Share

Bab 7 Kepergian Devon

Bim! Bim! Bim!

“Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar,” ajak Yuan pada Caramel dan juga Devon yang telah selesai bersiap-siap.

Dari raut keduanya terlihat sangat menyedihkan. Caramel memeluk Devon sambil menangis.

“Kamu semangat berjuang untuk sembuh ya, Sayang, supaya kamu cepat kembali ke sini. Kakak pasti merindukan kamu,” ujar Caramel sambil menangis sesenggukan.

“Iya, Kak. Devon akan berjuang keras. Devon pasti sembuh, Kak. Maaf kalau selama ini Devon merepotkan Kakak terus,” tutur Devon membuat tangis Caramel semakin pecah.

“Jangan bicara seperti itu. Nggak ada yang merasa direpotkan. Ini sudah menjadi tanggung jawab Kakak.”

Adik dan Kakak itu meraung karena perpisahan ini terasa berat untuk mereka berdua. Dua insan yang saling melengkapi kini dipisahkan oleh keadaan demi tujuan yang lebih baik.

“Ssh, ssh, sudah sudah. Ini hanya sementara, Devon, Amel... kalian akan bersatu lagi. Saat ini biarlah jarak memisahkan kalian berdua, tapi nanti... kalian akan menuai buah manis dari kesabaran kalian.” Yuan turut membujuk dengan ikut memeluk kakak beradik yang sedang berpelukan tersebut.

“Yuan! Yuan!”

Terdengar suara Bima memanggil nama Yuan dari lantai bawah.

“Itu suara Om Bima. Ayo, kita turun. Nggak enak kalau membiarkan tamu menunggu terlalu lama.”

Yuan mengambil koper Devon dan Caramel merangkul pundak Devon menuruni tangga untuk menemui pengasuh baru yang akan merawat Devon selama di Singapura.

“Ini dia pengantin baru. Auranya beda ya, Bun,” ujar Bima menoleh pada istrinya menggoda Yuan.

Bima dan Yuan saling berpelukan. Om dan ponakan ini sudah seperti anak dan ayah kandung karena kedekatannya.

“Kamu nikah kok nggak ngundang, Om. Om kira kamu nikah sama Evelin. Ternyata bukan. Tapi istrimu enggak kalah cantik. Pintar juga kamu cari istri,” kelakar Bima sambil menepuk pundak keponakannya.

Yuan menoleh pada istrinya. “Nanti saja kalau resepsi pasti Yuan undang Om,” jawab Yuan kembali melihat pada Bima.

“Kenalin, Om. Namanya Caramel, dan ini Devon,” tunjuk Yuan memperkenalkan.

“Hai, Caramel… hai, Devon... kalian sangat mirip, ya. Senyum kalian manis lagi,” sapa Sinta ramah. Mereka saling bersalaman.

“Caramel, semoga kamu betah ya menjadi menantu Mamah Damitri. Bukan rahasia lagi kalau mamah mertuamu itu cerewetnya minta ampun.”

Caramel tersenyum. “Insya Allah, Om,” jawabnya santun.

“Kami titip Devon ya Om selama Devon di Singapura,” ujar Yuan yang mendapat anggukan oleh Caramel.

“Kamu tenang saja. Tante mu pasti merawatnya dengan baik. Kamu sendiri kan tahu, sampai detik ini kami belum diberi kepercayaan untuk mempunyai anak. Semoga dengan hadirnya Devon di kehidupan kami, keinginan kami untuk memiliki anak segera terwujud,” harap Bima sambil tersenyum lalu mencium kepala sang istri.

“Amin, Om. Semoga kehadiran Devon membawa berkah untuk hidup Om dan Tante, ya.”

“Amin,” harap semua orang.

Bima mendekati Yuan yang berdiri di samping Caramel. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya pada Yuan. Yuan mengangguk.

“Kalian tunggu sebentar, ya, ada yang ingin Om bicarakan sama Yuan,” ucap Bima. “Caramel, Om pinjam suami kamu dulu. Nggak lama, kok. Nanti Om kembalikan,” lanjut Bima membuat Caramel tersenyum tipis.

“Silakan, Om. Yang lama juga nggak apa-apa, kok,” jawab Caramel santai, Yuan mengerutkan dahi. Bima dan Sinta tertawa melihat pasangan baru itu.

***

“Ada apa, Om?” tanya Yuan membuka pembicaraan setelah beberapa saat hanya diam. Mereka duduk di samping rumah dekat kolam renang.

“Om kasihan melihat Caramel,” ujar Bima membuat Yuan bingung.

“Kenapa, Om? Memangnya Caramel kenapa?”

“Mau sampai kapan kamu menutupi kebohongan kamu?”

“Maksud, Om?”

Bima berdiri dan mengambil napas yang terdengar berat.

“Bagaimana kalau Caramel tahu kamu terlibat dalam kasus tabrak lari yang menimpa ibunya? Apa dia masih bisa memaafkan kamu? Apa dia mau mempertahankan rumah tangga kalian?”

Yuan menganga. Dia berpikir keras dari mana Bima tahu tentang semua ini. Padahal dirinya sudah menutup rapat-rapat masalah ini.

“Da–dari mana Om tahu?” tanya Yuan terbata.

“Kemarin saat di hotel Om tidak sengaja melihat Dirga sedang menelpon seseorang. Dia berbicara tentang Caramel dan nama kamu. Dirga juga menyatakan kalau kamu menikahi Caramel hanya untuk menutupi kebohongan kamu. Apa itu benar? Apa kamu tidak memikirkan perasaan Caramel, Yuan?” Bima mencecar Yuan. Merasa perilaku yang Yuan lakukan ini salah karena sudah merugikan banyak pihak.

Yuan turut berdiri mencoba menjelaskan kepada Bima namun lidahnya terasa kelu. Sulit untuk berucap. “Om, Yuan....”

“Kamu pengecut, Yuan. Om yakin jika Caramel tahu, dia tidak akan Sudi memaafkan kamu. Harusnya kamu akui saja semuanya. Kamu tahu, pernikahan yang didasari kebohongan tidak akan langgeng. Kamu pasti menyesal suatu saat nanti.”

“Om ….” Yuan ingin sekali menjawab. Entah mengapa rasanya begitu berat.

“Om sarankan kamu akui di depan Caramel sebelum semuanya terlambat. Sebelum kalian saling jatuh cinta. Karena jika kalian sudah saling mencintai, rasa sakitnya akan sulit diobati. Rasa kecewanya terhadap kamu juga akan sangat besar.”

Bima melihat ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya.

“Om harus berangkat sekarang. Om harap kamu mempertimbangkan apa yang Om ucapkan. Lebih baik pahit di depan daripada menimbulkan penyesalan.”

Bima melenggang pergi meninggalkan Yuan yang masih mematung dengan ketidakberdayaan. Sungguh Yuan ingin jujur kepada Caramel. Namun semuanya sudah setengah terlanjur. Maju atau mundur Yuan sama-sama akan hancur.

***

Suasana menjadi sedih saat Devon dan Caramel akan berpisah. Usai memasukkan koper Devon ke bagasi mobil, Sinta mengajak Devon untuk masuk ke mobil.

“Devon, ayo, masuk mobil, Nak... kita berangkat sekarang,” ujar Sinta lembut.

“Iya, Tante.”

Devon menoleh ke arah sang kakak. Buliran bening mulai terjatuh dari matanya. Sungguh perpisahan ini sangat berat. Jika bukan karena ingin melihat sang kakak tersenyum karena kesembuhannya, Devon tidak akan sanggup berpisah dari Caramel.

“Kakak….” Devon memeluk Caramel untuk kesekian kali. Katakanlah mereka berlebihan. Tapi tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada perpisahan karena terpaksa.

“Kamu baik-baik, ya, di sana. Jangan merepotkan Om dan Tante. Ingat tujuan awal kamu ke sana untuk berobat, jadi kamu harus semangat untuk sembuh. Kamu harus nurut dengan apa yang dokter katakan. Jangan buat om dan Tante kesal karena kamu sulit diatur. Devon janji kan mau jadi anak yang baik?”

Caramel memeluk Devon dan memberi nasihat untuk sang adik. Sekuat mungkin dia mencoba tegar dan menahan air matanya agar tidak terjatuh.

“Iya, Kak. Devon janji akan patuh sama semua orang demi kesembuhan Devon. Tunggu Devon pulang, ya, Kak.”

Caramel berjongkok untuk menghapus air mata Devon. “Jangan nangis lagi, kamu kan anak hebat...” tutur Caramel, padahal jujur saja dia juga ingin menangis sekencang-kencangnya.

“Devon… jika kamu sudah sembuh dan pulang ke sini, Kak Yuan akan ajak kamu jalan-jalan ke manapun yang kamu mau. Kita bisa jalan-jalan ke Dufan. Kamu belum pernah coba permainan di sana, 'kan?” Yuan ikut membujuk. Ia turut berjongkok di hadapan Caramel.

Seketika mata Devon berbinar mendengar tawaran Yuan. Ucapan Yuan bak mood booster karena Devon langsung terlihat bersemangat.

“Mau, Kak! Devon mau!” serunya kegirangan. Senyum Caramel terukir.

“Nggak hanya itu, Devon... Om dan Tante Sinta juga akan ajak kamu keliling Singapura kalau kamu sudah sembuh.” Bima mengimbuhi.

“Ayo kita berangkat sekarang, Om, Tante. Devon sudah nggak sabar untuk sembuh supaya Devon bisa jalan-jalan.”

Caramel menggeleng sambil tersenyum senang. Akhirnya Devon bisa pergi dengan senyuman. Sehingga hal itu membuat Caramel tak begitu berat untuk melepaskan sang adik.

“Let's go!” seru Sinta dan Bima bersamaan.

Devon langsung mencium tangan Caramel dan Yuan bergantian. Dia juga menciumi pipi kedua kakaknya dengan gemas.

“Devon berangkat ya, Kak... do'akan Devon cepat sembuh agar Devon bisa segera pulang dan jalan-jalan,” ucap Devon terdengar sangat bersemangat.

“Siap, Kapten!” sahut Yuan mode hormat.

“Iya, Sayang...” jawab Caramel.

Devon melangkah mantap memasuki mobil Bima. Mereka bertiga telah masuk semua ke dalam mobil.

Sinta membuka kaca mobilnya. “Kak, kami berangkat dulu, ya...” ucap Devon sambil melambaikan tangan dan melongokkan kepalanya dari jendela.

“Iya, Sayang… Om, Tante, hati-hati, ya,” balas Caramel dengan senyum palsu. Tentu saja. Jika mereka sudah hilang dari pandangan, bukan tidak mungkin Caramel akan meluapkan kesedihannya melalui tangisan.

Benar saja. Setelah mobil Bima sudah tak terlihat, Caramel langsung pergi ke kamar tanpa berpamitan dengan Yuan sambil sesekali menyeka air matanya yang sedari tadi tertahan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status