Di Halaman Rumah Yuan
Bim! Bim! Bim!
Bima meminta sang supir untuk membunyikan klakson mobilnya beberapa kali, itu semua bertujuan agar kehadirannya diketahui oleh sang pemilik rumah.
Dari dalam rumah. “Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar!” Yuan mengajak Caramel dan Devon melihat siapa yang tengah membuat keramaian di halaman rumahnya.
Yuan, Caramel dan Devon keluar rumah untuk menemui pasangan suami istri yang akan menemani Devon berjuang untuk kembali sembuh.
“Hai ... pengantin baru!” sapa Bima dengan melambaikan tangannya. Ia sudah keluar mobil menghampiri Yuan, Caramel dan Devon.
Bima dan Yuan saling berpelukan. Om dan ponakan ini sudah seperti anak dan ayah kandung karena kedekatannya.
“Om kira kamu nikah sama Evelin. Ternyata bukan. Tapi, enggak kalah cantik sih ini! Pintar juga kamu cari istri!” ucap Bima spontan membuat Caramel yang tadi tersenyum ramah, kini menundukkan pandangannya.
“Kenalin, Om. Namanya Caramel, kakaknya Devon. Takdir yang sudah menemukan kita berdua.” Yuan berkata dengan melirik ke arah Caramel.
Caramel pun mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan anggota keluarga Yuan yang lain.
Bima menyambut uluran tangan Caramel dengan tersenyum hangat. “Hai, Caramel. Semoga betah ya menjadi istri Yuan,” ucap Bima menggoda Yuan.
“Wah, cantik juga istrimu, Yuan. Ketemu di mana. Pasti kalian baru bertemu langsung nikah, ya? Takut kalau dia diambil orang! Soalnya Tante belum dengar kisah kalian sama sekali,” ujar Sinta yang baru saja datang menghampiri mereka.
Caramel pun mengulurkan tangannya untuk bersalaman, dan disambut hangat oleh Sinta.
“Di pinggiran kota, Tante. Jauh banget ya levelnya sama keluarga kita?” Selina ikut bergabung lalu menyaut ucapan Sinta.
“Sel, bisa diam enggak?” lirik Yuan kepada Selina dengan tatapan tajam.
Caramel dan Devon hanya diam dan menunduk. Apa yang dikatakan oleh Selina memang benar. Ia hanya berasal dari kalangan bawah yang tidak ada kebanggaannya.
“Selina! Bicara apa kamu? Kita semua ini sama di hadapan Tuhan. Jadi, jangan pernah menganggap karena kamu lebih kaya darinya, kamu bisa seenaknya menilai orang. Bisa saja Caramel memang tidak kaya harta, tapi dia kaya hati! Tante enggak suka ya, kamu berpikiran seperti itu. Memangnya kenapa kalau dia hanya orang biasa, toh sekarang dia juga keluarga kamu. Dia kakak ipar kamu. Apa pantas kamu menghinanya begitu? Dia juga sudah menjadi bagian dari keluarga Alexander sekarang, kamu ingat baik-baik itu!” Sinta merasa kesal dengan penilaian Selina yang memandang rendah orang lain hanya dari segi sosial.
“Tante apaan, sih? Kok malah ikutan bela wanita miskin ini? Huh!” Selina merasa terpojok, kemudian ia berlalu menuju kamarnya.
“Caramel … kamu tidak usah dengar perkataan Selina, ya? Mulutnya memang begitu. Pedas!” saran Sinta agar Caramel kembali nyaman.
“Mereka hanya belum terbiasa dengan kehadiran kamu. Nanti lama-lama mereka pasti bisa menerima kamu,” imbuh Yuan.
“Iya, Tante … Mas,” jawab Caramel.
“Oya, mama kamu ke mana, Yuan? Dari tadi Tante enggak lihat?” tanya Sinta.
“Mama kunjungan dadakan ke kantor cabang, Tante. Tante tau sendiri 'kan mama orangnya seperti apa?” Yuan balik bertanya.
“Iya, sih. Mamamu itu ribet sekali. Sudah tinggal terima beres masih suka menyulitkan diri,” jawab Sinta.
