Semua yang baru aku mulai sudah hancur. Beberapa hari ini aku dan Lucas semakin kaku. Tidak ada pelukan lagi, tidur saling membelakangi. Akan tetapi, dia tidak ingkar janji ternyata. Di sosmed manapun tidak ada foto Amanda.
Aku menurunkan ego, mencoba menyusun kembali serpihan hati yang hancur karena ulahnya. Kita akan mulai dari awal, karena seumpama berpisah lalu mencari pengganti pun, tidak akan menjamin terhindar dari yang namanya sakit hati.
Mungkin, aku harus belajar memaafkan. Tidak mengungkit-ungkit kesalahan Lucas, dan mengetuk hatinya supaya berpihak padaku.
Aku akui aku tidak menyenangkan untuknya, tidak paham apa kesukaan dan obrolannya walaupun dia sempat bercerita dengan antusias masalah kesenangan menulis Novel, tapi responku hanya mematung tak paham. Aku hanya bisa memasak yang enak untuknya, tanpa bisa jadi partner diskusi yang baik. Mungkin, memang salahku yang tidak terlalu pintar ini.
Aku menghidangkan secangkir teh hangat. Sebelum bertengkar kemarin, biasanya dia akan tersenyum saat menerima apa pun yang aku hidangkan. Akan tetapi, beberapa hari ini sikapnya menyebalkan. Aku kehilangan senyumnya.
Aku menyesal sudah mengeluarkan unek-unek dan menyalahkan dirinya, jika tahu akhirnya akan seperti ini. Malah semakin diabaikan.
"Makasih, ya ,Flo."
Aku menatap Lucas lekat, merindukan dia berkata demikian padaku. Aku bahagia.
"Kamu kenapa, Flo?"
Aku menggeleng pelan. Akhirnya hanya keheningan yang terjadi.
"Makasih, karena sudah tersenyum disaat menikmati teh yang aku buat." Aku berkata padanya, memecahkan keheningan antara kami yang sejenak terjadi.
Lucas tertegun, aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba mematung. Seakan terlarut dalam lamunan. Seandainya saja aku bisa menebak hatinya, apa dia sedang melamunkan kebaikan atau keburukan. Sungguh, aku tidak tahu.
"Makasih juga karena kamu selalu ada untukku, Flo. Kamu sangat baik dan sabar."
Aku mengangguk. Ingin membalasnya dengan kalimat. 'kalau Mas sendiri, kapan ada untukku'. Namun aku tahan, aku belajar tidak terlalu baper, yang penting keluarga kami terselamatkan. Lalu suatu hari nanti dikaruniai anak, dan anak tersebut akan membuka jalan supaya kami bisa lebih saling menyayangi daripada ini. Mengubur kenangannya tentang wanita yang bernama Amanda.
"Sini, mendekat!" Lucas memanggilku. Aku mendekat. "Kita bisa nikmati teh ini sama-sama."
Aku menyesap teh dari cangkir yang sama dengannya. Saat mataku tak sengaja melirik ke arahnya, dia sedang menatap ke arahku dengan senyumnya yang khas. "Flo, kamu tahu. Kamu makin hari makin cantik."
Aku tertunduk, berjam-jam merias diri ternyata tidak percuma. Dia menyukainya.
"Seribu kali aku minta maaf mungkin sudah tidak layak. Tapi aku benar-benar minta maaf."
"Ya sudah, karena Mas sudah minta maaf, aku maafkan. Seperti katamu, selanjutnya jangan dibahas lagi. Kita bisa mulai dari awal."
"Kamu mau minta apa dariku untuk menebus rasa bersalahku?"
Berpikir sejenak, aku meminta sesuatu yang tidak pernah aku dapat sebelumnya. Sebetulnya hanya hal sederhana yang dia lupakan. "Aku ingin pergi liburan sama Mas. Gak apa-apa dekat juga."
Lucas mengangguk, ada rasa sesal terlihat dari wajahnya. Entah penyesalan seperti apa. Namun, aku harap dia tersadar, bahwa selama ini dia tidak pernah membuat diriku merasakan indahnya bulan madu. Setelah acara pernikahan kami dulu, dia langsung bekerja lagi esoknya, tanpa membahas liburan berdua.
