Share

Bab 8 Terusirnya Caramel

Waktu terus bergulir, setelah kepergian Devon kerapkali Caramel merasa kesepian. Hari-harinya terasa sangat membosankan. Caramel seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.

Beruntung beberapa hari ini penghuni rumah tak ada yang singgah selain Yuan dan dirinya. Jennifer dan Selina sedang ada kegiatan kampus sementara Damitri sibuk dengan arisan sosialita-nya yang melakukan acara di luar negeri.

Menilik tentang hubungan cintanya dengan Yuan, belum ada yang berarti. Semuanya masih sama. Namun saat ini sudah ada rasa canggung setiap kali mereka bersentuhan atau bertatap mata tanpa sengaja.

Jika melihat fisik, rasanya tidak sulit untuk mencintai sosok seperti Yuan. Siapa yang bisa menolak kharisma dan ketampanannya? Yuan bagaikan titisan dewa yang beruntung Caramel dapatkan.

Caramel jalan-jalan santai mengelilingi rumah megah Alexander. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalas dengan senyum ramah.

Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal dengan kemacetan, ternyata masih ada tempat yang begitu asri dan cukup jauh dari keramaian. Suasananya sejuk, tenang, dan di sekitar rumah Yuan hanya ada beberapa rumah saja. Tidak padat penduduk seperti kota jakarta pada umumnya.

Di balik rumah tampak depan yang begitu megah, terdapat taman tersembunyi di balik rumah yang tak kalah indah. Caramel ingin membuka pintu tersebut dan melihat apa saja yang ada di dalamnya.

“Anda mau ke mana, Nona?” tegur salah seorang penjaga rumah bernama Santoso.

Caramel cukup kaget dengan kedatangan Santoso yang secara tiba-tiba.

“Ini tempat apa ya, Pak?” tanya Caramel penasaran.

“Oh, di dalam sana ada taman, Non.”

“Em, saya mau masuk ke sana, Pak, boleh?” tanya Caramel. Penjaga rumah tersebut tampak bimbang.

‘Taman itu milik Nyonya Damitri, tidak boleh sembarang orang bisa masuk ke sana. Tapi, Non Caramel 'kan juga sudah menjadi keluarga Alexander sekarang. Mungkin tidak apa-apa jika aku mengizinkan.’ Sejenak Santoso bergumam dalam hati.

“Bagaimana, Pak? Boleh?” ulang Caramel.

“Boleh, Non. Tapi sebentar saja, ya?” ujar Santoso bernegosiasi.

“Iya, Pak. Lima belas menit saya akan kembali.”

Perlahan Santoso membuka pintu gerbang yang tergembok. Caramel mulai memasuki taman itu dengan penuh kekaguman. Keindahan Tuhan itu memang nyata, dan kini tersaji di depan matanya. Caramel sangat takjub dengan pemandangan buatan yang seketika membuat hatinya nyaman.

Caramel melihat ribuan jenis bunga yang tertata dengan rapi memanjakan mata. Terdapat beberapa pohon berbuah semakin menambah suasana taman menjadi hidup. Di sudut taman terdapat kolam ikan dan jembatan buatan yang membuat Caramel semakin penasaran untuk lebih mendekat. Kolam yang memiliki banyak ikan yang berlompatan menunjukkan kemolekannya.

Caramel berjalan santai, menapaki langkah demi langkah untuk menyusuri setiap keindahan taman. Langkahnya menuntunnya pada sebuah pohon buatan berwarna perak. Di pohon tersebut terdapat banyak foto-foto keluarga Alexander yang dipajang bergelantungan.

Netranya melihat satu persatu foto yang terpajang. Ada Yuan, Damitri, Alexander, Selina, Jennifer, dan satu wanita cantik yang menurut Caramel masih asing.

“Apa ini yang namanya Evelin? Mantan kekasih suamiku?” lirihnya sambil meneliti ke arah foto yang bergandengan tangan dengan Damitri dan Selina tersebut.

Caramel membalik foto itu. Benar saja, di belakang foto tersebut terdapat tulisan Evelin calon menantu idaman.

“Cantik dan modis. Pantas saja Tante Damitri sangat membenciku. Dari segi penampilan saja kami memang tidak sebanding. Terlihat sekali dia orang yang berkelas, sementara aku? Aku hanya rakyat jelata yang sama sekali tidak pantas bersanding dengan putranya. Bahkan mereka terlihat sangat dekat dan saling menyayangi,” sambung Caramel seraya melepaskan foto itu kembali menggantung.

