Hal yang paling menyebalkan hari ini adalah saat aku marah pada Lucas, dan Lucas malah tertawa. Apanya yang lucu? Apa penderitaanku ini baginya adalah lelucon. Dia dengan entengnya bilang aku istri tidak sopan kalau salah. Dia lebih tidak sopan lagi, ketahuan ciuman dengan wanita lain malah tertawa.
Ya, walaupun bukakan tawa menggelegar seperti saat nonton komedi, aku tetap tersinggung, loh.
"Foto sampah! Foto kaya gitu gak ada arti apa-apa buatku," kata Lucas, membuat aku ingin meninju wajah Lucas.
"Mas mau menyangkal itu adalah Mas? Apa mau bilang itu editan Photoshop? Atau Mas mau bilang bahwa selama ini diam-diam memiliki kembaran. Jelas gak mungkin 'kan?"
"Enggak lah. Aku ngaku, kok, yang di foto itu adalah aku."
"Oh, jadi situ bangga nyium cewek lain, iya? Bangga banget berbuat mesum sama orang lain, hah? Oh ,tunggu! Cewek di foto itu mirip banget sama foto yang di laci. Jadi dia yang namanya Amanda?"
"Iya, benar itu Amanda."
Aku spontan mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Lucas. Lucas menangkapnya dengan mudah. Aku hanya meluapkan kekecewaan. Namun tidak berani melukai suami, takut di penjara.
"Dengarkan aku dulu, Flo. Itu foto lama. Kamu bisa lihat sendiri 'kan di foto itu aku agak kurusan. Hasil fotonya aja jelek, buram, karena memang foto jadul."
Tanganku terhenti saat meraih boneka di atas kasur yang hampir saja aku lemparkan ke arah Lucas. "Bohong! Potongan rambut mas sama."
"Coba kamu teliti lagi. Potongan rambutku dari dulu kaya gini 'kan? Saat zaman Baim Wong gondrong aku gak ikut-ikutan gondrong 'kan?"
Aku sedang marah, bisa-bisanya aku hampir tersenyum gara-gara Lucas mengatakan hal itu. Apa yang ada di dalam otaknya hingga dia ingat aktor Baim Wong yangdulunya sempat gondrong. Dasar Lucas.
"Ariel Noah juga masih gondrong waktu itu."
Ah, aku menggigit bibir bawah. Masa aku harus melepas tawa sesaat setelah amarahku memuncak. Aku bisa di cap labil oleh suamiku sendiri yang dengan mudah terpengaruh suasana eksternal.
Aku meraih smartphone di atas nakas yang tadi sempat kusimpan. Membuka galeri foto kembali demi melihat foto yang tadi kutunjukan pada Lucas.
"Beda 'kan?" tanya Lucas. Namun aku tidak menjawab.
Lucas mendekat, dia memelukku dari samping mencium puncak kepalaku. Dan saat aku mendongak dia sedang menatap ke arahku. Aku kira tadi mau lihat foto bareng di hape yang aku pegang.
"Sudah gak marah 'kan?"
Aku masih tidak menjawab, hanya bisa membalas pelukan dan memendamkan wajah pada dada bidang Lucas. Aku numpang membasahi baju Lucas dengan air mataku.
"Orang iseng mana yang berani-beraninya kirim foto lama aku sama kamu. Apa dia belum pernah merasakan dihajar sampai pingsan oleh seorang Lucas."
"Sudah, lah. Jangan diperpanjang. Kamu sudah jujur padaku itu sudah cukup. Masa bodoh dengan orang yang bikin resah. Mungkin orang itu iri sama kita."
Walaupun foto tersebut memang tidak pantas secara moral. Aku masih bisa memaafkannya karena itu adalah bagian dari masa lalu Lucas. Lucas juga tidak pernah mempermasalahkan masalaluku yang sedikit buruk, walaupun hanya asal usulku yang buruk. Bukan sikapku di masa lalu.
