Lucas memarkirkan mobil di area parkir yang lumayan luas. Sudah lama tidak ke tempat makan sebagus ini, membuat aku menjadi minder ketemu banyak orang-orang asing. Aku melirik Lucas, mendadak merasa tidak sepadan dengan dia yang bersinar terang di luar, akan tetapi aku malah meredup.
"Ayo turun, Flo! Kenapa malah lihat ke arahku kaya gitu?"
Lidahku kaku untuk menjawab. "Banyak manusia di sini, Mas."
"Kita juga manusia, Flo. Bukan Alien atau jin."
"Ya, aku bukan manusia aku bidadari." Aku pura-pura becanda karena terlanjur malu dengan sikapku.
Lucas tersenyum. "Ya, kamu secantik bidadari, Flo."
Kami berdua masuk ke dalam restauran. Berjalan berdua dengannya membuat peluhku bercucuran karena tegang. Ada banyak yang aku pikirkan. Lucas sering ke sini tanpa mengajakku, apa aku ini membuat malu dirinya sehingga satu tahun menikah baru diajak ke tempat favoritnya. Aku butuh cermin, penampilanku gak buruk juga 'kan?
"Kenapa lagi, Flo? Apa kamu gak suka tempatnya?"
"Suka, kok."
"Tapi wajahmu resah."
"Ah, masa, sih? Perasaan biasa aja, deh."
Sebenarnya aku ingin menarik Lucas, mengajaknya pulang. Orang-orang di sini terlihat fashionable dan juga sosialita, sementara aku tidak. Namun, apa kabar dengan perut suamiku. Sungguh, cacing di perut Lucas memiliki tampang sangar seperti Lucas. Buktinya, Lucas sering marah-marah, jika perutnya telat di isi.
Lucas menggenggam tanganku. Aku kaget atas reaksinya. "Kenapa menuntunku? Aku bukan manula masih bisa berjalan sendiri, kok."
Lucas malah mencium tanganku tanpa menjawab pertanyaanku tadi. Ayo, lah. Ini tempat umum. Aku malu.
Kami memilih meja, dekat dengan jendela. Kami sama-sama suka tempat duduk dekat jendela. Di rumah pun, meja makan posisinya tidak jauh beda.
"Kamu mau makan apa? Tapi jangan bilang terserah. Karena tidak ada menu terserah di sini," kata Lucas, sesaat setelah dia duduk dengan rapi.
"Aku lagi pengen makan Steak daging."
Lucas memesan untuk aku dan dirinya. Kami pun menunggu makanan tersaji. Sambil menunggu, Lucas malah sibuk dengan smartphone, mungkin dia lupa aku berada di hadapannya. Namun, aku malah tidak bisa melepas pandangan darinya. Garis wajahnya lebih terlihat tegas, nampak serius saat memegang benda pipih itu, dari gerakan tangannya, dia pasti sedang mengetik teks yang panjang.
Ulahku menatapnya membuat dia melirik. "Maaf, Flo. Aku hanya mengecek sedikit naskahku yang harus selesai bulan ini. Masih ada bagian yang rancu dan cacat logika."
"Oh iya, gak apa-apa." Aku mengiyakan walau sedikit tidak paham maksudnya.
Lucas menaruh hapenya tanpa diminta. Aku tersenyum, dia sedikit lebih peka dari sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, kalau dia benar-benar sibuk, tidak masalah juga jika dia ingin mengedit naskahnya.
"Naskah yang mana, Mas? Yang baru? Aku belum baca bukumu yang 'Danger Line' tapi sudah ada cerita baru lagi, ya?"
Alis Lucas bertaut. "Kamu juga baca? Kupikir bukuku yang kukasih waktu itu, sudah dipakai ganjel lemari sama kamu."
"Sebenernya, baru aku buka juga, sih. Baru 10 halaman. Aku agak pusing sama ceritanya, gak paham. Tapi kucoba lanjut baca kemarin, ternyata seru juga."
