“Tuan, saya harus bagaimana, Tuan?” tanya Surya dengan nada bergetar. Dia benar-benar ketakutan akan bayangannya tentang mendekam di penjara.
Yuan yang masih menimbang di meja kerjanya tersebut belum bisa memberikan keputusan berarti sebelum mendengar kabar dari asistennya Dirga yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan itu.“Tuan, saya benar-benar takut. Saya tidak mau di penjara, Tuan,” keluh Surya lagi membuat Yuan terusik.“Bisa diam tidak? Tunggu dulu kabar dari Dirga, baru setelah itu aku akan buat keputusan,” sahut Yuan membuat Surya seketika bungkam.Tok! Tok!“Masuk!” perintah Yuan yang sudah mengetahui itu pasti asistennya.“Selamat malam, Tuan.” Dirga menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya akan menyampaikan maksud dan tujuannya datang ke ruang kerja Yuan.“Hm, bagaimana? Apa kamu sudah membereskan semuanya?”Yuan memang kerap membuat orang-orang di sekitarnya merasa ketakutan karena sikapnya yang terlampau dingin. Namun Dirga yang sudah tahu watak bosnya tersebut sudah memaklumi dan mencoba setenang mungkin saat berhadapan dengan pria berparas tampan itu.Dirga pun menceritakan penyelidikannya hari ini, mulai dari olah TKP sampai dengan gadis yang di maksud oleh Yuan.Yuan mencerna kalimat per kalimat yang keluar dari mulut Dirga dengan teliti. Dari situlah dia sudah bisa menyimpulkan dan akan membuat sebuah keputusan.“Oke, aku mengerti.”Yuan akhirnya mengemukakan rencananya kepada Dirga tentang langkah yang akan dia ambil untuk menebus rasa bersalahnya terhadap gadis malang bernama Caramel tersebut.“Apakah Anda yakin, Tuan?” tanya Dirga kembali memastikan. Pasalnya keputusan yang Yuan ambil bukan keputusan sembarangan.“Apa aku pernah bercanda dengan keputusan yang aku buat?”“Ti–tidak, Tuan.”Surya memperhatikan dua orang itu tapi belum menemukan titik terang tentang nasib dirinya.“Lalu saya bagaimana, Tuan?” Surya yang sedari tadi menahan rasa takut memberanikan diri untuk bertanya di sela obrolan penting Yuan dan Dirga.“Terpaksa Pak Surya saya pecat,” jawab Yuan mengagetkan Surya.“Di–dipecat, Tuan?” tanya Surya terbata.“Iya. Aku tidak mau masalah ini berbuntut panjang nantinya. Kamu tenang saja. Aku akan memberikan kamu pesangon yang sangat besar. Kamu bisa pergi dari kota ini sejauh mungkin.”“Tapi, Tuan....”Yuan memicingkan matanya membuat Surya mendelik.“Ba–baik, Tuan. Saya akan pergi dari kota ini sejauh mungkin. Saya akan pergi ke luar jawa.”Yuan tidak menyahuti ucapan Surya. Dia mengambil sebuah amplop berisikan uang dari dalam laci meja kerjanya kemudian menyodorkan amplop berwarna cokelat tersebut di depan Surya.“Baik, Tuan. Saya akan pergi sekarang. Terima kasih sudah menerima baik saya selama ini,” ujar Surya setelah melihat amplop tebal itu.“Kalau begitu saya permisi, Tuan.” Surya pun berlalu dari hadapan Yuan dan Dirga dengan senyum mengembang. Berbeda halnya dengan saat pertama kali dia memasuki ruangan panas itu.“Dirga, aku mau kamu menyiapkan semuanya. Dan ingat satu hal... kita harus menutup rapat-rapat masalah ini. Jangan sampai ada yang tahu, terlebih gadis itu yang nantinya akan menjadi penghuni baru di rumah ini.”“Baik, Tuan. Akan saya laksanakan perintah, Tuan.”***Prosesi pemakaman ibu Caramel yang bernama Ningsih telah selesai. Caramel dan Alya kembali ke rumah Caramel dengan diiringi isak tangis yang belum sepenuhnya mereda.Tepat bersamaan dengan kedatangan Caramel, Devon baru saja pulang dari rumah tetangga yang biasanya Devon dititipkan saat Ningsih berjualan.