Aku adalah anak dari hasil perselingkuhan orang tua. Di saat semua orang merundung, tapi Lucas tidak pernah berbuat hal serupa. Aku pernah gagal menikah dengan pria lain di masa lalu hanya karena masalah keluarga. Menyebutku anak tidak jelas asal usulnya yang memalukan. Namun, Lucas tidak pernah mempermasalahkannya. Meskipun sejak awal menikah sikap dia dingin, cuek, jauh dari kata romantis. Tapi dia adalah pria yang menghormati jati diriku.
"Flo, aku pegal. Kita terlalu lama pelukan kaya gini. Selain itu aku juga laper. Kita cari makan di luar, yuk!
Aku melepas pelukanku dengan wajah memerah. "Oh iya, aku tidak masak hari ini karena tadi lagi marah. Kebetulan sekali Mas ngajakin makan di luar."
"Sebenernya, bukan kebetulan juga, Flo. Tadi aku sudah pergi ke dapur, dan di meja makan hanya ada kerupuk alot bekas kemarin. Kamu jahat sekali, Flo. Padahal aku lapar."
Aku tertawa melihat wajah Lucas yang memelas. "Maafkan aku Mas. Tapi ada hikmahnya juga. Kamu jadi ajak aku makan di luar, sebelumnya mana pernah."
Lucas tertegun, membuat aku jadi tidak enak hati. "Maaf bukan maksudku menyindir. Beneran, deh!"
"Aku yang harusnya minta maaf, Flo. Kamu gak pernah aku ajak kemana-mana."
"Gak apa-apa. Aku tahu kamu selalu sibuk, kok." Aku mencari-cari alasan supaya menetralkan suasana. Padahal, aku juga tahu alasan dia tidak mengajak karena suka lupa padaku jika lagi senang-senang di luar sama teman-temannya.
"Ya, sudah. Dandan, gih!"
"Tunggu bentar."
"Ya, cepetan tapi. Perutku tidak bisa diajak kompromi, tahu. Tinggal ganti baju aja 'kan? Make up mu masih baru keliatannya."
"Iya, tinggal ganti baju aja, kok."
Aku memilih pakaian yang sepesial. Padahal, hanya makan malam yang darurat karena tadi aku tidak mau masak gara-gara marah. Tidak apa-apa, anggap saja Lucas mengajakku jauh-jauh hari, spesial untukku. Kadang-kadang, aku jadi suka halu pada suamiku sendiri. Sekadar menghibur diri.
"Aku sudah siap, Mas!" Aku menghampiri Lucas yang sedang menungguku di teras depan rumah.
"Oke, yuk berangkat sekarang!"
Aku duduk di samping Lucas, lalu memasang seat belt.
"Kamu mau makan di mana? Tapi jangan bilang terserah. Tahu sendiri aku cowok yang tidak peka dan tidak mau ambil pusing."
Aku tersenyum. "Di rumah makan Terserah aja."
"Ayo, lah, Flo. Serius! Kalau kamu gak serius, kamu yang akan aku makan."
"Aku serius. Ada nama rumah makan Terserah."
"Aku sering ke luar tapi gak tahu ada nama Rumah Makan yang namanya tidak niat kaya gitu."
"Karena tempatnya bukan rute ke tempat kerja Mas atau rumah Mamah. Saat aku ke rumah Ririn, gak sengaja lewat Rumah Makan Terserah."
"Nama tempat makannya kekinian gitu, pasti tempatnya rame dan sesak aku gak bakal betah. Gimana kalau ke Restauran favoritku saja?"
"Ya, terserah!"
Restoran favorit katanya, bahkan aku gak tahu restoran favoritnya seperti apa. Jika punya restoran favorit kenapa tidak pernah ngajak aku? Aku menarik nafas dalam-dalam, dan lagi-lagi berusaha agar tidak baper hanya masalah seperti ini. Yang penting keluarga kita langgeng.
Lucas mulai melaju membawa mobilnya ke tempat tujuan. Berdebar, sungguh aneh rasanya berdebar hanya karena diajak makan suami sendiri. Mungkin istri-istri yang lain di luar sana, akan pergi makan paling lama seminggu sekali di luar.
Aku berniat meraih tisu di dashboard. Akan tetapi, yang aku dapatkan adalah benda aneh. Kaca mata dengan model feminim. Mana mungkin Lucas memakai kaca mata seperti ini.Jadi Lucas mengajak siapa? Kaca matanya saja bermerk. Ini kaca mata seorang wanita sosialita. Aku yakin, bukan Cherry atau mamah mertuaku pemiliknya, karena modelnya bukan selera mereka.
