuk berbagi kasih dengannya.

Bukannya aku lupa akan luka yang kemarin. Hanya saja, jika sewaktu-waktu aku didepak olehnya, setidaknya aku pernah merasakan berbagi kasih dengannya. Setidaknya, aku menuai ladang amalku dari situ. Pertikaian hanya membuatku menjadi tidak sehat.

"Makasih, Flo."

"Sama-sama."

Aku mengambil nasi untukku setelah dia mengambil suapan yang pertama. Dari gerak-geriknya, aku yakin dia suka dengan masakanku.

"Enak?"

"Enak, sekali."

Aku pun akhirnya makan punyaku, anggap saja kita sedang merayakan satu tahun ulang tahun pernikahan kita, yang tepatnya jatuh pada hari kemarin, sangat kebetulan bertepatan dengan penemuan foto wanita lain di laci meja kerjanya.

Setelah selesai makan, aku mengekor dia sampai ruang tengah. Melihat dia menyalakan televisi dan memilih acara berita sore. Aku duduk di sampingnya, menunggu hatiku siap untuk bertanya masalah foto.

Aku bisa bertanya kapan saja, memang. Akan tetapi hatiku tidak siap menerima jawabannya. Mungkin saja, seumur hidup aku akan sakit hati jika itu adalah pacarnya.

"Ada apa? Kenapa menatapku kaya gitu?" Lucas melemparkan pertanyaan saat aku keterusan menatapnya dengan tatapan tajam.

Aku bungkam, memilih kata-kata yang sesuai, aku tertunduk dengan gemetar.

"Ada masalah? Katakan saja, gak usah takut. Aku suamimu bukan orang lain."

Aku mengangguk, sebelah hatiku menyesal telah menuduh dirinya duluan, tanpa bertanya. Harusnya aku bertanya. Tapi aku takut.

Lucas menyentuh rambutku, mengelusnya lembut. Seingatku, ini pertama kalinya. Aku kaget, dia biasanya langsung menikam jika butuh kegiatan biologis, lalu tertidur dengan pulas. Tidak pernah main hati. Ayolah, aku mulai luluh kembali.

"Katakan apa masalahmu."

Baiklah, aku mulai. "Maaf aku bertanya kaya gini. Aku ingin tahu siapa foto yang ada di laci meja kerjamu."

Aku menatap Lucas lekat, ada perubahan pada garis wajahnya. Baru saja kami merasakan kehangatan beberapa menit, kemudian berubah kaku kembali hanya karena satu pertanyaan sensitif ini.

"Kamu buka laci? Kamu berani?"

"Maaf."

"Aku sudah peringatkan dari awal jangan berani membuka laci di situ."

"Ya, tapi itu siapa?"

Lucas bungkam. Tanpa harus susah payah mendesak dia menjawab aku sudah tahu bahwa foto itu adalah miliknya yang berarti. Kesalahan, yang mungkin saja indah baginya.

"Bukan siapa-siapa. Aku jarang buka laci itu. Aku hanya lupa membuang foto itu, sorry."

"Intinya dia siapa? Dari tadi aku mengajukan satu pertanyaan tapi jawabanmu berputar-putar."

"Lupakan! Aku janji akan membuangnya."

"Lupakan?"

"Apa menurutmu kamu sopan bertanya masa lalu suamimu? Aku bilang aku lupa membuangnya, itu foto lama."

"Aku tahu itu foto lama, tapi baru kamu simpan. Bingkainya saja tidak berdebu. Aku tidak bodoh."

Lucas bangkit, melangkah pergi.

"Ke mana?"

"Mau membuang foto yang membuatmu marah."

"Tapi itu foto siapa? Aku hanya tanya, siapa."

"Namanya Amanda."

"Siap dia?"

"Tidak usah tahu."

Lucas melangkah kembali ke ruang kerjanya, ditangannya aku melihat dia membawa keluar satu foto dari dalam kamar. Lalu membuangnya ke tong sampah di hadapanku.

"Kamu lihat? Sudah aku buang. Jadi jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan jadi masalah lagi. Dan jangan bilang-bilang ayah dan ibu."

Aku mengangguk, tanpa merubah ekspresi kesalku. Dia bilang jangan bilang ayah ibu, pasti foto itu akan membuat marah orang tuanya.

Dan Amanda. Nama itu tidak akan aku lupakan. Aku harus mewaspadainya, aku takut dia hadir merusak segalanya. Merusak pondasi yang baru saja akan aku bangun dengan Lucas. Selama ini, aku dan Lucas pasangan suami istri yang kaku.

Aku ingin memperbaikinya tanpa hadirnya Amanda.

TBC


Komen (2)
goodnovel comment avatar
PANORM SEAUKHONG
พะนอมเสือโค้ง
goodnovel comment avatar
Sagala Cellular
mantap suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status