Share

4. Kumenangis Membayangkan

Semua yang baru aku mulai sudah hancur. Beberapa hari ini aku dan Lucas semakin kaku. Tidak ada pelukan lagi, tidur saling membelakangi. Akan tetapi, dia tidak ingkar janji ternyata. Di sosmed manapun tidak ada foto Amanda. 

Aku menurunkan ego, mencoba menyusun kembali serpihan hati yang hancur karena ulahnya. Kita akan mulai dari awal, karena seumpama berpisah lalu mencari pengganti pun, tidak akan menjamin terhindar dari yang namanya sakit hati.

Mungkin, aku harus belajar memaafkan. Tidak mengungkit-ungkit kesalahan Lucas, dan mengetuk hatinya supaya berpihak padaku. 

Aku akui aku tidak menyenangkan untuknya, tidak paham apa kesukaan dan obrolannya walaupun dia sempat bercerita dengan antusias masalah kesenangan menulis Novel, tapi responku hanya mematung tak paham. Aku hanya bisa memasak yang enak untuknya, tanpa bisa jadi partner diskusi yang baik. Mungkin, memang salahku yang tidak terlalu pintar ini.

Aku menghidangkan secangkir teh hangat. Sebelum bertengkar kemarin, biasanya dia akan tersenyum saat menerima apa pun yang aku hidangkan. Akan tetapi, beberapa hari ini sikapnya menyebalkan. Aku kehilangan senyumnya. 

Aku menyesal sudah mengeluarkan unek-unek dan menyalahkan dirinya, jika tahu akhirnya akan seperti ini. Malah semakin diabaikan. 

"Makasih, ya ,Flo."

Aku menatap Lucas lekat, merindukan dia berkata demikian padaku. Aku bahagia.

"Kamu kenapa, Flo?"

Aku menggeleng pelan. Akhirnya hanya keheningan yang terjadi.

"Makasih, karena sudah tersenyum disaat menikmati teh yang aku buat." Aku berkata padanya, memecahkan keheningan antara kami yang sejenak terjadi.

Lucas tertegun, aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba mematung. Seakan terlarut dalam lamunan. Seandainya saja aku bisa menebak hatinya, apa dia sedang melamunkan kebaikan atau keburukan. Sungguh, aku tidak tahu.

"Makasih juga karena kamu selalu ada untukku, Flo. Kamu sangat baik dan sabar."

Aku mengangguk. Ingin membalasnya dengan kalimat. 'kalau Mas sendiri, kapan ada untukku'. Namun aku tahan, aku belajar tidak terlalu baper, yang penting keluarga kami terselamatkan. Lalu suatu hari nanti dikaruniai anak, dan anak tersebut akan membuka jalan supaya kami bisa lebih saling menyayangi daripada ini. Mengubur kenangannya tentang wanita yang bernama Amanda.

"Sini, mendekat!" Lucas memanggilku. Aku mendekat. "Kita bisa nikmati teh ini sama-sama."

Aku menyesap teh dari cangkir yang sama dengannya. Saat mataku tak sengaja melirik ke arahnya, dia sedang menatap ke arahku dengan senyumnya yang khas. "Flo, kamu tahu. Kamu makin hari makin cantik."

Aku tertunduk, berjam-jam merias diri ternyata tidak percuma. Dia menyukainya.

"Seribu kali aku minta maaf mungkin sudah tidak layak. Tapi aku benar-benar minta maaf."

"Ya sudah, karena Mas sudah minta maaf, aku maafkan. Seperti katamu, selanjutnya jangan dibahas lagi. Kita bisa mulai dari awal."

"Kamu mau minta apa dariku untuk menebus rasa bersalahku?"

Berpikir sejenak, aku meminta sesuatu yang tidak pernah aku dapat sebelumnya. Sebetulnya hanya hal sederhana yang dia lupakan. "Aku ingin pergi liburan sama Mas. Gak apa-apa dekat juga."

Lucas mengangguk, ada rasa sesal terlihat dari wajahnya. Entah penyesalan seperti apa. Namun, aku harap dia tersadar, bahwa selama ini dia tidak pernah membuat diriku merasakan indahnya bulan madu. Setelah acara pernikahan  kami dulu, dia langsung bekerja lagi esoknya, tanpa membahas liburan berdua.

"Oke, Minggu depan insyaAllah. Aku akan cari lokasi yang menarik di internet. Sekalian booking hotel kalau udah dapet yang cocok."

Aku mengangguk penuh minat, melingkarkan pelukan pada lengannya. Berharap, semua ini akan terjadi selamanya. Perasaanku semakin tak menentu saat dia mengecup puncak kepalaku. Dan aku yakin, kini hatinya mulai luluh, mencintaiku.

***

Aku menyiapkan pakaian yang akan kami bawa berlibur, besok. Minggu lalu, dia berjanji akan mengajak berlibur. Kami akan pergi ke Bali, itu katanya. Selain baju, aku juga menyiapkan perlengkapan yang lainnya. Jadi tinggal berangkat saja besok.