“Mana yang namanya Devon? Kamu ya? Tampan sekali! Devon mau enggak jadi anak angkat Om dan Tante?” Bima mencoba mencairkan suasana dengan menyapa Devon.
Bima mendekati Devon dan merangkulnya. Ia menjalin kedekatan dengan Devon agar terbiasa.
“Kamu bisa panggil Om, Papi!” himbau Bima. Entah mengapa hatinya menghangat saat berdekatan dengan Devon.
“Tapi, Om. Saya belum mengenal Om sepenuhnya,” jawab Devon.
“Kamu tidak perlu khawatir. Om akan menyayangi kamu seperti anak Om sendiri.”
“Iya, Devon. Kamu juga panggil Tante, Mami ya? Sudah lama sekali kami menantikan ada seseorang yang memanggil kami dengan sebutan mami dan papi. Tapi Tuhan belum mempercayai kami untuk merawat buah hati. Devon mau, ya? Menjadi anak kami?” pinta Sinta. Sinta pun merasakan hal yang sama. Melihat wajah Devon membuat perasaannya ingin melindungi laki-laki kecil itu.
Caramel merasa tersentuh dengan kebaikan Bima dan Sinta. Ia sangat beruntung bisa menikah dengan Yuan. Karena kini hidupnya di kelilingi oleh orang-orang yang baik. Meskipun ada juga yang tidak menyukainya. Tetapi itu memang sudah beriringan. Ada yang suka maka ada juga yang membenci, Caramel sudah menganggapnya hal biasa.
“Devon ... mereka orang-orang yang sangat baik. Kamu beruntung menjadi pilihan mereka untuk menjadi putranya. Banyak keponakan Kakak yang ingin menjadi kesayangan dari mereka, tapi tidak ada satu pun yang berhasil merebut hatinya. Mereka juga sangat kaya, Devon. Tentu saja mereka akan memenuhi semua keinginan kamu. Termasuk sekolah tinggi sekali pun.” Yuan mengungkapkan kebaikan Bima dan Sinta di hadapan Devon.
“Mas ... Om, Tante ... Devon sudah cukup besar untuk bisa menilai sikap seseorang. Tidak perlu dipaksa. Devon begitu, karena dia belum terbiasa dan belum mengenal. Yang Caramel tau, Devon seseorang yang akan lebih menyayangi seseorang itu jika memang ia rasa pantas untuk disayangi. Dia sudah tau bagaimana cara memperlakukan orang yang lebih tua darinya. Apa lagi orang tersebut menyayanginya. Tentu akan sangat mudah bagi Devon untuk membalasnya,” Caramel mengemukakan pendapatnya.
“Iya kamu benar. Sepertinya Yuan sangat tepat memilih kamu sebagai istrinya. Jangan kecewakan dia, ya? Meski dia terlihat galak, tapi dia memiliki sisi lain yang rapuh jika orang yang disayangi meninggalkannya,” ucap Sinta dengan memegang bahu Yuan.
“Jangan seperti itu, Tante. Nanti dia jadi besar kepala,” seloroh Yuan. Ia melihat wajah Caramel bersemu merah karena merasa tersanjung.
“Apa sih, Mas ...,” sergah Caramel.
“Memang seperti itu Tante menilai kamu, Caramel. Meskipun Tante baru melihat kamu pertama kali, tapi Tante merasa kamu orangnya jujur dan tulus. Ditambah lagi dengan kecantikan kamu yang belum terekspos, saat kamu merias diri, pasti Yuan tidak akan pernah bisa berpaling darimu.” Tambah Sinta.
“Tante berlebihan. Saya hanya gadis biasa, Tante. Tante adalah orang pertama yang mengatakan saya cantik, setelah almarhum ibu saya.” Jawab Caramel sendu.
“Almarhum? Ibu kamu sudah meninggal?” Sinta membelalak kaget dengan pernyataan Caramel.
“Iya, Tante. Baru 2 hari ini, ibu saya meninggal,” ungkap Caramel.
“Astaga! Tapi yang Tante tau, Yuan menikahi kamu kemarin. Jadi kalian menikah masih dalam keadaan berduka? Ya ampun, Yuan! Di mana otakmu itu! Bisa-bisanya kamu menikahi dia dalam keadaan sedih begitu?!” Sinta mengomel sembari memukuli punggung Yuan.