"Really? Pusing kenapa? Aku gunakan kalimat efektif, kok."
"Banyak istilah yang aku gak paham. Ya, maklum saja aku emang jarang baca. Sekalinya baca, paling buku romantis biasa."
Lucas tersenyum. "Oh, yang itu aku tahu. Aku sempat kepikiran nulis satu gendre romantis biar kamu baca juga. Tapi kayanya aku gak sanggup."
"Jangan, lah. Jangan maksain diri. Sesuai yang kamu minati saja, kalau suka action dan thriller, kenapa harus cape-cape nulis gendre lain."
Aku memberi saran seperti itu karena tidak sanggup membayang seorang yang cuek dan tidak peka seperti Lucas menulis romansa. Bukannya jadi romantis bisa-bisa membuat pembaca jadi geram dan marah.
"Haha ... Iya, juga. Btw buku Danger Line, ada kisah romantisnya juga dikit. Bahkan agak unik menurutku, kisah cinta antara anak korban pembunuhan dan narapidana."
"Oh, ya? Di halaman berapa?"
Lucas menaikan alis. "Baca saja, nanti gak seru kalau banyak spoiler."
Aku mengangguk. Tak lama, makanan kami datang. Lucas menggeser pesananku mendekat padaku. "Makasih, Mas!"
Lucas sangat lahap. Ya, dia sudah lapar sejak tadi. Aku membiarkan dia menikmati makanannya sampai habis.
***"Tidur, yuk! Sudah malam, Mas," kataku saat melirik jam dinding di ruang kerja Lucas.
"Tunggu bentar lagi! Kamu juga jangan ke mana-mana dulu, stay with me, please." Lucas menjawab sambil matanya masih saja lekat menatap laptop.
"Tumben minta ditemenin?"
Lucas hanya tersenyum, dan itu tidak menjawab pertanyaan dariku.
"Daripada aku melongo gak jelas. Aku mau sambil mijitin kamu aja, ya!" Aku menghampiri Lucas. Berdiri di belakang kursinya.
"Silakan! Sayang!"
Aku memijat bahu suamiku, sambil sesekali melihat apa yang dia tulis. Gaya bahasanya agak sedikit berbeda dari buku Danger Line. Aku mudah paham dengan apa yang kubaca. Bahkan, majasnya terlalu indah. "Kamu nulis Romance? Kok kalimat-kalimatnya bikin baper."
"Bukan. Hanya menulis kisah hidup. Mungkin kelihatan baper karena tokoh di ceritaku, hampir putus asa karena lumpuh."
"Oh. Masih lama ending-nya?"
"Sudah selesai, aku hanya merevisi beberapa bagian yang kurang pas."
Aku berhenti bertanya. Akan tetapi Lucas tiba-tiba berkata padaku.
"Nanti kamu bantu aku pilihan gambar cover yang bagus, ya, Flo."
"Iya, boleh. Sekarang aja."
Lucas mengklik logo minimize dokumen word, lalu membuka file gambar. Menampilkan desain cover entah buatan siapa, palingan Lucas memesan pada cover shop. Aku hanya diminta memilih.
"Bagus yang mana, Flo?"
Aku menunjuk pada warna Salem karena warnanya yang kalem. Juga sesuai dengan gambar vector seorang wanita berambut panjang yang berada di kursi roda, dengan latar langit senja di pantai.
"Tokohnya cewek?" tanyaku
"Iya."
"Diluar kebiasaan kamu banget, ya? walaupun baru baca kemarin-kemarin. Aku tahu, loh, ceritamu selalu pakai sudut pandang cowok."
"Cuman mau menantang diri sendiri aja, keluar dari zona nyaman."
"Oh."
"By the way makasih buat pilihannya tadi. Fix, Aku pilih sesuai pilihanmu."
"Ya udah, tidur yuk! Besok Mas harus kerja, Mas suka keterusan kalau udah di depan laptop. Kita harus tetap jaga kondisi badan kita, Mas."
Lucas menurut menutup semua lembar kerjanya. "Aku belum shalat isa, nih, kamu duluan ke kamar. Nanti Aku nyusul."
"Oke."
Aku ke kamar duluan, karena sudah shalat duluan dari tadi. Lucas kalau sudah bikin novel suka lupa diri. Shalat pun sudah di akhir waktu, dia malah baru ambil wudhu.
Aku mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur yang bersinar redup. Kemudian naik ke atas kasur, berbaring senyaman mungkin.
Ada cahaya ponsel di tengah kasur, seseorang sedang melakukan panggilan. Pasti ini ulah Lucas yang sembrono menaruh ponsel di atas tempat tidur, untung saja aku tidak menindih benda pipih miliknya.
Aku tidak berani mengangkat panggilan telepon di ponsel Lucas. Akan tetapi, badan ini menjadi kaku, malam seakan mencekik hingga remuk hatiku. Saat melihat foto profil seorang wanita yang melakukan panggilan ini. Aku pernah melihat wajahnya, sama persis dengan wajah wanita pada foto yang kutemukan di laci meja kerja Lucas. Ini Amanda, aku yakin.
Selama ini aku tidak pernah kepo Lucas menerima panggilan dari siapa saja, kenalan Lucas banyak sekali, baik pria atau wanita, tapi kali ini aku harus berbuat sesuatu. Aku mengangkatnya, sengaja tidak memberi salam terlebih dulu, ingin tahu dia mau bicara apa.
"Hallo, Mas Lucas. Kamu belum tidur? Aku lihat masih online jadi memberanikan diri untuk telepon."
"Kamu Amanda?" tanyaku tanpa basa-basi.
Hening, sepertinya dia kaget aku yang mengangkat. Lucas tidak pernah menaruh Smartphone sembarangan, sebelumnya. Jika saja smartphone Lucas tidak ketinggalan di kamar, mungkin aku tidak pernah tahu si Amanda ini suka menelepon.
"Kamu kenapa tidak jawab?" Lucas memberi nama kontak ini dengan nama Nda. Aku harus buat Nda mengaku bahwa dirinya adalah Amanda.
"Ya, aku Amanda. Ini sama Mbak Flora, ya? Mas Lucasn lagi ke mana, ya?"
Wanita tidak tahu malu, sudah tahu Aku yang angkat telepon. Dia dengan polosnya menanyakan suamiku berada di mana.
***Dadaku sesak, hati bagai terhimpit bebatuan besar saat mendengar suara wanita halus dan memanja pada Lucas pada sambungan telepon ini. Mungkin saja Lucas sudah berkali-kali memanjakan wanita yang bernama Amanda ini, sehingga Amanda berani bernada manis saat berbicara, membuat aku ingin menarik sampai putus bibir indahnya. Lebih parahnya lagi, dia tahu namaku Flora. Berarti tahu, Lucas sudah mempunyai istri. Tapi kenapa masih nekad menelpon pada malam hari seperti ini."Hallo, Mbak Flora. Mas Lucas memangnya lagi ke mana?" tanya Amanda kembali, karena aku tidak menjawabnya tadi."Aku gak perlu bilang sama kamu Lucas ada di mana. Kamu harusnya tau diri untuk tidak menanyakan suami orang malam-malam kaya gini. Gak punya etika kamu.""Aku minta maaf, aku gak berniat ganggu kalian. Aku hanya ingin tanya-tanya soal Novel padanya.""Kalau bisa tanya siang hari, kenapa harus malam harim? Jangan cari-cari alasan kamu.""Biasanya aku telpon malam juga
Tenaga habis terkuras semalam karena marah-marah lalu bersenggama dengan Lucas, membuat aku jadi rakus saat pagi hari. Aku menyantap nasi goreng buatan suamiku dengan lahap dan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata, pria bodoh tukang selingkuh itu bisa juga masak enak.Aku memegang gelas yang berisi susu murni hangat. Merasa takjub pria macam Lucas mau membuatkan ini untukku. Kerasukan apa dia? Takut kutinggal gara-gara ketahuan sering telepon wanita lain. Mereka sepertinya saling suka, tidak ada alasan yang masuk akal selain cinta mereka tidak direstui orang tua. Aku ingat, Lucas pernah bilang jangan bilang-bilang orang tua masalah penemuan foto wanita lain di laci.Tapi, itu cuma dugaan dan rasa cemburu butaku loh, ya! Aku harus memastikannya lagi.Aku mengacak rambut dengan frustasi. Tidak menyangka, bahwa aku akan mengalami apa yang pernah teman-temanku alami. Dea temanku, menjanda diusia muda karena suaminya pergi dengan wanita lain. Aku
Ini tempat umum, Lucas masih saja berdiri menatapku dengan tatapan tajam dan menghakimi. Seolah aku istri yang bandel, beberapa pasang mata menatap penuh cibir pada kami. Membuat aku menjadi kaku, tidak bisa membela diri. Aku takut saat membela diri suara Lucas akan meninggi di sini. Walaupun kemungkinan kejadian seperti itu kecil, karena Lucas biasanya akan menjaga wibawa di hadapan umum. Entah jika dia sedang terlalu kesal, atau kesabarannya sedang runtuh."Duduk dulu, Lucas!" Alan berkata pada Lucas membuatku sedikit lega."Gak usah, Kak. Gak apa-apa. Kami harus langsung pulang.""Flora bisa balik bareng gua, kok. Gua kan kakaknya.""Gak apa-apa. Flora biar pulang sama gua aja, Kak.""Aku tidak mau. Aku mau pulang bareng Kak Alan aja."Alan menatap ke arahku, memberi kode lewat mata supaya aku pulang bersama Lucas. Aku tidak mau, aku malas."Kenapa gak mau, Flo? Ini sudah sore, nanti kita bisa kemalaman di jalan.""Gak apa-apa, just
Satu Minggu berlalu semenjak aku pergi ke luar bersama Alan. Seminggu kemarin Lucas selalu mewanti-wanti supaya aku harus ijin ke manapun. Bukan hanya itu, walaupun tidak ke luar aku wajib mengirim share location setiap jam 12 siang, sebagai bukti bahwa aku stay at home. Sudah kaya tahanan dalam kota aja, padahal hanya tidak ijin satu kali, itupun gak sengaja. Dasar Lucas, nyebelin.Ada paket masuk, rupanya buku yang waktu itu Lucas buat sudah selesai proses cetak. Aku membuka paketnya, menyimpan puluhan tumpukan buku yang masih tersegel ke meja kerja suamiku. Lalu memfoto tumpukan buku tersebut kemudian mengirimnya pada Lucas sebagai laporan. "Paket datang, nih!""Makasih sudah dirapikan, Flo.""Sama-sama, Mas. Kamu beneran pilih cover sesuai pilihanku, ya, Mas?" tanyaku lewat pesan WhatsApp, karena merasa senang sampul warna Salem yang kupilih waktu itu menjadi sampul buku Lucas."Pilihan kamu yang terbaik, sayang."Kata Lucas, sebagian lagi dibe
Aku mencari keberadaan Lucas. Aku abaikan kondisi kesehatan yang kurang baik ini demi mengetahui fakta yang sesungguhnya. Kaki sudah semakin letih berjalan, tapi tetap saja belum melihat keberadaanya di mana. Apa orang yang memberitahu Lucas ada di pantai ini berkata jujur? Jangan-jangan, aku kena prank lagi oleh nomer Gaje itu.Semakin lelah, aku pun jongkok. Pasir putih ini, membuat kaki merasa sedikit terbebani. Aku kembali berdiri setelah beberapa detik termenung, berniat akan pulang karena tidak mendapat apa pun di sini, kecuali rasa letih.Aku tidak jadi pulang, saat melihat di depanku ada pria mirip Lucas.Dari jarak beberapa meter, aku melihat seorang pria sedang menggendong wanita muda. Wanita itu, nampak bahagia berada di punggung pria. Adegan yang aku lihat mirip drama Korea stairway to heaven. Aku menghampiri mereka, karena merasa kenal dengan t-shirt yang dipakai pria itu. T-shirt yang kemarin malam baru aku strika dan di simpan di lemari pada