Aku juga mengatur perencanaan pengeluaran, supaya tidak kebablasan. Menaruh pada dompet yang sudah disediakan, memisahkan uang pecahan kecil supaya memudahkan untuk belanja sesuatu yang urgent. Aku juga harus memikirkan budget oleh-oleh untuk ayah dan ibu. Ternyata, repot juga, ya. Padahal, saat masih kecil, berlibur tinggal berlibur saja. Tanpa harus terbebani hal apa pun.

Semua persiapan sudah selesai. Aku tersenyum saat meraih smartphone yang sedang berdering. Sangat kebetulan sekali Lucas menghubungi.

"Hallo, Mas. Untuk persiapan besok sudah, Oke."

"Sayang, kamu tidak ucap salam? Kenapa langsung nyambar gitu aja."

"Oh iya, sorry, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Tadi katamu apa? Udah siap semua?"

"Iya."

"Maaf sayang, aku jadi gak enak bilang sama kamu."

"Emang kenapa? Katakan aja."

"Jadi gini, temanku di rawat. Kita terpaksa batalkan penerbangan. Insya Allah, Minggu depannya lagi baru bisa pergi."

Aku tertegun, setia kawan sih boleh. Tapi 'kan masa harus membatalkan penerbangan. Konyol namanya. Memangnya, temannya yang sakit tidak punya keluarga?

"Kenapa, Mas? Hari ini Mas bisa jenguk dia dan besok kita liburan, kan masih ada waktu."

"Iya, nih, maaf. Masalahnya Mas harus nginep. Keluarganya di luar kota semua. Maaf."

"Siapa yang sakit?"

"Kamu gak akan kenal, dia temanku."

"Teman dekatmu cuma Mas Dean, dan aku kenal sama Mas Dean."

"Bukan dia. Ini teman lamaku saat kuliah, dia baru pulang dari Singapura. Makannya di sini cuma sendiri. Aku kasihan padanya."

"Kalau gak terlalu dekat, apalagi baru ketemu setelah sekian lama. Saranku, gak usah lah nginep segala."

"Ya, mau bagaimana lagi, saat kuliah dulu kami dekat. Dan jika dia tidak pergi ke Singapura lalu menetap di sana, pastinya kami akan tetap menjadi teman dekat."

"Care banget ya kamu sama orang lain. Sama aku kapan?"

"Jangan coba membentak, aku tidak suka istri pembangkang.

Membangkang katanya? Padahal aku hanya mengungkapkan keluh kesah. Masa dianggap membangkang. Lucas tidak adil.

"Oh, ya sudah. Aku tutup teleponnya. Silakan lanjutkan merawat temannya. Dia bisa mati kalau kamu terlalu lama menelepon istri."

"Istri tidak sopan, malah menyindir."

"Assalamualaikum."

"Tunggu!"

Aku akhiri panggilan telepon. Lalu berbalik badan menghampiri tas yang tersimpan di kasur, di mana persiapan untuk berlibur ada di dalamnya. Tas itu seolah menertawakan aku, dengan kebodohan ini. Menyesal rasanya menaruh harapan pada Lucas. Padahal hanya minta berlibur, tapi seolah minta dibuatkan istana. Apa dia lupa sering pergi berlibur tanpaku?

Aku membuka kembali isi tas tersebut, menyusun kembali pakaian ke lemari. Sebenarnya, dalam hati ingin melempar pakaian-pakaian ini. Akan tetapi, sayang lipatannya sudah rapi. Aku bisa repot sendiri, karena susah payah dilipat lalu dilempar-lempar. 

Aku juga meraih smartphone, menghapus status WhatsApp tentang liburan, sebelum orang lain membacanya, dan hanya akan jadi cibiran nantinya. Malu banget lah, gagal berlibur.

Aku ingat perkataan Lucas saat kami bertengkar kemarin, kata Lucas dia menikahiku karena aku orangnya baik. Dulu awal pernikahan kami, dia pun sering mengatakan itu. Memangnya sebaik apa aku ini? Apa sebaik wanita Indosiang yang selalu diiringi lagu kumenangis membayangkan? Mereka sih enak, disakiti suami juga dapet duit dari rumah produksi sinetron. Lah, aku. Kumenangis sampe mati pun gak akan ada yang bayar.

Mungkin maksud Lucas baik dan bodoh itu sama. Oke, anggap saja dia punya kamus sendiri untuk mengartikan kata baik. 

***

Komen (5)
goodnovel comment avatar
mira restia
makasih banyak kak:)
goodnovel comment avatar
yenyen
chapt yang ini selalu bikin sedih..udah baca berulang ulang masih sedih juga ..feels kesepiannya dapet banget
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
hahahahahaha...hanya ada d indisianga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status