Mengagumkan. Ya, itulah yang Caramel dan Devon pikirkan saat pertama kali memasuki pelataran rumah mewah milik keluarga Alexander.
Terdapat banyak mobil mewah berjejer rapi kian menambah decak kagum keduanya. Bangunan megah nan elegan membuat kesan glamor yang tak terbantahkan.“Ayo, masuk... Rumah ini rumah kalian juga sekarang,” ujar Yuan berjalan lebih dulu memasuki teras rumah.“Kak Yuan, ini rumah Kakak?” tanya Devon sambil mengedarkan pandangan melihat sekeliling.“Bukan, ini rumah peninggalan Pak Alexander,” jawab Yuan santai.“Pak Alexander siapa?”“Papahnya Kakak.” Yuan mencubit pipi Devon gemas. “Ayo, masuk,” sambungnya.Yuan menggiring Caramel dan Devon masuk ke dalam rumah. Semua pengawal dan pembantu tunduk kepadanya membuat Caramel heran.“Kamu pasti bingung kenapa semua orang tunduk sama aku?”Lagi-lagi Yuan dapat membaca pikiran Caramel. Caramel semakin heran dengan pekerjaan Yuan. Jangan-jangan selain menjadi pengusaha Yuan juga menjadi seorang paranormal.“Setelah papah meninggal, aku yang mengambil alih semua tanggung jawab. Sebagai anak tertua, aku tidak hanya bertanggungjawab atas perusahaan, tapi aku juga bertanggungjawab dengan keluargaku. Apalagi sekarang aku sudah memiliki istri. Aku harap kamu bisa memposisikan dirimu di rumah ini. Kalian semua keluargaku, semoga kalian bisa akur dan saling menerima satu sama lain.”Yuan menerangkan. Namun kali ini terdengar lebih lembut dan mengayomi. Caramel sampai bingung menebak karakter Yuan yang paling dominan karena sedari tadi sikapnya berubah-ubah.“Bagaimana kalau ternyata keluargamu tidak bisa menerima kehadiranku? Aku hanya gadis sederhana. Kasta kita berbeda,” ucap Caramel membuat Yuan menghentikan langkahnya.“Jujur aku tidak mempedulikan status kamu. Tapi dengan keluargaku … aku akan membuat mereka mengerti bahwa keberadaan mu sama posisinya dengan mereka. Kamu tenang saja.”Mereka telah sampai di ruang keluarga. Yuan meminta para pelayannya untuk memanggil seluruh anggota keluarga.Semua penghuni rumah nampak bingung dengan kedatangan Caramel dan Devon yang tengah tersenyum kikuk menyapa mereka. Penampilan Caramel yang memakai baju kebesaran terkesan jauh dari kata modis. Hal itu semakin membuat keluarga Yuan penasaran dengan dua orang yang Yuan bawa.“Siapa dia, Yuan? Pembantu baru? Memangnya masih kurang pembantu di rumah ini?” tanya Damitri, ibunya Yuan.Damitri memang orang yang sangat arogan. Dia memandang segala sesuatu dari status sosial. Dia juga mengedepankan sosialita di atas segalanya.“Mah, Selina, Jennifer, mulai hari ini, keluarga kita akan bertambah anggota. Perempuan di sampingku ini namanya Caramel, dia istriku. Dan adik kecil di sebelahnya namanya Devon, adik dari istriku. Suka tidak suka, mau tidak mau, sekarang kita semua satu keluarga. Aku harap kalian bisa menerima kehadiran Caramel dan Devon dengan tangan terbuka.”Ketiga orang itu menganga mendengar penuturan Yuan. Mereka sangat terkejut dengan berita yang baru saja mereka dengar.“Apa? Istri? Mamah nggak salah dengar? Yuan, jangan gila kamu.” Damitri mendekati putranya merasa tidak terima.“Bagaimana bisa kamu menikah tanpa memberitahu mamah? Kamu membuat keputusan besar tanpa melibatkan mamah? Apa yang kamu pikirkan, Yuan?” imbuh Damitri. Dari nada bicaranya terdengar sekali kalau dia kecewa.“Kak Yuan... Kak Yuan bercanda, 'kan? Please, Kak... ini nggak lucu!” seloroh Selina juga tidak terima.Yuan masih diam, membiarkan keluarganya itu mengemukakan pendapat. Keputusan yang Yuan ambil memang sangat mendadak. Atas dasar apa pun memang Yuan bersalah karena tidak melibatkan keluarganya dalam mengambil keputusan.Damitri memindai penampilan Caramel dengan teliti. Dia tidak percaya putra yang dia banggakan memilih istri yang levelnya jauh di bawah kekasih Yuan, Evelin.