Share

9. Amanda Menelepon

Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup.

"Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"

Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas."

"Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin."

"Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.

Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."

Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan? 

"Kenapa lagi, Flo? Apa kamu gak suka tempatnya?"

"Suka, kok." 

"Tapi wajahmu resah."

"Ah, masa, sih? Perasaan biasa aja, deh."

Sebenarnya aku ingin menarik Lucas, mengajaknya pulang. Orang-orang di sini terlihat fashionable dan juga sosialita, sementara aku tidak. Namun, apa kabar dengan perut suamiku. Sungguh, cacing di perut Lucas memiliki tampang sangar seperti Lucas. Buktinya, Lucas sering marah-marah, jika perutnya telat di isi.

Lucas menggenggam tanganku. Aku kaget atas reaksinya. "Kenapa menuntunku? Aku bukan manula masih bisa berjalan sendiri, kok."

Lucas malah mencium tanganku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Ayo, lah. Ini tempat umum. Aku malu.

Kami memilih meja, dekat dengan jendela. Kami sama-sama suka tempat duduk dekat jendela. Di rumah pun, meja makan posisinya tidak jauh beda.

"Kamu mau makan apa? Tapi jangan bilang terserah. Karena tidak ada menu terserah di sini," kata Lucas, sesaat setelah dia duduk dengan rapi.

"Aku lagi pengen makan Steak daging."

Lucas memesan untuk aku dan dirinya. Kami pun menunggu makanan tersaji. Sambil menunggu, Lucas malah sibuk dengan smartphone, mungkin dia lupa aku berada di hadapannya. Namun, aku malah tidak bisa melepas pandangan darinya. Garis wajahnya lebih terlihat tegas, nampak serius saat memegang benda pipih itu, dari gerakan tangannya, dia pasti sedang mengetik teks yang panjang.

Ulahku menatapnya membuat dia melirik. "Maaf, Flo. Aku hanya mengecek sedikit naskahku yang harus selesai bulan ini. Masih ada bagian yang rancu dan cacat logika."

"Oh iya, gak apa-apa." Aku mengiyakan walau sedikit tidak paham maksudnya.

Lucas menaruh hapenya tanpa diminta. Aku tersenyum, dia sedikit lebih peka dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, kalau dia benar-benar sibuk, tidak masalah juga jika dia ingin mengedit naskahnya. 

"Naskah yang mana, Mas? Yang baru? Aku belum baca bukumu yang 'Danger Line' tapi sudah ada cerita baru lagi, ya?"

Alis Lucas bertaut. "Kamu juga baca? Kupikir bukuku yang kukasih waktu itu, sudah dipakai ganjel lemari sama kamu."

"Sebenernya, baru aku buka juga, sih. Baru 10 halaman. Aku agak pusing sama ceritanya, gak paham. Tapi kucoba lanjut baca kemarin, ternyata seru juga."

"Really? Pusing kenapa? Aku gunakan kalimat efektif, kok."

"Banyak istilah yang aku gak paham. Ya, maklum saja aku emang jarang baca. Sekalinya baca, paling buku romantis biasa."

Lucas tersenyum. "Oh, yang itu aku tahu. Aku sempat kepikiran nulis satu gendre romantis biar kamu baca juga. Tapi kayanya aku gak sanggup."

"Jangan, lah. Jangan maksain diri. Sesuai yang kamu minati saja, kalau suka action dan thriller, kenapa harus cape-cape nulis gendre lain."

Aku memberi saran seperti itu karena tidak sanggup membayang seorang yang cuek dan tidak peka seperti Lucas menulis romansa. Bukannya jadi romantis bisa-bisa membuat pembaca jadi geram dan marah.

"Haha ... Iya, juga. Btw buku Danger Line, ada kisah romantisnya juga dikit. Bahkan agak unik menurutku, kisah cinta antara anak korban pembunuhan dan narapidana."

"Oh, ya? Di halaman berapa?"

Lucas menaikan alis. "Baca saja, nanti gak seru kalau banyak spoiler."

Aku mengangguk. Tak lama, makanan kami datang. Lucas menggeser pesananku mendekat padaku. "Makasih, Mas!"

Lucas sangat lahap. Ya, dia sudah lapar sejak tadi. Aku membiarkan dia menikmati makanannya sampai habis. 

***

"Tidur, yuk! Sudah malam, Mas," kataku saat melirik jam dinding di ruang kerja Lucas.

"Tunggu bentar lagi! Kamu juga jangan ke mana-mana dulu, stay with me, please." Lucas menjawab sambil matanya masih saja lekat menatap laptop.

"Tumben minta ditemenin?"

Lucas hanya tersenyum, dan itu tidak menjawab pertanyaan dariku.

"Daripada aku melongo gak jelas. Aku mau sambil mijitin kamu aja, ya!" Aku menghampiri Lucas. Berdiri di belakang kursinya.

"Silakan! Sayang!"

Aku memijat bahu suamiku, sambil sesekali melihat apa yang dia tulis. Gaya bahasanya agak sedikit berbeda dari buku Danger Line. Aku mudah paham dengan apa yang kubaca. Bahkan, majasnya terlalu indah. "Kamu nulis Romance? Kok kalimat-kalimatnya bikin baper."

"Bukan. Hanya menulis kisah hidup. Mungkin kelihatan baper karena tokoh di ceritaku, hampir putus asa karena lumpuh."

"Oh. Masih lama ending-nya?"

"Sudah selesai, aku hanya merevisi beberapa bagian yang kurang pas."

Aku berhenti bertanya. Akan tetapi Lucas tiba-tiba berkata padaku.

"Nanti kamu bantu aku pilihan gambar cover yang bagus, ya, Flo."

"Iya, boleh. Sekarang aja."

Lucas mengklik logo minimize dokumen word, lalu membuka file gambar. Menampilkan desain cover entah buatan siapa, palingan Lucas memesan pada cover shop. Aku hanya diminta memilih.

"Bagus yang mana, Flo?"

Aku menunjuk pada warna Salem karena warnanya yang kalem. Juga sesuai dengan gambar vector seorang wanita berambut panjang yang berada di kursi roda, dengan latar langit senja di pantai.

"Tokohnya cewek?" tanyaku

"Iya."

"Diluar kebiasaan kamu banget, ya? walaupun baru baca kemarin-kemarin. Aku tahu, loh, ceritamu selalu pakai sudut pandang cowok."

"Cuman mau menantang diri sendiri aja, keluar dari zona nyaman."

"Oh."

"By the way makasih buat pilihannya tadi. Fix, Aku pilih sesuai pilihanmu."

"Ya udah, tidur yuk! Besok Mas harus kerja, Mas suka keterusan kalau udah di depan laptop. Kita harus tetap jaga kondisi badan kita, Mas."

Lucas menurut menutup semua lembar kerjanya. "Aku belum shalat isa, nih, kamu duluan ke kamar. Nanti Aku nyusul."

"Oke."

Aku ke kamar duluan, karena sudah shalat duluan dari tadi. Lucas kalau sudah bikin novel suka lupa diri. Shalat pun sudah di akhir waktu, dia malah baru ambil wudhu. 

Aku mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur yang bersinar redup. Kemudian naik ke atas kasur, berbaring senyaman mungkin. 

Ada cahaya ponsel di tengah kasur, seseorang sedang melakukan panggilan. Pasti ini ulah Lucas yang sembrono menaruh ponsel di atas tempat tidur, untung saja aku tidak menindih benda pipih miliknya. 

Aku tidak berani mengangkat panggilan telepon di ponsel Lucas. Akan tetapi, badan ini menjadi kaku, malam seakan mencekik hingga remuk hatiku. Saat melihat foto profil seorang wanita yang melakukan panggilan ini. Aku pernah melihat wajahnya, sama persis dengan wajah wanita pada foto yang kutemukan di laci meja kerja Lucas. Ini Amanda, aku yakin.

Selama ini aku tidak pernah kepo Lucas menerima panggilan dari siapa saja, kenalan Lucas banyak sekali, baik pria atau wanita, tapi kali ini aku harus berbuat sesuatu. Aku mengangkatnya, sengaja tidak memberi salam terlebih dulu, ingin tahu dia mau bicara apa.

"Hallo, Mas Lucas. Kamu belum tidur? Aku lihat masih online jadi memberanikan diri untuk telepon."

"Kamu Amanda?" tanyaku tanpa basa-basi.

Hening, sepertinya dia kaget aku yang mengangkat. Lucas tidak pernah menaruh Smartphone sembarangan, sebelumnya. Jika saja smartphone Lucas tidak ketinggalan di kamar, mungkin aku tidak pernah tahu si Amanda ini suka menelepon.

"Kamu kenapa tidak jawab?" Lucas memberi nama kontak ini dengan nama Nda. Aku harus buat Nda mengaku bahwa dirinya adalah Amanda.

"Ya, aku Amanda. Ini sama Mbak Flora, ya? Mas Lucasn lagi ke mana, ya?"

Wanita tidak tahu malu, sudah tahu Aku yang angkat telepon. Dia dengan polosnya menanyakan suamiku berada di mana. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status