“Kak … ibu di mana? Kenapa ibu tidak pulang bersama Kakak?” Mata polos itu mendongak untuk menatap mata sang kakak.Seketika air mata Caramel kembali luruh mendengar pertanyaan polos adiknya, Devon. Bagaimana cara Caramel menjelaskan pada sosok kecil yang sedang sakit itu? Mungkin Devon sudah paham, tapi Caramel tidak yakin kalau Devon akan baik-baik saja setelah mendengar pengakuan Caramel.Caramel menoleh pada Alya seolah bingung bagaimana harus menjawab. Alya mengelus pundak Caramel sekilas kemudian mengangguk.“Katakan saja sejujurnya. Devon perlu tahu tentang kepergian ibunya,” bisik Alya memberi saran.Caramel sangat ragu untuk menyatakan sejujurnya. Bagaimana jika kondisi kesehatan Devon memburuk lagi. Caramel tidak akan siap dengan hal itu. Tetapi, cepat atau lambat Devon pasti mengetahui semuanya.“Mel… aku yakin Devon akan lebih mengerti jika kamu yang menjelaskan daripada dia harus mendengar kabar itu dari orang lain,” sambung Alya.“Tapi, Al ….”Alya kembali memberi isyarat untuk Caramel menyatakan yang sejujurnya kepada Devon.Caramel berjongkok di hadapan bocah berusia enam tahun tersebut. Dia mengusap lembut kepala sang adik dan merengkuhnya dalam dekapan sambil menangis.“Ibu sudah tidak ada, Sayang... ibu meninggalkan kita menyusul Ayah,” ucap Caramel sekuat tenaga mencoba tegar.Devon melepaskan pelukan Caramel dan sedikit menjauh. “Tidak! Kakak bohong! Ibu masih hidup, Kak. Tadi pagi ibu masih menyuapi Devon!” bentak Devon tidak percaya dengan ucapan Caramel.Buliran bening mulai berjatuhan dari sudut mata Devon. Tentu saja Caramel tidak tega melihat adiknya seperti itu.“Sayang ….”“Enggak! Kakak jahat! Bisa-bisanya kakak bilang ibu sudah meninggal padahal Ibu masih hidup!” Devon berlari menuju kamarnya tanpa mempedulikan Caramel.“Al …” lirih Caramel dengan tangis yang semakin menjadi seraya memeluk Alya.“Mel, kamu harus kuat. Bagaimana kamu bisa menguatkan adik kamu sementara kamu sendiri seperti ini. Aku tahu kamu rapuh. Tapi Devon lebih membutuhkan kamu. Dia butuh sosok yang bisa menenangkan dia untuk menggantikan peran ibunya.” Alya tak hentinya mensuport Caramel yang benar-benar di ambang keputusasaan.“Temui Devon, jelaskan pada dia sampai dia mengerti. Aku yakin Devon anak pintar yang bisa menelaah keadaan. Dia hanya butuh waktu untuk menerima ini semua.”Caramel mengangguk. Dia mengusap air matanya kemudian mengejar Devon ke kamarnya.Betapa sakitnya hati Caramel melihat adiknya menangis tengkurap sambil memeluk guling kesayangannya. Pundaknya yang mungil bergerak-gerak pertanda bocah malang itu tengah menangis sesenggukan.“Devon, Sayang....”Caramel menghampiri Devon dan mengusap puncak kepala Devon dengan lembut.“Enggak! Kakak jahat! Ibu itu masih hidup, Kak! Ayo, antarkan aku ke tempat ibu! Aku mau ketemu ibu, Kak!” Devon bersikeras secepat kilat membalik badan dan menarik-narik tangan Caramel.“Sayang, ini sudah malam. Besok Kakak ajak kamu ke makam ibu, ya.”“Ibu masih hidup, Kak... ibu masih hidup….” Devon menumbangkan tubuhnya di pelukan Caramel dengan tangis yang tidak bisa dia tahan. Hal itu membuat Caramel turut kembali menitikkan air mata.