“Kamu lihat penampilannya… perempuan seperti ini yang kamu jadikan istri? Bahkan untuk menjadi pembantu di rumah ini saja Mamah tidak Sudi!” cibir Damitri.“Kak Yuan... Kakak nggak mikirin perasaan kak Evelin. Gimana kalau dia tahu ternyata kakak sudah menikah? Memang mereka tidak sebanding, tapi ini penghinaan buat kak Evelin, Kak. Bisa-bisanya kakak lebih memilih Upik abu dibanding Kak Evelin yang seorang model ternama.” Selina ikut menimpali.Sementara itu, Jennifer, adik bontot Yuan hanya diam tak memberikan komentar apa pun. Jennifer orang yang paling paham akan karakter Yuan. Jika Yuan sudah mengambil keputusan, tentu sudah melalui pemikiran yang matang. Yuan tidak mungkin sembarangan mengambil keputusan.“Yuan, apa kamu sudah benar-benar gila? Mamah tahu kamu baru putus dari Evelin, tapi jangan seperti ini, Sayang … hubungan kalian masih bisa diperbaiki, kok. Mamah yakin kalian masih bisa bersama.”“Mah, cukup. Berhenti bicara tentang wanita itu. Aku dan dia sudah selesai. Dan yang Mamah harus terima sekarang, Yuan sudah menikah. Ini perempuan pilihan Yuan. Meskipun kalian menolak, aku akan tetap mempertahankan rumah tanggaku. Penampilan Caramel memang tidak modern, tapi dia perempuan yang baik. Dia bisa menjaga kehormatannya sebagai perempuan. Aku rasa kalian tahu bagaimana rasanya dikhianati.”Yuan hendak berlalu dari tempat itu namun dia melupakan satu hal.“Oh, ya, satu lagi... Caramel adalah istriku, tidak ada yang boleh menghina atau pun menyakiti dia di rumah ini. Jika hal itu terjadi, aku sendiri yang akan turun tangan.”Yuan meraih tangan Caramel dan Devon kemudian menggandengnya melewati barisan keluarga Alexander menuju kamarnya di lantai atas.Yuan memilih pergi daripada melanjutkan perdebatan yang tentu tidak ada untungnya.“Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Yuan! Kamu sudah tidak menganggap Mamah! Bagaimana kalau sampai teman-teman mamah tahu. Mau taruh di mana muka Mama! Yuan!” teriak Damitri melihat punggung Yuan yang semakin menjauh.Damitri benar-benar kesal dan kecewa dengan keputusan Yuan. Damitri tidak hanya takut malu karena menantunya dari kalangan orang biasa, tapi Damitri juga menyayangkan perasaan Evelin yang sudah ia harapkan bisa menjadi menantunya.***“Kamu mandi saja dulu. Aku tahu kamu lelah. Aku akan ke ruang kerjaku dulu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan,” ujar Yuan setelah mereka sampai di kamar. Caramel hanya mengangguki ucapan Yuan.Sepeninggal Yuan Caramel melihat-lihat kamar Yuan. Kamar ber-cat dark grey itu terlihat rapi dan nyaman. Dindingnya tidak sepi dari lukisan-lukisan dan foto keluarga. Hal itu dapat Caramel simpulkan jika Yuan merupakan pria penyayang keluarga.Caramel melangkahkan kaki melihat foto keluarga besar Alexander yang berada di depannya. Cantik dan tampan. Bagaimana Yuan tidak se-tampan itu, ayahnya saja meski sudah tua masih terlihat gagah dan menawan.“Aku tidak tahu alasan apa yang membuat kamu menikahi aku. Kita bahkan tidak saling mengenal. Kamu juga memiliki kekasih seorang model ternama, lalu kenapa kamu memilih aku? Apa ada yang kamu sembunyikan dibalik punggungku? Kamu sangat baik, Yuan, tapi jujur... aku belum bisa sepenuhnya menerima kamu. Semua ini masih seperti mimpi,” gumam Caramel sambil melihat foto itu. Tetapi matanya terfokus pada wajah Yuan yang paling bersinar di antara yang lainnya.“Kenapa? Kamu baru menyadari kalau suamimu ini memang tampan?”Caramel terkejut saat mendengar suara Yuan kembali terdengar. Pasalnya dia tidak mendengar ada suara pintu terbuka.“Ish, pede sekali.” Caramel mengelak. Caramel celingukan mencari sesuatu.“Kamu pasti penasaran aku lewat dari mana? Itu. Itu pintu rahasiaku. Pintu itu bisa langsung tembus ke ruang kerjaku,” urai Yuan menerangkan.