Untuk pertama kalinya setelah menikah aku berada malam-malam di luar tanpa Lucas. Aku masih akan menjadi istri yang penurut, berkomitmen tidak akan keluar malam tanpa suami jika saja Lucas tidak berselingkuh. Sia-sia saja jika aku terus yang berjuang mempertahankan rumah tangga ini. Sialnya, aku berada di tempat ini bersama pria lain.Sebisa mungkin, aku tidak terlalu dekat dengan Dean. Walaupun niat Dean hanya murni menolongku.Aku mengunyah burgers yang dibelikan Dean dengan lahap. Beruntung, perutku bisa menerimanya. Walaupun rasa dagingnya menjadi aneh. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, biasanya aku suka daging, dan sekarang malah memilih bagian roti dan sayurannya saja."Makan yang banyak, Flo. Bukannya katamu belum makan dari pagi."Aku hanya mengangguk sambil mengambil kentang goreng karena burgernya sudah habis. Pria di hadapanku melongo, melihat aku menandaskan makanan dengan cepat. Maklum, mencari Lucas di pantai membuatku kelel
Terbangun pukul setengah lima dini hari, saat pertama membuka mata rasanya memilukan. Ini bukan di kamarku, rasanya masih belum ikhlas walaupun aku yang memilih pergi dari Lucas. Biasanya Lucas akan mengajakku shalat berjamaah saat subuh, tapi sekarang tidak ada dia. Semua itu hanya ada di dalam khayalan saja sepertinya.Semalam, Ririn pergi ke mini market hanya untuk membeli alat tes kehamilan. Dia takut aku salah minum obat. Dia melarangku minum obat mag sebelum aku tes kehamilan.Aku tahu waktu yang paling akurat adalah pagi hari. Aku pun pergi ke kamar kecil untuk memastikan apakah ada nyawa di dalam perutku atau tidak. Tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, mungkin jika hasilnya positif, akan aku rahasiakan bahwa aku telah mengandung demi menghindar dari Lucas.Beberapa menit menunggu hasil, jantungku berdebar untuk melihat benda itu. Kakiku melemas, dada terasa sesak dan dihimpit kepasrahan saat kutahu hasil tesnya positif. Aku menjatuhkan diri di lant
Lucas membawaku masuk ke dalam mobilnya, aku tidak meronta karena ingat sedang hamil. Hanya bisa minta dia menurunkan secara baik-baik. "Tolong turunkan aku!""Suruh siapa tidak menurut kalau diajak pulang.""Aku lagi nunggu cemilan via kurir. Aku mau ngemil sekarang. Gak mau pergi ke mana-mana.""Kita akan beli cemilan lain di jalan."Gerak tubuhku menolak saat masuk mobil, tapi Lucas mendorongku hingga tubuh terasa sakit. Dia tidak cinta padaku, dia hanya mencintai harga dirinya. Harga dirinya pasti terusik jika istri sendiri sampai kabur. Aku melihat wajah arogan Lucas saat memaksaku masuk.Aku duduk di jok depan, berpikir hal lain. Bagaimana kalau sekalian saja ambil pakaian ganti dan beberapa uang di laci. Bukankah saat pergi aku hanya membawa baju yang menempel di badan. Aku bisa pergi kapan pun, bahkan ke tempat yang jauh jika dibekali uang."Kamu lagi mikirin apa?" tanya Lucas, dia sadar rupanya aku melamun."Gak ada. Aku hanya ingin