“Sayang … setiap pertemuan ada perpisahan. Seperti halnya yang kita alami sekarang. Tidak ada yang tahu dengan nasib seseorang, Sayang... Ibarat kata kita ini tanaman, pemilik kita berhak mengambil kita kapan saja yang dia mau karena kita ini miliknya. Kita tidak boleh protes karena sejatinya manusia akan kembali pada penciptanya. Semua orang pasti akan mengalami kematian, Sayang... Kita tinggal menunggu giliran.” Caramel mencoba menjelaskan meski sulit.“Kenapa harus ibu, Kak? Kenapa nggak Devon saja?”Sejujurnya Caramel terkejut mendengar pertanyaan Devon. Caramel mengangkat tubuh Devon dan memangkunya.“Kamu tahu kenapa Ayah dan Ibu pergi duluan?”Dengan polosnya Devon menggeleng.“Karena ayah dan ibu orang yang sangat baik, Sayang. Sekarang gini, kalau Devon punya tanaman bagus dan jelek, mana yang akan Devon ambil duluan?”“Yang bagus, Kak....”“Nah, sama. Itu artinya ayah dan ibu orang yang baik, Sayang, makanya Allah menjemput mereka duluan. Dengan begitu ayah dan Ibu sekarang tidak merasakan capek lagi, tidak merasakan sakit. Kita harus banyak berdoa semoga Allah senantiasa memberikan tempat yang layak untuk orang tua kita, ya.”Devon termenung. Entah apa yang ada dipikirannya, yang jelas saat ini dia mencoba mencerna kata-kata Caramel. Tentu ini tidak mudah bagi Devon yang masih sangat membutuhkan sosok ibunya. Namun lagi-lagi takdir berkata lain. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Sang Maha Kuasa yang menentukan segalanya.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, Sayang. Apa pun yang hidup pasti mengalami mati. Semoga kita bukan termasuk orang egois yang mempertahankan apa yang bukan milik kita. Semuanya sudah ada yang mengatur. Sekarang tugas Devon dan Kak Amel adalah mendoakan ayah dan ibu, udah itu aja.”Devon memeluk Caramel dengan erat. “Aku hanya ingin Ibu, Kak ….” Devon menangis sesenggukan di pelukan Caramel.“Iya, Kakak ngerti. Mulai sekarang Kakak yang akan menjadi Ibu untuk kamu.” Caramel menenangkan dengan menciumi kepala Devon.Hati Caramel bak teriris benda tajam mendengar ucapan Devon. Untuk anak seusia Devon memang belum cukup mengerti dengan artinya kematian. Sekali pun Caramel menjelaskan dengan susah payah, hanya waktu yang bisa menggiring Devon untuk melupakan kesedihannya.Caramel teringat dengan pernikahannya bersama Jarot yang akan digelar lusa. Apa pun keadaannya, Devon harus ikut bersamanya. Jika mau menikahi dirinya, maka harus bisa menerima Devon sama seperti dirinya.***Hari ini adalah hari pernikahan Caramel dengan rentenir bernama Jarot untuk melunasi hutang-hutangnya. Apa yang bisa Caramel lakukan saat ini selain hanya pasrah dengan keadaan? Tidak ada. Caramel hanya bisa menerima takdirnya dengan lapang dada.“Kak, Kakak yakin akan menikah dengan kakek galak itu?” tanya Devon terdengar lirih.Devon masuk ke kamar Caramel dan menanyakan hal yang seharusnya tidak dia tanyakan. Devon duduk di bibir kasur menghadap Caramel yang duduk di depan meja rias.Caramel berpindah posisi dan duduk di samping Devon. “Kenapa Devon tanya seperti itu?” tanya Caramel lembut.“Aku tidak tega melihat Kakak hidup menderita.”Caramel tersentak. Entah apa yang mendasari Devon hingga dia berucap seperti orang dewasa. Tahu apa dia tentang pernikahan dan hidup menderita.“Devon, Sayang… kata siapa Kakak menderita? Kakak bahagia, kok. Lagipula ini semua sudah menjadi kewajiban kakak. Devon tidak boleh berpikir seperti itu, ya. Asal Devon selalu bersama Kakak, kakak akan bahagia.”Bohong, tentu saja. Jika bukan karena ingin melihat Devon sembuh, Caramel tidak akan pernah menukar hidupnya untuk hidup bersama rentenir tua itu.