Share

6. Lucas Ingin Anak

Cherry menepuk bahuku. Aku terperanjat, dengan tiba-tiba menatap ke arahnya. Alis Cherry bertaut, pasti dia melihat perubahan ekspresiku, mungkin ada sedikit kekhawatiran padanya. 

"Kak Flo kenapa?"

"Gak kenapa-napa."

Cherry termenung, sepertinya dia tidak percaya ucapanku. 

Aku berusaha mengatur hatiku setenang mungkin. Sejak dulu, memang tidak pernah mau berbagi keluh kesah dengan siapapun. Apalagi masalah rumah tangga. Aku tahu tidak akan mendapat solusi apapun jika bercerita, kecuali rasa malu. Masalahnya mungkin ada pada diriku, bisa jadi orang lain memang benar-benar peduli dan kasihan. Justru itu yang tidak kusukai, aku tidak ingin dikasihani.

"Kalau ada apa-apa cerita, ya! Jangan dipendam sendiri."

Aku tersenyum menghargai kebaikannya. "Iya, tapi sekarang memang gak kenapa-napa."

"Habis Kak Flo wajahnya mendadak pucat, Apa ada masalah sama Kak Lucas?"

Aku menggeleng. "Aku lagi khawatir aja sama Mas Lucas, dia 'kan lagi sakit. Kayanya aku harus pulang sekarang, takut dia butuh bantuanku di rumah."

"Huh, nanti, lah. Kita belum nonton Drakor bareng, loh. Maraton dulu, yuk! Kak Lucas mah gampang, dia bisa jaga diri sendiri."

Aku terkekeh. "Ya, kapan-kapan aja, deh. Lagian udah sore juga."

"Ya, sudah. Nanti giliran aku, deh, ke sana. Sekalian lihat kondisi Kak Lucas."

"Kamu kapan mau ke rumah kami?"

"Belum tahu, tapi gak janji kalau gak lagi mager."

"Oke ... oke, nanti WA aja kalau misal mau ke rumah."

"Sip."

Aku turun dari kasur milik Cherry, kemudian meraih tas yang kusimpan di nakas samping kasur tersebut. "Mau ketemu mamah dulu, mau pamit."

"Iya, mamah ada di kamarnya."

Aku berjalan menuju kamar mamah mertua untuk pamit pulang. "Mah, Flora pulang sekarang, ya!"

"Kok bentar, Flo?"

"Iya, nih, Mah. Gak enak sama Mas Lucas dia lagi sakit malah aku tinggal!"

"Ya, sudah. Kamu bisa ke dapur dulu, sebentar? Di atas meja ada ulu ketan, kamu bawain ya, buat Lucas. Dia suka  makan uli."

"Oh, iya. Flo bawa dulu kalau gitu."

"Hati-hati di jalan, ya, Flo."

Aku menutup pintu kamar mertuaku, kemudian pergi ke dapur untuk membawa uli. Sudah terbungkus rapi, pasti mamah sudah menyiapkannya khusus untuk Lucas. 

Aku pun menuju halaman di mana mobilku terparkir, menaiki mobil kemudian melaju menuju pulang. Tangan ini gemetar, saat teringat insta story' milik Dean yang membuat penasaran. Aku pulang dari rumah mamah, dengan hati hampa menuju rumah.

***

Lucas berbaring di sofa, dan pahaku sebagai bantalnya. Sepulang dari rumah mamah, dia memanggil dan memintaku untuk duduk. Aku sedikit kaget akan tingkahnya yang mendadak manja saat sakit, biasanya tidak seperti ini. Mungkin, jika dulu dia melakukan ini, aku akan senang setengah mati. Tapi sudah terlanjur mengetahui dia menjaga seorang wanita di Rumah Sakit, terlanjur menemukan foto di laci kerja. Sehingga membuat diri ini merasa ditipu.

Aku membelai rambut yang hitam dan lurus milik suamiku. Belum tentu besok atau lusa aku masih mau melakukannya pada pria yang menyimpan rahasia pada teman hidupnya sendiri. Aku juga tidak yakin dia akan menahan, jika sewaktu-waktu aku memilih mengundurkan diri untuk membahagiakan hidupnya, lalu pergi sesuka hati.

Aku malas berdebat, dia akan galak saat ditegur. Aku hanya ingin merasakan sejenak saja dia mengakuiku sebagai istri. Mungkin kisah kami hanya akan berakhir sebagai sejarah, akan tetapi lebih bagus lagi jika tidak ada pertikaian sebelum keputusan resmi kubuat.

"Kenapa, Flo? Kamu kaya gak nyaman gitu?"

Aku menatap wajah Lucas yang berada tepat di bawah wajahku. "Tidak kenapa-napa. Gimana kondisi Mas udah baikan?"

"Ya, aku udah baikan."