“Ampun, Tante! Yuan melakukan itu semua juga karena ada alasannya, Tante!” jawab Yuan dengan melindungi diri.
“Bukan salah Mas Yuan kok, Tante. Justru saya sangat berterimakasih, karena Mas Yuan telah menyelamatkan saya dari belenggu cinta rentenir jahat. Mas Yuan menggantikan mempelai pria saat saya melangsungkan pernikahan yang tidak saya harapkan. Untuk itu, saya sangat bersyukur karena Tuhan memberi saya jodoh yang begitu baik,” Caramel membela Yuan. Apa yang ia nyatakan adalah ungkapan hati yang sesungguhnya.
“Benar begitu? Kalau begitu, hatimu sangat mulia, Yuan!” Sinta menyesali perbuatannya. Ia mengusap-usap punggung Yuan sebagai permintaan maaf.
“Saya tidak tau, apa alasan Mas Yuan melakukan itu semua. Kami sama sekali tidak saling mengenal, tapi Mas Yuan berani mengambil keputusan untuk menikahi saya. Saya yakin Mas Yuan pasti paham apa arti pernikahan. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Jadi, saya harap Mas Yuan tidak pernah menyesal karena sudah menikahi saya.” Ucap Caramel dengan menatap mata Yuan secara intens.
Glek ...
Yuan menelan ludahnya. Ucapan Caramel seakan menamparnya dengan sangat kencang. Rasa bersalah kembali menyelimuti pikirannya. Bagaimana jika sampai Caramel mengetahui siapa pelaku tabrak lari ibunya? Pasti Caramel akan sangat sulit memaafkan orang tersebut, yang tak lain juga Yuan yang termasuk di dalamnya.
“Kamu cantik, kamu baik, kamu jujur, dan kamu tidak neko-neko, Caramel. Itu sebabnya Yuan sangat yakin untuk menikahi kamu dalam waktu yang singkat!” Sinta dengan begitu yakin menceritakan pandangannya.
“Saya tidak sesempurna itu, Tante. Saya juga tidak sebaik yang Tante pikirkan. Saya hanya manusia biasa, saya tidak pernah luput dari kesalahan. Saya juga memiliki sisi buruk, Tante.”
“Itu manusiawi, Caramel. Tante bisa mengerti. Semoga rumah tangga kalian langgeng, ya? Cepat berikan Tante mainan yang bernyawa,” gurau Sinta kepada Yuan dan Caramel.
Caramel menatap Yuan, dan Yuan hanya diam saja. Yuan masih kepikiran dengan ucapan yang baru saja Caramel lontarkan.
“Om, Tante ... masuk dulu, yuk? Caramel buatkan minuman dan sarapan.” Caramel mengalihkan pembicaraan.
“Tidak usah, Caramel. Tidak perlu repot-repot. Devon sudah siap, kan? Kita berangkat sekarang aja, ya? Nanti kita mampir sarapan di restoran langganan Mami. Mami kangen banget sama sup buntutnya,” ucap Sinta seraya membayangkan makanan favoritnya.
“Ya sudah ayo, Honey. Jam 11 kita harus sudah terbang. Kalau kita undur-undur, makan sup buntutnya nanti jadi terburu-buru,” ajak Bima.
“Caramel … Yuan … kami berangkat dulu, ya? Tante janji akan menjaga Devon dengan baik,” ucap Sinta sembari berpamitan dengan memeluk Yuan dan Caramel bergantian.
“Iya, Tante. Saya titip Devon, ya? Kalau Devon mulai nakal, Tante berhak memarahinya. Terimakasih karena Tante dan Om Bima, mau menerima Devon dengan baik,” kata Caramel.
“Kalian yang tenang. Kalian fokus saja mencetak Yuan dan Caramel junior. Agar kalau Om main ke sini ada yang bisa di jahilin.” Bima berucap tanpa dosa yang sukses membuat Yuan dan Caramel bingung menanggapinya.