“Oh.”Melihat sikap acuh Caramel kenapa Justru Yuan semakin penasaran? Jika biasanya dia dikejar oleh banyak perempuan yang genit, berbeda dengan Caramel yang seolah tidak tertarik padahal malah berhasil memilikinya.Yuan, si pria dingin bisa begitu mudah lunak hanya karena gadis sederhana seperti Caramel. Entah itu karena rasa bersalah atau memang diam-diam Yuan sudah mulai tertarik dengan kesederhanaan Caramel.“Cepat mandi, setelah itu aku juga akan mandi. Devon sudah ada di taman, sedang jalan-jalan sama Bi Tyas. Oh ya, baju kamu letakkan di lemari itu saja. Lemari itu masih kosong, kamu bisa menyimpannya di sana.”Caramel hanya manggut-manggut saja menanggapi perkataan Yuan. Entah mengapa Yuan menjadi lebih aktif bicara saat bersama Caramel.“Aku akan kembali ke ruang kerjaku,” pamit Yuan.“Tunggu,” cegah Caramel, Yuan pun menoleh.“Terima kasih. Terima kasih karena Anda sudah sangat baik. Anda juga sudah membela saya di depan keluarga Anda. Tapi seharusnya Anda tidak perlu melakukan itu … bagaimana pun Ibu Anda harus tetap Anda hormati. Jangan sampai Anda menyesal jika sudah bernasib seperti saya.”DEG!Yuan merasa terpecut dengan pernyataan Caramel. Ucapan Caramel membuat Yuan kembali merasa bersalah atas meninggalnya Ningsih. Caramel memang gadis yang baik. Diihina pun gadis polos itu terlihat tidak marah. Bahkan Caramel meminta Yuan agar tetap bersikap sopan kepada ibunya. Semoga keputusannya menikahi Caramel bukan keputusan yang salah.“Iya.” Yuan berlalu meninggalkan Caramel menuju ruang kerjanya.***Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Yuan masih sibuk memainkan ponselnya sementara Caramel membaca buku resep masakan. Keduanya duduk di sofa saling berjauhan.“Kalau sudah ngantuk, tidur saja. Kamu bisa tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa,” ujar Yuan setelah mendapati Caramel beberapa kali menguap.Caramel menoleh. “Anda serius? Ini kamar Anda, biar saya saja yang tidur di sofa.”“Kamu itu perempuan, jangan ngeyel kalau dibilangin.”"Baiklah kalau begitu. Terima kasih." Caramel berdiri hendak berjalan menuju ranjang.“Caramel,” panggil Yuan.“Ya,” sahutnya.“Panggil aku Mas.”“Kenapa?”“Aku tidak mau orang-orang berpikir macam-macam tentang hubungan kita. Kita itu suami istri. Sudah sepatutnya kita saling menghargai.”“Oh, baiklah.” Caramel melanjutkan langkahnya.“Caramel?”“Apa lagi, Mas?” Mendengar panggilan Caramel membuat Yuan terkekeh geli. Padahal dia sendiri yang menginginkan panggilan itu.“Aku akan memanggilmu Say....”“Sayur?”“Sayang! Aku akan memanggilmu sayang. Yah, itu terdengar lebih ramah. Dan orang-orang nggak akan ada yang curiga dengan hubungan kita sebenarnya, kalau aku menikahi kamu karena dadakan. Aku hanya kasihan karena kamu terlilit hutang dengan rentenir tua itu.”Caramel mencerna kalimat Yuan.“Oh, jadi karena itu Anda menikahi saya. Saya tidak perlu dikasihani. Jika Anda menyesal, ubah saja status saya menjadi pembantu, sebelum semuanya terlambat.”“Ngelawak kamu? Mana bisa status diubah-ubah begitu saja. Kamu itu istriku. Tolong ubah panggilan Anda itu menjadi aku dan kamu, aku tidak suka bahasa yang terlalu formal.”“Iya, iya. Kalau begitu aku tidur dulu. Terima kasih karena sudah menyelamatkan aku dari Jarot,” ungkap Caramel kemudian tersenyum tipis.“Sama-sama.”Sang Surya mulai memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Melalui celah jendela kamar, sinarnya menembus masuk ke dalam kamar Yuan. Yuan mulai tersadar dan mengucek mata.Yuan melihat ke bawah dan mendapati sebuah selimut yang membungkus tubuhnya. Sekilas Yuan tersenyum, ia yakin pasti Caramel lah yang telah memberi selimut itu untuknya. “Sebenarnya seperti apa kamu Caramel? Kadang kamu acuh, kadang perhatian.”Yuan melihat ke arah ranjang dan sudah tidak ada Caramel di sana. Yuan bergegas bangun dan mencari keberadaan Caramel di kamar mandi. Namun, tak juga ia temukan. Yuan turun ke lantai bawah. Dari kejauhan ia melihat Caramel tengah berada di dapur. Tanpa sadar senyum tipis terurai di bibir Yuan. “Bi Tyas ke mana? Kok kamu yang masak?” “Aw!”Caramel mengaduh karena pertanyaan Yuan membuat Caramel kaget hingga tanpa sengaja pisau yang dia pegang mengenai jarinya.“Kamu kenapa? Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kamu,” sesal Yuan seraya meraih jemari Caramel yang terluka. Yuan l