Mata Caramel masih jelalatan mencari foto lain yang sekiranya menarik perhatiannya. Tangannya menarik sebuah foto yang ciamik. Caramel melihat foto masa kecil Yuan yang terlihat menggemaskan dengan mulut belepotan cokelat.

“Lucu juga kamu, Mas...” ucapnya sambil tersenyum tipis. Caramel menarik foto itu hingga terputus dari tali yang mengikat. “Maaf aku curi ya, Mas... siapa tahu suatu saat nanti berguna,” ujarnya sambil cengengesan.

Caramel kembali melanjutkan aktivitasnya. Namun seketika senyumnya pudar saat mendapati foto kemesraan Yuan dan Evelin juga terpajang di sana. Di foto itu terlihat Yuan dan Evelin berpelukan saling berhadapan. Yuan mencium kening Evelin dan Evelin melingkarkan tangannya di leher Yuan. Sepertinya foto itu diambil saat mereka dinner bersama untuk merayakan anniversary yang ke-lima tahun. Terlihat dari kue yang terletak di meja samping mereka.

Caramel menarik napas berat. “Ya nggak mampu aku Mas kalau bersaing sama dia, aku bukan perempuan idamanmu. Melihat foto ini semakin membuat aku penasaran, apa yang sebenarnya mendorong kamu menikahi gadis miskin seperti aku? Aku rasa kamu bohong kalau hanya kasihan karena aku terlilit hutang. Kamu bisa saja mejadikan aku pembantu kalau kamu memang berniat membantuku.”

Otak Caramel kembali berpikir akan alasan terkuat yang mendasari Yuan menikahinya. Jujur alasan yang Yuan sampaikan masih kurang membuatnya percaya.

***

Dua puluh menit telah berlalu, namun Caramel belum juga keluar dari taman itu. Perasaan Santoso semakin tidak tenang. Ia khawatir jika Damitri pulang dan mengetahuinya. Meski Caramel juga keluarga Alexander, tapi tanpa izin langsung dari Damitri tetap saja membuatnya sangsi.

Santoso mondar-mandir menunggu kedatangan Caramel yang tak kunjung muncul. Dia ingin masuk dan memanggil Caramel, tapi dia tidak berani. Santoso takut jika mengganggu kesenangan istri dari Tuan Muda-nya tersebut dan berimbas pada pekerjaannya. Tapi Santoso juga takut kalau sampai Damitri marah besar terhadapnya.

“Kenapa anda lama sekali Nona? Tolong jangan buat saya deg-degan,” ucap Santoso gusar.

Bim! Bim!

Suara klakson mobil Damitri terdengar nyaring. Bertepatan dengan hal itu, jantung Santoso bekerja semakin giat. Degup jantung yang tidak beraturan membuat peluhnya bercucuran.

“Astaga, itu suara klakson mobil nyonya Damitri. Apa yang harus aku lakukan?” Santoso semakin kebakaran jenggot. Wajahnya pucat, tubuhnya terasa panas dingin.

“Nona, tolong segeralah keluar. Saya tidak mau Nyonya Damitri marah karena saya sudah lancang,” lirih Santoso masih mondar-mandir sambil menggamit jari-jarinya.

Krieett!

Caramel membuka pintu taman perlahan.

Hati Santoso seketika menjadi lega.

“Alhamdulillah, akhirnya Nona keluar juga,” ungkap Santoso kemudian.

“Maaf ya, Pak, saya melebihi batas waktu, ya?” sesal Caramel merasa tidak enak hati. “Bapak kenapa? Wajah Bapak pucat,” tanya Caramel penasaran.

“I–itu, Non... Nyo–Nyonya Damitri sudah pulang,” jawabnya gagap.

“Apa?” Caramel terkejut.

Saat Caramel dan Santoso hendak melangkahkan kaki untuk meninggalkan tempat tersebut, ternyata keberadaannya diketahui oleh Damitri.

“Dari mana kalian?” cecar Damitri mengintimidasi. Sorot matanya yang tajam menaruh curiga jika Caramel usai mengunjungi tamannya.

“Dari mana kalian? Jangan bilang kalian habis dari taman?” Damitri tersulut emosi. Caramel menoleh pada Santoso yang menundukkan kepalanya.

“Saya memang dari taman. Tapi jangan salahkan pak Santoso karena ini keinginan saya. Saya yang sudah memaksa beliau untuk membukakan pintu,” terang Caramel. Mata Damitri melotot.

“Pak Santoso! Saya kan sudah bilang jangan biarkan siapa pun masuk ke taman saya! Mulai saat ini kamu saya pecat!”

“Tunggu, Tante. Pak Santoso tidak salah. Ini salah saya. Tolong jangan pecat beliau.” Caramel membela.

“Oh, lancang kamu, ya. Siapa yang menyuruh kamu sok punya hak di rumah ini?” Damitri berjalan mendekati Caramel. “Sini kamu!” Damitri menjambak rambut Caramel dan menggiringnya masuk ke rumah.

“Tante saya mohon lepaskan, Tante... sakit!” keluh Caramel memegang tangan Damitri yang menjambak rambutnya dengan kuat.

“Siapa suruh kamu lancang di rumah ini. Kamu itu hanya numpang! Apa perlu saya tegaskan, sampai kapan pun kehadiranmu di rumah ini tidak akan dianggap meskipun kamu istri Yuan. Saya tidak akan Sudi memberikan restuku untuk perempuan miskin seperti kamu!”

Damitri melempar Caramel hingga membentur tembok ruang keluarga. Kekesalannya sudah di ubun-ubun karena selama ini tidak ada yang lancang masuk ke tamannya tanpa seizin dirinya.

“Bi Tyas! Bi Tyas!” teriak Damitri memanggil pembantunya.

“Iya, Nyonya,” jawab Tyas sambil berlari tergopoh-gopoh.

“Suruh pak Santoso mengemasi barang-barangnya. Mulai detik ini saya memecat dia!” ucap Damitri tampak berapi-api.

Mata Caramel membelalak. Dia merasa sangat bersalah jika Santoso benar-benar dipecat dari pekerjaannya, karena ini semua ulah Caramel.

“Tante, Tante saya mohon, Tante. Tolong jangan pecat pak Santoso, ini benar-benar kesalahan saya. Biar saya yang menerima hukuman ini,” sergah Caramel kemudian. Dia memohon dengan mengatupkan kedua tangannya.

Damitri tampak menimbang. “Kamu yakin akan menerima hukuman ku?” tanyanya penuh selidik.

Caramel mengangguk mantap. Lebih baik dirinya yang menerima hukuman itu daripada harus membiarkan orang lain sengsara karena perbuatannya.

“Oke. Karena kamu tidak ingin Pak Santoso aku pecat, jadi kamu yang harus menggantikan. Kamu yang harus pergi dari rumah ini,” ucap Damitri penuh penekanan.

“Tapi, Tante….”

“Bi Tyas!” ancam Damitri.

“Iya baik, Tante. Saya akan pergi dari rumah ini.” Entah keputusan macam apa yang Caramel ambil, yang jelas saat ini Caramel hanya ingin menyelamatkan pak Santoso.

“Bagus. Kemasi semua pakaian kamu dan jangan pernah kembali ke rumah ini,” pinta Damitri.

“Ada apa sih, Mah? Perempuan kampung ini bikin ulah lagi?” Selina datang dengan membawa koper besar.

“Sayang… kamu sudah pulang?” Damitri dan Selina saling berpelukan.

“Mamah nggak habis pikir, kok bisa Yuan menikah dengan perempuan model begini. Udah norak, kampungan. Tapi yang paling bikin mamah kesal karena dia sudah lancang masuk ke taman Mamah tanpa seizin Mamah, gimana mamah nggak emosi coba, Sel?” Damitri mengadukan alasannya memarahi Caramel.

“Ck.ck.ck… kamu memang pantas mendapat amukan dari Mamah. Kita yang anak-anaknya saja tidak pernah ke taman itu kecuali kalau mamah yang meminta.”

“Nah. Kamu dengar sendiri, 'kan? Sekarang kemasi pakaian kamu. Jika Yuan mencari kamu, kamu harus bilang ini semua atas kemauan kamu sendiri,” sambung Damitri.

Caramel masih terdiam.

“Kenapa masih di sini? Ayo, pergi sekarang!” usir Damitri lagi.

“Nih orang tuh emang nggak bisa diajak ngomong baik-baik.” Selina langsung menghampiri dan mencekal tangan Caramel dengan kasar. Selina menggeret Caramel menuju kamar Yuan.

“Sel, aku bisa jalan sendiri, jangan perlakukan aku seperti ini,” pinta Caramel yang tidak digubris oleh Selina.

Sementara itu, Damitri terlihat sangat senang karena tanpa mengotori tangannya, anak kesayangannya sudah mewakili apa yang dia inginkan.

“Enyah kau dari rumah ini, Gadis kampung!” Damitri tersenyum sinis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status