“Masih ada waktu jika Kakak ingin mundur. Devon tahu Kakak terpaksa melakukan ini semua. Jika kesembuhan Devon membuat Kakak hidup sengsara, lebih baik Devon sakit saja, Kak. Kakak tidak perlu berkorban seperti ini.”Devon menunduk merasa bersalah. Dia berpikir, apa yang kakaknya lakukan sekarang semata-mata hanya untuk kesehatan dirinya. Ibunya telah berjuang keras sampai akhir hayatnya, Devon tidak mau hal itu sampai terjadi pada kakaknya. Devon tidak ingin mengorbankan orang-orang yang dia sayang.“Hei, Sayang... kamu bicara apa? Siapa yang mengajari kamu? Selama ini ibu dan kakak berjuang mati-matian untuk kesembuhan kamu. Jangan buat usaha kami sejauh ini sia-sia, Sayang. Kamu harus optimis untuk sembuh. Kamu tidak perlu khawatirkan Kakak. Kakak baik-baik saja, Devon.…”Caramel kembali merengkuh tubuh ringkih itu dalam pelukannya. “Kamu adalah sumber kekuatan Kakak, cukup kamu dukung dan selalu ada untuk kakak itu sudah membuat kakak senang,” ujar Caramel menenangkan adiknya yang menangis karena merasa apa yang menimpa keluarganya karena dirinya yang sakit-sakitan.“Kak Caramel benar, Devon... kamu masih kecil. Kamu nggak boleh berpikiran sejauh itu. Lihat... Kak Caramel tersenyum, kok. Itu artinya Kak Caramel bahagia, Sayang.”Alya langsung menyelonong masuk kala melihat kakak beradik itu larut dalam kesedihan.“Mel, rombongan Jarot sudah datang. Dia meminta aku untuk mengajakmu keluar,” ujar salah satu tetangga Caramel yang sudah berdiri di ambang pintu untuk memanggil sang mempelai wanita.“Iya. Sebentar lagi kami keluar,” jawab Caramel terdengar lemah.“Kak …” rengek Devon.“Kakak nggak apa-apa. Ayo, kita keluar. Semakin cepat kakak menikah dengan kakek itu, semakin cepat pula hutang-hutang kita akan lunas, Sayang.” Caramel mencium kening Devon kemudian membimbing Devon untuk bergabung di tengah acara inti.‘Aku harus kuat. Ini semua demi Devon.’Caramel membatin sebelum akhirnya dia melangkahkan kaki untuk menemui calon suaminya yang tua itu.Caramel, Alya dan Devon keluar kamar menuju ruang tamu di mana acara sakral itu akan dilangsungkan. Rasanya Caramel hampir tidak sanggup menopang beban hidupnya. Baru saja ia kehilangan ibunya dan kini harus menikah dengan seorang pria tua yang akan menjadikannya istri ke-empat.Sungguh miris. Dalam hidupnya sesusah apa pun keadaannya, Caramel tidak pernah menyangka akan mengalami nasib seburuk itu. “Bukan main. Calon istriku ini memang sangat cantik,” puji Jarot saat melihat kedatangan Caramel. Dia memutari tubuh Caramel seraya memindai penampilan Caramel dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Aku sudah tidak sabar untuk menantikan malam pertama kita, Sayang,” imbuhnya lagi sambil mencolek dagu Caramel.Seketika Caramel membuang muka. Mengacuhkan pandangan pada laki-laki yang sama sekali tidak dia inginkan. “Jangan sok jual mahal, Sayang... ingatlah dengan apa yang sudah aku berikan untuk kamu, untuk adikmu yang sakit-sakitan itu. Sebentar lagi kamu akan menjadi milikku, milikku... a