Aku mulai berpikiran yang tidak-tidak lagi. Aku tahan semampuku. Lucas sedang lapar, aku tidak ingin membuat selera makannya hilang gara-gara aku marah padanya hanya karena ada kacamata seorang wanita di mobil.
Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup."Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas.""Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin.""Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan?"Kenapa lagi, Flo?
Dadaku sesak, hati bagai terhimpit bebatuan besar saat mendengar suara wanita halus dan memanja pada Lucas pada sambungan telepon ini. Mungkin saja Lucas sudah berkali-kali memanjakan wanita yang bernama Amanda ini, sehingga Amanda berani bernada manis saat berbicara, membuat aku ingin menarik sampai putus bibir indahnya. Lebih parahnya lagi, dia tahu namaku Flora. Berarti tahu, Lucas sudah mempunyai istri. Tapi kenapa masih nekad menelpon pada malam hari seperti ini."Hallo, Mbak Flora. Mas Lucas memangnya lagi ke mana?" tanya Amanda kembali, karena aku tidak menjawabnya tadi."Aku gak perlu bilang sama kamu Lucas ada di mana. Kamu harusnya tau diri untuk tidak menanyakan suami orang malam-malam kaya gini. Gak punya etika kamu.""Aku minta maaf, aku gak berniat ganggu kalian. Aku hanya ingin tanya-tanya soal Novel padanya.""Kalau bisa tanya siang hari, kenapa harus malam harim? Jangan cari-cari alasan kamu.""Biasanya aku telpon malam juga
Tenaga habis terkuras semalam karena marah-marah lalu bersenggama dengan Lucas, membuat aku jadi rakus saat pagi hari. Aku menyantap nasi goreng buatan suamiku dengan lahap dan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata, pria bodoh tukang selingkuh itu bisa juga masak enak.Aku memegang gelas yang berisi susu murni hangat. Merasa takjub pria macam Lucas mau membuatkan ini untukku. Kerasukan apa dia? Takut kutinggal gara-gara ketahuan sering telepon wanita lain. Mereka sepertinya saling suka, tidak ada alasan yang masuk akal selain cinta mereka tidak direstui orang tua. Aku ingat, Lucas pernah bilang jangan bilang-bilang orang tua masalah penemuan foto wanita lain di laci.Tapi, itu cuma dugaan dan rasa cemburu butaku loh, ya! Aku harus memastikannya lagi.Aku mengacak rambut dengan frustasi. Tidak menyangka, bahwa aku akan mengalami apa yang pernah teman-temanku alami. Dea temanku, menjanda diusia muda karena suaminya pergi dengan wanita lain. Aku
Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh."Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega."Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang.""Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya.""Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak.""Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas."Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan.""Gak apa-apa, just
Satu Minggu berlalu semenjak aku pergi ke luar bersama Alan. Seminggu kemarin Lucas selalu mewanti-wanti supaya aku harus ijin ke manapun. Bukan hanya itu, walaupun tidak ke luar aku wajib mengirim share location setiap jam 12 siang, sebagai bukti bahwa aku stay at home. Sudah kaya tahanan dalam kota aja, padahal hanya tidak ijin satu kali, itupun gak sengaja. Dasar Lucas, nyebelin.Ada paket masuk, rupanya buku yang waktu itu Lucas buat sudah selesai proses cetak. Aku membuka paketnya, menyimpan puluhan tumpukan buku yang masih tersegel ke meja kerja suamiku. Lalu memfoto tumpukan buku tersebut kemudian mengirimnya pada Lucas sebagai laporan. "Paket datang, nih!""Makasih sudah dirapikan, Flo.""Sama-sama, Mas. Kamu beneran pilih cover sesuai pilihanku, ya, Mas?" tanyaku lewat pesan WhatsApp, karena merasa senang sampul warna Salem yang kupilih waktu itu menjadi sampul buku Lucas."Pilihan kamu yang terbaik, sayang."Kata Lucas, sebagian lagi dibe
Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant