Share

Ada Apa dengan Bryan

Lizza tengah asyik membersihkan kaca jendela di ruang rapat dengan telinga tersumpal earphone. Bahkan bibir merahnya ikut melantunkan lagu-lagu yang cukup hits dari boyband besutan agensi ternama di negeri ginseng itu.  Wanita cantik itu adalah seorang fansgirl dari salah satu boyband milik negeri yang terkenal dengan dramanya yang romantis ini.  Selain lagu-lagunya yang enak didengar, ia juga menyukai visual dari membernya terutama leadernya yang begitu tampan— menurut perempuan itu. 

Sementara itu di ruangan yang sama. Pemimpinan tertinggi perusahaan tersebut, pria tampan bernama lengkap Bryan Park, yang menjabat sebagai Presiden direktur terlihat berdiri dengan tubuh bersandar pada pintu dan mata yang fokus menatap sosok Lizza yang tenggelam dalam pekerjaanya tanpa menyadari keberadaan atasannya itu. Bibir lelaki itu tersenyum simpul mendengarkan suara merdu wanita si pemilik marga Kim yang terus saja bersenandung menyanyikan lagu milik salah satu boyband papan atas di Korea. Sampai sebuah sapaan di belakangnya membuatnya tersentak dan membuat ekspresi datar di depan seorang laki-laki cukup tampan—salah satu karyawannya.

"Selamat siang, Presdir," ucapnya dengan tubuh membungkuk hormat. 

Menampilkan ekspresi yang cukup sulit ditebak di depan Seolwoo—orang yang menyapanya— agar pria itu tak berpikiran macam-macam. 

"Oh iya selamat siang." Nada suaranya terdengar gugup. Tetapi sepertinya Bryan adalah orang yang mampu mengendalikan ekspresi. Jadi, pria itu tak mampu membaca mimik wajah yang terlihat mencurigakan dari raut datar presdirnya. 

"Anda sedang melihat apa, Presdir." Seolwoo penasaran, dan juga karena laki-laki itu adalah orang yang serba ingin tahu. 

"Tidak, oh ya tolong katakan pada temanmu itu untuk bekerja dengan benar. Ini di kantor bukan agensi artis." Pria itu lantas beranjak setelah merapikan jas mahalnya. Namun lagi-lagi senyum itu kembali terbit walau tipis hingga Seolwoo tak menyadarinya.

Selepas kepergian Briyan. Tubuh Seolwoo memasuki ruangan tersebut. 

Laki-laki bermarga Yoon itu melihat ke dalam ruang rapat. Di dalam hanya ada ada Lizza yang tengah membersihkan kaca jendela dengan bibir bersenandung kecil.

Seolwoo melangkahkan kakinya menghampiri rekan sejawatnya itu. Ia menggelengkan kepalanya pelan. 

"Noona." Seolwoo menepuk pelan pundak yang kini bergerak seirama dengan tangannya yang berputar-putar di atas kaca dengan alat pembersih dan semprotan penghilang noda. 

Wanita cantik itu lantas menoleh dan menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Seolwoo lalu melepas earphone miliknya. 

"Eoh Seolwoo, ada apa? "

Pria itu mencebilkan bibirnya. Seolwoo bukannya menjawab malah merebut earphone dan ponsel di tangan wanita cantik tersebut yang terlihat kebingungan. 

"Jika sedang bekerja, taruh saja ponselmu di saku, atau di loker milikmu, Presdir Park melihatmu tengah bernyanyi tadi, dan dia menyuruhku untuk memperingatkanmu."

Wajah Lizza berubah pucat. Bagaimana jika dirinya dipecat. 

"Astaga, benarkah itu. Apa Presdir marah, aku takut bagaimana jika Presdir memecatku. 

Seolwoo membiarkan rekannya itu dilanda panik, sebelum bibirnya terkekeh lucu, dan raut wajah Lizza berubah menjadi ingin tahu. 

"Kenapa kau malah tertawa, Seolwoo."

"Kau tenang saja, Noona. Presdir mengatakan padaku untuk menyuruhmu bekerja dengan benar, tapi ekspresi wajahnya tidak mengatakan seperti itu."

"Apa maksudmu?"

Seolwoo menghela napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan wanita itu. 

"Kau tahu Noona, sepertinya Presdir memiliki perasaan padamu, aku melihat dia tersenyum saat melihatmu, dan aku tidak bodoh, kalau tatapan Presdir kepadamu itu adalah tatapan memuja."

"Kau jangan sembarangan bicara, kau jangan menyebar gosip yang bukan-bukan."

"Terserah kau saja Lizza Noona, aku kembali kerja dulu." Seolwoo mendengus sebal. Lizza sangat keras kepala, dan tidak peka, walaupun dia sering menggoda menggoda wanita itu, tapi dia pun tidak ingin Lizza memiliki hubungan dengan atasanya itu. Dia tidak ingin wanita yang sudah ia anggap sebagai kakaknya ini mendapat predikat wanita jalang yang berani menggoda atasannya yang telah beristri, dan yang pasti dia memiliki perasaan lebih pada wanita bermarga Kim itu. 

.............

Sean tengah duduk seorang sendiri di atap sekolahnya, menatap hamparan langit biru yang hari ini begitu indah. Memperhatikan pergerakan awan yang bebas bergerak ke sana ke mari. Bocah tampan itu jadi iri melihat awan-awan yang itu. Awan-awan besar dan kecil saling bergerak mendekat satu sama lain. 

"Awan-awan itu seperti sebuah keluarga, seandainya Ayah ada di antara aku dan Ibu." Bibirnya bergetar. Rasa sakit itu kembali saat dirinya teringat sosok ayahnya yang entah di mana dan seperti apa rupanya. Dia begitu mendambakan sosok ayah seperti teman-temannya yang lain. 

"Kenapa kau bicara sendiri." Tubuhnya tersentak, dan langsung beralih atensi menatap seseorang yang kini tengah berdiri menjulang di bekakangnya. Si wajah datar Han Taeyoong, bocah yang menolongnya tempo hari dari geng Jiseok. 

"Han Taeyoong."  Dia berbicara pelan dengan menatap bocah bermarga Han itu penuh selidik.

  

"Kenapa menatapku seperti itu? Aku bukan hantu." Taeyoong ikut duduk di sebelah Sean. Tak biasanya bocah pendiam itu bicara sepanjang ini, biasanya dia hanya bergumam dan menatap lawan bicaranya dengan tatapan tajam. 

"Tidak,  hanya saja .., ah lupakan."

Taeyoong tersenyum walau teramat tipis. "Aku hanya tidak menyukai Jiseok dan teman-temannya."

"Apa Jiseok mengganggumu lagi, " lanjutnya. 

"Tidak, entahlah dia jadi pendiam,  mungkin dia lelah." Sean kemudian mengalihkan atensinya kembali ke atas langit. Tersenyum melihat pergerakan awan-awan di atas sana. 

Bocah pendiam itu melirik Sean, sepertinya bocah itu sedang bahagia, senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. "Apa kau sangat suka melihat langit?"

"Ya, langit itu bergerak bebas, kau lihat itu." Sean mengacungkan jari telunjuknya ke arah awan yang sedang bergerak-gerak ke sana ke mari. Taeyoong sontak mengarahkan pandanganya, mengikuti arah jari telunjuk temannya ini. 

"Awan-awan itu bergerak saling mendekat, seperti sebuah keluarga, dua awan besar mengapit satu awan kecil, mereka seperti Ayah, Ibu, dan anak. Kau tahu, aku begitu iri melihat mereka, aku juga ingin seperti mereka."

Bibir Taeyoong terkatup rapat mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir bocah di sampingnya. Anak itu sontak mengingat kedua orangtuanya yang sudah pergi terlebih dahulu ke surga, meninggalkanya seorang diri. 

"Ada apa? Apa aku salah bicara?" tanya Sean. 

"Tidak, aku hanya mengingat kedua orangtuaku yang sudah bahagia di atas sana." Bibir Taeyoong terulas senyum, walau itu senyum penuh kepedihan. Sean menatap wajah bocah pemdiam itu terlihat sendu, ternyata bocah sekecil itu sudah tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orangtuanya, ah rupanya dia lebih beruntung dari Taeyoong, setidaknya dia masih memiliki seorang ibu yang sangat menyayanginya, dan ayah yang tidak tahu di mana keberadaannya. 

"Taeyoong-ah, boleh aku memanggilmu seperti itu." Kelopak mata pemilik marga Han itu menyipit. Ada pertanyaan berlebih yang tersirat di wajah tampannya. Apakah Sean ingin berteman dengannya. Jika iya, ia pasti senang sekali, karena selama ini tidak ada yang mau berteman dengannya yang yatim piatu.  

"Silakan saja. "

"Aku ingin jadi temanmu."

Taeyoong menatap dalam ke arah kedua mata bulat Sean yang jernih, sebelum akhirnya ia mengangguk dan memberikan senyum tulusnya yang selama ini dia sembunyikan di balik sifat dinginnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status