“Tidak usah malu-malu begitu, Yuan. Kalian ini sudah dewasa dan sudah menikah. Masa hal begitu saja, masih tabu menurut kalian. Bulan depan kami ke sini, kalau bisa sudah ada hasil, ya?” pinta Bima seenaknya. Padahal sudah hampir 10 tahun menikah, Bima belum juga berhasil membuat adonannya.
“Yuan usahakan, Tante,” jawab Yuan kemudian. Tidak enak juga kalau Yuan selalu menghindari pernyataan om dan tantenya.
“Oke. Kami tunggu kabar baiknya. Ayo Devon, kamu pamit dulu sama Kakak, kita berangkat sekarang ….”
Devon memandang mata Caramel sangat dalam. Air matanya tumpah begitu saja.
“Kakak!” Devon berhambur memeluk Caramel.
Adik dan kakak itu berpelukan dengan sangat erat. Seakan sangat sulit untuk dipisahkan.
“Kak ... Devon enggak mau berpisah sama Kakak!” rengek Devon.
Caramel melepas pelukannya dan beralih memegang pipi Devon dengan kedua tangannya.
“Devon ingat tujuan awal kita, apa? Devon ingin sembuh, kan? Devon ingin melihat Kakak dan Kak Yuan bahagia, kan? Devon harus sembuh. Lagi pula Devon di sana dijaga sama Om Bima dan Tante Sinta. Mereka orang-orang yang sangat baik, sayang. Devon beruntung lho. Devon bisa berobat sekalian jalan-jalan,” bujuk Caramel.
“Cita-cita Devon apa?” tanya Yuan menengahi.
“Devon ingin menjadi prajurit bersenjata, Kak,” jawab Devon.
“Kalau Devon ingin meraih cita-cita Devon, Devon harus sembuh. Memangnya siapa yang mau menerima Devon menjadi prajurit kalau Devon sakit? Kalau Devon sudah sembuh, Devon bisa menjadi apa pun yang Devon mau. Bagaimana? Devon masih mau bertahan di sini dengan melihat Kak Caramel sedih, atau Devon pergi dan kembali dengan membuat Kak Caramel bangga dan bahagia?” Rayuan maut Yuan memang selalu bisa membuat Devon berpikir ulang.
Devon menimbang perkataan Yuan. Gambaran wajah Caramel yang bahagia karena melihat kesuksesannya, membuat Devon kembali bersemangat untuk sembuh.
“Iya, Kak. Devon mau pergi. Semakin cepat Devon pergi, semakin cepat pula Devon sembuh.” Devon mengatakan dengan bersemangat.
“Bagus! Kamu memang anak yang pintar!” jawab Yuan.
“Kak ... Devon pergi, ya? Doakan Devon kembali dengan membawa kebahagiaan buat Kakak?” Devon meminta izin pada Caramel.
“Iya, Sayang. Ingat pesan Kakak! Tidak boleh nakal dan tidak boleh merepotkan. Kalau Devon merasa bisa melakukannya sendiri, Devon lakukan sendiri. Jangan buat Tante Sinta kerepotan karena mengurusi Devon.” Caramel kembali mengingatkan pesannya.
“Iya, Kak. Devon janji Devon akan mandiri!” balas Devon.
Untuk kesekian kalinya, Caramel dan Devon berpelukan. Yuan juga memeluk Devon untuk melepas kepergiannya.
“Ingat Devon, kamu anak yang kuat. Kamu pasti bisa membanggakan kita!” Yuan memberi semangat kapada Devon dengan mengangkat lengannya.
“Iya, Kak.” Devon menjawab dengan tersenyum senang. Dia tidak akan merepotkan kakaknya lagi. Devon akan membalas kebaikan kakaknya dengan bisa sembuh dan meraih cita-citanya.
Bima dan Sinta menggiring Devon masuk ke dalam mobil yang di sewanya. Setelah mereka bertiga masuk ke dalam mobil, Devon dan Sinta melambaikan tangannya ke arah Caramel dan Yuan sebagai tanda perpisahan. Caramel melepas Devon dengan tangisan yang ia tahan, agar Devon tidak terlalu berat untuk meninggalkannya.
Setelah kepergian Bima, Sinta dan Devon, Yuan ikut berpamitan kepada Caramel untuk berangkat kerja ke kantor.Caramel merasa kesepian, ia bingung harus melakukan aktivitas apa saat Yuan dan Devon tidak ada di rumah.Caramel berjalan-jalan mengelilingi rumah. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalasnya dengan ramah dan senyuman yang menawan.Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal dengan kemacetan nya, ternyata masih ada tempat yang begitu asri dan cukup jauh dari keramaian. Suasana yang sejuk, tenang, dan di sekitar rumah yang di tempati keluarga Yuan, hanya ada beberapa rumah saja. Tidak padat penduduk seperti kota jakarta pada umumnya.Di balik rumah tampak depan yang begitu megah, terdapat taman tersembunyi di balik rumah yang tak kalah indah. Caramel ingin membuka pintu tersebut dan masuk ke dalamnya.“Anda mau ke mana, Nona?” tegur salah seorang penjaga rumah bernama Santoso.
Di KantorTring!Suara ponsel Yuan berdering tanda adanya pesan masuk dari seseorang. Yuan sedang menatap monitor laptop dan mengerjakan beberapa file hingga ia mengabaikan pesan tersebut.Yuan masih terus bergelut dengan pekerjaan dan mengabaikan ponselnya. Karena jika bukan sebuah panggilan maka Yuan tidak akan menanggapinya.Pekerjaan Yuan sangat banyak, hingga ia tidak sempat membuka ponselnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, tetapi dia belum juga menyelesaikan pekerjaannya. Kali ini Yuan lembur, karena akan ada proyek besar yang menanti dan Yuan harus mempersiapkan segala sesuatunya.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu.“Masuk!” jawab Yuan masih terfokus dengan laptop yang ada di depannya.“Sudah jam 8 malam, Tuan. Apa tidak sebaiknya Tuan pulang saja dan melanjutkan pekerjaan besok? Saya khawatir Nona Caramel sedang menunggu anda dengan perasaan cemas,
Keesokan Harinya Di Rumah CaramelTadi malam, benar-benar menjadi malam yang cukup melelahkan untuk Yuan dan Caramel. Meskipun tidak melakukan aktivitas berat, tetapi dengan posisi tidur yang kurang leluasa membuat semua anggota tubuhnya terasa sakit. Selain ukuran ranjang Caramel yang cukup kecil, bertambahnya tumpukan guling semakin memakan tempat, hal itu membuat Yuan beberapa kali jatuh ke lantai. Karena merasa kesal, akhirnya Yuan membuang semua tumpukan guling itu dan ia bisa tidur dengan sedikit lega.Saat kedua insan itu terbangun bersama-sama, sebuah teriakan keduanya sangat nyaring dan membuat Caramel seketika menghindar hingga tubuhnya terpental.“Mas? Mas, kok tidur peluk-peluk aku?”“Mana aku tau!” bantah Yuan.“Tumpukan guling yang ditengah sini di mana?”“Aku buang! Habisnya sempit sekali. Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Lihat! Badanku jadi sakit semua. Man
Rumah CaramelSetelah kejadian pagi yang cukup membuat tidak nyaman, Caramel segera melupakannya dengan cara memasak. Ia memasak untuk sarapan Yuan dan juga dirinya.“Mau aku bantu?” tawar Yuan.“Tidak usah, Mas. Aku bisa kerjakan sendiri. Lebih baik Mas duduk aja di sana. Mas mau aku buatkan apa? Kopi atau teh?” Caramel menawari Yuan sembari mencuci ayam yang telah ia potong-potong.“Em … aku mau susu!” jawab Yuan dengan sedikit mendekatkan bibirnya di telinga Caramel.Caramel yang mendapat bisikan seperti itu seketika bulu kuduknya meremang. Suara Yuan terdengar sangat sexy menurut Caramel.“Tapi susunya enggak ada, Mas. Aku belum sempat beli. Nanti aku balikan di warung,” jawab Caramel dengan sedikit menghindar.Yuan semakin senang melihat Caramel yang terjerat dalam godaannya. Ia sendiri bingung, mengapa bisa seagresif itu saat