Bim! Bim! Bim! “Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar,” ajak Yuan pada Caramel dan juga Devon yang telah selesai bersiap-siap. Dari raut keduanya terlihat sangat menyedihkan. Caramel memeluk Devon sambil menangis.“Kamu semangat berjuang untuk sembuh ya, Sayang, supaya kamu cepat kembali ke sini. Kakak pasti merindukan kamu,” ujar Caramel sambil menangis sesenggukan.“Iya, Kak. Devon akan berjuang keras. Devon pasti sembuh, Kak. Maaf kalau selama ini Devon merepotkan Kakak terus,” tutur Devon membuat tangis Caramel semakin pecah.“Jangan bicara seperti itu. Nggak ada yang merasa direpotkan. Ini sudah menjadi tanggung jawab Kakak.”Adik dan Kakak itu meraung karena perpisahan ini terasa berat untuk mereka berdua. Dua insan yang saling melengkapi kini dipisahkan oleh keadaan demi tujuan yang lebih baik. “Ssh, ssh, sudah sudah. Ini hanya sementara, Devon, Amel... kalian akan bersatu lagi. Saat ini biarlah jarak memisahkan kalian berdua, tapi nanti... kalian akan menuai bua
Waktu terus bergulir, setelah kepergian Devon kerapkali Caramel merasa kesepian. Hari-harinya terasa sangat membosankan. Caramel seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.Beruntung beberapa hari ini penghuni rumah tak ada yang singgah selain Yuan dan dirinya. Jennifer dan Selina sedang ada kegiatan kampus sementara Damitri sibuk dengan arisan sosialita-nya yang melakukan acara di luar negeri.Menilik tentang hubungan cintanya dengan Yuan, belum ada yang berarti. Semuanya masih sama. Namun saat ini sudah ada rasa canggung setiap kali mereka bersentuhan atau bertatap mata tanpa sengaja.Jika melihat fisik, rasanya tidak sulit untuk mencintai sosok seperti Yuan. Siapa yang bisa menolak kharisma dan ketampanannya? Yuan bagaikan titisan dewa yang beruntung Caramel dapatkan.Caramel jalan-jalan santai mengelilingi rumah megah Alexander. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalas dengan senyum ramah.Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal
Kepergian Caramel dari rumah Yuan membawa kesedihan tersendiri bagi Caramel. Jika bukan karena mengikuti suaminya, Caramel akan lebih memilih untuk menempati rumahnya yang sederhana tapi penuh cinta.Meski rumahnya tidak mewah seperti rumah suaminya, tapi di rumah sederhana itu Caramel bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Berbeda halnya dengan rumah Yuan yang hanya merasakan kesedihan karena keberadaannya tidak dianggap.Caramel berjalan menyusuri trotoar dengan beralaskan sandal yang sudah usang. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya seorang istri dari pengusaha muda ternama. Ia terus berjalan dan menaiki angkutan umum menuju pemakaman ibunya.Air mata Caramel terjatuh saat melihat gundukan tanah yang mulai mengering.“Ibu ... Caramel datang, Bu. Caramel bawakan bunga kesukaan ibu,” ucap Caramel sesampainya di depan pusara makam ibunya dan meletakkan seikat bunga yang sempat dia beli di dekat gerbang pemakaman. Bibir Caramel bergetar menahan tangis. “Caramel kangen bang