"Oke, Minggu depan insyaAllah. Aku akan cari lokasi yang menarik di internet. Sekalian booking hotel kalau udah dapet yang cocok."
Aku mengangguk penuh minat, melingkarkan pelukan pada lengannya. Berharap, semua ini akan terjadi selamanya. Perasaanku semakin tak menentu saat dia mengecup puncak kepalaku. Dan aku yakin, kini hatinya mulai luluh, mencintaiku.
***Aku menyiapkan pakaian yang akan kami bawa berlibur, besok. Minggu lalu, dia berjanji akan mengajak berlibur. Kami akan pergi ke Bali, itu katanya. Selain baju, aku juga menyiapkan perlengkapan yang lainnya. Jadi tinggal berangkat saja besok.
Aku juga mengatur perencanaan pengeluaran, supaya tidak kebablasan. Menaruh pada dompet yang sudah disediakan, memisahkan uang pecahan kecil supaya memudahkan untuk belanja sesuatu yang urgent. Aku juga harus memikirkan budget oleh-oleh untuk ayah dan ibu. Ternyata, repot juga, ya. Padahal, saat masih kecil, berlibur tinggal berlibur saja. Tanpa harus terbebani hal apa pun.
Semua persiapan sudah selesai. Aku tersenyum saat meraih smartphone yang sedang berdering. Sangat kebetulan sekali Lucas menghubungi.
"Hallo, Mas. Untuk persiapan besok sudah, Oke."
"Sayang, kamu tidak ucap salam? Kenapa langsung nyambar gitu aja."
"Oh iya, sorry, Mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Tadi katamu apa? Udah siap semua?"
"Iya."
"Maaf sayang, aku jadi gak enak bilang sama kamu."
"Emang kenapa? Katakan aja."
"Jadi gini, temanku di rawat. Kita terpaksa batalkan penerbangan. Insya Allah, Minggu depannya lagi baru bisa pergi."
Aku tertegun, setia kawan sih boleh. Tapi 'kan masa harus membatalkan penerbangan. Konyol namanya. Memangnya, temannya yang sakit tidak punya keluarga?
"Kenapa, Mas? Hari ini Mas bisa jenguk dia dan besok kita liburan, kan masih ada waktu."
"Iya, nih, maaf. Masalahnya Mas harus nginep. Keluarganya di luar kota semua. Maaf."
"Siapa yang sakit?"
"Kamu gak akan kenal, dia temanku."
"Teman dekatmu cuma Mas Dean, dan aku kenal sama Mas Dean."
"Bukan dia. Ini teman lamaku saat kuliah, dia baru pulang dari Singapura. Makannya di sini cuma sendiri. Aku kasihan padanya."
"Kalau gak terlalu dekat, apalagi baru ketemu setelah sekian lama. Saranku, gak usah lah nginep segala."
"Ya, mau bagaimana lagi, saat kuliah dulu kami dekat. Dan jika dia tidak pergi ke Singapura lalu menetap di sana, pastinya kami akan tetap menjadi teman dekat."
"Care banget ya kamu sama orang lain. Sama aku kapan?"
"Jangan coba membentak, aku tidak suka istri pembangkang.
Membangkang katanya? Padahal aku hanya mengungkapkan keluh kesah. Masa dianggap membangkang. Lucas tidak adil.
"Oh, ya sudah. Aku tutup teleponnya. Silakan lanjutkan merawat temannya. Dia bisa mati kalau kamu terlalu lama menelepon istri."
"Istri tidak sopan, malah menyindir."
"Assalamualaikum."
"Tunggu!"
Aku akhiri panggilan telepon. Lalu berbalik badan menghampiri tas yang tersimpan di kasur, di mana persiapan untuk berlibur ada di dalamnya. Tas itu seolah menertawakan aku, dengan kebodohan ini. Menyesal rasanya menaruh harapan pada Lucas. Padahal hanya minta berlibur, tapi seolah minta dibuatkan istana. Apa dia lupa sering pergi berlibur tanpaku?