Setelah Yuan berangkat kerja, Caramel kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia sarapan sejenak lalu setelah itu membersihkan rumah. Caramel melakukan aktivitas menyapu, mengepel, mencuci baju seperti kebiasaannya dulu.Setelah menyelesaikan semuanya, Caramel merebahkan tubuhnya untuk isitirahat. Karena merasa lelah, Caramel tertidur dengan sangat mudah.***Sore hari pukul 4 soreBekerja seharian dengan menghadap layar laptop, ditambah dengan klien yang sedikit rewel membuat Yuan merasakan penat dalam tubuhnya. Tidak hanya capek badan tapi juga capek pikiran.Menghadapi klien yang kadang tidak sejalan dengan pemikiran itu membuat Yuan kerja keras untuk kembali menjelaskan dan menemukan titik terang. Tetapi, dengan kemampuannya, Yuan selalu mampu membuat klien itu mengerti hingga mengajukan kerja sama. Perusahaan yang Yuan pimpin bergerak pada lini teknologi informasi, alat berat, otomotif, dan lain sebagainya.Karena s
Kediaman Alexander pukul 10 malamYuan dan Caramel telah sampai kembali di rumah besar yang menurut Caramel jauh dari kesan bahagia. Tempat di mana Caramel merasa asing dan kesepian. Yuan menggandeng tangan Caramel memasuki rumah yang terlihat sudah sepi, mungkin sang penghuni rumah telah bersarang di kamarnya masing-masing.Saat di tangga hendak naik ke atas menuju kamar, Yuan disapa oleh Bi Tyas, pembantu yang masih berjaga.“Selamat malam, Tuan, Nona? Senang rasanya Nona bisa kembali ke rumah ini,” ujar Bi Tyas dengan menundukkan pandangannya.“Iya, Bi. Terimakasih sudah menyambut kami dengan baik,” balas Caramel.“Sudah menjadi kewajiban saya, Nona. Apalagi Nona orangnya sangat baik, tentu kami juga sudah pasti menyambut baik.”“Iya, Bi. Kalau begitu, kami ke atas dulu, ya?” izin Caramel.“Silakan, Nona, Tuan. Oiya, tadi Den Dirga kemari Tuan, be
Kediaman Alexander Di Pagi HariAkibat ulah Yuan, kini Caramel masih terbaring lemah di kasurnya. Yuan membuka jendela kamar, yang tidak ia sengaja justru malah membangunkan Caramel dari tidur lelapnya.“By ... jam berapa ini?” tanya Caramel dengan menutupi matanya karena silau akibat cahaya matahari yang masuk lewat celah jendelanya.“Eh, maaf Sweety, aku membangunkanmu,” ucap Yuan yang telah memakai kolor dengan mendekati Caramel dan berbaring lagi disebelah Caramel.“Ini jam berapa, By? Aku kesiangan. Aku belum menyiapkan sarapan untuk kamu,” seru Caramel dengan bergegas untuk bangun.“Stop! Biar Bi Tyas yang menyiapkan semuanya, Sweety. Kamu cukup melayaniku di kamar ini.”“Apaan sih, By? Jika aku ingin menjadi istri idaman, maka aku harus jago di dapur juga. Tidak melulu urusan ranjang. Bentar By, aku mau mandi dulu.” Caramel hendak berdiri, tetapi
DapurCaramel masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. Ia menemui Bi Tyas yang sedang memasak.“Hai, Bi?” sapa Caramel pada Bi Tyas dengan mendekati lalu duduk bersimpuh di hadapannya.Bi Tyas sedang mengupas kentang dengan duduk berselonjor di lantai.“Eh, Non Caramel. Jangan duduk di bawah, Non. Nanti kotor!” cegah Bi Tyas.“Enggak apa-apa, Bi. Memangnya aku siapa, sih, Bi? Sampai-sampai tidak boleh kotor?” tanya Caramel lagi.“Nona 'kan istri Tuan muda Yuan, tentu saja saya sangat menghormati Nona,” jawab Bi Tyas merasa kikuk.“Aku sama seperti kalian, Bi. Aku juga gadis biasa yang hanya saja beruntung bisa menikah dengan Mas Yuan. Kisah cinta kami cukup rumit, Bi. Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya mensyukuri apa yang kini sudah ditetapkan menjadi milikku.” Caramel menjawab dengan tatapan sedih karena mengingat kembali almarhumah ibunya.&