Sesampainya Caramel di rumah, ia kembali merasakan kehangatan dan kedamaian. Ia merasa seperti berada di zona nyaman yang selama ini dia rindukan. Zona yang membuatnya senang, nyaman dan merasa aman berada di dalamnya. Caramel meletakkan tasnya. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang sudah terasa tidak empuk lagi. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan melupakan kejadian buruk yang menimpanya hari ini.Saat bayangan tentang perlakuan keluarga suaminya itu datang, dengan segera Caramel menyapunya. Ia tidak ingin berlarut dalam belenggu yang membuatnya tertekan. Caramel bergegas membersihkan diri. Badannya terasa lengket sejak siang akibat terkena keringat dan sinar matahari.Usai mandi dan berganti pakaian Caramel duduk di ruang tamu dengan memandangi foto keluarganya. “Ayah… ibu... maafkan aku. Selama hidup aku belum sempat membahagiakan kalian. Aku belum bisa membuat kalian bangga,” sesal Caramel sambil mengelus foto tersebut. Air matanya kembali terjatuh.“Ayah… maafkan aku belum b
Yuan terbangun setelah mendengar suara tukang bubur melintas di depan rumah Caramel.Yuan mengedarkan pandangan namun tak mendapati Caramel dalam ruangan itu. Dia berpikir mungkin saja Caramel masih tidur.Ya, mereka tidur terpisah. Yuan di ruang tamu sementara Caramel tidur di kamarnya. Mereka sudah berkomitmen untuk tidak melakukannya sebelum mereka saling mencintai.“Caramel… Mel... kamu di mana?” panggil Yuan mencari keberadaan Caramel. Yuan membuka pintu kamar Caramel namun kosong. Yuan beralih ke dapur dan kamar mandi tapi Caramel tak juga ia temukan.“Mel, Mel... kamu ke mana lagi, sih? Hobi banget ngilang-ngilang begini,” gumam Yuan. Yuan membuka pintu utama dan melihat Caramel sedang berbelanja di tukang sayur bersama ibu-ibu lainnya. Caramel terlihat akrab sesekali mereka juga bercanda saling melempar candaan. “Ternyata senyum kamu manis juga,” celetuknya terlontar begitu saja. “Semoga suatu saat kita bisa menjadi pasangan suami istri sungguhan. Saling melengkapi, saling m
Caramel terbangun saat merasakan ada sesuatu yang besar melingkar di perutnya. Caramel perlahan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Caramel saat mendapati Yuan tidur satu ranjang dengannya.Caramel ingin berteriak, tapi dia urungkan. Bagaimana pun mereka berdua suami istri. Tidak ada larangan untuk mereka tidur satu ranjang bersama. Caramel memutuskan untuk melihat ciptaan tuhan tersebut mumpung Yuan sedang tidur. “Kamu tampan juga baik hati. Tapi aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa memilih perempuan seperti aku. Aku tahu jodoh itu penuh misteri, tapi aku rasa kisah kita terlalu rumit untuk dimengerti,” lirih Caramel sambil memandangi wajah rupawan suaminya.Yuan menggeliat, membuat pelukannya di tubuh Caramel terlepas. Caramel segera pura-pura tidur agar Yuan tidak memergoki dirinya yang diam-diam mulai mengangumi sosok suaminya. “Nggak usah pura-pura tidur, aku tahu kok kamu sudah bangun,” sindir Yuan.Caramel terpaksa membuka matanya dan melihat Yuan sedang memandangi Caram
“Mas, kopinya sudah aku buatkan. Sarapannya juga sudah siap,” ucap Caramel menghampiri Yuan di kamar setelah selesai memasak.“Iya, terima kasih.” Yuan masih merapikan dasinya, kemudian melewati Caramel begitu saja. Bisa dipastikan Yuan masih kecewa dengan sikap Caramel. Dia hanya meminta hak-nya sebagai suami, namun Caramel masih terlihat enggan untuk melakukan kewajibannya. Tentu saja Caramel merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Apakah dia bisa melakukan itu dengan setengah hati yang masih keberatan?“Mas, bekalnya juga sudah aku siapkan. Sudah aku taruh di mobil kamu,” ucap Caramel lagi saat berhadapan dengan Yuan yang tengah sarapan.“Iya, terima kasih.”Lagi-lagi hanya jawaban itu. Tidak ada kalimat lain yang keluar dari mulut Yuan selain kalimat tersebut. Apa Yuan sekesal itu? Bukan... Bukan kesal. Lebih tepatnya hanya kecewa karena Caramel belum yakin dengan apa yang dia janjikan. “Aku berangkat dulu,” pamit Yuan usai sarapan dan menenggak segelas air putih.“Mas, kopinya be