Pernikahan itu membawa cerita tersendiri bagi siapa pun yang menyaksikan. Banyak yang tersenyum lega melihat pernikahan Caramel dengan sosok misterius itu.Akhirnya hidup Caramel tidak se-mengerikan yang dibayangkan sebelumnya. Bayangan tentang menjadi istri ke-empat dari pria yang sudah tua sungguh bukan sebuah impian. “Silakan, Tuan.” Dirga memberikan sebuah kotak cincin kepada Yuan.Yuan membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin dari sana. “Mana jari manis kamu?” tanya Yuan meminta Caramel menunjukkan jari manisnya.Caramel enggan. Akhirnya Yuan mengambil paksa tangan Caramel tanpa persetujuan empunya. Yuan menyematkan cincin pernikahan itu di jari Caramel. Yuan menyodorkan kotak itu kepada Caramel. Bukannya menyambut Caramel malah melihat Yuan dengan tatapan bingung. “Pasangkan ke jari ku,” pinta Yuan datar. Dengan ragu Caramel mengambil cincin itu dan memasangkan cincin yang serupa dengan miliknya itu di jari manis Yuan.Canggung, tentu saja. Mereka baru saja sah menjadi p
Mengagumkan. Ya, itulah yang Caramel dan Devon pikirkan saat pertama kali memasuki pelataran rumah mewah milik keluarga Alexander. Terdapat banyak mobil mewah berjejer rapi kian menambah decak kagum keduanya. Bangunan megah nan elegan membuat kesan glamor yang tak terbantahkan. “Ayo, masuk... Rumah ini rumah kalian juga sekarang,” ujar Yuan berjalan lebih dulu memasuki teras rumah. “Kak Yuan, ini rumah Kakak?” tanya Devon sambil mengedarkan pandangan melihat sekeliling.“Bukan, ini rumah peninggalan Pak Alexander,” jawab Yuan santai. “Pak Alexander siapa?”“Papahnya Kakak.” Yuan mencubit pipi Devon gemas. “Ayo, masuk,” sambungnya.Yuan menggiring Caramel dan Devon masuk ke dalam rumah. Semua pengawal dan pembantu tunduk kepadanya membuat Caramel heran.“Kamu pasti bingung kenapa semua orang tunduk sama aku?”Lagi-lagi Yuan dapat membaca pikiran Caramel. Caramel semakin heran dengan pekerjaan Yuan. Jangan-jangan selain menjadi pengusaha Yuan juga menjadi seorang paranormal. “Setela
Sang Surya mulai memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Melalui celah jendela kamar, sinarnya menembus masuk ke dalam kamar Yuan. Yuan mulai tersadar dan mengucek mata.Yuan melihat ke bawah dan mendapati sebuah selimut yang membungkus tubuhnya. Sekilas Yuan tersenyum, ia yakin pasti Caramel lah yang telah memberi selimut itu untuknya. “Sebenarnya seperti apa kamu Caramel? Kadang kamu acuh, kadang perhatian.”Yuan melihat ke arah ranjang dan sudah tidak ada Caramel di sana. Yuan bergegas bangun dan mencari keberadaan Caramel di kamar mandi. Namun, tak juga ia temukan. Yuan turun ke lantai bawah. Dari kejauhan ia melihat Caramel tengah berada di dapur. Tanpa sadar senyum tipis terurai di bibir Yuan. “Bi Tyas ke mana? Kok kamu yang masak?” “Aw!”Caramel mengaduh karena pertanyaan Yuan membuat Caramel kaget hingga tanpa sengaja pisau yang dia pegang mengenai jarinya.“Kamu kenapa? Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kamu,” sesal Yuan seraya meraih jemari Caramel yang terluka. Yuan l
Bim! Bim! Bim! “Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar,” ajak Yuan pada Caramel dan juga Devon yang telah selesai bersiap-siap. Dari raut keduanya terlihat sangat menyedihkan. Caramel memeluk Devon sambil menangis.“Kamu semangat berjuang untuk sembuh ya, Sayang, supaya kamu cepat kembali ke sini. Kakak pasti merindukan kamu,” ujar Caramel sambil menangis sesenggukan.“Iya, Kak. Devon akan berjuang keras. Devon pasti sembuh, Kak. Maaf kalau selama ini Devon merepotkan Kakak terus,” tutur Devon membuat tangis Caramel semakin pecah.“Jangan bicara seperti itu. Nggak ada yang merasa direpotkan. Ini sudah menjadi tanggung jawab Kakak.”Adik dan Kakak itu meraung karena perpisahan ini terasa berat untuk mereka berdua. Dua insan yang saling melengkapi kini dipisahkan oleh keadaan demi tujuan yang lebih baik. “Ssh, ssh, sudah sudah. Ini hanya sementara, Devon, Amel... kalian akan bersatu lagi. Saat ini biarlah jarak memisahkan kalian berdua, tapi nanti... kalian akan menuai bua
Waktu terus bergulir, setelah kepergian Devon kerapkali Caramel merasa kesepian. Hari-harinya terasa sangat membosankan. Caramel seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.Beruntung beberapa hari ini penghuni rumah tak ada yang singgah selain Yuan dan dirinya. Jennifer dan Selina sedang ada kegiatan kampus sementara Damitri sibuk dengan arisan sosialita-nya yang melakukan acara di luar negeri.Menilik tentang hubungan cintanya dengan Yuan, belum ada yang berarti. Semuanya masih sama. Namun saat ini sudah ada rasa canggung setiap kali mereka bersentuhan atau bertatap mata tanpa sengaja.Jika melihat fisik, rasanya tidak sulit untuk mencintai sosok seperti Yuan. Siapa yang bisa menolak kharisma dan ketampanannya? Yuan bagaikan titisan dewa yang beruntung Caramel dapatkan.Caramel jalan-jalan santai mengelilingi rumah megah Alexander. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalas dengan senyum ramah.Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal
Kepergian Caramel dari rumah Yuan membawa kesedihan tersendiri bagi Caramel. Jika bukan karena mengikuti suaminya, Caramel akan lebih memilih untuk menempati rumahnya yang sederhana tapi penuh cinta.Meski rumahnya tidak mewah seperti rumah suaminya, tapi di rumah sederhana itu Caramel bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Berbeda halnya dengan rumah Yuan yang hanya merasakan kesedihan karena keberadaannya tidak dianggap.Caramel berjalan menyusuri trotoar dengan beralaskan sandal yang sudah usang. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya seorang istri dari pengusaha muda ternama. Ia terus berjalan dan menaiki angkutan umum menuju pemakaman ibunya.Air mata Caramel terjatuh saat melihat gundukan tanah yang mulai mengering.“Ibu ... Caramel datang, Bu. Caramel bawakan bunga kesukaan ibu,” ucap Caramel sesampainya di depan pusara makam ibunya dan meletakkan seikat bunga yang sempat dia beli di dekat gerbang pemakaman. Bibir Caramel bergetar menahan tangis. “Caramel kangen bang
Sesampainya Caramel di rumah, ia kembali merasakan kehangatan dan kedamaian. Ia merasa seperti berada di zona nyaman yang selama ini dia rindukan. Zona yang membuatnya senang, nyaman dan merasa aman berada di dalamnya. Caramel meletakkan tasnya. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang sudah terasa tidak empuk lagi. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan melupakan kejadian buruk yang menimpanya hari ini.Saat bayangan tentang perlakuan keluarga suaminya itu datang, dengan segera Caramel menyapunya. Ia tidak ingin berlarut dalam belenggu yang membuatnya tertekan. Caramel bergegas membersihkan diri. Badannya terasa lengket sejak siang akibat terkena keringat dan sinar matahari.Usai mandi dan berganti pakaian Caramel duduk di ruang tamu dengan memandangi foto keluarganya. “Ayah… ibu... maafkan aku. Selama hidup aku belum sempat membahagiakan kalian. Aku belum bisa membuat kalian bangga,” sesal Caramel sambil mengelus foto tersebut. Air matanya kembali terjatuh.“Ayah… maafkan aku belum b