Aku membuka kembali isi tas tersebut, menyusun kembali pakaian ke lemari. Sebenarnya, dalam hati ingin melempar pakaian-pakaian ini. Akan tetapi, sayang lipatannya sudah rapi. Aku bisa repot sendiri, karena susah payah dilipat lalu dilempar-lempar.
Aku juga meraih smartphone, menghapus status WhatsApp tentang liburan, sebelum orang lain membacanya, dan hanya akan jadi cibiran nantinya. Malu banget lah, gagal berlibur.
Aku ingat perkataan Lucas saat kami bertengkar kemarin, kata Lucas dia menikahiku karena aku orangnya baik. Dulu awal pernikahan kami, dia pun sering mengatakan itu. Memangnya sebaik apa aku ini? Apa sebaik wanita Indosiang yang selalu diiringi lagu kumenangis membayangkan? Mereka sih enak, disakiti suami juga dapet duit dari rumah produksi sinetron. Lah, aku. Kumenangis sampe mati pun gak akan ada yang bayar.
Mungkin maksud Lucas baik dan bodoh itu sama. Oke, anggap saja dia punya kamus sendiri untuk mengartikan kata baik.
***Lucas membatalkan rencana liburan kami. Selain itu, dia membiarkan aku tidur sendiri tadi malam. Aku tidak kenal temannya, tidak bisa menilai temannya itu apa benar-benar penting, atau hanya alasan saja supaya Lucas bisa weekend terbebas dari istri.Kuakhiri prasangka ini. Khawatir jiwa ini semakin tidak sehat jika mengingat-ingat sakit hati yang kudapat berulang kali.Aku menyibukkan diri di dapur. Merubah rencana berlibur menjadi eksekusi resep yang tersimpan lama di catatan, tapi baru sempat dibuka sekarang. Kubuka catatan resep di smartphone, kemudian mulai menimbang bahan untuk membuat cheese garlic bread. Cherry, adiknya Lucas, dia sempat meminta dibuatkan cemilan itu, aku baru punya mood membuatnya sekarang.Pintu depan terbuka, aku tahu itu adalah Lucas. Namun, sejak dia membatalkan liburan kami, aku tidak ada niat menyapanya duluan.Aku melirik ke sisi kanan, sambil tangan masih menguleni adonan roti. Ada Lucas sedang mengambil air di dispe
Cherry menepuk bahuku. Aku terperanjat, dengan tiba-tiba menatap ke arahnya. Alis Cherry bertaut, pasti dia melihat perubahan ekspresiku, mungkin ada sedikit kekhawatiran padanya."Kak Flo kenapa?""Gak kenapa-napa."Cherry termenung, sepertinya dia tidak percaya ucapanku.Aku berusaha mengatur hatiku setenang mungkin. Sejak dulu, memang tidak pernah mau berbagi keluh kesah dengan siapapun. Apalagi masalah rumah tangga. Aku tahu tidak akan mendapat solusi apapun jika bercerita, kecuali rasa malu. Masalahnya mungkin ada pada diriku, bisa jadi orang lain memang benar-benar peduli dan kasihan. Justru itu yang tidak kusukai, aku tidak ingin dikasihani."Kalau ada apa-apa cerita, ya! Jangan dipendam sendiri."Aku tersenyum menghargai kebaikannya. "Iya, tapi sekarang memang gak kenapa-napa.""Habis Kak Flo wajahnya mendadak pucat, Apa ada masalah sama Kak Lucas?"Aku menggeleng. "Aku lagi khawatir aja sama Mas Lucas, dia
Aku membuka mata dini hari, masih ingin berbaring memanjakan diri di kasur ini. Badan pegal, jika boleh berucap berlebihan rasanya lututku remuk, sisa-sisa kegiatan suci semalam. Lucas is a strong man in the bed, durasi yang cukup lama buatku. Aku bangun, naluri seorang istri di pagi hari memanggil. Dihadapkan pada setumpuk tugas rumah yang mau tidak mau harus tetap berjalan dengan baik.Sebelum menikah, aku sempat mencoba bekerja di perusahaan. Jujur saja, lebih melelahkan saat berada di rumah, padahal belum punya anak. Akan tetapi, kadang ada kepuasan sendiri seperti di saat tanaman di pekarangan tumbuh indah karena campur tanganku, membuat rumah ini lebih hidup dan bernuansa menenangkan. Atau jika pekerjaan utama sudah selesai, aku bebas berkreasi dengan membuat makanan yang lagi viral di sosmed.Ibu rumah tangga adalah jantungnya keluarga, benar-benar tidak bisa disepelekan.Aku menyingkirkan selimut yang menutupi badan, meraih handuk lalu menuju ke kamar