"Aku tadi bawa uli bikinan mamah masih mentah. Mas kalau mau bilang, ya. Nanti aku goreng dulu ulinya dadakan."

"Aku masih kenyang. Tadi makan cemilan yang kamu bikin habis tiga."

"Mas suka?"

"Iya, suka, sih. Tapi aku lebih suka yang manis, kaya kalpetart buatanmu. Besok aku kerja buatkan, ya!"

"Oke. Besok siang akan kuantarkan ke tempat kerja kalau Mas suka."

"Makasih."

"Ya."

Lucas masih saja menatapku usai mengakhiri percakapan. Satu hal lagi yang tidak biasa terjadi dalam hidupku secara beruntun. Tadi duduk di paha, sekarang menatap lekat. Dia sebelumnya cuek, dan juga tidak romantis. Ada sesuatu hal yang membuat dia tiba-tiba melakukannya, entah apa. Aku memalingkan wajah, lama tatap-tatapan membuatku seolah berada di dalam adegan klise sebuah sinetron.

"Flo, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu?"

"Apa?"

"Kenapa kamu tidak tersenyum hari ini?"

"Oh, ya? Aku gak ngerasa gitu, kok."

"Kamu gak bahagia hidup sama aku?"

"Jangan dibahas hal kaya gitu."

"Kenapa jangan dibahas?"

"Aku akan membaik dengan sendirinya, nanti."

"Apa hanya karena gagal berlibur kamu terus marah sampai saat ini?"

"Aku bilang jangan dibahas. Aku malas berdebat."

"Kamu memang gak ngajak debat. Tapi wajah kusutmu ngajak ribu, aku tidak suka seorang istri yang kurang senyum pada suaminya."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi. Aku takut kelepasan menggelindingkan kepala suamiku ke sudut ruangan. Padahal dia sendiri masih betah tiduran di pahaku tapi masih saja mendumel. 

"Kenapa kamu tarik napas dalam-dalam? Nahan marah? Berani?" tanya Lucas, wajahnya galak.

"Mas Lucas, kayanya aku tarik napas aja bikin kamu marah, ya? Apalagi kalau sampai curhat, ngeluh kaya istri  orang lain kebanyakan. Bisa-bisa kamu tuntut aku ke pengadilan gara-gara curhat."

Lucas terdiam. Aku tegang, kupikir dia akan memarahiku gara-gara aku bicara panjang lebar padanya. Dia sudah jinak rupanya.

Aku masih kesal, aku mengusirnya. "Minggir!" Jangan tidur di pahaku, aku mulai kesemutan, minggir!"

Lucas tidak menanggapiku, malah kini terpejam, seolah akan tidur pulas.

"Aku bukan kasur, pergi ke kamar kalau mau tidur. Awas saja kalau mendengkur di pangkuanku."

Lucas masih tidak mendengarkanku, malah membalikan badan ke posisi miring, lalu mencium perutku. Aku merasa geli, karena selain mencium, mulutnya bergerak seolah membisikan sesuatu.

"Mas lagi ngapain?"

"Lagi berdoa, semoga di dalam sini segera ada janinnya."

Hatiku hangat mendengar kata-katanya. Apa benar dia adalah orang yang menikahiku tanpa cinta. Aku dibuat galau oleh ulahnya, dan tanpa sadar tangan ini meremas rambutnya karena terlalu senang atas pernyataan itu.

"Heh, bukannya ikut berdoa malah jambak rambut suami. Istri tidak sopan, ya!"

Aku tertawa, untuk pertama kalinya dalam pernikahan ini, aku menertawakan Lucas saat marah. Asli, biasanya aku takut atau balik sebal. Ternyata, dalam sikapnya yang semena-mena, dia itu bisa manis juga.

Jika seperti ini, apa yang harus aku perbuat? Apa akan aku lanjutkan rencanaku pergi dari hidupnya, membiarkan dia bahagia dengan yang lain. Atau aku harus pertahankan dia. Membantunya move on dari masa lalu?

Entah, kami harus diskusi yang panjang. Harus hati-hati jika bicara dengan Lucas. Pria yang mempunyai harga diri tinggi, tidak mau dibantah. Pria yang menanggap keluh kesah istri sebagai pemberontakan.

***

Aku terpejam di kamar saat pukul 23.00, hatiku membaik. Ada kesempatan untukku memperbaiki pernikahan yang sudah satu tahun dibina tapi hampa. Hampir saja mimpi datang mendekap, namun mata urung terpejam saat tangan kekar melingkar di perutku. Tidak sulit ternyata, menerima sentuhan dari Lucas dalam keadaan hati yang senang. Aku tidak menolak ciumannya seperti kemarin-kemarin. Rela berbagi kasih sepanjang malam, beribadah malam bersama Lucas. 

Dalam pelukan Lucas yang hangat, ada doa-doa terucap dariku yang mendamba bahagia. Semoga Allah menitipkan amanahnya malam ini pada kami.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status