Hal yang paling menyebalkan hari ini adalah saat aku marah pada Lucas, dan Lucas malah tertawa. Apanya yang lucu? Apa penderitaanku ini baginya adalah lelucon. Dia dengan entengnya bilang aku istri tidak sopan kalau salah. Dia lebih tidak sopan lagi, ketahuan ciuman dengan wanita lain malah tertawa.Ya, walaupun bukakan tawa menggelegar seperti saat nonton komedi, aku tetap tersinggung, loh."Foto sampah! Foto kaya gitu gak ada arti apa-apa buatku," kata Lucas, membuat aku ingin meninju wajah Lucas."Mas mau menyangkal itu adalah Mas? Apa mau bilang itu editan Photoshop? Atau Mas mau bilang bahwa selama ini diam-diam memiliki kembaran. Jelas gak mungkin 'kan?""Enggak lah. Aku ngaku, kok, yang di foto itu adalah aku.""Oh, jadi situ bangga nyium cewek lain, iya? Bangga banget berbuat mesum sama orang lain, hah? Oh ,tunggu! Cewek di foto itu mirip banget sama foto yang di laci. Jadi dia yang namanya Amanda?""Iya, benar itu Amanda."Aku
Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup."Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas.""Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin.""Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan?"Kenapa lagi, Flo?
Dadaku sesak, hati bagai terhimpit bebatuan besar saat mendengar suara wanita halus dan memanja pada Lucas pada sambungan telepon ini. Mungkin saja Lucas sudah berkali-kali memanjakan wanita yang bernama Amanda ini, sehingga Amanda berani bernada manis saat berbicara, membuat aku ingin menarik sampai putus bibir indahnya. Lebih parahnya lagi, dia tahu namaku Flora. Berarti tahu, Lucas sudah mempunyai istri. Tapi kenapa masih nekad menelpon pada malam hari seperti ini."Hallo, Mbak Flora. Mas Lucas memangnya lagi ke mana?" tanya Amanda kembali, karena aku tidak menjawabnya tadi."Aku gak perlu bilang sama kamu Lucas ada di mana. Kamu harusnya tau diri untuk tidak menanyakan suami orang malam-malam kaya gini. Gak punya etika kamu.""Aku minta maaf, aku gak berniat ganggu kalian. Aku hanya ingin tanya-tanya soal Novel padanya.""Kalau bisa tanya siang hari, kenapa harus malam harim? Jangan cari-cari alasan kamu.""Biasanya aku telpon malam juga
Tenaga habis terkuras semalam karena marah-marah lalu bersenggama dengan Lucas, membuat aku jadi rakus saat pagi hari. Aku menyantap nasi goreng buatan suamiku dengan lahap dan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata, pria bodoh tukang selingkuh itu bisa juga masak enak.Aku memegang gelas yang berisi susu murni hangat. Merasa takjub pria macam Lucas mau membuatkan ini untukku. Kerasukan apa dia? Takut kutinggal gara-gara ketahuan sering telepon wanita lain. Mereka sepertinya saling suka, tidak ada alasan yang masuk akal selain cinta mereka tidak direstui orang tua. Aku ingat, Lucas pernah bilang jangan bilang-bilang orang tua masalah penemuan foto wanita lain di laci.Tapi, itu cuma dugaan dan rasa cemburu butaku loh, ya! Aku harus memastikannya lagi.Aku mengacak rambut dengan frustasi. Tidak menyangka, bahwa aku akan mengalami apa yang pernah teman-temanku alami. Dea temanku, menjanda diusia muda karena suaminya pergi dengan wanita lain. Aku
Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh."Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega."Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang.""Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya.""Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak.""Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas."Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan.""Gak apa-apa, just